Anda di halaman 1dari 21

Meratapi ‘Kemartiran’ Mahasiswa Orde Baru,

Merengkuh Ideal Demokrasi Indonesia yang Tertunda

Redem Kono

1. Pendahuluan

“….Saya memutuskan untuk menyatakan berhenti dari jabatan saya sebagai Presiden
Republik Indonesia terhitung sejak saya bacakan pernyataan ini, Kamis, 21 Mei 1998.
(Soeharto).”1
Kamis, 21 Mei 1998, nukilan pidato Soeharto di atas menandai hadirnya sebuah sejarah
baru yang telah terukir dalam tinta emas negara Indonesia. Presiden Soeharto yang sangat
berkuasa selama 31 tahun dalam bingkai keangkuhan politik massa mengambang (floating mass)
akhirnya harus menerima takdirnya secara tragis. Politik developmentalis dalam rezim Orde
Baru telah menemui ajalnya lewat pengunduran Soeharto sebagai Presiden RI periode 1998 –
2003. Kejayaan indokrinasi politik Soeharto akhirnya harus bertekuk lutut di tengah gencarnya
tuntutan reformasi.
Oleh berbagai pihak, berakhirnya rezim otoriter Soeharto tidak dapat dibicarakan terpisah
dari peran aktif – kritis para mahasiswa saat itu. Tanpa menafikan faktor lain, rakyat Indonesia
pasti sepakat bahwa para mahasiswa telah menjadi salah satu garda terdepan dan terbaik untuk
menumbangkan ‘euforia depolitisasi’ masyarakat Indonesia selama 30 tahun. Kaum muda
terutama para mahasiswa telah membuktikan diri sebagai watchdog demokrasi Indonesia
meskipun perjuangan itu harus dibayar mahal.
Selanjutnya, setelah perjuangan tersebut dapat merenda angin reformasi, ideal demokrasi
Indonesia tetaplah belum terengkuh. Dengan kebijakan politik masing – masing, keempat
Presiden pasca-Soeharto menahkodai ‘kapal Indonesia’ dengan kebijakan bertendensi memasung
impian tercapainya ideal demokrasi seturut amanat Pancasila dan UUD 1945. Ideal demokrasi
Indonesia masih jauh panggang dari api. Krisis ekonomi, munculnya gerakan sektarian, lahirnya
kekerasan struktural dan horizontal berbau agama, serta makin langgengnya politik citra menjadi

1
Kalimat ini merupakan sebuah cuplikan singkat pidato pengunduran diri Soeharto dari tahta kepresidenan
Republik Indonesia, pada Kamis, 21 Mei 1988, pukul 09. 06. WIB. Bdk. James Luhulima, Hari – Hari Terpanjang
Menjelang Mundurnya Soeharto, (Jakarta: Kompas, 2001), hlm. 2- 3.

1|Page
indikator afirmatif tertundanya demokrasi di persada Nusantara tercinta. Redemokratisasi negara
Indonesia jadinya hanya dongeng semata.
Hemat saya, realitas ketertundaan tersebut menghantar kita pada pertanyaan; entahkah
ideal demokrasi dapat merealita di Indonesia? Apakah penumbangan rezim Orde Baru belum
cukup untuk menegakan ideal tersebut? Atau mengapa reformasi politik belum mampu
meredakan praktek depolitisasi massa yang kini terjadi? Mengapa ‘kemartiran’ perjuangan
politis para mahasiswa Indonesia versus rezim Orde Baru belum cukup untuk merengkuh awan
demokrasi ideal?
Tulisan ini lahir dari upaya penulis untuk mengulas dan mengkritisi realitas ketertundaan
demokrasi dan membacanya dari kacamata keteladanan perjuangan para mahasiswa Indonesia
melawan politik developmentalis Soeharto. Dengan mengaili nilai – nilai perjuangan dan
pengorbanan mahasiswa tersebut, maka ke depan sidang pembaca akan dipaparkan beberapa
solusi sederhana untuk menegakan ideal demokrasi di Indonesia.

2. Politik Developmentalis Vs ‘Kemartiran’ Kaum Muda Indonesia


Pada 12 Maret 1967, Indonesia menyaksikan pelantikan Soeharto menjadi pejabat
presiden Republik Indonesia (RI). Secara otomatis, era Demokrasi Terpimpin Soekarno pun
berakhir. Dengungan Trisula Nasakom Soekarno (nasionalisme, agama dan komunisme) rupanya
tidak diterima baik oleh rakyat Indonesia. Rakyat merindukan ‘wajah baru’ yang mampu
mengeluarkan rakyat Indonesia dari beban ekonomis dan kisruh politik berkepanjangan. Itu
berarti bahwa impian rakyat tentang penyelesaian kisruh politik dalam biduk pemerintahan baru
(baca: Soeharto) bisa tercapai. Setidak – tidaknya inilah idealisme rakyat Indonesia terutama
para mahasiswa saat itu.
Berkaca dari carut – marutnya keutuhan dan kesejahteraan RI itu, Soeharto
memperkenalkan dan memaksakan politik developmentalis. Politik ini bertendensi pada
pengaksentuasian, perbaikan dan penggenjotan kehidupan ekonomi rakyat. Dalam politik ini,
Soeharto menekankan konsep modernitas. Prioritas perbaikan ekonomi, pendidikan, dan
investasi untuk mengejar ketertinggalan dari negara lain menjadi target utama. Imbasnya,
Soeharto memberlakukan politik stabilitas. Melalui penekanan stabilitas, Soeharto berupaya
untuk menggerusi ancaman destabilisasi politik yang sedang mengganggu keutuhan Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2|Page
Pada awalnya, politik developmentalis Soeharto mencapai hal yang luar biasa.
Modernisasi perekonomian Indonesia berjalan sangat cepat dan dramatis. Swasembada beras
dan pelbagai indikator keberhasilan ekonomi menggenealogi julukan sebagai ‘tanah terjanji’
yang diimpi – impikan. 2 Namun, pengaksentuasian sistem politik tersebut harus dibayar mahal.
Depolitisasi massa melecehkan partisipasi politik rakyat Indonesia pada jaman Orde Baru.
Praksis developmentalis yang radikal memunculkan sistem pemerintahan otoriter, sentralistik
dan militeristik. Asas pembangunan yang dipilih dan digalakkan Soeharto telah mengorbankan
hak – hak demokrasi rakyatnya. Hal ini merupakan konsekuensi tak terhindarkan dari penetapan
paradigma politik yang berorientasi pada ‘negara kuat’ demi penopangan pembangunan
ekonomi.3

Karena itu, tak heran bahwa politik massa mengambang (floating mass) era Orde Baru
berkembang tak mampu dicegah. Pada taraf ini, rezim Orde Baru menerapkan kebijakan
pengkaplingan politik terhadap kelompok masyarakat baik pada tataran simbolik atau pun
pragmatik.4 Di mana – mana, pemerintah membatasi aktivitas dan kreasi politik partai – partai
politik sampai level akar rumput Pembatasan tersebut bertujuan menghindarkan rakyat dari
manipulasi partai – partai politik lainnya agar berkonsentrasi pada pembangunan nasional.
Padahal, pada praksisnya, kebijakkan politik rezim Orde Baru justru memberikan kesempatan
manipulasi politik dari kaum birokrat terhadap rakyat Indonesia. Rakyat dipolitisasi untuk
menerima depolitisasi mereka itu tanpa sikap kritis.
Dalam suhu politik demikian, pada rakyat terjadi hegemoni makna besar – besaran
sebagai hidden purpose bagi terejawantahnya politik developmentalis. Rezim Orde Baru
melakukan indoktrinasi politik secara massif. Pemerintah menekankan kepatuhan total terhadap
UUD 1945 dan Pancasila. Politik kambing hitam pun diimplementasikan. Rakyat yang menolak
sistem developmentalis dicap subversif dan Neo-PKI dan sebab itu harus dienyahkan.
Pemerintah membatasi bahkan menutup rapat - rapat akses rakyat untuk turut terlibat dalam
2
Pertumbuhan ekonomi yang begitu cepat dan dashyat di Asia Timur membuat banyak ahli ekonomi
meramalkan bahwa pada abad ke – 21, bukan Eropa atau Amerika Utara sebagai ‘tanah terjanji’ tetapi bangsa Asia
Timur. Para ahli tersebut antara lain Hamisch McRae (1995) dan John Naisbitt (1996). Hamisch berbicara
mengenai abad ke – 21 sebagai abad Asia dan John Naisbitt mengulas tentang ‘renaisans Asia.’ Dalam tulisan
tersebut, Indonesia sebagai salah satu negara Asia yang diramalkan akan menjadi ‘pusat – pusat kemakmuran’
dengan dominasi atas politik, ekonomi, dan kebudayaan dunia. Bdk. Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi
(Jakarta: Kanisius, 2000), hlm. 197.
3
Muhammad A. S. Hikam, Politik Kewarganegaraan, (Jakarta, Erlangga, 1999), hlm, 3.
4
Misalnya, pelarangan dan pembatasan terhadap bekas partai terlarang (PKI, Masyumi, PSI), Mantan
Tapol/Napol, Kelompok Islam fundamentalis, dan warga negara nonpribumi, khususnya Etnis Cina. Ibid, hlm. 5 – 6.

3|Page
pengambilan kebijakan publik. Dengan demikian, penegakan demokrasi prosedural dan
demokrasi substansial belum tercapai.
Namun, Soeharto rupanya tidak menyadari bahwa euforia politik developmentalis
membuat massa sulit dikendalikan secara politis. Rakyat mulai menyadari berbagai ketimpangan
tesebut dan mulai berani mengambil jarak dari Soeharto. Kebijakan politik rezim Orde Baru
mulai dipertanyakan. Dari kaum elite politik, pada awal 1990 – an, Gus Dur dan Amien Rais
mulai terang – terangan mendorong perlunya suksesi kepemimpinan baru.5 Sayangnya, tancapan
kuku kekejaman Soeharto menyebabkan anjuran itu tidak mendapatkan tanggapan signifikan.
Meskipun demikian, seruan itu mulai membangkitkan semangat untuk berjuang melawan
marginalisasi rakyat oleh praksis politik developmentalis. Perjuangan tersebut mulai membara
lewat munculnya krisis moneter yang menghancurkan perekonomian Indonesia.
Awal Juli 1997, krisis moneter melanda Thailand. Krisis tersebut dengan cepat mulai
menggoyang nilai tukar dari mata uang negara tetangga termasuk Indonesia. Nilai tukar Rupiah
terus melemah sampai titik mengkhawatirkan. Akibatnya, perekonomian Indonesia terus
memburuk bahkan mencapai titik nadir.6 Pada 15 Januari 1998, penandatanganan kerja sama
dengan Dana Moneter Internasional (IMF) menghantar Indonesia pada tendensi ekonomi liberal.
Sungguh ironis. Politik developmentalis yang memuliakan kejayaan ekonomi Indonesia kini
harus bertekuk lutut dalam balutan krisis kian memarah. Politik developmentalis itu telah gagal.
Kejayaan ekonomi sebagai legitimasi pemerintahan Orde Baru tidak mampu berbuat apa – apa
lagi di balik hancurnya perekonomian Indonesia. Dengan demikian, kepercayaan rakyat terhadap
Soeharto pun melemah bahkan runtuh. Dan pada hemat saya, inilah salah satu pemantik utama
munculnya suara – suara kritis mahasiswa jaman Orde Baru.
Pada mulanya, suara protes para mahasiswa dalam kelompok – kelompok kecil hanyalah
sebentuk suara keprihatinan terhadap morat – maritnya perekonomian Indonesia dan pelbagai
dampaknya. Dalam perkembangannya, jumlah partisipan kian membludak. Sejak Januari 1988,
aksi – aksi tersebut mulai terorganisir dalam kampus dan melibatkan para alumni. 7 Tuntutan
mereka jelas. Pemerintah harus menurunkan harga barang, menghapuskan monopoli dan KKN,
5
Nur Achmad dan Pramono A. Tantowi, Muhamadiyah Digugat, Reposisi Di Tengah Indonesia yang
Berubah, (Jakarta: Kompas, 2000), hlm. 83 – 108.
6
James Luhulima, op. cit, hlm. 80 – 82.
7
Pada tanggal 16 Januari 1988, terjadi aksi keprihatinan di Kampus Institut Teknologi Bogor, 25 Februari
aksi yang sama juga terjadi Kampus Salemba, Universitas Indonesia melibatkan para dosen, alumni dan para
mahasiswa. Di Yogyakarta, mahasiswa universitas Gajah Mada mulai membakar dan mengarak boneka kertas
Soeharto untuk menuntut pengunduran diri Soeharto. James Luhulima, op. cit, hlm. 83-85.

4|Page
dan mengadakan suksesi kepemimpinan nasional.8 Jelas bahwa para mahasiwa menginginkan
adanya reformasi politik dan ekonomi. Reformasi ekonomi harus dipenuhi dengan
menyelesaikan krisis moneter. Sedangkan reformasi politik harus ditandai dengan pengunduran
diri Soeharto.
Selanjutnya, karena tuntutan itu terkesan didiamkan, aksi keprihatinan mahasiswa mulai
berubah menjadi demonstrasi besar – besaran. Di dalamnya, tak jarang terjadi bentrokan fisik
antara mahasiswa dan aparat keamanan. Penculikan misterius terhadap para aktivis dan
mahasiswa menjadi realitas tak terbantahkan. 9 Lebih sedih lagi, 12 Mei 1998, merupakan awan
kelabu bagi sejarah politik Indonesia. Empat mahasiwa tewas dan belasan mahasiswa Trisakti
lainnya terluka parah terkena tembakan aparat keamanan.10
Penculikan mahasiswa aktivis dan tewasnya empat mahasiswa Trisakti itu tidak
meluruhkan semangat para mahasiswa untuk mundur dari perjuangan melawan rezim Orde Baru.
Para mahasiwa bahkan semakin menyatukan tekat secara kolektif untuk gencar mendesak
pengunduran diri Soeharto dari tahta kepresidenan NKRI. Meskipun demikian, ‘kelabu Trisakti’
turut menjadi penyebab utama kerusuhan massal yang berbau rasial pada keesokan harinya.
Penjarahan toko, penyiksaan dan pemerkosaan perempuan etnis Cina kian memperkeruh
suasana. Kelihatannya, amarah publik terhadap kekejaman pihak militer dialihkan pada
‘pengkambinghitaman’ etnis Cina.11
Dalam suhu politik kian memanas, kewibawaan politik Soeharto pun hampir raib tertelan
arus demonstrasi mahasiswa yang mencapai titik kulminasinya lewat ‘pendudukan’ gedung MPR
oleh puluhan ribu mahasiswa, Senin, 18 Mei 1998. Pihak militer mulai kewalahan untuk
menerapkan kekerasan fisik dan psikis karena praksis demontrasi yang ‘menasional’ mulai dari
level akar rumput. Kewalahan tersebut semakin diperparah oleh adanya friksi – friksi politis
dalam tubuh pihak militer itu sendiri.

8
Ibid, hlm. 84
9
Para aktivis dan mahasiswa yang diculik antara lain; Desmond J. Mahesa, Pius Lustrilanang (sekarang
anggota DPR-RI), Haryanto Taslam, Andi Arief, Herman Hendrawan, Rahardja Waluyo Djati, Nezar Patria, Feizol
Reza. Ada dugaan pasukan KOPASSUS terlibat dalam penculikan tersebut. Ibid, hlm 87 – 108.
10
Empat mahasiswa Universitas Trisakti yang tewas tertembak itu adalah Elang Mulia Lesmana (Fakultas
Teknik Sipil dan Perencanaan Jurusan Arsitektur), Hendrawan Sie (Fakultas Ekonomi Jurusan manajemen), Heri
Hartanto (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin, Hafidhin Alifidin (Fakultas Teknik Industri Jurusan Mesin). Ibid,
hlm. 112.
11
Sindhunata menjelaskan secara mendetail dan menukik tentang mekanisme kambing hitam terhadap
etnis Tionghoa sesudah ‘kelabu Trisakti.’ Sindhunata, Kambing Hitam, Teri Rene Girard (Jakarta: Gramedia, 2006),
hlm. 355 – 404.

5|Page
Sementara itu, gagasan dan perjuangan reformasi yang dilancarkan para mahasiswa telah
mendapat dukungan dan tanggapan luas dari para akademisi maupun tokoh nasional semisal
Nurcholish Madjid dan Gus Dur. Bahkan Harmoko, ketua MPR dan ketua Partai Golkar saat itu,
yang juga ‘murid dan pengikut setia’ Soeharto mulai mendesak Soeharto untuk mundur. Namun,
pukulan telak terhadap Soeharto terletak pada penolakan para menteri untuk dilibatkan lagi
dalam Reshuffle kabinet. Padahal, reshuffle itu merupakan solusi satu – satunya dari Soeharto
untuk menyelesaikan krisis moneter dan kisruh politik. Apalagi mayoritas anggota MPR – DPR
yang semula ‘getol’ melegitimasikan kebijakan Soeharto kini berbalik arah. Mereka malahan
menjadi salah satu penganjur Soeharto untuk mundur. Pada tahap ini, Soeharto mulai merasa
ditinggalkan.
Kamis, 21 Mei 2010, pukul 09. 06. Indonesia tersentak. Rasa tak percaya menyeruak.
Tak ada seorang pun sebelumnya memprediksi bahwa Soeharto harus menyerah begitu cepat dan
tragis. Namun, itulah kenyataannya. Soeharto menyatakan berhenti dari jabatan sebagai presiden
RI. Itu berarti bahwa perjuangan para mahasiswa sampai titik darah penghabisan untuk menuntut
reformasi politik dan ekonomi telah membuahkan hasil. Dengan kata lain, para mahasiwa telah
membuktikan tanggung jawabnya sebagai kaum muda harapan bangsa dengan berdiri pada garda
terdepan perjuangan melawan rezim otoriter Soeharto. ‘Kemartiran’ mahasiwa telah menyirami
bahkan memupuk perjuangan menuju redemokratisasi NKRI sesuai amanah Pancasila dan UUD
1945.
Perjuangan para mahasiswa itu mengetengahkan gerakan perlawanan terhadap
Demokrasi Pancasila ala Soeharto dan berupaya mereformasi politik Indonesia untuk mencapai
ideal demokrasi yang diharapkan. Karena itu, perjuangan para mahasiswa tersebut merupakan
gerakan pro demokrasi yang sangat ampuh mematikan deformasi dan politik otoritarian.
Meskipun demikian, pada tahap ini, perlu dipahami bahwa terdapat dua aliran pro demokrasi
dalam koridor perpolitikan Indonesia.12
Pertama: aliran kultural. Dalam aliran ini, terjadi penekanan pada pembudayaan budaya
demokrasi. Sistem politik tidak menjadi proritas. Sistem itu tidak dipersoalkan. Aliran ini
berkonsentrasi pada penanaman dan pemakaian prosedur demokratis dalam pengejawantahan
sistem politik. Mekanisme demokrasi perlu dicapai dan dilaksanakan oleh seorang penguasa

12
Nur Achmad dan Pramono A. Tantowi, op. cit, hlm. 103 – 105.

6|Page
dalam menggunakan kekuasaannya. Akibatnya, deformasi politik lebih diartikan sebagai
penyelewengan terhadap prosedur demokrasi dan bukan kegagalan politik seorang penguasa.
Kedua;aliran struktural. Aliran ini berkebalikan dengan aliran kultural. Ideal aliran
struktural terletak pada penanaman fungsi evaluatif terhadap sistem politik yang sementara
berlaku. Keberhasilan sistem politik ditakar melalui penilaian evaluatif terhadap tingkat
pengembangan dan pencerapan aspirasi masyarakat. Imbasnya, dalam sebuah kenyataan
deprivasi politik, sistem yang berlaku di negara tersebut harus dirombak. Kegagalan dalam
pemerintahan selalu ditafsirkan sebagai ketidakbecusan pemerintah (penguasa). Demokratisasi
terletak pada kelembagaan institusi politik bukan pada penegakan prosedur demokratis.
Dari dua aliran di atas, ditemukan adanya rupa dualisme pro demokrasi dalam perjuangan
para mahasiwa era Orde Baru. Para mahasiswa menuntut pemberlakuan prosedur demokratis
lewat demontrasi, perlawanan terhadap militerisasi dan dialog dengan pelbagai elite politik untuk
mencapai kesepakatan bersama. Ada perlawanan terhadap pelecehan budaya demokrasi yang
direduksi. Inilah rupa aliran kultural para mahasiswa saat itu. Sebaliknya, rupa aliran sruktural
menyata lewat pengumandangan suksesi kepemimpinan nasional. Suksesi ini bertolak dari
asumsi bahwa krisis ekonomi dan kisruh politik adalah bukti dari kegagalan Soeharto memimpin
NKRI.
Dalam dualisme itu, kiprah politis mahasiwa pro demokrasi dalam reformasi politik telah
menjadi kenyataan sejarah. Para mahasiwa mempertanggungjawabkan identitas dirinya sebagai
kaum muda harapan bangsa yang tanggap, tangguh, ulet dan ‘berhati Indonesia.’ Para korban,
baik penculikan maupun penembakan, tak salah lagi merupakan ‘martir demokrasi.’ Sebab itu,
patut disesalkan bahwa pengorbanan tersebut ternyata belum cukup untuk menghantar bangsa
Indonesia mencapai ideal demokrasi sesungguhnya. Karena itu, hemat saya, tuntutan para
mahasiswa (yang merupakan ideal demokrasi mereka) ketika melawan rezim Orde Baru
sepantasnya digali, diaktualisasikan kemudian diinternalisasikan untuk menunjang pencarian
ideal demokrasi Indonesia yang selalu tertunda.

3. Ketertundaan Ideal Demokrasi di Indonesia; Sebuah Kenyataan Menyejarah!


Berkaca pada tinjauan historis perjalanan RI selama 65 tahun, kita bisa menemukan
bahwa ‘istilah demokrasi’ dalam pemerintahan Indonesia adalah bualan semantis belaka.
Prosedur demokratis sering terpinggirkan oleh merealitanya politik egologis dalam setiap

7|Page
pergantian takhta kepresidenan RI.13 Politik egologis tampak lewat kebijakan politik setiap
presiden yang cenderung menguntungkan diri sendiri dan kelompoknya. Dalam politik ini,
‘tujuan menghalalkan cara’ mengaktual dan sedihnya diberi status infalibel. Pengaksentuasian
kebijakan pro rakyat sebagai substansi demokrasi hanyalah angin lalu. Jika demikian, politik
egologis selalu berada dalam tataran rasionalitas instrumental dan sebab itu menghancurkan
ruang publik politis, tempat rakyat bisa melibatkan diri secara aktif dalam pengambilan setiap
kebijakan publik.

Karena itu, perpolitikan Indonesia tak salah lagi telah termanipulasi oleh rayuan gombal
politik egologis. Soekarno, dalam Demokrasi Terpimpin dan politik Marhaenis telah
menghasilkan pelbagai kebijakan politik yang menyengsarakan rakyat. Dengan akses kekuasaan
terhadap MPRS, Soekarno mengeluarkan ‘trisula Nasakom’ yang memaksakan kebijakan
politiknya tanpa pengimplementasian demokrasi prosedural. Dengan cara tersebut, terbaca jelas
bahwa Soekarno telah memaksakan kultus politik individual. Akibatnya, hanya presiden (dan
pihak eksekutif) sajalah yang harus menjadi positivikator dan legitimator hukum. Jelas bahwa
periferalisasi ruang demokratis dalam pemerintahan Soekarno itu menihilkan akses terhadap
pengambilan keputusan publik.

Begitupun Soeharto. Penerapan politik developmentalis lebih jauh lagi


memproklamasikan bercokolnya ‘republik diam.’ Rezim otoritarian Orde Baru meniscayakan
pemantangan kritik – kritik kritis rakyat sebagai kontrol terhadap kinerja pemerintahan. Padahal,
sebuah ideal demokrasi membutuhkan kontrol politik untuk memperhatikan apakah terjadi
kesenjangan antara penerjemahan ideal tersebut dengan kenyataan di lapangan politik Indonesia.
Sayangnya, Soeharto justru menjalankan indoktrinasi besar – besaran terhadap rakyat. Sungguh
ironis. Ketika rakyat berpaling pada Soeharto karena bencana ekonomis dan kisruh politik,
Soeharto kembali menyodorkan politik developmentalis radikal. Politik massa mengambang
secara eksplisit mendepolitisasi rakyat tanpa bisa dicegah. Apalagi, terdapat dwifungsial ABRI
yang ampuh untuk memaksakan terejawantahnya politik individual. Pihak militer terlibat ‘aktif’
dalam politik di samping juga sebagai pembela ‘tunggal’ pertahanan dan keamanan RI.
Peralihan kepada Demokrasi Pancasila a la Soeharto justru semakin menjerumuskan bangsa
dalam ‘lubang hitam’ otoritarian pemerintahan Indonesia.

13
Sindhunata, op. cit., hlm. 74.

8|Page
Selanjutnya, Indonesia pantas bersyukur karena depolitisasi rakyat justru menggampar
Soeharto untuk turun secara tragis dari tahta kepresidenan yang ‘kudus.’ Namun, ketragisan
nasib Soeharto justru menimpakan shock politics dalam pemerintahan transisi Habibie. Hal ini
bisa terjadi karena Habibie belum siap untuk menerima tampuk pemerintahan yang dialihkan
kepadanya. Karena itu, kebingungan politik merupakan konsekuensi tak terhindarkan.
Kebingungan tersebut bisa merealita karena sukarnya melepaskan diri pengalaman traumatis
akibat rezim Orde Baru, pemerintahan yang belum sepenuhnya ‘bersih’ dari mekanisme politik
developmentalis, dan masih samarnya model demokrasi yang pantas diterapkan setelah politik
massa mengambang Soeharto. Reformasi politik belum menjadi jaminan untuk menemukan ideal
demokrasi NKRI. 14

Berkaca pada realitas di atas, ketidakpercayaan rakyat Indonesia terhadap elite politik
kian menjadi – jadi. Rakyat merindukan ‘tokoh luar politik’ yang dipercaya mampu
menyelesaikan semua permasalahan sejak tumbangnya Orde Baru. Hal ini menjadi salah satu
alasan terpilihnya Gus Dur sebagai presiden RI IV. Pada awalnya, Gus Dur mampu
mendesakralisasi takhta kepresidenan yang terkesan ‘angker.’ Namun, karena legitimasi
tradisional yang dimilikinya, sering Gus Dur mengeluarkan pernyataan kontroversial dan
kebijakan over legitimacy. Karena ketokohannya, rakyat ‘tak sampai hati’ mengeritik kebijakan
politiknya. Kiprah politis rakyat terjungkal oleh penghormatan pleonastis kepada sosok Gus Dur
sebagai tokoh dan budayawan nasional yang moderat dan inklusif – pluralis.

Namun, Gus Dur akhirnya harus mundur atas desakan teman – temannya. Sesuai
konstitusi, wakil presiden Megawati menggantikan Gus Dur. Rakyat mengharapkan Megawati
untuk menyelesaikan segala persoalan warisan Orde Baru dan masa transisi. Saat – saat awal,
Megawati cukup menjanjikan dengan beberapa kebijakan politik yang pro rakyat. Dalam
perkembangan selanjutnya, isu gender menjelma sebagai batu sandungan bagi Megawati untuk
mengimplementasikan pelbagai program pemerintahannya. Megawati dinilai terlalu ‘lembut’
dalam menghadapi goyahnya kesatuan bangsa karena gerakan sektarian dan fundamentalisme
keagamaan .15 Tentu saja kelembutan berpolitik menghambat ketertundaan demokrasi di
Indonesia. Ini menjadi indikator bahwa politik patriarkis telah membatasi bahkan
14
Untuk mengetahui selengkapnya tentang masa transisi setelah rezim otoritarian Soeharto, pembaca bisa
mendapatkan ulasan yang singkat, padat dan menarik dari Denny J. A (sekarang menjabat sebagai Pimpinan
Lingkaran Survei Indonesia (LSI). Lih. Denny J. A, Jatuhnya Soeharto dan Transisi Demokrasi Indonesia,
(Yogyakarta: LKIS, 2006), hlm. 26 – 119.

9|Page
menghancurkan kredibilitas politik Megawati.16 Sebab itu, bukanlah hal aneh jikalau dalam
pergelaran pemilu 2004, Megawati harus merelakan tampuk kepresidenan pada Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) sebagai presiden RI VI.

Lewat kajian historis, pemilu 2004 menandai sejarah baru dalam pesta demokrasi di
Indonesia. Untuk pertama kalinya, rakyat Indonesia berpartisipasi secara aktif dan langung baik
dalam pemilihan legislatif (DPRD, DPD, DPR – RI) maupun eksekutif (presiden dan wakil
presisen). Sebab itu, secara mayoritas, terpilihnya SBY dan Jusuf Kalla (JK) menggembirakan
rakyat Indonesia. Rakyat mengharapkan duet SBY – JK mampu memberantas KKN,
memperbaiki kehidupan ekonomi negara dan menyelesaikan pelbagai ancaman terhadap
persatuan dan kesatuan nasional.

Pada mulanya, duet SBY – JK pun menyihir rakyat lewat pelbagai kebijakan politiknya.
Komitmen 100 hari untuk menggalakan pembangunan nasional mendapat dukungan luas.
Namun, kenyataan berkisah lain. Program itu rupanya (hampir) merupakan gertak sambal belaka.
KKN dan persoalan ekonomi tetap menggurita. Memang SBY diakui ketika berhasil
menyelesaikan persoalan GAM – RI. Namun, konflik SARA dan maraknya gerakkan
fundamentalis justru membenamkan Indonesia dalam polemik integrasi kebangsaan. Ironisnya,
dalam realitas kian runyamnya persoalan itu, SBY menerapkan politik citra. Pemerintah sering
membangun mekanisme pembelaan diri dalam dunia simulakrumitas politik. Pembenaran
kebijakan subjektif itu cenderung meniscayakan peminggiran ideal diskursus yang sehat, jujur,
adil, dan demokratis dalam ruang publik.

Dalam ‘dogma politik citra’ itu, SBY terpilih kembali menjadi presiden (2009 – 2014).
Menggandeng Boediono, spirit ‘lanjutkan’ rupanya mengena di hati rakyat. Padahal, dalam
pemilu 2009, jelas bahwa banyak elite politik mempraktekan politik citra. Di dalamnya,
keberhasilan dan kegagalan ‘sang tokoh’ dipolitisasi untuk mengkonstruksi ketokohan tokoh
15
Gerakan sektarian dan fundamentalisme keagamaan tersebut menyata lewat munculnya Gerakan Aceh
Merdeka (GAM), Republik Maluku Selatan (RMS), Pemboman di Legian Bali, konflik Poso dan aneka konflik
SARA lain. Dalam menghadapi ancaman kebangsaan tersebut, pemerintah Megawati dinilai terlalu berhati – hati
dalam mengambil keputusan solutif. Pada hemat penulis, kehatihatian tersebut berakar pada trauma politik yang
dihadapi yakni ketika Timor – Timur melepaskan diri dari NKRI.
16
Namun, dalam tahap ini, saya kurang sependapat dengan opini yang mengatakan bahwa isu gender
dalam karier politik Megawati diperanakan sejak pemerintahannya. Padahal, dalam terang politik patriarkis dan
realitas kisruh dalam tubuh Partai Demokrasi Indonesia 1996, terbaca jelas bahwa isu tersebut telah ‘lahir’ terlebih
dahulu sejak rezim otoritarian Soeharto. Bdk. Sindhunata, Sakitnya Melahirkan Demokrasi (Jakarta: Kanisius,
2000), hlm. 51 – 89.

10 | P a g e
tersebut. Keberhasilan adalah keharusan yang patut dipublikasikan. Sebaliknya, kegagalan
adalah ‘malaikat pencabut nyawa’ yang harus ditakuti. Hal ini pun berlanjut dalam pemerintahan
SBY. Tak terbantahkan bahwa pemerintah sibuk membangun citra diri di balik tuntutan terhadap
penyelesaian persoalan negara. Karena itu, segala kritik – kritik kritis diartikan sebagai argumen
ad hominem terhadap diri, kelompok atau partai politik yang menaunginya. Selain itu, secara
aktual terjadi eufemisasi politik berupa penyembunyian substansi persoalan. Pada tempat ini,
tantangan bernegara bak ‘raksasa Borobudur’ dapat dibahasakan sebagai ‘dedemit kecil’ belaka.
Kelaparan menghebat hanya diceritakan sebagai rawan pangan yang tak perlu dikhawatirkan.

Politik citra inilah yang menghambat penegakan demokrasi substansial dan demokrasi
prosedural di Indonesia. Akibatnya, banyak persoalan politik, ekonomi, dan sosial sering tidak
diperhatikan oleh pemerintah. Kalau pun ditangani, persoalan itu tidak diselesaikan sampai
tuntas. Sementara itu, konstruksi ketokohan tersebut semakin menyata dalam ‘pematian tokoh –
tokoh’ kritis lewat iming – iming jabatan struktural. Hal ini patut disayangkan karena kematian
tersebut justru memperlemah kaum oposan politik yang sangat dibutuhkan dalam sebuah negara
demokratis modern. Sampai pada tahap ini, politik citra memperpanjang ‘litani air mata’ rakyat
yang telah dan sedang (serta akan?) terpasung dalam penantian ideal demokrasi Indonesia yang
tak bertepi.

Berakar
pada kajian historis tersebut, tak salah lagi ditemukan bahwa aksentuasi politik setiap presiden
sering tidak sesuai dengan prosedur demokrasi yang sehat. Dalam kebijakan politiknya,
penekanan pada hasil sering melecehkan proses. Sejak era Marhaenisme Soekarno, rakyat
sebagai substansi demokrasi sering dilihat sebagai hambatan. Sebab itu, pemerintah sering
meminggirkan suara rakyat dalam sebuah diskursus untuk mencapai suatu kesepakatan publik.
Sedihnya, dalam politik dagang sapi itu, rakyat semakin menderita karena makin beratnya
pelbagai krisis semisal beban ekonomi dan sosial. Tidak heran bahwa rakyat yang berputus asa
sering menghadapinya lewat prosedur masokistis. Rakyat bisa saja melakukan kejahatan
irasional dengan menghambakan dirinya dalam kekuasaan naluri dan kekuatan destruktif yang
ada dalam dirinya. Rasionalitas diskursif sudah tidak diperhatikan lagi. Dan hemat saya, pelbagai
tindakan kriminalitas di Indonesia merupakan salah satu bahaya manifest dari masokisme rakyat
akibat belum tercapainya ideal demokrasi di Indonesia.

11 | P a g e
Belum tercapainya ideal demokrasi tersebut melukiskan ketertundaan tersebut sebagai
sebuah kenyataan menyejarah. Sesuai kajian di atas, terutama dalam terang politik
developmentalis, dapat disimpulkan berbagai indikator pendukung kenyataan itu.

Pertama: masih rapuhnya solidaritas kebangsaaan. Sejak gaung kemerdekaan


dikumandangkan sejak 17 Agustus 1945, gerakan sektarian, kerusuhan SARA dan pelbagai
tindak kriminalitas lainnya telah mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Ancaman tersebut
telah menyita perhatian pemerintah sehingga penegakan ideal demokrasi Indonesia cenderung
dipinggirkan. Apalagi ancaman ini mendapat solusinya dalam politik stabilitas. Rakyat pastinya
semakin tertekan karena periferalisasi demokrasi dalam menangani ancaman itu.

Kedua: bercokolnya politik kambing hitam dalam implementasi kebijakan pemerintahan.


Hal ini paling tampak dalam politik otoritarian Orde Baru dan Politik Citra era SBY. Dalam
politik ini, pemerintah sering membangun mekanisme pembelaan diri terhadap segala
ketimpangan yang pernah dilakukannnya. Mekanisme tersebut berujung pada pemindahan
kesalahan pada pihak lain (terutama rakyat). Dengan demikian demokrasi prosedural tak tercapai
karena terjadi diskursus tidak jujur dan tidak sehat. Hemat saya, pemindahan tersebut juga
disebabkan oleh kesalahkaprahan sosiologi politik yakni prejudice tak beralasan terhadap
individu atau kelompok lain. Kesalahan sosiologis itu menimbulkan praduga – praduga politik
dan kultural yang menghambat laju dialog untuk mencapai sebuah kesepakatan. Dan, kesalahan
tersebut nyata dalam kekerasan terhadap etnis Tionghoa pada kerusuhan 1998. Etnis Tionghoa
dituduh bertanggungjawab atas cengkeraman krisis moneter yang menyengsarakan rakyat.

Ketiga: depolitisasi masyarakat secara besar – besaran untuk melancarkan program


pemerintahan. Politik massa mengambang (floating mass) dan era Demokrasi Terpimpin
menandai depolitisasi tersebut. Pemerintah melakukan indoktrinasi sebagai hidden purpose
penerimaan segala kinerja pemerintah tanpa sikap kritis (taken for granted). Dalam era Orde
Baru, penataran P4 (Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) menjadi senjata ampuh
bagi pembungkaman kritik – kritik kritis masyarakat. Warga negara yang baik adalah warga
negara yes – men yang patuh melaksanakan program pemerintah. Rakyat pantang untuk terlibat
dalam pengambilan keputusan publik. Politik adalah miliknya ‘kaum berdasi.’ Pada titik ini,
masyarakat evaluatif dan ‘masyarakat legislatif’ adalah kesia – siaan belaka. Jika demikian,

12 | P a g e
depolitisasi ini telah menghambat terciptanya prosedur demokratis dalam ranah berbangsa dan
bernegara.

Keempat: tendensi ‘rasionalitas tujuan’ dalam kinerja pemerintahan. Selama ini, terdapat
kecenderungan pemerintah untuk mencapai hasil lewat peminggiran proses. Wacana dan
persuasi dalam diskursus yang sehat tampak sebagai halangan. Tentunya. politik developmentalis
tidak terlepas dari hal ini. Pemerintah telah meminggirkan bahkan mengenyahkan prosedur
demokratis dalam mengaplikasikan program pemerintahannya. Seturut paradigma Machiavellis,
kaidah – kaidah moral sering diabaikan dalam pengambilan dan pelaksanaan kebijakan publik.
‘Untuk rakyat’ sebagai substansi demokrasi adalah halangan. Penekanan pada hasil itu
merupakan manifestasi politik egologis dalam setiap periode pemerintahan. Rasionalitas tujuan
mematahkan perjuangan untuk mencapai demokrasi ideal karena mengkhianati salah satu unsur
konstitutif demokrasi yakni prosedur demokratis dalam setiap pengambilan kebijakan
pemerintah.

Kelima: lemahnya kontrol terhadap pemerintah. Hemat saya, kekurangan kontrol tersebut
adalah salah satu alasan kausal realitas ketertundaan ideal demokrasi Indonesia. Dengan pelbagai
macam manipulasi politik, pemerintah berusaha memperlemah kedudukan dan wibawa kaum
oposan politik. Sementara itu, berbagai insitusi non – struktur seringkali dibungkam.
Transformasi solidaritas pra- politis menjadi politis untuk memperbaiki ketimpangan pemerintah
dihambat sejak awal. Pemberdayaan ‘politik akar rumput’ terkesan disepelekan. Kemandirian
berpolitik rakyat berkualifikasi kristis – rasional tetap tak menjadi skala prioritas. Rakyat tidak
mempunyai akses langsung terhadap pengambilan kebijakan publik. Pemerintah memantangkan
suara kritis rakyat. Rakyat harus berkonsentrasi sepenuhnya pada pembangunan nasional.
Akibatnya, ketertundaan demokrasi lalu diterima ‘apa adanya’ tanpa mempertanyakan ‘ada
apanya’ di balik setiap implementasi kebijakan pemerintahan.

Pelbagai indikator kausal di atas kembali mengafirmasi bahwa ketertundaan ideal


demokrasi Indonesia telah menjadi sebuah kenyataan menyejarah. Ini bisa terjadi karena
aksentuasi politik setiap periode pemerintahan seringkali berbeda karena terkerangkeng jeruji
keangkuhan idealisme politik subjektif. Bila dicermati, ketertundaan tersebut menuai ancaman
serius dalam dunia perpolitikan NKRI. Ancaman itu tampak dalam kemungkinan skeptisisme

13 | P a g e
politik di Indonesia. Rakyat mulai meragukan kredibilitas pemerintah serta upayanya untuk
mencapai demokrasi substansial dan prosedural.
Selanjutnya, keraguan itu bermuara pada keyakinan bahwa tidak pernah akan tercapai
ideal demokrasi di Indonesia. Imbasnya, deprivasi nilai politik dan demokrasi akan kian merebak
di mata rakyat. Politik itu kotor. Demokrasi hanyalah instrumen penyengsara rakyat. Dalam
situasi demikian, rakyat cenderung mencari solusi bermatrakan ‘rasionalitas tujuan’ yang
diskriminatif, represif, dan destruktif. Prosedur demokratis lalu menjadi ‘pengalaman traumatis’
yang perlu dijauhi. Rakyat Indonesia pun pada akhirnya bernaung ria dalam rimbunnya pohon
kemalasan berdemokrasi.
Kemalasan berdemokrasi pada gilirannya berujung pada sesuatu yang patut ditakuti.
Pencarian upaya solutif untuk mencapai ideal demokrasi menjadi impoten karena skeptisisme
politik. Padahal, ketakutan tersebut sama sekali tidak beralasan. Gambaran ideal demokrasi itu
sesungguhnya dapat ditemukan. Melalui penggalian terhadap nilai – nilai kemartiran para
mahasiwa Orde Baru, hemat saya, terdapat pelbagai solusi kritis - komprehensif untuk
menyelesaikan realitas ketertundaan ideal demokrasi Indonesia.

4. Ideal Demokrasi Indonesia menurut Mahasiswa era Orde Baru


Kiprah politis mahasiwa Orde Baru telah menorehkan sejarah dalam perpolitikan
Indonesia. Lewat perjuangan kolektif tak kenal lelah, para mahasiwa dapat menumbangkan
menara gading politik otoritarianisme Soeharto. Praktek normalisasi kampus tidak mampu
menghambat suara kritis para mahasiswa sebagai cendekiawan masa depan bangsa. Kecintaan
terhadap bangsa dan negara Indonesia menjadi skala prioritas meskipun nyawa harus
dipertaruhkan. Partisipasi politis itu serentak membangkitkan semangat reformasi dalam sanubari
rakyat Indonesia yang selama ini dibungkam oleh lakon depolitisasi massif rezim Orde Baru.
Telur ‘republik bisu’ akhirnya dapat dipecahkan.
Kemartiran mulia mahasiswa Orde Baru itu adalah blessing in disguise bagi lahirnya nilai
– nilai ideal demokrasi Indonesia. Nilai – nilai tersebut dapat ditemukan melalui pengkajian
terhadap tuntutan – tuntutan mahasiswa terhadap realitas deprivasi politik dan periferalisasi
demokrasi demi pemenuhan politik subjektif. Pelbagai tuntutan mahasiswa berujung pada
tuntutan keharusan reformasi politik dan reformasi ekonomi. Reformasi tersebut bertujuan untuk

14 | P a g e
menjawabi kerinduan rakyat Indonesia untuk mencapai ideal demokrasi itu seturut Pancasila dan
UUD 1945.
Tak dapat dibantah bahwa demagogisasi dalam politik otoritarian Soeharto telah
menimbulkan periferalisasi prosedur demokratis. Hal ini bisa terjadi karena menancapnya dogma
politik egologis dalam pemerintahan. Seperti yang dikatakan sebelumnya, politik ini bertendensi
pada pengutamaan kepentingan diri dan kelompok. Karena itu, tak heran terjadi pembatasan
suara – suara kritis yang menentang segala kebijakan pemerintah. Kesejahteraan rakyat bukan
menjadi prioritas utama. Aspirasi rakyat dibatasi di balik alasan dan tujuan untuk
menghindarkan rakyat dari manipulasi politik. Padahal, pembatasan itu justru membuka kran
manipulasi pihak elite pada rakyat yang sudah terindokrinasi. Apalagi manipulasi itu semakin
diperparah oleh hebatnya jeratan krisis moneter. Dalam carut marutnya politik itu, perekonomian
Indonesia mencapai titik nadir secara tragis. Politik egologis Soeharto telah gagal dalam
mewujudkan kesejahteraan rakyat Indonesia lahir dan batin.
Deprivasi politik dan ekonomi tersebut kemudian membangkitkan mahasiswa era Orde
Baru untuk melawan politik developmentalis sampai titik darah penghabisan. Para mahasiswa
menyerukan perlunya reformasi politik dan reformasi ekonomi di Indonesia. Dan hemat saya,
tuntutan reformasi tersebut masih relevan untuk menyelesaikan carut marutnya perpolitikan
Indonesia sampai saat ini. Pematahan politik egologis dalam ranah politik dan penegakan
mekanisme demokrasi dalam perbaikan ekonomi negara itu dapat menjawabi realitas
ketertundaan ideal demokrasi di Indonesia.

Reformasi Politik Indonesia: Pematahan Politik Egologis!


Berkaca dari tuntutan reformasi politik para mahasiwa era Orde Baru, dan membacanya
dalam konteks perpolitikan Indonesia sampai sekarang, maka ditemukan beberapa pikiran solutif
- kompehensif untuk mencapai ideal demokrasi Indonesia.
Pertama: Perlunya suksesi kepemimpinan nasional Indonesia secara demokratis
untuk mendapatkan ‘pemimpin dan birokrat berhati rakyat.’ Para mahasiwa telah berjuang
habis – habisan untuk menumbangkan Soeharto. Mereka berhasil mendesakralisasi kekuasaan
Soeharto yang selama ini terkesan angker. Selain itu, tuntutan suksesi itu menyiratkan urgensitas

15 | P a g e
rebirokratisasi di Indonesia. Birokrat ‘muak KKN’ sangat diperlukan untuk mewujudkan clean
and good governance.
Dalam konteks sekarang, fenomena pencitraan diri dan kartel politik telah menjauhkan
impian para mahasiswa. Tongkat estafet kepemimpinan sejak Mei 1998 ternyata belum mampu
menerjemahkan ideal pemimpin yang digulirkan para mahasiswa. Belum ada satu pun pemimpin
pasca reformasi yang berhasil mengeluarkan Indonesia dari jeratan KKN yang berkepanjangan.
Para pemimpin sibuk untuk mencari pembenaran diri di balik penderitaan rakyat Indonesia.
Sementara itu, praktek KKN dari kaum birokrat kian menjadi – jadi tanpa dapat dicegah.
Persoalan ekonomi, politik dan sosial terus berlarut – larut tanpa kepastian. Rakyat semakin
diabaikan. Tidak heran jika kasus Lumpur Sidoarjo, Bank Century, Gayus Lumbuan, jemaat
Ahmadiyah dan Susno Djuaji belum terselesaikan sampai sekarang.
Karena itu, suksesi kepemimpinan nasional oleh para mahasiswa itu harus menjadi seruan
urgen di Indonesia saat ini. Pencarian terhadap pemimpin simpatif dan empatif hendaknya mulai
digulirkan. Rakyat hendaknya memiliki pendidikan politik mumpuni untuk mengenali kandidat
pemimpin yang berkharakter demokratis dan pro rakyat. Pencitraan tokoh sebaiknya diabaikan
dengan mempertimbangkan kualitas historis kandidat yang telah diakui rakyat. Partisipasi politik
aktif akan menghadirkan pemimpin yang tanggap, tangguh dan ulet demi memperjuangkan
kesejahteraan rakyat. Selanjutnya, pemimpin tersebut akan mendorong terlaksananya
redemokratisasi dan rebirokratisasi sesuai amanat Pancasila dan UUD 1945.
Dengan demikian, tak salah lagi bahwa ideal pemimpin menurut para mahasiswa adalah
pemimpin Indonesia yang mampu menjadi motor perubahan bagi tercapainya kesejahteraan
masyarakat. Ideal pemimpin demikian menghantar kita pada model kepemimpinan
transformasional a la Mochtar Pabotinggi. 17
Pemimpin transformasional adalah pemimpin
pembaharuan berhaluan demokratis melalui keteladanan berpolitik yang mumpuni. Pemimpin
sejati tidak pernah mengkultuskan diri lewat ‘proyek’ depolitisasi dan marginalisasi rakyat
(seperti rezim Orde Baru). Pemimpin teladan harus berjiwa visioner dan peka terhadap

17
Mochtar Pabotinggi membagi gaya kepemimpinan atas 4 jenis; 1. Gaya kepemimpinan tirani (tyranny) di
mana menempatkan seorang pemimpin sebagai diktator. Asas kepemimpinan otoriter diimplementasikan. 2. Gaya
kepemimpinan manipulatif yang di dalamnya telah merealita pembodohan dan penipuan terhadap rakyat. 3. Gaya
kepemimpinan transaksional. Dalam model ini, politik ‘balas budi’ menjadi senjata efektif untuk ‘membeli’ ketaatan
pengikut – pengikutnya (dan juga rakyat). 4. Gaya kepemimpinan transformasional (akan dibahas di atas). Mochtar
Pabotinggi, Indonesia Mencari Demokrasi, (Yogyakarta: INSISTpress, 2005), hlm. 195 – 198.

16 | P a g e
permasalahan masyarakat. Ia harus percaya akan apa yang dikatakan dan dengan realistis
mengatakan apa yang rakyat percayai dan temui.
Selanjutnya, seorang pemimpin transformasional perlu memiliki kemampuan
berimajinasi (imaginative capacity), kemampuan membayangkan sesuatu yang harus dikejar
bersama (ability to visualize purposes) dan kemampuan untuk menghadirkan gebrakan baru
dalam kebijaksanaan politiknya (ability to generate values at work).18 Namun, semua itu mesti
berjalan dalam kerangka kesejahteraan rakyat sebagai proritas utama. Akibatnya, rakyat akan
dirangsang dalam perjuangan kolektif berapi – api untuk menyelesaikan segala persoalan bangsa
tanpa menuntut pamrih.
Kedua: urgensitas kontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah. Sejarah telah
menunjukan bahwa implementasi politik massa mengambang Soeharto telah menistakan
pelbagai aspirasi rakyat. Pembatasan partisipasi politik telah menghadirkan sebuah ‘negara kuat’
yang tak terkontrol. Suara – suara kritis terhadap kebijakan pemerintah bak angin lalu belaka.
Kontrol terhadap pemerintah Orde Baru hanya tinggal nama.
Bertolak dari pengamputasian partisipasi rakyat, gerakan mahasiswa Orde Baru telah
menyodorkan urgennya kontrol terhadap setiap kebijakan pemerintah. Para mahasiswa sebagai
kaum intelektual akhirnya berhasil menumbangkan Soeharto. Hal ini menjadi indikator bahwa
pendidikan berpolitik dan berdemokrasi perlu diberikan kepada rakyat Indonesia. Pendidikan ini
hendaknya dilaksanakan dalam konteks demiliterisasi dalam pelbagai aspek pemerintahan.
Rakyat akhirnya menjaga jarak dengan pemerintah sehingga terbentuk oposisi yang kuat dan
mampu memberikan evaluasi dan solusi pada setiap kebijakn pemerintah. Sebab itu jelas bahwa
kemandirian berpolitik akan menguat seiring penggencaran epistimologi prosedur demokrasi
pada rakyat yang bermuara dalam pembentukan NKRI sebagai ‘masyarakat komunikatif.’
Masyarakat komunikatif adalah ideal masyarakat demokratis yang menghargai diskursus
tanpa represi untuk mencapai konsensus bersama. Dalam masyarakat inilah, rakyat bebas
mengekspresikan hak – hak berpolitik sebagai subjek otonom. Kedaulatan negara bersumber
dari, oleh dan untuk rakyat sehingga prosedur demokrasi akhirnya dapat ditegakkan. Demokrasi
‘pura – pura’ akan diberhangus total. Dalam situasi ini, rakyat bebas mengontrol segala
kebijakan pemerintah agar tidak keluar dari rel demokrasi Pancasila dan UUD 1945. Partisipasi
rakyat ini mutlak perlu karena seturut Lord Acton, ‘kekuasaan cenderung korup dan kekuasaan

18
Ibid, hlm. 218.

17 | P a g e
absolut sudah pasti korup.’ (power tends to corrupt, absolut power corrupts absolutely). Kontrol
rakyat yang efektif pastinya akan menciptakan negara Indonesia yang akuntabel dan transparan.
Ketiga: Meningkatkan semangat patriotisme dan nasionalisme dalam sanubari
rakyat Indonesia. Pelbagai gerakan sektarian dan konflik SARA di Indonesia mengindikasikan
adanya kerapuhan solidaritas politik rakyat Indonesia. Keanekaragaman kultural, aspirasi dan
dan sosial justru menjadi lahan subur bagi terbentuknya primordialisme dan sektarianisme.
Sampai pada kenyataan itu, kita pantas mengatakan bahwa asas kebhinekaan (hampir) telah
menjadi kenangan sejarah. Jelas bahwa semangat patriotisme dan nasionalisme telah luntur.
Kenyataan memprihatinkan di atas mengetengahkan bahwa semangat patriotisme
mahasiswa era Orde Baru bukanlah jaminan untuk mempertahankan dan membangkitkan
kecintaan dan kebanggaan terhadap NKRI. Padahal, penculikan para aktivis muda dan tewasnya
empat mahasiswa Trisakti seharusnya sukses menyemaikan benih – benih solidaritas nasional.
Solidaritas itu sangat dibutuhkan untuk melawan deformasi politik yang kerap terjadi demi
pemulusan tujuan politik subjektif. Perjuangan menyelesaikan tantangan - tantangan kebangsaan
tidak pernah terwujud dalam tataran monolog kolektif nasional.19 Artinya, perjuangan terjadi
secara parsialis sehingga tidak mampu menyelesaikan tantangan itu secara nasional.
Kemartiran mahasiswa Trisakti turut membangkitkan semangat kolektif rakyat Indonesia
untuk menumbangkan Soeharto. Gaung Trisakti inilah hendaknya membangkitkan (kembali)
solidaritas nasional yang politis. Dalam pemikiran filosof kenamaan Jerman, Juergen Habermas,
solidaritas politis itu harus dibangkitkan kembali lewat penggalian solidaritas pra – politis dari
perigi – perigi SARA di Indonesia yang beraneka ragam. Kelak, solidaritas pra – politis itu akan
diterjemahkan menjadi solidaritas politik untuk memperbaiki solidaritas nasional yang sementara
mengidap ‘penyakit kronis.’ Sebab itu, sikap inklusif – pluralis hendaknya ditanamkan dalam
sanubari rakyat. Pada gilirannya, sikap ini menghadirkan wawasan kebangsaan yang inklusif
sehingga dapat membingkai kebhinekaan dan memotori pembangunan bangsa ke arah yang lebih
baik.
Untuk itu, wawasan kebangsaan hendaknya menyadarkan rakyat bahwa asas persatuan
dan kesatuan tidak terjadi secara sendirinya. Asas itu bersifat etis yakni lahir dari fakta historis
rakyat Indonesia ketika melawan kolonialisme penjajah. Kesatuan etis itu akan membangkitkan
ingatan sejarah tentang perjuangan merebut kemerdekaan. Jika demikian, timbulah pada setiap

19
Ibid, hlm. 155.

18 | P a g e
warga negar tekad bersama untuk mengisi dan mempertahankan kemerdekaan melalui
konstribusi – kontribusi kolektif – konstruktif demi kesejahteraan rakyat.
Keempat: keharusan reformasi ekonomi melalui penegakan mekanisme demokrasi.
Bukan rahasia lagi bahwa politik developmentalis Soeharto sangat mengagungkan kejayaan
ekonomi sebagai kriteria evaluatif untuk menentukan kesuksesan sebuah negara. Namun,
radikalisme dalam politik developmentalis justru harus mengorbankan hak – hak politik rakyat
Indonesia sendiri. Politik itu akhirnya harus melekatkan diri pada kejayaan ekonomi sebagai
legitimator kejayaan politik. Namun, politik developmentalis harus menuai takdirnya lewat
kehancuran ekonomi Indonesia karena serangan krisis moneter akut. Tragisnya, kehancuran
ekonomi itu bermuara pada jatuhnya rezim otoritarian Soeharto. Para mahasiwa pun bangkit dan
mulai mengkritisi kehancuran tersebut. Tuntutan reformasi ekonomi itu kemudian memuncak
pada reformasi politik dengan berhasilnya suksesi kepemimpinan nasional. Jika demikian, ada
korelasi erat antara reformasi politik dan perbaikan kehidupan ekonomi rakyat Indonesia.
Berkaitan dengan korelasi itu, Prof. Amartya Sen, pemenang hadiah Nobel untuk ilmu
ekonomi 1998 mengeluarkan sebuah tesis kontroversial yang sampai saat ini masih terus
dibelanya yakni; kelaparan di berbagai tempat di dunia ini terjadi bukan karena kekurangan
makanan, melainkan karena kekurangan mekanisme demokrasi. Prosedur demokratis ternyata
turut menentukan kehidupan ekonomi rakyat.

Bila dibaca dari kacamata politik developementalis, tesis ilmuwan Sen itu memang benar.
Keduanya berhubungan erat. Demokrasi dan ekonomi kemasyarakatan memiliki hubungan yang
asimetris terbalik. Semakin sehat dan tinggi tatanan demokrasi sebuah pemerintahan, maka
semakin rendah pula keterhimpitan ekonomi masyarakatnya. Demikian sebaliknya. 20
Semakin
keluarnya pemerintahan dari rel demokrasi yang sehat semakin parah pula kemiskinan dalam
masyarakat. Ada semacam korelasi adiktif dan mutualis antara demokrasi dan persoalan ekonomi
dalam sebuah pemerintahan yang demokratis.

20
Saya pikir bahwa asimetri hubungan antara demokrasi dan kehidupan ekonomi rakyat Indonesia juga
dapat ditemukan dalam pemerintahan sekarang. Kesimpangsiuran penyelesaian KKN, maraknya konflik SARA,
kekerasan agamis baik horizontal dan struktural terjadi bersamaan dengan porak – porandanya kehidupan ekonomi
rakyat. Sekitar 30 – an juta rakyat miskin kini terkatung – katung nasibnya. Ironisnya, ‘pihak elite’ sibuk
mempertontonkan politik dagang sapi dan politik citra dalam penyelesaian persoalan bangsa Karena itu, banyak
pihak menilai bahwa pemerintahan SBY – Boediono selama setahun silam telah gagal. Jajak Pendapat harian
Kompas, “Saatnya Perbaikan Kinerja Pemerintahan,”dalam Kompas, 18 Oktober 2010, hlm. 4.

19 | P a g e
Selanjutnya, pemerintahan yang demokratis selalu berusaha untuk memperjuangkan
kesejahteraan masyarakatnya. Perjuangan ini selalu didasari oleh keterbukaan, keteguhan hati,
dan diskursus tanpa represi untuk mencari jalan keluar bersama. Di sini, pemerintahan harus
berada di atas untuk mengayomi dan melindungi warganya, berada di samping untuk berjalan
bersama rakyat supaya dapat merasakan jeritan mereka, serta akhirnya ‘harus rela’ berada di
bawah untuk mengambil jarak, ia harus dikritik dan mengeritik untuk terus berusaha menjadi
lebih baik. Dengan demikian, kritik – kritik kritis bukan ditanggapi dengan membuat apologia
(pembelaan diri) tetapi sebagai wahana otokritik yang selalu berujung pada terwujudnya
kesejahteraan masyarakat. Trifungsi ini akan meniscayakan pencapaian ekonomi NKRI yang
semakin membaik setiap saat.

Keberhasilan kehidupan ekonomi rakyat itu secara otomatis akan membangkitkan


semangat untuk berpolitik secara demokratis. Berdasarkan asas deinde philosophere, politik
hanya dapat terjadi dalam perut yang kenyang. Kekenyangan ekonomi akan diikuti dengan
kekenyangan demokrasi. Sebab itu, penemuan ideal demokrasi seharusnya memperhatikan
perimbangan antara reformasi politik dan reformasi ekonomi. Keduanya harus sejalan. Sejarah
politik Indonesia telah membuktikan bahwa aksentuasi berlebihan pada salah satunya akan
menghadirkan kegagalan dalam pemerintahan.

Berdasarkan pemaparan beberapa solusi di atas, dapat disimpulkan bahwa untuk


mencapai ideal demokrasi Indonesia maka reformasi politik dan reformasi ekonomi hendaknya
menjadi target utama aksentuasi kebijakan pemerintah. Gerakan pro demokrasi kultural maupun
struktural semestinya dilaksanakan secara serentak untuk menghambat deformasi dan deprivasi
politik. Sebab itu, dalam terang kiprah politis mahasiswa, saya berani mengangkat tesis bahwa
reformasi hanya berjalan mulus jika terjadi pematahan politik egologis di Indonesia. Politik
egologis akan menyumbat pintu demokrasi prosedural sehingga substansi demokrasi tidak
pernah akan tercapai. Ideal demokrasi pun bak mencari kutu dalam ijuk. Dengan ini perlu harus
ditekankan di sini bahwa pematahan politik egologis akan meniscayakan pemberian kesempatan
seluas – luasnya kepada seluruh rakyat untuk berjuang secara kolektif dan bebas demi
pencapaian ideal demokrasi Indonesia yang selalu tertunda.

20 | P a g e
5. Penutup

“Kita adalah mahasiswa – mahasiswa persoalan,” demikian perkataan bijak filosof


kenamaan Austria, Karl Popper ketika menamai para mahasiswanya. Popper dengan tepat
melukiskan perjuangan para mahasiswa era Orde Baru melawan rezim otoritarian Soeharto.
Sebagai kaum muda tulang punggung bangsa, mereka tak segan mempertanyakan dan melawan
politik demagogis yang menyimpang. Hasilnya sangat membanggakan! Sejarah telah ditorehkan
melalui perjuangan sampai titik darah penghabisan untuk menumbangkan politik
developmentalis yang telah menghambat penegakan ideal demokrasi.

Ironisnya, kemartiran para mahasiswa bukanlah jaminan bagi terejawantahnya ideal


pemerintahan yang demokratis. Hal ini bisa terjadi karena aksentuasi politik pasca reformasi
sering menjauhkan kebijakan pemerintah dengan ideal negara demokrasi Indonesia seturut
Pancasila dan UUD 1945. Karena itulah, penggalian ideal demokrasi seturut para mahasiswa era
Orde Baru telah dikemukakan. Melalui ‘ratapan pilu’ karena pengorbanan tragis para mahasiswa,
kita telah menemukan bahwa reformasi politik dan ekonomi hanya dapat dilaksanakan melalui
peminggiran politik egologis dalam ranah pemerintahan. Peminggiran itu - insya Allah – dapat
menghantar rakyat Indonesia untuk merengkuh ideal demokrasi Indonesia yang selalu tertunda.

21 | P a g e

Anda mungkin juga menyukai