Anda di halaman 1dari 5

Analisis Pelanggaran HAM: Kasus Penembakan Misterius (Petrus) di era Orde Baru

Latar Belakang

Keberadaan Hak Asasi Manusia (HAM) dinilai cukup penting bagi kehidupan manusia. Hal ini
dikarenakan hak tersebut merupakan anugerah yang diberikan secara langsung oleh Tuhan sehingga
wajib untuk dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan bagi setiap
orang. Berdasarkan dari sedikit penjelasan terkait dengan HAM tersebut maka dapat dikatakan bahwa
setiap manusia memiliki hak alamiah yang sama. Oleh sebab itu, sebagai pelaksana kehidupan
bernegara maka negara melalui aparat-aparatnya berkewajiban untuk menjamin hak-hak warga
negaranya. Namun, jaminan atas hak-hak yang dimiliki oleh tiap individu tersebut diciderai oleh
beberapa peristiwa yang dapat dikatakan sebagai suatu bentuk pelanggaran HAM. Salah satu peristiwa
tersebut adalah kasus penembakan misterius (petrus) yang terjadi di Indonesia. Peristiwa tersebut
terjadi pada tahun 1982 – 1985. Munculnya istilah petrus ini dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan pelaku
dari peristiwa tersebut. Sebagian besar pihak yang menjadi korban tewas dalam peristiwa tersebut
merupakan orang yang dianggap bermasalah dengan hukum dan pihak-pihak yang dianggap
meresahkan masyarakat seperti preman, residivis, copet serta orang yang bercirikan memiliki tato di
tubuhnya. Peristiwa tersebut dapat dikatakan sebagai bentuk pembunuhan yang berada di luar proses
hukum (extra judicial killing), penyiksaan, dan penghilangan orang secara paksa. Hal ini tentu dapat
dikategorikan sebagai bentuk-bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat.

Pada awalnya, petrus ini merupakan bentuk operasi penanggulangan atas terjadinya kejahatan di
Jakarta. Kemudian pada tahun 1982, Soeharto meminta ABRI dan polisi untuk mengambil langkah guna
untuk menekan tingginya tingkat kriminalitas. Permintaan Soeharto ini direspon secara positif oleh
Laksamana Soedomo sebagai Pangopkamtib dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri dan
Kapolda Metro Jaya di Markas Kodam Metro Jaya pada tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu
menghasilkan keputusan untuk melakukan suatu operasi yang disebut sebagai Operasi Clurit di Jakarta.
Kemudian langkah ini diikuti oleh seluruh kepolisian dan ABRI di setiap kota dan daerah lainnya. Dengan
adanya operasi ini di tahun 1983, tercatat sebanyak 532 orang tewas. Pada tahun berikutnya yakni di
tahun 1984, terdapat 107 orang yang tewas. Kemudian, pada tahun 1985, tercatat sedikitnya sejumlah
74 orang dinyatakan tewas. Bahkan, ada pihak yang tidak pernah terlibat dengan hukum juga menjadi
korban salah sasaran. Pihak-pihak yang menjadi korban salah sasaran seperti petani dan pegawai negeri
sipil (PNS). Hal ini dikarenakan faktor kesamaan nama yang mereka miliki dengan daftar target operasi
tersebut. Pihak yang memiliki daftar nama target operasi adalah militer. Selain itu, pelaku yang diduga
terlibat dalam kasus tersebut antara lain TNI, polisi, Garnisun (gabungan TNI dan polisi), dan pejabat sipil
(ketua RT, ketua RW dan lurah). Hal tersebut berdasarkan keterangan dari para saksi yang menyebutkan
bahwa korban petrus diculik terlebih dahulu oleh aparat keamanan.

Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta. Hal ini dibenarkan oleh seorang mantan
Komandan Kodim 0734 Yogyakarta yang bernama M. Hasbi. Setelah menjabat sebagai komandan
militer, Hasbi menjadi Bupati Boyolali sampai tahun 1994. Ia juga pernah menjadi anggota DPRD Jawa
Tengah dari Partai Golkar. Kini ia adalah Ketua Persatuan Purnawirawan dan Warakawuri TNI dan POLRI
(Pepabri) Jawa Tengah. Terkait dengan petrus tersebut menurutnya, petrus tidak melanggar aturan. Ia
beralasan bahwa karena pada saat itu tidak ada reaksi penolakan yang dilakukan oleh masyarakat.
Akhirnya tindakan tersebut dilanjutkan di berbagai daerah lain seperti Bantul, Solo, Semarang,
Magelang, Malang, Bogor, Mojokerto, Jakarta, Palembang dan Medan. Namun dalam pelaksanaanya
dilakukan secara tertutup.

Dalam kasus ini terdapat salah satu korban yang berhasil lolos dari operasi target tersebut dan
masih hidup hingga sekarang. Orang tersebut bernama Bathi Mulyono. Bathi ini bukanlah sembarang
preman. Berkat kesuksesannya menggarap preman Semarang, pada tahun 1981 Bathi mendapat tugas
untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing (YFM). YFM adalah organisasi bekas narapidana di Jawa
Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya berjumlah ribuan dan semuanya adalah preman. Bathi yang
menjadi salah satu sasaran eksekutor pada masa itu berhasil melarikan diri dan hidup secara berpindah-
pindah di sekitar Gunung Lawu hingga situasi dirasa aman. Ia juga mengatakan bahwa telah banyak
menemukan orang mati dengan cara yang tak jelas dan tanpa melalui proses hukum. Sebagian besar
korbannya memiliki tato di tubuhnya.[1]

Dapat dikatakan bahwa petrus merupakan gagasan dari Soeharto. Hal ini berdasarkan pada
pengakuan Soeharto dalam otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya pada halaman 389-
391 cetakan pertama terbitan tahun 1989. Mengenai penembakan misterius, Soeharto dalam buku itu
menyatakan, "Dengan sendirinya kita harus mengadakan treatment, tindakan yang tegas. Tindakan
tegas yang bagaimana? Ya, harus dengan kekerasan. Tetapi, kekerasan itu bukan lantas dengan
tembakan dor! dor! begitu saja. Bukan! Tetapi, yang melawan, ya, mau tidak mau harus ditembak."
Selanjutnya dalam bab 69 yang disebut "Petrus" dan Hukuman Mati, Soeharto menambahkan, "Lalu ada
yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan." [2]

Selain itu, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) juga turut menanggapi kasus ini.
Bagi Komnas HAM, penembakan misterius yang terjadi dari rentang waktu 1982 sampai 1985 termasuk
dalam pelanggaran HAM berat. Peristiwa petrus tersebut terbukti melanggar HAM dengan kategori
berat dikarenakan pengambilan keputusan dalam petrus telah terbukti hanya secara sepihak. Para saksi
yang memberikan keterangan pada Komnas HAM menyebutkan bahwa petrus berlangsung secara
sistematis dan meluas. Komnas HAM ini juga melihat pada konteks politik yang terjadi pada masa itu,
ketika terjadi peninggian angka kriminalitas yang disertai kekerasan dan adanya sekelompok preman
yang dianggap tidak loyal pada penguasa.[3]

Teori HAM dan Analisis Kasus

Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pada pasal (1)
disebutkan bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada manusia sebagai
makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Selain itu, dalam bagian Pendekatan dan Substansi TAP MPR No.
XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa dan
berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup, kebebasan, perkembangan manusia yang tidak boleh
diabaikan, dirampas, atau diganggu gugat oleh pihak siapapun dan manapun.

Dalam konteks HAM, peristiwa petrus ini dapat dimasukkan ke dalam kategori pelanggaran HAM
yang berat. Sebagaimana yang terdapat dalam UU No. 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia pada
pasal 104 ayat (1) yaitu pelanggaran Hak Asasi Manusia yang berat adalah pembunuhan massal
(genosida), pembunuhan yang dilakukan di luar putusan pengadilan (arbitrary/extra judicial killing),
penyiksaan, penghilangan orang secara paksa, perbudakan, atau diskriminasi yang dilakukan secara
sistematis.

Dalam perundang-undangan RI terdapat 4 bentuk hukum tertulis yang memuat aturan tentang
HAM, yaitu:

1. Konstitusi (UUD 1945).

2. TAP MPR. Hal ini dapat dilihat dari TAP MPR NO. XVII tahun 1998 tentang pandangan dan sikap
bangsa Indonesia terhadap HAM.

3. Undang-undang (UU No. 26 tahun 2000 tentang pengadilan HAM dan UU No. 39 tahun 1999
tentang HAM).

4. Peraturan pelaksanaan perundang-undangan (Perpu No. 1 tahun 1999 tentang pengadilan HAM).

Dalam kasus petrus terdapat tiga pedoman pokok mengenai pelanggaran HAM yang dilakukan
pada era Orde Baru, yaitu :

Pertama, UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM pada Pasal 42 ayat (2) menjabarkan
beberapa unsur penting yaitu: (1) Seorang atasan Polisi, mampu bertanggung jawab secara pidana yang
mempunyai bawahan dan mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian efektif. (2) Tidak
melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan benar. (3) Mengetahui atau secara
sadar mengabaikan informasi yang jelas menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM yang berat. (4) Tidak mengambil tindakan yang layak dan diperlukan
dalam ruang lingkup kewenangannya, untuk mencegah atau menghentikan perbuatan tersebut atau
menyerahkan pelakunya kepada pejabat yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan
penuntutan. (5) Kejahatan terhadap kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau sistemik
yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap penduduk sipil dengan
cara pembunuhan. Kedua, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana. “Barangsiapa dengan
sengaja dan dengan direncanakan terlebih dahulu merampas nyawa orang lain.” Sehingga unsur
perbuatan yang berdasarkan dari pasal ini adalah perbuatan dengan sengaja direncanakan terlebih
dahulu sebelum menghilangkan nyawa orang lain. Ketiga, Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b,
Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM juga pasal 354 dan 355
KUHP tentang penganiayaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir pada kematian.
[4]Hal ini didasarkan pada keterangan saksi bahwa pada mayat korban yang ditemukan terdapat bekas
jeratan di leher dan tindak penganiayaan lainnya. Substansi tuntutan yang ada pada kedua pasal ini
adalah tindakan kekerasan, penyiksaan keji, pembunuhan dan perampasan kemerdekaan terhadap
korban. Dengan demikian, uraian pasal-pasal tersebut bermuara pada satu definisi bahwa secara
kontekstual tindakan petrus dalam kasus ini merupakan bentuk “kejahatan terhadap kemanusiaan”.[5]

Selain itu, salah satu hak yang termasuk ke dalam kategori HAM adalah hak sipil. Hak sipil ini
dapat berupa seperti hak diperlakukan secara sama di hadapan hukum, hak kebebasan dari perlakuan
kekerasan, serta hak hidup. Dalam kasus ini dapat dilihat bahwa tindakan yang dilakukan oleh para
pelaku dibalik petrus tersebut telah melanggar hak sipil yang dimiliki oleh setiap individu yang menjadi
korban atas peristiwa tersebut. Selain itu, juga terdapat hak kebebasan dari kekerasan. Pada kasus
tersebut terlihat orang-orang yang menjadi target diperlakukan secara tidak layak bahkan disiksa
sebelum dibunuh. Hal itu terbukti dari jenazah korban petrus yang terdapat bekas-bekas luka disiksa.
Selanjutnya, terkait dengan hak untuk hidup terlihat secara jelas target dari petrus ini dibunuh secara
tidak lazim. Tindakan petrus ini secara jelas telah melanggar hak hidup yang dimiliki oleh para target.
Meskipun mereka telah melakukan kejahatan namun mereka masih berhak untuk hidup kecuali yang
dilakukannya adalah kejahatan yang tidak bisa ditoleransi dan memang harus dihukum mati. Namun,
pada kasus petrus ini para target yang menjadi korban tidak diketahui secara jelas kejahatan apa yang
telah dilakukannya. Mereka hanya dikatakan sebagai pengganggu keamanan yang kemudian langsung
diculik dan dibunuh. Bahkan, hanya dengan adanya tato di tubuh dapat membuat orang tersebut
menjadi target dari penembak misterius.

Kesimpulan

Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada era Orde Baru
yang dipimpin oleh Soeharto. Peristiwa tersebut terjadi pada tahun 1982 – 1985. Munculnya istilah
petrus ini dilatarbelakangi oleh ketidakjelasan pelaku dari peristiwa tersebut. Sebagian besar pihak yang
menjadi korban tewas dalam peristiwa tersebut merupakan orang yang dianggap bermasalah dengan
hukum dan pihak-pihak yang dianggap meresahkan masyarakat seperti preman, residivis, copet serta
orang yang bercirikan memiliki tato di tubuhnya. Kasus ini dapat dikatakan sebagai kasus pelanggaran
Hak Asasi Manusia kategori berat karena para pelaku telah melakukan perampasan nyawa orang lain
melalui tindak kekerasan dan pembunuhan. Kasus ini juga memperlihatkan sikap penguasa yang represif
pada waktu itu. Di samping itu, peran lembaga yudikatif seolah-olah kini tengah berada di bawah kontrol
penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas hingga sekarang. Oleh karena itu, diperlukan untuk segera
membentuk tim khusus pencari fakta sejarah. Langkah ini dimaksudkan agar para penerus bangsa
mengetahui detail peristiwa yang sebenarnya terjadi dan agar kasus seperti petrus tidak terulang lagi
pada sejarah bangsa Indonesia.[6]

Daftar Pustaka

El-Muhtaj, Madda, 2009. Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Indonesia dari UUD 1945 sampai dengan
amandemen UUD 1945 Tahun 2002. Jakarta : Kacana Prenada Media Group.

Anda mungkin juga menyukai