Anda di halaman 1dari 4

Realitas Kekerasan

Kekerasan selalu mewarnai kehidupan manusia. Disadari atau tidak,


kekerasan itu sudah menjadi bagian dari diri manusia. Paling tidak, setiap
manusia sudah pernah mengalaminya baik secara fisik (perkelahian,
pemukulan, penganiayaan, pembunuhan) maupun secara psikis (intimidasi,
ancaman, penghinaan, bullying, dsb). Pengalaman kekerasan kiranya sudah
ada sejak nenek moyang kita, bahkan sejak manusia diciptakan pun telah
terjadi tindak kekerasan (seperti yang terjadi pada anak Adam dan Hawa
yaitu Kain dan Habel). Seiring dengan majunya peradaban dunia, kekerasan
selalu saja terjadi bahkan semakin menjadi-jadi, baik berupa perang suku,
antar bangsa, kelompok, maupun orang per orang. Kekerasan acapkali
menjadi sarana utama dan ampuh untuk menyelesaikan suatu masalah.
Disadari atau tidak, hal itu sudah menjadi jalan pintas untuk menyelesaikan
berbagai persoalan yang ada.

Masyarakat Indonesia sejak zaman dahulu kala terkenal sebagai


manusia yang ramah-tamah. Karena itu, ada syair lagu berjudul Nusantara
yang dinyanyikan Atick C.B. Rahayu mengatakan: “Tak ada negeri seindah
persada nusantara… Terkenal manis budi bahasa dan lemah lembut
perangainya… Mereka saling menghormati dan saling menghargai hak
azasi…” Namun kisah indah manusia Indonesia dalam syair lagu tersebut kini
harus dikoreksi kembali. Betapa tidak, kini manusia Indonesia mudah terpicu
untuk bertikai dan bahkan tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk
menyelesaikan konflik atau mencapai tujuan tertentu. Tiada hari tanpa
berita di media massa tentang kekerasan di negeri ini. Masalah-masalah
yang sepele saja dapat memicu kekerasan yang besar antar-kampung, antar-
kampus, antar-sekolah, antar-etnis, suku, dan agama.

Mengembangkan Budaya Non-Violence dan Budaya Kasih

Konflik dan kekerasan sering terjadi karena adanya perbedaan


kepentingan. Untuk mengatasi konflik dan kekerasan, kita dapat mencoba
usaha-usaha preventif dan usaha-usaha mengelola konflik dan kekerasan,
jika konflik dan kekerasan sudah terjadi.

 Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih sebelum Terjadi Konflik dan


Kekerasan.

Banyak konflik dan kekerasan terjadi karena terdorong oleh kepentingan


tertentu. Fanatisme kelompok sering disebabkan oleh rendahnya
pengetahuan dan merasa diri terancam oleh kelompok lain. Untuk itu perlu
diusahakan beberapa hal misalnya dialog dan komunikasi, kerja sama atau
membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan kepentingan
umum.

 Usaha-usaha Membangun Budaya Kasih Sesudah Terjadi Konflik dan


Kekerasan.

Usaha untuk membangun budaya kasih sesudah terjadi konflik dan


kekerasan sering disebut “pengelolaan atau managemen konflik dan
kekerasan”. Ada tahapan langkah yang dapat dilakukan.

Pertama, konflik atau kekerasan perlu dikisahkan kembali oleh yang


menderita (korban). Kekerasan bukanlah sesuatu yang abstrak atau
interpersonal melainkan personal, maka perlu dikisahkan kembali.

Kedua, mengakui kesalahan dan permohonan maaf serta penyesalan dari


pihak atau kelompok yang melakukan kekerasan atau menjadi penyebab
konflik dan kekerasan. Pengakuan ini harus dilakukan secara publik dan
terbuka, sebuah pengakuan jujur tanpa mekanisme bela diri.

Ketiga, pengampunan dari korban kepada yang melakukan kekerasan.

Keempat, rekonsiliasi.

Memasyarakatkan Budaya Non-Violence


Dalam tulisan The Declaration of the parliament of the Worlds
Religions, Hans Kung dan Karl-Josef Kuschel menyoroti beberapa perhatian
utama dalam memasyaratkan non-violence sebagai kekuatan moral yang
perlu diwujudkan di dunia sekarang ini.

Pertama, dalam agama-agama kuno dan tradisi-tradisi etis umat


manusia masih hidup adagium klasik seperti ini: “jangan membunuh!” atau
dalam rumusan positif dapat dikatakan: “Hormati kehidupan!” Mesti diingat
bahwa tiap manusia berhak hidup dengan aman dan mengalami
perkembangan pribadi secara menyeluruh dan utuh.

Kedua, ada gejala umum yang menyatakan bahwa pemecahan


masalah sosial tertentu sering kali memunculkan konflik di tengah
masyarakat yang majemuk. Konflik-konflik itu harus diselesaikan secara non-
violence dan dibingkai dengan pemikiran keadilan. Tanpa itu kedamaian di
bumi tidak akan ada.

Ketiga, generasi muda mesti belajar bahwa kekerasan tidak boleh


menjadi sarana untuk menghadapi dan mengatasi masalah serta perbedaan-
perbedaan dengan orang lain. Kebudayaan non-violence harus diciptakan
dan dikembangkan dalam hidup manusia.

Keempat, manusia sebegitu berharganya harus dilindungi dan


diperhatikan tanpa syarat seperti makhluk ciptaan lain yang yang tak berakal
budi.

Kelima, menjadi manusia sejati berarti memiliki perhatian dan


keterlibatan dengan hidup, keadaan, dan karya-karya orang lain.

Refleksi Kitab Suci (Mat. 26:47-56)

Dalam teks Mat. 26:47-65, Yesus bukan saja mengajak kita untuk tidak
menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi juga untuk
mencintai musuh-musuh dengan tulus. Yesus mengajak kita untuk
mengembangkan budaya kasih dengan mencintai sesama, bahkan mencintai
musuh (lih. Luk 6: 27-36). Maka berikut ini beberapa hal yang dapat kita
renungkan berkaitan dengan perikup di atas:

 Pesan Yesus untuk kita memang sangat radikal dan bertolak


belakang dengan kebiasaan, kebudayaan, dan keyakinan gigi
ganti gigi yang kini sedang berlaku. Kasih yang berdimensi
keagamaan sungguh melampaui kasih manusiawi. Kasih Kristiani
tidak terbatas pada lingkungan keluarga karena hubungan
darah; tidak terbatas pada lingkungan kekerabatan atau suku;
tidak terbatas pada lingkungan daerah, ideologi atau agama.
Kasih Kristiani menjangkau semua orang, bahkan kepada musuh-
musuh kita.
 Dasar kasih Kristiani adalah keyakinan dan kepercayaan bahwa
semua manusia adalah gambar dan citra Allah. Semua manusia
juga adalah putra dan putri Allah Bapa. Dengan menghayati cinta
yang demikian, kita meniru cinta Bapa di surga yang memberi
terang matahari dan curah hujan kepada semua orang (orang
baik maupun orang jahat).
 Mengembangkan budaya kasih untuk melawan budaya
kekerasan memang tidak mudah. Dalam kehidupan sehari-hari,
kita merasa betapa sulitnya untuk berbuat baik dan mencintai
orang yang membuat kita sakit hati.
 Apabila kita memiliki kebenaran maka kebenaran ini akan
merdekakan kita untuk berbuat kasih kepada sesama (bdk. Yoh
8:32).
 Apabila kita sungguh hidup dalam Kristus, maka kita akan
menjadi pembawa damai dan hidup tanpa memperhitungkan
kesalahan atau pelanggaran yang dibuat orang lain. Iman dalam
Kristus Yesus menjadikan kita juru damai dalam setiap
perselisihan (bdk. 2 Kor 5:17-19)

Anda mungkin juga menyukai