Anda di halaman 1dari 3

Resume / Rangkuman

Kontra Terhadap Hukuman Mati

Hukuman mati adalah praktik yang dilakukan suatu negara untuk membunuh
seseorang sebagai hukuman atas suatu kejahatan. Vonis yang memerintahkan
seorang tersangka didakwa dengan hukuman mati dapat dikatakan telah
divonis mati, dan tindakan pelaksanaan hukuman disebut sebagai eksekusi.

• Pandangan Kontra Terhadap Pidana Hukuman Mati :

Masyarakat yang kontra dengan hukuman mati menganggap bahwa pidana tersebut
tidak manusiawi dan bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang adil dan
beradab, seperti yang ada dalam Pancasila.

Kontroversi mengenai hukuman mati salah satunya muncul karena amandemen


kedua Pasal 28A dan 28I Ayat 1 UUD 1945 yang menyatakan setiap orang berhak
untuk hidup dan berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

Hak ini adalah hak asasi manusia (HAM) yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan
apa pun dan oleh siapa pun, termasuk negara.

Selain itu, hukuman mati dinilai tidak sesuai dengan tujuan pemidanaan, yakni untuk
menghalangi orang dari perbuatan kejahatan, dan bukan balas dendam.

Hukuman mati dianggap tidak bisa menghilangkan kejahatan di masyarakat dan


menciptakan masyarakat yang bahagia.

Faktor penentunya bukanlah berapa banyak kejahatan turun dengan adanya


hukuman mati, tetapi bagaimana keadilan tetap ada dan dirasakan para korban
kkejahatan

Hukuman mati adalah hukuman paling kejam.

Setiap hari, ada orang-orang yang divonis hukuman mati atau dieksekusi di
seluruh dunia. Beberapa negara bahkan mengeksekusi anak berusia di
bawah 18 tahun, orang dengan disabilitas mental dan intelektual, dan
orang tak bersalah.

Hukuman mati melanggar hak untuk hidup dan hak untuk tidak mengalami
perlakuan atau hukuman yang kejam, tidak manusiawi atau merendahkan
martabat. Hak tersebut dilindungi dalam Deklarasi Universal HAM,
instrumen HAM lainnya, dan banyak konstitusi nasional di seluruh dunia,
termasuk konstitusi Indonesia.
Alasan Kontra Terhadap Pidana Hukuman Mati :

1. Orang yang dihukum mati tidak bisa dihidupkan lagi, padahal


kesalahan bisa terjadi kapanpun dan dimanapun. Cth :
Misalnya, sejak 1973, lebih dari 160 narapidana yang dijatuhi
hukuman mati di AS kemudian dibebaskan karena terbukti tidak
bersalah atau vonis terbukti tidak proporsional dengan kejahatan
mereka.

2. Hukuman mati bisa diskriminatif terhadap mereka yang punya


latar belakang sosial dan ekonomi yang dianggap lebih. Cth:
Mereka yang termarginalkan secara sosial dan ekonomi bisa lebih
sulit mengakses bantuan hukum. Misalnya, pada kasus narkotika,
faktor-faktor sosial-ekonomi yang meningkatkan risiko atau
menyebabkan orang terlibat dalam perdagangan narkotika sering
diabaikan: ini termasuk kesehatan yang buruk, penolakan akses
ke pendidikan, minimnya kesempatan bekerja, kurangnya tempat
tinggal yang layak, kemiskinan, diskriminasi, dan kekerasan
berbasis gender. Mereka bisa lebih dirugikan dalam sistem
peradilan pidana.

3. Hukuman mati sering digunakan dalam sistem peradilan yang


tidak adil. Cth: Dalam banyak kasus yang dicatat Amnesty
International, orang-orang dieksekusi setelah dihukum dalam
persidangan yang sangat tidak adil, atas dasar bukti tidak benar
yang didapat dari hasil penyiksaan dan dengan pendampingan
hukum yang tidak memadai.

4. Hukuman mati tidak efektif mengurangi kejahatan. Cth: Negara-


negara yang mengeksekusi biasanya yakin hukuman mati adalah
cara terakhir untuk mencegah orang melakukan kejahatan. Tapi, tak
ada bukti bahwa hukuman mati lebih efektif dalam mengurangi
kejahatan daripada hukuman penjara seumur hidup. Hukuman mati
juga sering membuat negara merasa ‘lega’, dan melupakan
perubahan sistemik yang sebenarnya perlu dilakukan untuk
menghapus kejahatan.

5. Hukuman mati sering digunakan sebagai alat politik. Cth:


Pihak berwenang di beberapa negara, misalnya Iran dan Sudan,
menggunakan hukuman mati untuk menghukum lawan politik.
Hukuman mati juga sering digunakan sebagai ‘obat penenang’
untuk warga yang ketakutan, meski nyatanya eksekusi bukan cara
paling efektif untuk benar-benar membasmi kejahatan.
Bukannya korban kejahatan dan keluarganya berhak atas
keadilan?

Tentu! Mereka yang kehilangan orang yang dicintai dalam kejahatan yang
mengerikan ataupun tidak, berhak mendapat pemulihan hak mereka.
Termasuk melihat orang yang bertanggung jawab dimintai
pertanggungjawaban dalam peradilan yang adil tanpa hukuman mati.

Dalam menentang hukuman mati, kami tidak mencoba meminimalkan atau


membenarkan kejahatan. Tapi, seperti yang dikatakan banyak keluarga
yang kehilangan orang yang dicintainya, hukuman mati tidak bisa benar-
benar meringkankan penderitaan mereka. Itu hanya memperluas
penderitaan ke keluarga orang yang dihukum mati.

Pernah dengar ungkapan “mata dibalas mata, seluruh dunia bisa jadi
buta”? Balas dendam bukanlah jawabannya. Jawabannya ada pada
pengurangan kekerasan dan perbaikan sistem yang abai terhadap
kejahatan, dan abai terhadap kurangnya pemenuhan hak-hak dasar,
bukan menyebabkan lebih banyak kematian.Jika terbukti bersalah,
kebijakan komutasi (perubahan hukuman bagi terpidana mati) bisa
jadi solusi alternatif. Dalam hal hukuman seumur hidup, pembebasan
bersyarat juga harus menjadi pilihan saat hukuman seumur hidup
diterapkan.

Kesimpulan Atas Dasar Pancasila Menurut Arfan :

Jika terbukti bersalah, kebijakan komutasi (perubahan hukuman bagi


terpidana mati) bisa jadi solusi alternatif. Dalam hal hukuman seumur
hidup, pembebasan bersyarat juga harus menjadi pilihan saat hukuman
seumur hidup diterapkan.

Saat ini, 142 negara sudah menghapus praktik hukuman mati. Selama
seorang narapidana tetap hidup, mereka bisa melalui rehabilitasi untuk
memperbaiki perilaku supaya tidak mengulang kejahatan di kemudian hari,
atau bahkan dibebaskan jika terbukti tidak bersalah.

Hukuman mati adalah gejala budaya kekerasan, bukan solusi untuk


itu. Hukuman, selain bertujuan memberi efek jera dan memberi rasa
keadilan, juga harus efektif mengurangi risiko keberulangan dengan
tetap menghormati HAM.

Yuk, putus rantai kekerasan dengan dukung penghapusan hukuman mati.

Anda mungkin juga menyukai