Hukuman mati di Indonesia masih menimbulkan polemik di masyarakat. Hukuman ini
sering kali dibenturkan dengan perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), yang mana tidak ada apapun dan siapapun di dunia ini yang berhak merenggut nyawa seseorang. Dalam konteks ini banyak orang beranggapan bahwa tak ada bedanya antara negara dan pembunuh, yang membedakan hanyalah legalitas yang diatur oleh konstitusi. Namun demikian tak jarang pada beberapa kasus, hakim dalam memutuskan hukuman mendapat tekanan dan tuntutan dari khalayak umum untuk memberikan hukuman yang paling berat, yaitu hukuman mati. Disisi lain, ada juga pihak yang berpandangan bahwa setiap orang memiliki HAM dengan batasan- batasan yang ada. Batasan-batasan tersebut adalah hak orang lain yang diatur oleh konstitusi. Hal tersebut selaras dengan yang tercantum pada Pasal 28J Undang-Undang Dasar 1945 yang mengatakan bahwa setiap orang wajib menghormati HAM orang lain dalam tertib kehidupan bermasyarakat dan dalam pelaksanaannya setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan oleh undang-undang dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta kehormatan HAM orang lain. Sehingga bersamaan dengan ini timbul pertanyaan, apakah hukuman mati merupakan salah satu bentuk pembuktian untuk mewujudkan keadilan atau justru merupakan sarana bagi pihak-pihak yang berkuasa dan memiliki wewenang dalam merebut hati rakyat untuk kepentingan pribadinya? Populisme merupakan pendekatan-pendekatan yang dilakukan dengan dalih kepentingan rakyat. Sehingga pada kondisi dan momen tertentu, orang yang melakukan pendekatan ini kerap kali dianggap sebagai pahlawan karena mampu memenuhi kebutuhan dan keinginan masyarakat meski dalam jangka pendek. Ada beberapa kasus yang mencuat dan menjadi perhatian publik dalam proses pengadilannya, seperti pada kasus Hery Wirawan serta yang terbaru ada kasus Ferdy Sambo. Hery Wirawan terlibat kasus kekerasan seksual terhadap santriwatinya, kemudian atas perbuatannya tersebut mendapat hukuman mati pada tingkat banding. Hukuman ini lebih tinggi dari yang dijatuhkan sebelumnya pada peradilan tingkat pertama, yaitu hukuman seumur hidup dan dibebani restitusi sebesar Rp. 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) kepada para korbannya. Hal serupa terjadi pada penjatuhan hukuman mati kasus Ferdy Sambo yang lebih tinggi dari tuntutan jaksa. Karena banyaknya perhatian yang tertuju pada dua kasus ini sehingga bisa saja hukuman yang dijatuhkan mendapat pengaruh dari hal tersebut, disadari maupun tidak. Banyaknya tuntutan dan tekanan dari publik bisa membuat hakim kehilangan objektivitasnya. Sehingga dikhawatirkan kemudian hukuman ini diberikan hanya untuk menjadi “alat pemuas” emosi masyarakat semata tanpa mempertimbangkan aspek atau dampak-dampak lain. Ketakutan selanjutnya adalah ketika simpatik rakyat atau publik ini digunakan untuk kepentingan pribadinya, seperti mempertahankan eksistensi, jabatan, maupun mendapatkan jabatan yang lebih tinggi dari sebelumnya. Jika hal ini benar, maka ketegasan yang diberikan oleh pejabat terkait tak ayal hanyalah sebatas ketegasan semu saja dan menjadikan hukuman mati ini sebagai keadilan semu belaka.