Disusun Oleh :
Kelas : XI AP 1
No. Absen :
SMK/SMA
Tahun Ajaran 2017 / 2018
Kasus Petrus
Latar Belakang
Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena
persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pada dasarnya setiap manusia
memiliki martabat yang sama maka, dalam hal hak asasi mereka harus mendapat
perlakuan yang sama, walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Martabat manusia,
sebagai substansi sentral hak-hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek
bahwa manusia memiliki hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya (Al-
Hakim,dkk, 2012 : 60).
Berlatar dari pengertian HAM diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia
memiliki martabat yang sama tanpa ada pembeda baik itu dari kondisi maupun status
sosial mereka di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang diamanati kekuasaan
oleh rakyat bertugas dalam penjaminan hak-hak warga negaranya. Tujuan nasional
dalam menegakkan HAM tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yang berbunyi, Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian
abadi dan keadilan sosial
Namun jaminan atas hak-hak dasar tersebut harus tercoreng oleh peristiwa PETRUS
(Penembakan Misterius) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Korban yang tewas dalam
peristiwa tersebut sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan
kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan
sebagai penjahat.
Kronologis Kasus
Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu
operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah
operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap
mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah
petrus (penembakan misterius).
Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan
masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto
meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan
angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16
Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib
Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja-
ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro
Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi
Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-
masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para
korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya
terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di
pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus
terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai
operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-
Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya.
(Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain,
hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung
ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka
tembak pada pagi harisebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga
1985.
Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk
sasaran tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam
di langit-langit rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang,
Bathi ke Jakarta, menghadap orang yang ia sebut sebagai Number One, yakni Ali
Moertopo.
Tokoh Operasi Khusus ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo patron para preman yang
ia pimpin. Ali Moertopo memberinya selembar surat jaminan tak akan ditembak.
Tapi tetap saja Bathi tak merasa aman. Mungkin penguasa saat itu menganggap
tugas saya sudah selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi, Bathi mengenang.
Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan
Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu,
Orde Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat.
Intinya: setia hanya kepada Golkar.
Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih
Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan
parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada
Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat
jelata agar mencoblos Golkar. Istilahnya kami bina, katanya. Kalau tidak mau
kami bina ya kami binasakan.
Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang
yang ia sebut bos besar untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah
organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan,
semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakartapada Pemilu 1977
kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.
Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirkan sejumlah
saksi dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini, tapi
mandek di tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM
untuk diungkap dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu.
Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal
Kasim mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap
dihormati hak hukumnya. Mereka tidak boleh asal ditembak,katanya.
Kontras mencatat korban tewas petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532
orang, pada 1984 sebanyak 107 orang, dan pada 1985 sebanyak 74 orang.
Landasan Hukum
Cara Mencegah
Kesimpulan
Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada zaman
orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses
hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu
sangat besar, karena mereka menjadi sasaran tembak pelaku petrus. Sistem dari
penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku
kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, , anak jalanan, dan sejenisnya.
Awalnya, program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang diimplementasikan
oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai
berada di ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup efektif, maka operasi ini
diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan
Soeharto, sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan pribadinya.
Kasus ini juga mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-orang yang
menjadi buruan petrus adalah oknum yang melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutkan bahwa oknum
tersebut dulunya pernah dimanfaatkan Soeharto selama kampanye pemilu tahun
1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat keamanan.
Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan strategi ini untuk meneror
siapa saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu, peran lembaga yudikatif
seolah berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas sampai
sekarang.
DAFTAR PUSTAKA
Disusun Oleh :
Kelas : XI AP 1
No. Absen :
SMK/SMA
Tahun Ajaran 2017 / 2018
Kasus Angeline
1.3 Pasal
Pelaku kasus pembunuhan Angeline ini telah bertentangan
dengan pancasila sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab.
Setiap manusia harus berperilaku yang adil dan beradab dengan
sesama manusia. Padahal, hal ini dilakukan kepada anak yang
seharusnya masih dalam perlindungan dan pengawasan ketat oleh
orang-orang disekitarnya dan pemerintah Indonesia. Pasal 28B ayat 2
tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada kasus ini,
Angeline sama sekali tidak mendapatkan perlindungan dari
masyarakat sekitar, terutama keluarga dan lingkungan yang berada di
rumahnya. Angeline juga menjadi korban kekerasan oleh satpam di
rumah ibu tirinya.
Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang
Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah
daerah. Dan pasal 1 ayat 15a menyebutkan Kekerasan adalah setiap
perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Dari peraturan
tersebut sangat jelas bahwa di Indonesia anak mempunyai hak yang
sebagai mana mestinya. Anak mendapatkan perlindungan dari
pemerintah untuk mencegah adanya kekerasan yang mengakibatkan
penderitaan kepada anak. Bahkan dalam kasus ini anak mendapatkan
kekerasan yang sangat kejam, hingga meninggal dunia.
Untuk pengangkatan anak (adopsi) sudah diatur dalam secara
rinci dan jelas dalam peraturan pemerintah (PP) No.54 tahun 2002
tentang Pengangkatan Anak. Di dalam pasal 2 PP No. 54 tahun 2002
menyebutkan Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
kasus Angeline ini bertentangan dengan peraturan tersebut. Ibu angkat
Angeline tidak mempertanggung jawabkan kewajibannya dalam
mengangkat anak. Kesejahteraan yang seharusnya Angeline dapatkan
malah berubah menjadi kesengsaraan.
PP No. 54 tahun 2002 tentang pengawasan pelaksanaan
pengangkatan anak menyebutkan dalam pasal 35 Pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah
dan masyarakat. Pasal 36 Pengawasan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh Departemen
Sosial. Pasal 37 Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain oleh:
a. orang perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok;
d. lembaga pengasuhan anak; dan
e. lembaga perlindungan anak.
Pada kasus adopsi Angeline, tidak tercatat permohonan
adopsinya baik di dinas sosial maupun kemensos, padahal anak
tersebut diadopsi dari pasangan WNA-WNI. Hal ini terkait dengan PP
No. 54 tahun 2002 Pasal 15 Pengangkatan anak Warga Negara Asing
oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik
Indonesia; dan
b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.
Kasus Angeline ini jelas bahwa menyimpang dari peraturan-
peraturan pemerintah yang sudah ada. dengan begitu pemerintah
harus menetapkan peraturan mengenai hukuman yang berkaitan
dengan pembunuhan, kekerasan pada anak, dan pelecehan seksual
pada anak. Kasus ini sangat meresahkan warga negara Indonesia
yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.