Anda di halaman 1dari 5

Hurin, Rekonsiliasi, dan HAM di NTT

( Membaca Realitas Hukum NTT Pasca Demonstrasi 16/12/2010)

Redemtus Kono
Mahasiswa STFK Ledalero, Kru KMK
Hurin
Rabu, 15 Desember 2010, massa dari berbagai Truk – F, JPIC Maumere, JPIC SVD
Ende, dan keluarga Emanuel Hurin berdemonstrasi di Polres Sikka dan Kejari Maumere.
Demonstrasi tersebut bertujuan untuk menuntut penahanan tujuh tersangka lain yang diduga kuat
terlibat dalam kasus pengadaan pakaian linmas di Kabupaten Maumere. Selain itu, para
demonstran menginginkan pengejawantahan mekanisme hukum yang transparansif dan
berkeadilan dalam kasus Hurin (FP, 16/12/2010).
Seruan minta keadilan itu memproklamasikan realitas skeptisisme hukum dari rakyat
terhadap para ‘elite hukum’. Rakyat mulai menyangsikan kemampuan pemerintah (terutama para
penegak hukum) untuk menegakan ideal hukum seturut Pancasila dan UUUD 1945. Hal ini bisa
terjadi karena mayoritas tindakan kriminal (di NTT) sering tidak diselesaikan secara tuntas.
Penanganan kasus justru semakin menjauh dari keadilan sebagai unsur konstitutifnya.
Bila dicermati, seruan ‘kesangsian’ rakyat dalam kasus Hurin ini sangat beralasan.
Menyisir jejak – jejak penyelesaian kasus Nurdin, kinerja dan profesionalisme para penegak
hukum patut dipertanyakan. Kita prihatin bahwa kasus Nurdin sejak tahun 2009 tidak jelas
penyidikannya. Padahal, alat bukti dan beberapa saksi dengan jelas menunjukan aktor
sesungguhnya di balik pembunuhan Nurdin. Kelihatannya, domain hukum yang berkeadilan
telah dipinggirkan oleh muatan – muatan subjektif yang menghambat penyelesaian kasus
tersebut. Walaupun motifnya berbeda, kenyataan tidak jelasnya penanganan tersebut
mengindikasikan bahwa keraguan rakyat ada benarnya. Apalagi kasus Nurdin dan Hurin berada
dalam ‘naungan tempat’ yang sama (baca: Kejari Maumere).
Hemat saya, tidak jelasnya ‘jalan tengah’’ kasus (terutama kasus Hurin) melemparkan
kita dalam beberapa rapsodi keprihatinan; mengapa kasus penanganan hukum dengan cara
tebang pilih terus bercokol tanpa dapat dicegah? Mengapa penyelesaian kasus di NTT sering
dibiarkan berlarut – larut tanpa penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia si korban? Mengapa
pemerintah ‘terkesan diam’ dalam penanganan Hurin? Jika demikian, bukankah spiral kekerasan
struktural telah ‘mewabah’ dalam penegakan hukum di NTT?

Spiral Kekerasan Struktural


Tak dapat disangkal bahwa kasus Nurdin dan Hurin telah memproklamasikan
kebercokolan spiral kekerasan di NTT. Kekerasan rupanya telah dilihat sebagai kewajaran, yang
begitu dekat dengan kehidupan sehari – hari. Betapa tidak! Pelbagai kasus kekerasan rumah
tangga (KDRT), kekerasan primordial, kekerasan politis tidak pernah alpa dalam pemberitaan
media massa NTT. Kekerasan tidak saja secara fisik (seperti kasus Nurdin) tetapi juga lewat cara
psikis (seperti kasus Hurin). Dan entah sadar atau tidak, kekerasan itu telah menjadi ‘teman’
sarapan pagi dan minum sore kita. Cinta kasih sebagai salah satu kearifan lokal Flobamora
tercinta harus dipertanyakan lagi.
Banyaknya kasus kriminalitas di NTT tentunya sangat membutuhkan penyelesaian
dalam desain hukum yang sepantasnya. Ironisnya, penyelesaian kasus bertumpu pada upaya
untuk meminggirkan muatan - muatan subjektif justru bermuara pada makin carut – marutnya
persoalan. Padahal, peminggiran tersebut mengimplisitkan komitmen politik hukum untuk
memperjuangkan tuntasnya fenomena kriminalitas dalam bingkai keadilan. Sikap elite politik
harus tegas. Yang salah harus dihukum, sebaliknya yang benar dibebaskan dan dipulihkan nama
baiknya. HAM setiap warga negara harus dijamin. Imbasnya, terjadi pembentukan kaedah –
kaedah moral pada rakyat yang akhirnya menekan ‘kualitas dan kuantitas’ tindak kriminalitas.
Namun, ideal proses hukum di atas rupanya masih sebatas mimpi di NTT. Penanganan
kasus di NTT tetap tak mampu menekan angka kriminalitas. Kasus Hurin dan Nurdin
(Maumere), Romo Faustin (Bajawa), Usnaat dan Saet (Kefa), Langoday (Lembata), dan aneka
tindak kriminalitas horizontal lain adalah buktinya. Maka bertolak dari ideal tersebut, secara
otomatis, kita harus menunjuk kerancuan prosedur hukum sebagai salah satu penyebabnya.
Apalagi bila ditilik bahwa berkaitan dengan ketidakjelasan proses hukum beberapa pembunuhan
di atas, pemerintah cenderung bersikap apatis dalam mengawal kasus – kasus tersebut sebelum
dan sesudah ke pengadilan. Tidak heran jika kasus – kasus tidak diselesaikan secara tuntas yang
akhirnya memantik ketidakpercayaan rakyat terhadap idealisme hukum dan praksisnya.
Selanjutnya, apatisme para elite hukum itu bisa menjadi salah satu indikator
kemungkinan spiral kekerasan struktural dalam penanganan pelbagai kasus di NTT. Spiral
kekerasan ini merupakan lingkaran penyalahgunaan kekuasaan pemerintahan untuk mencapai
kepentingan pribadi atau kelompok. Pemerintah dengan ‘tahu dan mahu’ mengkhianati asas
hukum yang berlaku dengan menjalankan praktek manipulasi hukum. Misalnya, penyelesaian
kasus Hurin hanya ditanggapi secara dingin oleh pemerintah. Tentu saja, dugaan keterlibatan 5
(lima) panitia swakelola menjadi salah satu penghambat utama penuntasan kasus ini. Ya, ada
ketakutan terhadap kemungkinan hancurnya nama baik institusi atau pemerintah! Padahal, satu
langkah ideal untuk mewujudkan tatanan pemerintahan baik dan bersih (good and clean
government) adalah penyingkiran anggota institusi dan birokrat yang menyimpang dari ketentuan
berdemokrasi.
Dalam demonstrasi tersebut, kekerasan struktural rupanya sedang terjadi (lagi) dalam
kasus Hurin ini. Dari beberapa tuntutan demonstran, ada beberapa indikator afirmatif yang patut
dikedepankan. Pertama; masih bebasnya 5 (lima) panitia swakelola meskipun sudah berstatus
tersangka. Hal ini sangat tidak adil bila dilihat bahwa Hurin telah ditahan dalam status tersangka.
Kedua; soal kerancuan hukum dalam kasus ini. Hal ini menyangkut kelambananan penyidik soal
penetapan tersangka kasus Hurin yang sudah jelas dapat ditentukan pelakunya. Dalam kacamata
logis, Stefanus Tanto dan Adi Junata harus ditetapkan menjadi tersangka karena jelas bahwa
merekalah yang menerima uang. Kenyataannya, mereka belum ditetapkan. Kelihatannya,
mekanisme hukum tebang pilih telah terjadi dalam kasus Hurin. Hukuman Pidana 1 tahun 8
bulan terhadap Hurin tanpa penahanan Tanto dam Junata adalah buktinya (FP, 20/1/2010).
Dari tiga indikator tersebut, dugaan adanya konspirasi sistemik dalam kasus Hurin dapat
dipertanggungjawabkan. Namun, kecemasan terhadap pelaksanaan mekanisme kekerasan
struktural hendaknya berada satu langkah di depan. Hal ini layak didahulukan karena spiral
kekerasan jenis ini biasanya meminggirkan proses hukum yang mumpuni dan berkeadilan. Ia
sering memanipulasi prosedur hukum untuk mendapatkan putusan hukum yang diskriminatif.
Jika demikian, terjadi ‘politisasi kasus’ yang berujung pada penyalahan pihak yang sebenarnya
benar dan sebaliknya pembenaran pihak yang sebenarnya salah. Tentu saja perendahan harkat
dan martabat kemanusiaan bukanlah ‘barang baru.’ Pada titik inilah, seturut Thomas Hobbes,
manusia telah menjadi serigala bagi sesamanya sendiri (homo homini lupus). Hak Asasi Manusia
(HAM) tidak menjadi kriteria dan prioritas para elite hukum. Lebih menyedihkan lagi, jika HAM
justru menjadi penghambat dalam pengusutan dan penyelesaian tindak kriminal.
Hurin, HAM dan Rekonsiliasi
Maraknya ‘trend’ kekerasan struktural mengetengahkan realitas peminggiran HAM
dalam penegakan hukum di NTT. Kalau pun HAM menjadi pertimbangan, itu hanya sampai
pada tahap artifisialitas hukum. Di sini, penanganan kasus yang diskriminatif dan koruptif sering
disembunyikan dalam kedok komitmen tulus untuk memperjuangkan terciptanya rakyat yang
damai dan tenteram. Padahal, prosedur ‘pura – pura’ tersebut terus mengaktual bahkan
bertendensi pada perumitan dan pemanipulasian sebuah kasus dengan pencarian data – data
(bukti) yang menguntungkan ‘pihak yang dibela.’
Realitas kekerasan struktural di atas tidak salah lagi mengumumkan perendahan
martabat kemanusiaan. Mekanisme hukum tebang pilih dalam kasus Hurin telah melanggar hak
– hak hakiki Hurin seturut pasal 3 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia, 10 Desember 1948.
Menurut pasal ini, “setiap orang memiliki hak untuk hidup, kebebasan, dan keamanan pribadi.”
Dengan demikian, penegakan hukum yang tidak adil dalam kasus Hurin secara mutlak
merupakan pelanggaran terhadap konvensi HAM. Karena itu, pembela Hurin berhak
mendapatkan penyelesaian hukum yang adil terhadap kasus tersebut. Imbasnya, kebijakan untuk
mendiamkan kasus Hurin telah dan sedang melanggar hak moral dan hak legal Hurin dan
keluarganya serentak pula menjerujikan konvensi HAM tersebut. Lalu, jika demikian,
pelanggaran itu sama saja dengan ‘kekerasan kedua kalinya’ terhadap Hurin.
Pada hemat saya, perendahan HAM dalam kasus Hurin mengingatkan para penegak
hukum (dan juga kita) terhadap kecenderungan untuk menyelesaikan hukum bukan dari
perspektif korban. Dalam kacamata historis, sejarah hanya ditempatkan pada para penguasa atau
pun penegak hukum. Orang – orang kecil yang menjadi korban tindakan kriminal sering ditulis
dalam konteks para penguasa yang sudah dikuasai oleh ‘muatan – muatan lain.’ Mereka adalah
‘orang – orang kalah’ karena timbangan keadilan yang sudah ‘diberatsebelahkan.’ Pemasungan
perpektif korban merupakan impelementasi dari ketakutan terhadap hancurnya kredibilitas
pribadi dan kelompok serta angkuhnya kekerasan struktural.
Keterpasungan pola perspektif korban menghantar kita pada berkecambahnya fakta
misinterpretasi terhadap penyelesaian setiap kasus di NTT. Asumsi ini berdasar pada
kecenderungan massif para penegak hukum yang ‘getol’ memakai mekanisme rekonsiliasi untuk
memecahkan spiral kekerasan dalam arti yang salah. Rekonsiliasi hanya dipahami secara sempit
dalam kata ‘memaafkan’ atau ‘melupakan.’ Akibatnya, banyak kasus sering ditelantarkan
berdasarkan praanggapan bahwa penundaan itu kelak akan mematikan ‘kehidupan perkara.’ Dan,
memang itulah kenyataan mengaktual di NTT. Padahal, menurut Geiko Muller Fahrenholz,
hakekat rekonsiliasi tidaklah dapat menggantikan keadilan. Rekonsiliasi bukanlah keadilan itu
sendiri (Geiko Muller Fahrenhloz: 2005). Rekonsiliasi harus mendapat artinya dalam
perjumpaan, penyembuhan dan penyelesaian kasus untuk menghantar korban untuk memperoleh
keadilan yang sejati. Dengan demikian, rekonsiliasi meniscayakan penegakan hukum seadil -
adilnya yang tentunya dipandang dari sudut korban.
Pada kasus Hurin, rekonsiliasi menyerukan urgennya pembudayaan semangat
profesionalisme dari para aparat hukum dalam penanganan kasus tersebut. Semangat itu harus
terejawantah melalui komitmen bulat untuk menegakan keadilan – dalam kasus Hurin -sebagai
unsur konstitutifnya. Keadilan bukan berarti mendiamkan perkara ataupun bertindak netral.
Keadilan sejatinya adalah keberpihakan tegas terhadap yang pihak benar. Untuk hal ini, perlu
ada reposisi menara gading kekerasan struktural dengan kesediaan untuk mendengar pekikan
‘minta keadilan’ dari pihak penegak keadilan dalam kasus Hurin. Pekikan itu kemudian harus
diperjuangkan lewat ketulusan untuk mengawal dan menangani perkara Hurin sampai tuntas.
Kerancuan prosedur hukum dalam kasus Hurin memproklamasikan bercokolnya realitas
kekerasan struktural dalam penyelesaian kasus tersebut. Padahal, mekanisme tebang pilih di atas
sudah secara terang – terangan melanggar HAM. Sebab itu, salah satu solusi yang pantas
dikedepankan adalah membangkitkan semangat rekonsiliasi yang simpatif dan empatif pada
rakyat sebagai korban. Semangat tersebut mampu menciptakan tercapainya penegakan keadilan
dalam kasus Hurin yang juga pastinya akan menginspirasikan penegakan ideal mekanisme
hukum berkeadilan di NTT.*

Anda mungkin juga menyukai