Anda di halaman 1dari 3

ADA APA DENGAN KEKERASAN?

(Sebuah Tanggapan Terhadap Ketidakalpaan Berita Seputar Kekerasan)


Oleh: Ino Reldy---Anggota KMK-Ledalero

Tema seputar kekerasan hampir tidak pernah luput dari perhatian media cetak, terutama surat
kabar Pos Kupang. Tentu masih segar dalam ingatan kita, litani panjang berita kekerasan dalam dua bulan
terakhir, seperti; siswi SMP dibuntungi pamannya (Pos Kupang, 10/11/2010), kepala SDK Tes dibunuh
dengan cara ditikam (Pos Kupang, 11/11/2010), lantaran diduga suanggi satu keluarga dibacok (Pos
Kupang, 25/11/2010), Narsius Un, mahasiswa Unkris tewas ditikam (Pos Kupang, 29/11/12), Daniel
Doko ditembak orang tak dikenal (Pos Kupang 3/12/2010), di wilayah Kabupaten Rote Ndao empat
warga tewas dibunuh orang tak dikenal (Pos Kupang, 4/12/2010), dan masih banyak berita kekerasan
lainnya yang sudah, sedang dan mungkin juga akan terus diberitakan (tentu kita tidak berharap
demikian). Media cetak meliput berita-berita seputar kekerasan itu, tentu bukan bermaksud mengangkat
atau mendewakan citra kekerasan, melainkan untuk menegaskan bagaimana kekerasan menjadi berita
harian kehidupan kita. Lebih jauh, merangsang kesadaran kita agar memikirkan cara terbaik dalam
meminimalisir bahkan menghilangkan kekerasan dalam hidup bersama. Karena itu, pertanyaan
fundamental yang mesti direfleksikan ialah mengapa kekerasan selalu terjadi? Dan apakah yang
seharusnya kita buat untuk membangun budaya damai dalam hidup bersama? Pertanyaan ini
direfleksikan, karena memang setiap kita “berpotensi” untuk melakukan kekerasan. Kita adalah mahluk
yang rentan berbuat salah. Atau seturut bahasa Agustinus (teolog kristen) “setiap diri kita memiliki
kecenderungan untuk berbuat salah”. Itu berarti, kita juga berpeluang untuk menjadi aktor kekerasan
sekaligus korban kekerasan. Kita tidak tahu, kapan roh jahat merasuki kita untuk bertindak kekerasan
terhadap orang lain, dan kapan roh jahat merasuki orang lain untuk bertindak kekerasan terhadap kita?
Bagi kita yang terpenting adalah berjaga-jaga. Namun, sanggupkah kita untuk berjaga-jaga?
Kedamaian: Dambaan Kita
Setiap insan manusia pasti mendambakan alam kehidupan yang berselimutkan perdamaian.
Suasana hidup yang penuh kasih, saling menghormati dan menghargai, saling memaafkan dan
mengampuni, itulah yang kita dambakan. Dambaan kita akan damai bukan tanpa dasar. Kita adalah
mahluk sosial yang hidup saling mengandaikan dan saling menyokong. Kita tidak bisa hidup sendirian
tanpa orang lain (no man is island). Kalau anda sakit, pasti banyak orang yang datang mengunjungi,
menghibur, dan mendoakan agar anda cepat sembuh. Atau ketika anda sedang dilanda bencana alam,
dimana segala-galanya hilang, begitu banyak orang yang memberikan bantuan kemanusiaan untuk anda.
Itulah indahnya hidup bersama sebagai mahluk sosial. Berdiri sama tinggi duduk sama rendah, berat sama
dipikul ringan sama dijinjing. Sebaliknya, betapa kacaunya hidup bersama kalau kita semua menjadi
srigala jadi-jadian. Pastilah kita saling makan dan dimakan. Karena itu, untuk melanggengkan dambaan
akan damai, muncullah pelbagai aturan atau undang-undang yang mengatur hidup bersama. Kita kenal
dalam negara kita undang-undang tentang penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia (UUD 1945
pasal 28). Ataupun ideologi pancasila yang adalah falsafah bangsa. Tentang bagaimana kita harus
bersikap terhadap Tuhan, sesama, alam dan diri sendiri. Dalam setiap daerah di NTT, juga ada semboyan
atau ungkapan-ungkapan tertentu yang mejunjung tinggi persaudaraan dan perdamaian dalam hidup
bersama. Di Manggarai misalnya, ada ungkapan-ungkapan seperti: muku ca pu’u neka woleng curup, teu
ca ambok neka woleng lako (kita harus sekata-sejalan) atau nai ca anggit tuka ca leleng (kita sehati
sejiwa). Atau dalam ajaran agama-agama, agama Katolik, misalnya. Di sana diajarkan hukum pertama
dan terutama, yaitu cinta kasih. Mencintai Tuhan dengan segenap hati, segenap jiwa dan segenap
kekuatan. Mencintai sesama seperti diri sendiri. Semuanya itu mau menggambarkan akan pentingnya
cinta dan damai dalam hidup kita.
Kekerasan: Sebuah Budaya Baru?
Di zaman ini dambaan akan damai itu nampaknya menjadi suatu impian yang mustahil. Praktisnya
wajah dunia tidak pernah luput dari rekaman kekerasan. Kasus KDRT, pemerkosaan terhadap anak-anak,
pembunuhan berencana dengan berbagai motif, penganiayaan dan perlakuan tidak adil terhadap TKW,
menjadi bukti nyatanya. Semuanya itu membenarkan apa yang dahulu pernah disuarakan oleh Thomas
Hobbes homo homoni lupus (manusia adalah srigala bagi manusia lain). Dengan ini realitas kekerasan
semacamnya sedang “dihormati” sebagai sebuah budaya baru, “budaya kekerasan”. Kenyataan ini
semakin diperjelas, ketika pelbagai usaha untuk meredam gerak laju kekerasan itu tidak mencapai titik
pencerahan, hukuman penjara terhadap si pelaku misalnya, tetapi toh usaha (hukuman) semacam itu sama
sekali tidak menyadarkan orang untuk tidak melakukan aksi kekerasan. Tragisnya, orang-orang yang
melakukan kekerasan itu adalah orang yang berbangsa, berbudaya dan beragama. Mereka tahu hukum dan
undang-undang, tahu adat istiadat, dan tahu ajaran agama. Tetapi masa sih, kekerasan makin hari makin
menggila. Kekerasan laksana sebuah mata rantai atau semacam lingkaran setan yang tak terputuskan.
Pertanyaannya: mengapa? Hemat saya, “penghormatan” terhadap kekerasan sebagai sebuah “budaya
baru” dilatarbelakangi oleh dua kenyataan ini: pertama, ketumpulan hati nurani. Di dalam alam semesta
ini senantiasa terjadi peperangan antara yang baik dan yang jahat. Sebuah tawaran diberikan kepada kita,
memilih yang baik atau yang jahat. Berpihak pada kekerasan atau kedamaian. Kita memiliki kebebasan
untuk menentukan pilihan. Dan Allah sama sekali tidak terlibat dalam ruang kebebasan kita. Tetapi Ia
telah memberikan kepada kita hati nurani dan akal budi, tempat dimana kita dapat mendengarkan suara-
Nya untuk kemudian mengambil sebuah keputusan secara bijaksana. Persoalannya, apakah suara hati kita
masih peka ataukah sudah tumpul? Kalau hati nurani kita tumpul pasti kita memilih yang jahat dan atau
berpihak pada kekerasan, sebab hati nurani yang tumpul, sulit untuk membedakan yang baik dari yang
jahat. Hati nurani yang tumpul sulit untuk mengambil sebuah keputusan yang bebas, baik dan benar
ketika berhadapan dengan suatu persoalan. Kedua, pengadopsian kekerasan sebagai suatu prinsip hidup.
Bahwa kalau mau damai atau masalah cepat selesai siapkanlah kekerasan. Di dalam prinsip ini, kekerasan
dipandang sebagai jalan menuju perdamaian sekaligus metode terjitu pemecahan suatu masalah. Inilah
akibat logis dari pengadobsian pandangan filofis Protagoras, si vis pacem para bellum (kalau mau damai
siapkanlah perang). Namun jika benar demikian, lalu bagaimana dengan penderitaan dan kematian yang
diciptakan oleh kekerasan? Bukankah itu berarti bahwa teori kekerasan justru menciptakan masalah di
atas masalah? Lalu, di manakah letak perdamaian yang dibentuk oleh kekerasan itu?
Hemat saya apapun bentuk, alasan dan tujuannya, kekerasan bukanlah respon positif dalam
memecahkan masalah-masalah kehidupan. Manusia bukan songgokan daging yang sama sekali tidak
berguna. Hidup dan martabat seorang anak manusia sangat mahal, tidak bisa dibeli atau dipertukarkan
dengan barang apapun. Dan tidak seorang pun manusia di dunia ini yang berhak atas hidup-mati orang
lain selain Tuhan sendiri. Karena itu, lagi-lagi teori kekerasan tidak pernah menyelesaikan persoalan
manusia. Sebaliknya, kekerasan itu benih paling buruk yang bersemaian di dalam rahim kebersamaan.
Kekerasan merusak relasi dan bukan tidak mungkin mengancam integritas dalam hidup bersama.
Karenanya, usaha yang serius untuk merobohkan bangunan kekerasan mutlak diperlukan.
Hentikan Kekerasan! Sebuah Seruan Untuk Direalisir
Bertalian dengan perjuangan merobohkan bangunan kekerasan itu, maka setiap kita dipanggil
untuk menjadi pecinta damai yang punya animo tinggi dalam menyerukan penolakan atas “adorasi”
kekerasan sebagai sebuah “budaya baru”. Maka, sehati-sesuara kita mendaraskan seruan ini: kekerasan
no, kedamaian yes. Pendarasan atas seruan ini harus membingkai dalam dua keutamaan hidup ini.
Pertama, disemen. Dikatakan bahwa akar kejahatan adalah hati manusia, segala kecenderungan hatinya
yang membuahkan kejahatan semata. Agar hati manusia tetap bersih, bebas dari kejahatan, maka
disermen sangat diperlukan. Sebab melalui disermen kita dengan pasti membedakan dan memilih secara
tepat tindakan atau keputusan yang baik dari yang jahat. Disermen atau diskresi atau pembedaan roh
berarti mengenali, memilah-milah gerak roh baik dan roh jahat. Intensi utama dari sebuah disermen
adalah agar kita dapat merasa dan mengenal berbagai gerak yang timbul dalam jiwa sehingga menerima
yang baik dan membuang yang jahat sekaligus memilih kehendak Allah dalam setiap keputusan yang
diambil. Semua tujuan tersebut akan tercapai apabila proses disermen berjalan terus menerus dan
belangsung dalam bingkai keheningan. Keheningan itu emas, melaluinya kita dapat mendengarkan Tuhan
berbicara dalam hati kita. Disermen yang baik menjadikan hati kita selalu bersih dan dengan demikian
kekerasan pun tidak akan membudaya. Karenanya, di tengah kesibukan rutinitas harian, kita mesti
meluangkan sedikit waktu untuk masuk dalam keheningan. Hanya dalam keheningan dan disposisi batin
yang tenang, kita dapat mengambil keputusan secara bijaksana ketika berhadapan dengan suatu persoalan.
Kedua, kesadaran: kita bersaudara. Kita sama-sama sebagai manusia, berasal dan diciptakan seturut citra
Allah yang satu dan sama, menghirup udara yang satu dan sama, tinggal di bumi yang satu dan sama, dan
juga akan kembali kepada Allah yang satu dan sama. Pendek kata, “katong basudara”. Saudara berarti
satu udara, satu nafas, satu tujuan, senasib dan sepenanggungan. Sebagai saudara sudah sepantasnya kita
hidup dalam damai, hidup tanpa kekerasan. Damai itu tercipta bila hidup bersama dibangun atas dasar
cinta. Selanjutnya cinta diwujudkan dalam sikap saling memperhatikan, saling mendukung, saling
mengampuni dan memaafkan. Sebagai saudara, sejatinya pemecahan masalah kehidupan di tempuh
dengan jalan dialog atau damai.
Akhirnya, di tengah ketidakalpaan berita seputar kekerasan, kita diharapkan untuk selalu berjaga-
jaga. Berjaga-jaga supaya tidak terperangkap sebagai aktor kekerasan sekaligus terjebak sebagai korban
kekerasan. Pentinglah untuk disadari bahwa kekerasan bukanlah rahim yang mengandung dan melahirkan
perdamaian. Karena itu, usaha untuk meminimalisir bahkan menghilangkan kekerasan bukan merupakan
persoalan preferential suka atau tidak suka, melainkan suatu keharusan yang sifatnya tidak bolek tidak.
Dikatakan suatu keharusan karena memang kita semua bersaudara. Hidup dalam suasana damai, saling
mengasihi dan mengampuni, dan sederet perbuatan kasih lainnya, itulah yang diharapkan dalam hidup
bersama.

Anda mungkin juga menyukai