Anda di halaman 1dari 15

Popularitas Kritik:

Antara Kultur ‘Politik Pop’ dan Profetisme Pers


Oleh: Wilson Bhara Watu, Mahasiswa Tingkat I
STFK Ledalero

I. Pendahuluan
Kehadiran industri pertambangan yang mulai menjadi ‘pilihan alternatif ‘ kebijakan
politis di beberapa kabupaten di NTT menuai berbagai tanggapan. Ada pihak tertentu yang
dengan berbagai pertimbangan ekonomis yang meyakinkan mendukung industri
pertambangan. Di pihak lain ada kelompok yang dengan getol berada di garda depan
melawan keberadaan pertambangan dengan berbagai analisis kritis. Satu hal yang
menentukan saat itu adalah adanya suatu medium kolektif yang mana berbagai polemik itu
ditampung dan dibagikan kepada publik. Berdiri di garis depan, Harian Flores Pos dengan
kegigihan profetisnya menjadi media kritis terhadap kehadiran pertambangan tersebut.
Kolom Bentara dalam Harian tersebut selalu manjadi kolom profetis untuk ‘membongkar’
selubung-selubung yang menyembunyikan aib kuasa pertambangan. Berita-berita yang
dipublikasikannya berkaitan dengan keberadaan pertambangan tersebut juga menampilkan
preferensinya profetisnya terhadap nasib masyarakat yang dirugikan. Dengan pemberitaan-
pemberitaan ini, kesadaran publik didongkrak untuk melihat lebih jeli dampak keberadaan
tambang yang telihat sepintas menggiurkan. Sebagai konsekuensinya, gerakan penolakaan
tambang serentak menjadi gerakan publik yang bergaung di berbaga daerah di daratan Flores.
Tak dapat dimungkiri bahwa meluasnya gerakan penolakan ini merupakan konsekuensi dari
preferensi pers terhadap kaum yang dirugikan.
Ketika peristiwa tragis 13 Oktober 2008 terjadi, pemberitaan terhadap kematian Rm.
Faustin Sega, Pr juga meningkat dalam berbagai media di NTT khususnya pada Harian Flores
Pos dan Pos Kupang. Dalam beberapa edisi harian-harian tersebut menampilkan berita-berita
yang berkaitan dengan tersingkapnya kasus kematian Rm. Faustin Sega, Pr. Serentak Anus
Waja dan Teresia Tawa menjadi ‘figur publik’ yang terus-menerus diberitakan media-media
ini sebagai dalang di balik kasus kematian Rm. Faustin. Pemberitaan pers mengenai
tersingkapnya para aktor pembunuhan Rm. Faustin seakan-akan memberikan kepuasan bagi
‘dahaga’ publik terhadap informasi kasus tersebut dan serentak juga menimbulkan kebencian
publik pada kedua aktor pembunuhan tersebut. Namun sayangnya, ketika dahaga publik

Popularitas Kritik | 1
berhasil ‘dipenuhi’, ternyata ada hal lain yang terlewatkan. Perspektif lembaga PADMA
Indonesia sebagai pihak yang membela kedua aktor tersebut diabaikan, padahal lembaga
tersebut juga memilki data yang cukup eviden-yang berbeda dengan data dari pihak
Keuskupan Agung Ende-berkaitan dengan kasus kematian tersebut. Sayangnya pers-pers
lokal ini kurang akomodatif terhadap perspektif yang berbeda ini. Akibatnya publik masih
memiliki perspektif dari satu sudut pandang saja (yang kemudian diragukan evidensinya).
Dua kenyataan di atas menunjukkan bahwa preferensi pers dapat serentak menjadi
stimulus preferensi publik terhadap suatu tema tertentu. Pers dapat berfungsi sebagai wadah
komunikasi politis dan serentak dapat mempengaruhi komunikasi politis dalam suatu
masyarakat.
Sebuah komunikasi politis antara berbagai kalangan-yang juga dibentangkan oleh
rentangan ruang dan waktu- hanya mungkin ada jika tersedia suatu medium yang
memungkinkan sirkulasi tema-tema politis tertentu. Medium tersebut menjadi sarana yang
mana keaktifan para aktor dalam ruang publik disalurkan. Jürgen Habermas, (1929- ), dalam
konteks formasi sebuah ideal demokrasi deliberatif, selalu menekankan ruang publik sebagai
sebuah kondisi komunikasi yang dapat menumbuhkan sebuah kekuatan solidaritas yang
mengukuhkan sebuah masyarakat dalam perlawanannya terhadap sumber-sumber lain, yakni
uang (pasar kapitalis) dan kuasa (birokrasi Negara) agar dapat tercapai suatu keseimbangan 1.
Ruang publik politis tersebut terdapat di mana saja dan melaluinya para warga dapat
mendiskusikan tema-tema yang relevan untuk masyarakat. Habermas menekankan
pentingnya keberadaan sebuah ruang publik sebagai sebuah wadah formasi opini publik. Bagi
Habermas, pembentukan sebuah opini politis yang kuat menuntut adanya refleksi yang
matang atas opini publik yang telah dibentuk dalam ruang publik melalui debat publik yang
terfokus2. Namun, keberadaan ruang publik ini mesti juga disokong oleh sebuah wadah
komunikasi yang berciri lintas kelompok agar tema-tema yang menjadi garapan dalam
sebuah ruang publik juga turut menjadi stimulus bagi kalangan masyarakat lainnya sehingga
dapat mempengaruhi kebijakan politis tertentu. Dalam konteks ini pers dapat dikatakan
sebagai salah satu medium ampuh komunikasi politis antara berbagai kalangan dan dapat

1
Habermas dalam F. Budi Hardiman, Demokrasi Deliberatif-Menimbang ‘Negara Hukum’ dan ‘Ruang
Publik’dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas, (Yogyakarta: Kanisisus), hal 135.
2
Political opinion polls provide a certain reflection of “public opinion” only if they have been preceded by a
focused public debate and a corresponding opinion formation in a mobilized public sphere (sebuah pemungutan
opini politis menyajikan sebuah refleksi yang matang tentang opini publik jika hal itu sudah didahului oleh
sebuah debat yang terfokus dan sebuah formasi-opini cocok di dalam sebuah ruang publik yang aktif), Jürgen
Habermas, Between Facts and Norms, (Polity Press: Cambridge, 1996), hal. 326.

Popularitas Kritik | 2
menjadi agen sambungan antara satu ruang publik dengan ruang publik lainnya. Dengan
demikian pers bisa menjadi penyokong pengambilan kebijakan publik bagi para penguasa
dengan menyajikan suara-suara yang digemakan di dalam ruang publik.
Selain sebagai sambungan antar ruang publik dalam sebuah tatanan masyarakat
demokratis, pers juga dapat berfungsi sebagai “watch dog” bagi kebijakan publik yang
diambil oleh pihak eksekutif dan legislatif. Ibarat anjing yang menggongong jika ada orang
asing yang mencoba masuk ke dalam kintal rumah, pers juga mesti memainkan peran
kritisnya ketika terjadi kesewenang-wenangan dari pihak yang berkuasa. Fungsi ‘watch dog’
ini mengandaikan adanya visi dari pers tersebut untuk menjadi agen dari proses demokratisasi
yang tengah berlangsung di Negara kita. Tanpa visi dan gairah untuk menjalankan visi
tersebut, peran pers akan mudah terombang ambing dalam arus massa, otoritas, kapitalisme,
dan ganyangan ‘politik pop’. Dalam konteks inilah pers menemukan popularitasnya, yaitu
popularitas sikap kritis entah kritis dalam mewadahi sirkulasi opini publik maupun kritis
menyingkapkan gaya politik yang ‘urak-urakan’.

II. Politik Pop dan “Setan Penggangu”


2.1 Terminologi Pop dan Paralelitasnya dengan Fakta Politik

Istilah pop sebenarnya sering menjadi sandingan bagi kata kebudayaan. Dalam
konteks tersebut, kata “Pop” merujuk pada dua makna seturut definisi yang diajukan Ignas
Kleden3. Pertama, kebudayaan Pop dimengerti sebagai sebuah kultur yang terutama lebih
menekankan kemampuan komunikasi produk-produk dan aktivitasnya dari pada penghargaan
kritis khalayak ramai. Singkatnya ia lebih memilih estetika resepsi dari pada estetika kreasi.
Produk-produk budaya Pop tidak diciptakan untuk memuaskan hasrat aktualisasi diri sang
seniman, melainkan untuk memenuhi keinginan dan cita rasa publik. Ia bukan sesuatu yang
berhadapan kriteria formal para kritikus melainkan dengan kebutuhan nyata khalayak ramai
sekaligus dengan-meminjam definisi Gunawan Muhamad-sebuah ‘desakan’ tuntutan
keuntungan finansial.

Kedua, kebudayaan Pop memiliki tendensi tertentu terhadap ruang dan waktu yang
berbeda dari kebudayaan tinggi. Kalau kebudayaaan tinggi berpretensi menjadi sebuah
kebudayaan abadi yang menguasai waktu, maka kebudayaan pop hendak menguasai ruang
dengan mengorbankan waktu. Yang pertama berusaha untuk untuk membentuk kualitas
3
Ignas Kleden, Kebudayaan Pop: Kritik dan Pengakuan, dalam Prisma No. 5, Th.XVI, Mei 1987, dikutip oleh
Hikmat Budiman, Lubang Hitam Kebudayaan, (Yogyakarta: kanisius, 2002), hal.239-240.

Popularitas Kritik | 3
sebaik mungkin, maka yang kedua hendak meraup kuantitas dalam jumlah yang lebih besar
meskipun hanya bertahan dalam beberapa waktu saja. Obsesi kebudayaan pop adalah
kepuasaan diri masa kini dan popularitas sesaat meskipun dengan isi yang agak ‘keropos’.
Sering terjadi, bahwa karakter yang melekat pada budaya pop juga terdefinisikan juga
di dalam ranah poitik sehingga secara tak sadar politik juga memilki karakter pop. Untuk itu
mari kita lihat paralelitas antara kebudayaan pop dan politik pop.
Pertama, tendensi kebudayan pop adalah sebuah estetika resepsi. Dalam pengertian
ini, budaya pop lebih menekankan suatu penerimaan yang mahaluas khalayak ramai dengan
kalkulasi keuntungan finansial yang bisa diraupnya. Dalam konteks politik, sebuah kultur
politik yang telah mengadopsi karakter pop cenderung menciptakan suatu kebijakan yang
quasi pro masyarakat namun dengan kalkulasi keuntungan pribadi yang tinggi. Kebijakan
yang dihasilkan secara sepintas menunjukkan preferensi penguasa pada khalayak massa agar
mendapat ‘restu’ dari rakyat. Namun sebenarnya kebijakan tersebut lebih merupakan
penyelubungan kepentingan penguasa dan elit-elitnya yang dimodifikasi sedemikian rupa
sehingga seolah-olah menampilkan karakter publik.
Fenomena pemekaran daerah sering kali menampilkan karakter pro rakyat dari para
penguasa. Namun, jangan heran ketika daerah telah dimekarkan, para mafia tambang pun
perlahan-lahan mulai menjalankan muslihat korporatokrasinya dengan pihak pemerintah
untuk mengeruk kekayaaan bumi yang ada di dalam daerah baru tersebut. Kenyataan ini
tampak jelas di beberapa kabupaten baru di NTT yang getol mengembangkan sektor tambang
pasca pemekaran. Dalam bahasa filosof politik Jerman Hannah Arendt fakta seperti ini
disebutnya sebagai naturalisasi yang mana kalkulasi untung-rugi a la pasar terdefinisikan
juga dalam ranah politik. Ketika ranah politik telah mengambil alih karakter pasar, maka
target utama adalah pencapaian keuntungan pada saat sekarang walaupun dengan sebuah
manipulasi licik yang mengelabui massa. Sebagai akibatnya muncul berbagai macam fakta
kebohongan publik, manipulasi kebijakan, serta maraknya praktik KKN. Kenyataan-
kenyataan ini secara jelas menampilkan suatu kultur politik yang telah terinfeksi karakter
pop.
Kedua. Kebudayan pop menampilkan ciri khas yang cenderung menguasai ruang
ketimbang waktu, menggaet kuantitas ketimbang meningkatkan kualitas. Dalam sebuah ranah
politik yang sudah terkontaminasi kultur pop dengan ciri yang kedua ini, tuntutan akan
pencitraan yang memukau massa menjadi target utama yang dikejar-kejar. Politik pencitraan
menjadi suatu kultur yang marak dipraktikan oleh para politisi kita. Contoh nyata yang bisa

Popularitas Kritik | 4
kita saksikan adalah fenomen kandidasi para artis dalam pemilu legislatif dan pilkada. Para
artis dipilih pada tempat pertama bukan karena kompetensi politis dan integritas moral yang
dimilikinya, tetapi lantaran kemolekan tubuh dan popularitas pribadi. Partisipasi politik kaum
perempuan direduksi menjadi politik tubuh. Dengan bantuan media massa, para artis dipakai
sebagai iklan untuk mendongkrak citra partai-partai politik dan elit politik yang kian buram
dan terpuruk di tengah masyarakat4. Selain itu dalam konteks lokal, kita bisa menyaksikan
bagaimana estetisasi politik terjadi di atas panggung kampanye. Untuk mendapat simpati
massa yang besar, para politisi lebih suka ‘berkeringat’ di atas panggung a la penyanyi
dangdut atau grup band ketimbang melakukan tindakan nyata yang menjawab tuntutan
rakyat. Panggung kampanye sering bermetamorfosis menjadi panggung hiburan massa karena
tingkah para politisinya yang ingin meraup simpati dalam jumlah besar namun dengan waktu
yang singkat. Mereka rela menjadi artis sejenak untuk mendapatkan senyum massa dan
simpati khalayak ramai. Kualitas dan integritas diabaikan karena yang paling utama adalah
simpati massa kini dan di sini. Justeru di sinilah letak kultur pop kental yaitu ketika politik
dilihat semata-mata sebagai penguasaan massa kini dan di sini untuk meraup dukungan dalam
usaha mendapatkan dan melanggengkan kuasa.

2.2 Pers sebagai Setan Pengganggu

Salah satu kelemahan dari sistem demokrasi adalah terbukanya kemungkinan adanya
komersialisasi. Dalam sebuah masyarakat yang demokratis, keberhasilaan seorang pemimpin
juga ditentukan oleh kesanggupannya menjual idenya. Konsentrasi sering kali dicurahkan
pada langkah awal dengan menebar janji yang mempesona sampai-sampai tidak banyak
kekuatan dan fantasi yang tersisa untuk memikirkan dan merencanakan secara serius apa
yang dibuat setelah kekuasaan direbut5. Hal ini menyebabkan adanya kesenjangan antara janji
politik dan fakta pelaksanaan kekuasaan oleh sang penguasa. Tidak adanya sarana
pendongkrak janji-janji politik, membuat realitas seperti ini (kesenjangan antara janji politik
dan fakta pelaksanaan) sudah dianggap menjadi bagian inheren dalam sebuah sistem
demokrasi. Tentu saja ini merupakan suatu kontradiksi terhadap sistem demokrasi itu sendiri
karena sistem demokrasi menuntut adanya kontrol terhadap kekeliruan yang ada sedangkan
dalam kenyataannya fakta kekeliruan (kesenjangan antara janji dan fakta politik) sudah
4
Otto Gusti, Politik Diferensiasi versus Politik Martabat Manusia, (Maumere: Ledalero, 2011), hal. 34.
5
Manfred G. Schmidt membuat daftar yang menyajikan 22 kelemahan sistem demokrasi. Rangkuman atas
kelemahan-kelemahan sistem demokrasi tersebut dapat dilihat dalam Paul Budi Kleden, “Kenapa Demokrasi-
Mencari Kekuatan dan Kelemahan Demokrasi” dalam Jurnal Ledalero II, 2,2003, hal. 12-13.

Popularitas Kritik | 5
diterima begitu saja dalam masyarakat kita. Oleh sebab itu, dalam situasi seperti ini,
dibutuhkan sarana yang senantiasa ‘menggonggong’ para pemegang kuasa untuk kembali
mengingat janji-janji politik mereka. Dalam konteks ini pers bisa menjadi semacam ‘setan
penggangu’ yang menjadi corong dari masyarakat untuk menagih janji-janji politik para
penguasa.

Dalam sebuah ideal demokrasi, fungsi kontrol terhadap pelaksanaan fungsi kekuasaan
menjadi tuntutan utama. Demokrasi radikal mengandaikan adanya kekuatan alternatif untuk
mengawasi apa yang dilakukan oleh para pemegang kekuasaan dan kritik terhadap
pelaksanaan sistem itu merupakaan bagian tak terpisahkan dari demokrasi 6. Pers bisa
menjalankan fungsi ini dengan tidak sekadar membeberkan ‘kebaikan-kebaikan’ yang telah
dilakukan oleh penguasa tetapi juga berani secara konsisten menyingkap fakta yang
berseberangan dengan ideal demokrasi. Bahkan bila perlu, pers mesti berani melawan arus
kuasa yang cenderung manipulatif dan korup tanpa ragu dan takut
mempertanggungjawabkannya di meja hijau sekalipun.
Tentu perlu disadari bahwa pers Indonesia tidak sepenuhnya berciri liberal seperti di
Amerika misalnya. Kecenderungan untuk mencadi corong penguasa masih menjadi ciri khas
pers kita. Hal ini bisa dilihat dengan besarnya ruang yang diberikan bagi aspek politik,
ekonomi, yang terkait dengan pelaku-pelaku ekonomi di dalamnya (kelas eksekutif, legislatif)
dan menenggelamkan kedaulatan rakyat kecil. Halaman demi halaman koran kita lebih
cenderung menyoroti tokoh-tokoh politik, petinggi Negara, provinsi, kabupaten, serta para
selebritis. Ketokohan seorangnpenjabat publik lebih ditonjolkan dan pada tataran ini pers
tidak lain daripada seksi humas pemerintah7. Tentu saja ini merupakan tantangan yang cukup
serius bagi pelaksanaan tanggung jawab pers terhadap publik. Kecenderungan untuk menjadi
corong pemerintah dan elit politik tertentu masih menjadi ciri yang melekat dalam pers kita.
Hal ini bisa kita saksikan dengan banyaknya ruang yang diberikan bagi kolom kampanye elit
penguasa menjelang Pilkada tanpa fungsi kontrol yang signifikan terhadapnya sesudah
pilkada berlangsung.
Untuk menjalankan fungsi kontrol yang matang, maka yang dibutuhkan adalah
kesadaran akan ciri profetis yang melekat di dalamnya. Salah satu ciri profetisme pers adalah
peran reflektif. Pers merefleksikan apa yang terjadi di suatu tempat atau dikatakan oleh

6
Karl Popper, Masyarakat Terbuka dan Musuh-musuhnya ,Kamdani-Penerj. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,
2002), hal. 234.
7
Isidorus Lilijawa, Perempuan, Media, dan Politik, (Maumere: Ledalero, 2010), Hal. 145.

Popularitas Kritik | 6
sesorang, ditampilkan dan disampaikan kepada publik. Tingkat kejahatan, kualitas diskursus
politik, menjamurnya praktik KKN dalam masyarakat dapat dicerminkan ke kepada
masyarakat itu sendiri melalui media massa8 yang dalam hal ini pers itu sendiri. Peran
reflektif ini mesti diimbangi dengan daya investigatif yang tinggi. Itu artinya tangggung
jawab pers tidak hanya sekadar membeberkan berita atau sekadar menampilkan peristiwa.
Lebih dari itu pers diharapkan mampu manggali makna di balik peristiwa-peristiwa yang
ditampikan serta mampu menampilkan “alur-alur tersembunyi” dari suatu peristiwa yang
diberitakannya.
Namun, untuk dapat menjalankan fungsi kritisnya terhadap apa yang terjadi, pers
harus senantiasa melakukan kritik diri agar tidak terjebak dalam preferensi popularitas
dirinya yang mengorbankan pihak lain. Hal ini penting untuk diperhatikan karena toh
tanggung jawab pers tidak hanya ditujukan ke dalam dirinya sendiri tetapi terutama ditujukan
kepada publik pembaca9. Jika pers menjalankan fungsi kontrol yang keliru dengan karena
menampilkan preferensi popularitas diri yang berlebihan, maka opini publik juga akan turut
dipengaruhi oleh apa yang dibentuk oleh pers. Misalnya, sebuah pemberitaan yang berlebihan
terhadap kasus tindakan KKN dengan menampilkan aspek-aspek privat dari pelakunya yang
tidak semestinya ditampilkan akan menimbulkan persepsi yang berbeda dari publik terhadap
pelaku tindakan tersebut. Atau misalnya ketika pers sudah mempunyai preferensi terhadap
suatu tema atau telah menempatkan diri pada sudut tertentu maka sering kali pemberitaan dan
penilaian terhadap fakta menjadi berat sebelah dan bisa mengorbankan pihak lain. Atau
dengan kata lain, upaya pers dalam menyingkap fakta dan membongkar selubung
‘kecenderungan-keenderungan pop’ yang ada dalam sistem politik bisa kembali menjebak
pers itu sendiri ke dalam ‘kecenderungan pop’ yang mau dikritiknya jika pers tidak selalu
melakukan refleksi dan otokritik yang berkesinambungan.
Untuk menjalankan fungsi kritis terhadap kultur pop yang sedang malanda ranah
politik kita, maka selain kritik diri, pers juga mesti menjalankan fungsi investigatif secara
meyakinkan10. Namun, bukanlah kapasitas saya untuk menjelaskan secara panjang lebar
mengenai petunjuk-petunjuk melakukan investigasi dalam praktik jurnalisme. Oleh sebab itu

8
Paul Budi Kleden, “Profetisme Pers” dalam Tony Kleden, Maria M. Banda, dan Dion D.B. Putra (Eds.)
15 Tahun Pos Kupang-Suara Nusa Tenggara Timur, (Kupang: PT. Timor Media Grafika, 2007), hal. 64.
9
Bdk Ignas Kleden, “Jurnalisme Fakta dan Jurnalisme Makna”, kata pengantar dalam Jakob Oetama, Pers
Indonesia-Berkomunikasi dalam Masyarakat Tidak Tulus, (Jakarta: Kompas, 2001), hal. xxi
10
Tentang tema fungsi investigasi pers, tulisan Damianus Ola bisa sangat membantu. Bdk. Damiaanus Ola,
Mengungkapkan Fakta di balik Berita, dalam dalam Tony Kleden, Maria M. Banda, dan Dion D.B. Putra
(Eds.), Op.Cit , hal. 142-146

Popularitas Kritik | 7
saya hanya membatasi diri dalam beberapa hal yang menjadi perhatian penting dalam
menjalankan fungsi kontrol secara memadai.
Pertama, pemilihan atas tema yang akan dibahas hendaknya mencerminkan
kebutuhan nyata masyarakat akan pembahasaan hal tersebut. Pilihan terhadap kasus
sebaiknya tidak hanya atas dasar interese komersial yang menguntungkan pihak pers tetapi
benar-benar menampilkan keberpihakan pers terhadap pengungkaapan fakta yang tengah
terjadi. Dalam hal ini awasan Ignacio Raimonet perlu mendapat perhatian yang intens.
Ignacio Raimonet menggunakan istilah ‘efek penyekat’ untuk mendeskripsikan kejadian yang
menyembunyikan peristiwa lain. Efek seperti itu sering digunakan untuk menutupi atau
mengalihkan perhatian suatu kasus11. Sering kali untuk menutupi kasus tertentu yang sedang
mendapat perhatian dari pers, pihak-pihak tertentu cenderung memunculkan suatu kasus baru
yang bisa menyedot perhatian pers untuk berbalik arah menuju kasus baru yang dimunculkan
tersebut. Ketika banyak media memfokuskan kasus Munir dan kemungkinan keterlibatan
penjabat tinggi militer, tiba-tiba kasus poso memanas lagi sehingga media mengabaikan
berita tentang pembunuhan Munir. Ketika orang ramai-ramai menuntut agar soeharto dibawa
ke pengadilan, kerusuhan yang berbau SARA terjadi sehingga menyedot perhatian media12.
Pers yang jeli hendaknya tidak terkecoh dengan trik yang dilakukan oleh para
penguasa untuk melanggengkan kultur pop mereka tetapi sebaliknya tetap konsisten menguak
alur-alur tersembunyi terhadap kasus yang telah ditampilkan sebelumnya. Hal ini penting
karena pers bertanggung jawab langsung terhadap publik yang disodorkan informasinya. Lagi
pula, tugas pers tidak sebatas menampilkan suatu berita yang tengah terjadi dan kemudian
menggantinya kembali dengan berita lain yang lebih aktual karena jika demikian pers hanya
menjalankan fungsi penjiblak relaitas. Sebaliknya pers bertanggung jawab untuk secara
konsisten menyingkap apa yang pernah ditampilkan kepada publik. Di sini jugalah preferensi
pers terhadap penyingkapan kebenaran diuji. Jika pers berani untuk secara konsisten
menyingkap apa yang menjadi alur terselubung dari suatu kasus maka dia benar-benar
menjalankan fungsi kontrolnya secara efektif dan secara jelas pula menunjukkan
preferensinya pada penyingkapan kebenaran. Sebaliknya jika pers hanya menampilkan aspek
aktualitas tanpa secara konsisten menggalinya maka preferensinya diragukan dan dengan
mudah dikooptasi oleh ‘efek penyekat’ yang dibuat oleh pihak penguasa.

11
Ignacio Ramonet dalam Haryatmoko, Etika Komunikasi-Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi
(Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 23.
12
Ibid.

Popularitas Kritik | 8
Kedua berkaitan dengan keterbukaan pers itu sendiri terhadap fakta baru yang
mungkin akan diungkapkan. Sudah dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa pers mesti
memiliki preferensi terhadap penyingkapan kebenaran dalam menjalankaan fungsi
kontrolnya. Preferensi yang dimiliki ini tidak boleh mengeksklusikan pers pada satu sudut
pandang tertentu saja terhadap suatu kasus. Itu berarti pers mesti tetap menjaga kualitas
preferensinya tanpa harus tenggelam dalam eksklusi tertentu.
Dalam hal ini hemat saya, pers harus bisa membedakan apa yang dinamakan
preferensi massa dan indikasi kebenaran. Apa yang menjadi preferensi massa belum tentu
menjadi indikasi mutlak kebenaran. Alasannya adalah bahwa sering kali massa terkondisi
oleh otoritas tertentu dalam menilai suatu peristiwa. Sebagai Contoh, suatu otoritas politik
bisa dengan memudah mengerahkan massa untuk mendukung kebijakan tertentu dan secara
sepintas hal tersebut dapat tampak menjadi satu preferensi massa. Jika pers sudah telanjur
terlibat dalam preferensi massa tanpa mempertanyakannya maka pers juga akan terkooptasi
oleh manipulasi sistem yang tengah dirancang. Sebaliknya, pers yang inklusif hendaknya jeli
melihat apa yang menjadi indikasi kebenaran dari suatu peristiwa yang tengah terjadi. Untuk
bersikap kritis dalam menjejaki indikasi kebenaraan maka seyogyanya pers tidak boleh
tenggelam di dalam persepsi dari satu sudut pandang saja tetapi juga perlu terbuka terhadap
sudut pandang lain yang mungkin saja bertentangan dengan preferensi massa.
Dalam peyelesaian kasus kematian Rm. Faustin misalnya, massa sudah terlebih
dahulu memikli preferensi terhadap fakta di balik kasus tersebut bahwa Anus Waja dan
Teresia Tawa merupakan pelaku utama. Karena preferensi massa yang hampir-hampir tak
terbendung ini, pihak pers pun mengadopsi preferensi serupa. Ketika ada pihak lain-yang
dalam hal ini PADMA-yang mencoba menguak kasus ini dari perspektif yang berbeda, pers
cenderung tertutup bahkan menilainya sebagai bagian dari konspirasi politik tertentu. Namun,
kemudian perlahan-lahan fakta lain muncul yang berbeda dengan preferensi massa
sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa preferensi massa belum seratus persen menjadi
indikasi kebenaran bahkan bisa saja bertentangan dengan indikasi kebenaran yang
sebenarnya.
Bagi saya, keberpihakan pers pada penyingkapan fakta dan kesetiaannya pada fungsi
kontrol tidak sama artinya dengan mengikuti pola tertentu yang berkembang dalam alur
preferensi massa. Apa yang secara kuantitas tinggi belumlah menjadi petunjuk yang tak
terbantahkan bahwa kualitas yang dimilikinya juga tinggi. Selain itu, indikasi kebenaraan
tidak boleh dilihat dari jumlah preferensi massa terhadap hal tersebut tetapi juga mesti

Popularitas Kritik | 9
dipertimbangkan kualitas preferensi tersebut. ketika pers tenggelam dalam arus massa maka
pada saat ia sedang kehilangan sikap kritis dan fungsi kontrolnya.
Fungsi ‘setan yang mengganggu’ dari pers tidak hanya dijalankan dengan
membeberkan berita tertentu tetapi juga mesti dibarengi dengan semangat menggebu-gebu
untuk menyingkap fakta dan menggali makna atas peristiwa tertentu. Apa yang menjadi
berita belumlah menjadi fakta. Dan apa yang merupakan fakta tidak semerta-merta
mengungkapkan makna tertentu. Sebaliknya, dari suatu berita yang ada pers mestinya secara
konsisten mengungkapkan alur-alur tersebunyi yang ada di baliknya, serta menampilkan
makna tertentu atas peristiwa tersebut. Dalam menyingkapkan kasus korupsi misalnya
tidaklah cukup bagi pers untuk sekadar menurunkan berita tentangnya. Sebaliknya pers mesti
berupaya menemukan alur-alur dari geliat korupsi tersebut secara konsisten dengan
menggunakan prinsip-psinsip investigasi jurnalistik. Setelah membeberkan fakta atas berita
korupsi diharapkan pers dapat memberikan makna tertentu dengan penggalian yang semakin
mendalam.

III. Pers sebagai “Malaikat Penolong”


3.1 Kritik Pers sebagai Penunjang Demokrasi

Dalam menjalankan fungsi kontrolnya yang amat kental berkarakter ‘setan


pengganggu’ pers juga sekaligus bisa menjalankan fungsi mitra kerja yang berkarakter
‘malaikat penolong’ dengan pihak penguasa. Dalam ideal demokrasi semua pihak yang
terlibat di dalamnya tidak bisa mengklaim dirinya memilki standar kebenaran yang pasti dan
tak terbantahkan sekalipun itu adalah sang penguasa. klaim atas kebenaran diri secara mutlak
dan tak terbantahkan akan memudahkan seseorang jatuh ke dalam tindakan berciri otoriter
atas yang lainnya. Kemungkinan seseorang untuk melakukan kesalahan serentak menuntut
kontrol dari pihak lain atas apa yang mungkin akan salah dilakukan. Begitu pun dalam
sebuah sistem demokrasi. Sistem demokrasi yang memungkinkan seseorang menjadi
pemimpin atas kehendak rakyat tidak semerta-merta melekatkan karakter “Sang Titisan
Dewa” pada pemimpin terpilih sehingga dia selalu luput dari kemungkinan untuk bertindak
keliru. Dengan kata lain sistem demokrasi tidak menjadi legitimasi atas karakter infalibel
dalam diri seorang pemimpin.

Demokrasi itu sendiri bukanlah sebuah sistem mati yang telah baku dan tak memilki
celah tetapi sebaliknya tetaplah merupakan sebuah sistem pemerintahan yang senantiasa

Popularitas Kritik | 10
“menjadi”. Dalam kaitan dengan ini, menarik memperhatikan apa yang dikatakan oleh
Winston Churcil yaitu “Demokrasi adalah bentuk pemerintahan terburuk kecuali apabila
dibandingkan dengan semua bentuk pemerintahan yang pernah dicoba dalam sejarah”. Satu
hal yang dapat membuat demokrasi menjadi sistem yang senantiasa disempurnakan adalah
fungsi kritik yang terus menerus-terhadap kinerja sistem yang ada. Oleh karena itu fungsi
kontrol dari pers atas keberlangsungan sistem yang ada merupakan sebuah tuntutan mutlak
yang harus ada.
Para politisi yang berkiprah dalam sistem pemerintahan demokratis mestinya
menganggap kritikan sebagai “kabar gembira” untuk senantiasa memperbaharui diri dan
sistem yang sedang dijalankannya. Pers yang melakukan kontrol haruslah dilihat sebagai
mitra kerja yang membantu. Apa alasannya? Suatu pembangunan mengandaikan adanya
perubahan terhadap apa yang terjadi sebelumnya ke arah yang lebih baik. Namun, perubahan
ke arah yang lebih baik menuntut adanya minimalisasi terhadap kekeliruan yang ada dan
upaya penyingkapan atas kekeliruan mengandaikan adanya kritik dari pihak lain. Oleh sebab
itu pembangunan yang otentik mengandaikan adanya fungsi kritik terhadap sistem yang ada.
Di sinilah letak fungsi pers sebagai mitra kerja pemerintah. Pemerintah yang hendak
mejalankan tugas membangun masyarakat seyogyanya mengharapkan fungsi kontrol yang
ketat terhadap kinerjanya. Atau dengan kata lain pemerintah sebagai pemegang tampuk
kekuasaan politis bisa dikatakan mencintai rakyatnya jika dia mencintai kritik dari rakyatnya
yang dalam hal ini dijalankan oleh fungsi kontrol pers. Kritik yang ada juga merupakan
upaya membersihkan para politisi kita yang cenderung memiliki ‘hobi’ mengembangkan
kultur ‘politik pop’.
Namun tak jarang fungsi konstruktif ini ditarfsirkan sebagai upaya subversif terhadap
pemeritahan yang ada. Ketika pers mencoba menyingkap fakta kekeliruan politis tertentu,
muncul ketidakpuasan yang berlebihan dari pihak yang dikritisi. Para politisi kita masih
belum cukup dewasa dalam menanggapi kritik yang diberikan. Kritik masih dilihat sebagai
ancaman atas kemapanan kekuasaan yang dipegang bahkan selalu diusahakan untuk
diminimalisasi.

3.2 Pers sebagai Sarana Demokratisasi

Dalam kaitan dengan sistem demokrasi, pers juga memiliki peran yang tak kalah
pentingnya. Pada tataran ini pers dapat menjadi mitra kerja pihak pemerintah dalam upaya

Popularitas Kritik | 11
demokratisasi. Untuk meninjau hal ini, pertama-tama perlu diperhatikan dua unsur pokok
yang menjadi intipati definisi demokrasi.

Demokrasi dapat didefinisikan dalam arti prosedural dan substansial. Prosedur


demokrasi mengandung unsur dari rakyat dan oleh rakyat. Dalam arti prosedural, demokrasi
menuntut partisipasi langsung dari para warganya untuk mengambil satu kebijakan baru dan
termasuk di dalamnya partisipasi untuk memilih pemimpin secara langsung. Sedangkan
substansi dari demokrasi berkaitan tujuan yang hendak dicapai sebagai sasaran kebijakan
politis. Secara substansial demokrasi menuntut asas kebaikan bersama, bonum commune.
Suatu kebijakan publik serta seluruh partisipasi publik valid secara substansial jika mengarah
pada tujuan bersama atau kebaikan bersama. Jika suatu kebijakan publik atau sebuah
partisipasi publik hanya mengarah pada kepentingan pihak tertentu dan mengabaikan (bahkan
merugikan) kepentingan masyarakat maka kebijakan serta partisipasi tersebut berada di luar
lingkaran substansi demokrasi.
Dalam kaitan dengan prosedur demokrasi, fungsi yang cocok untuk dijalankan oleh
pers adalah mewadahi publik dalam menjalankan perannya untuk berpartisipasi dalam sistem
demokrasi. Prosedur demokrasi mengandaikan adanya partisipasi publik yang memadai dan
partisipasi publik itu dapat dijalankan melalui pers sebagai mediatornya. Dalam konteks ini,
pers mesti mengakomodasi keterlibatan publik dalam menjalankan sistem demokrasi yang
ada. Akomodasi terhadap keterlibatan ini dapat dilakukan dengan menyediakan ruang bagi
kontrol publik atas sistem politik yang sedang berjalan. Salah satu hal yang berkaitan
langsung dengan peran pers dalam upaya demokratisasi adalah peran pers dalam menjadi-
meminjam istilah Jürgen Habermas-Mandatary of an enlightened public atau “pemegang
mandat publik yang tercerahkan”. Dalam kaitan dengan peran media dalam sebuah ruang
publik, Habermas menulis
“like the judiciary, they ought to preserve their independence from political and social pressure; they
ought to be receptive to the public’s concerns and proposals, take up these issues and contributions
impartially, augment criticism, and confront the political process with articulate demands of
legitimation13.” (seperti pengadilan, mereka (media, pers,-penulis) harus menjaga kebebasan mereka
dari tekanan social dan politik; mereka harus menampung usul dan keprihatinan publik,
membicarakan persoalan dan sumbangan ini secara terbuka, memperkuat sikap kritis, berhadapan
dengan proses politik dengan mangartikulasikan tuntutan legitimasi)

Sebagai pemegang mandat publik yang tercerahkan, pers memainkan peran sebagai
medium presentasi dalam ruang publik. Namun, dalam menjalankan fungsinya sebagai
medium dalam ruang publik pers harus senantiasa ‘mawas diri’ agar dapat secara tepat
13
Jürgen Habermas, Op.Cit.hal. 378.

Popularitas Kritik | 12
mengartikulasikan opini publik tanpa terkooptasi dalam tekanan sosial atau politik
tertentu. Ruang publik yang dimediasinya pun mesti senantiasa dikritisi karena tidak
semua ruang publik menampilkan corak egaliter para aktornya.
Habermas membuat distingsi berkaitan dengan dua tipe ruang publik. Yang
pertama adalah ruang publik yang tidak terkooptasi kekuasaan, yakni yakni ruang publik
yang tumbuh dari lebenswelt, sedangkan yang terakhir disebutnya ruang publik yang
dikooptasi kekuasaan, kerena ruang publik ini berorientasi pada wilayah-wilayah
kehidupan yang telah terintegrasi secara sistemis, seperti misalnya ekonomi dan
administrasi14. Pers mesti mampu menjadi mandat bagi publik yang tercerahkan dalam
ruang publik yang tidak terkooptasi oleh kekuasaan. Dalam kaitan dengan demokrasi,
publik yang sesungguhnya adalah rakyat yang menjadi cakupan sistem pemerintahan
tertentu. Untuk dapat menjalankan fungsinya secara baik dan memadai, pers mesti
menampilkan aspirasi dari rakyat yang memilki status kepublikan yang terpercaya.
Pemerintah dalam sistem politik yang demokratis mestinya mampu menangkap
aspirasi publik yang telah diakomodasi oleh pers. Dalam hal ini pemerintah perlu
memberdayakan apa yang dinamakan ‘gaung pers’. Maksudnya, sumbangan pers sebagai
medium ruang publik yang mengakomodasikan opini publik mesti mendapat respon dari
pihak pemerintah. Pemerintah mesti lebih tanggap terhadap apa yang menjadi cermin dari
aspirasi publik. Justru melalui medium ruang publik lah pemerintah dapat mangetahui apa
yang menjadi kehendak publik. Hal ini mutlak dilakukan oleh seorang pemimpin agar dia
tidak mereka-reka atau memanipulasi apa yang menjadi kehendak rakyat tetapi secara
pasti mengetahuinya. Namun, satu hal yang perlu dilakukan secaraa terus-menerus oleh
pers adalah refleksi-diri atas perannya sebagai medium antar ruang publik. Hal ini perlu
terus-menerus dilakukan pers tidak tenggelam dalam kooptasi elit tertentu yang
mengatasnamai massa menuntut kebijakan tertentu. Pers juga diharapkan untuk
senantiasa berjaga-jaga terhadap amukan kapitalisme yang senantiasa meraung dalam
cara yang unik, halus, namun menghanyutkan. Dengan terus-menerus melakukan refleksi
dan otokritik, pers akan semakin menampilkan wajahnya sebagai articulator partisipasi
rakyat dalam sebuah sistem demokrasi. Dalam kaitan dengan prosedur demokrasi “oleh
rakyat” pers bisa memainkan peran menampilkan keterlibatan rakyat dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis. Peran yang dimaksud adalah peran
untuk senatiasa mencerminkan kualitas keterlibatan publik dalam sistem demokrasi. Salah
14
F. Budi Hardiman, Op.Cit.hal. 141-142.

Popularitas Kritik | 13
satu hal yang bisa dilakukan pers dalam menjalankan fungsi yang berkaitan dengan unsur
kedua demokrasi ini adalah memberikann penilaian terhadap partisipasi publik yang
melenceng semisal demonstrasi anarkis dan aksi-aksi tidak terpuji lainnya.
Dalam kaitan dengan substansi demokrasi, pers dapat memainkan perannya
sebagai cerminan dari arah destinasi sistem politik yang ada. Maksudnya, pers menjadi
sarana yang mana pemerintah menakar keberhasilannya dalam menjalankan sistem politik
yang ada. Ada tidaknya keluhan atau ketidakpuasaan masyarakat terhadap kinerja
pemerintah, pembeberan fakta pelaksanaan program pemerintahan, banyak sediktnya
masalah yang timbul dalam masyarakat dalam kaitan dengan kesejahteraan umum dapat
menjadi indikator yang mencerminkan sejauh mana keberpihakan pemerintah terhadap
unsur demokrasi “untuk rakyat”.
Fungsi-fungsi ini menuntut adanya preferensi pers terhadap upaya demoktarisasi.
Dengan menjalankan fungsi-fungsi ini secara konsisten dan berimbang maka pers dapat
menjadi “malaikat penolong” yang baik dalam upaya demokratisasi dan meminimalisasi
kutur ‘politik pop’ yang merupakan tantangan yang cukup besar bagi sistem demokrasi.
IV. Penutup

Filosof kenamaan Jerman, Karl Popper pernah mengatakan bahwa salah satu unsur
penting dalam sistem demokrasi adalah kritik. Baginya tuntutan sebuah ideal demokrasi
adalah bukan semata-mata afirmasi kebenaran tertentu tetapi upaya minimalisasi kekeliruan-
kekeliruan yang ada. Dalam konteks system politik kita keberadaan suatu elemen pengontrol
adalah tuntutan mutlak. Pers sebagai elemen pengontrol yang menjalankan fungsi kritik
merupakan suatu elemen yang amat penting dalam system politik kita. Namun, sekian sering
pers jatuh ke dalam tangan pihak-pihak yang hendak menebarkan popularitannya untuk
meraup keuntungan dengan menggaet massa sebanyak mungkin atau juga sekian sering dia
terbawa bersama arus preferensi massa yang dikontrol oleh otoritas tertentu. Walaupun
demikian, pers tetap dituntut untuk terus membersihakan dirinya dari kooptasi elit tertentu
yang hendak melanggengkan kekuasaanya. Usaha tersebut bisa dilakukan dengan terus
menebar “popularitas kritik” baik kepada sistem politik agar dibersihkan dari kontamonasi
kultur pop mampun terhadap dirinya sendiri agar tidak terkooptasi elit-elit yang mau mencari
untung sendiri. Dengan terus menebar “popularitas kritiknya” pers tidak hanya menunjukkan
cirinya sebagai setan pengganggu yang senantiasa meraung tatkala ada yang menyimpang
tetapi juga sekaligus dapat menjadi malaikat penolong mana kala terdapat jalan buntu. Itulah

Popularitas Kritik | 14
ciri yang pers yang profetis, bisa meraung setajam serigala, namun bisa berbisik sesyahdu
angin sepoi yang menyejukkan.

Popularitas Kritik | 15

Anda mungkin juga menyukai