Anda di halaman 1dari 19

TUGAS PKN

Disusun Oleh :

Nama : Evantiska Ayu Fitriani

Kelas : XI AP 1

No. Absen :

SMK/SMA
Tahun Ajaran 2017 / 2018
Kasus Petrus

Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) mempunyai arti penting bagi kehidupan manusia karena
persoalannya berkaitan langsung dengan hak dasar yang dimiliki manusia yang
berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, karena itu pada dasarnya setiap manusia
memiliki martabat yang sama maka, dalam hal hak asasi mereka harus mendapat
perlakuan yang sama, walaupun kondisi mereka berbeda-beda. Martabat manusia,
sebagai substansi sentral hak-hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek
bahwa manusia memiliki hubungan secara eksistensial dengan Tuhannya (Al-
Hakim,dkk, 2012 : 60).

Berlatar dari pengertian HAM diatas maka dapat disimpulkan bahwa setiap manusia
memiliki martabat yang sama tanpa ada pembeda baik itu dari kondisi maupun status
sosial mereka di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang diamanati kekuasaan
oleh rakyat bertugas dalam penjaminan hak-hak warga negaranya. Tujuan nasional
dalam menegakkan HAM tercantum dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945,
yang berbunyi, Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia,
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta
ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan , perdamaian
abadi dan keadilan sosial

Namun jaminan atas hak-hak dasar tersebut harus tercoreng oleh peristiwa PETRUS
(Penembakan Misterius) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang
dilakukan oleh pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Korban yang tewas dalam
peristiwa tersebut sebagian besar merupakan preman atau mereka yang melawan
kekuasaan Orde Baru, residivis atau mantan narapidana, dan orang yang diadukan
sebagai penjahat.
Kronologis Kasus

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus (operasi clurit) adalah suatu
operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah
operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-orang yang dianggap
mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan Jawa
Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah
petrus (penembakan misterius).

Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan
masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto
meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang efektif menekan
angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam pidatonya tanggal 16
Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib
Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja-
ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro
Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk melakukan Operasi
Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di masing-
masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas
ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para
korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya
terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di
pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola
pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput
aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus
terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai
operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983). Panglima Kowilhan II Jawa-
Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya rencana mengembangkannya.
(Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu dilanjutkan di berbagai kota lain,
hanya saja dilaksanakan secara tertutup.

Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung
ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka
tembak pada pagi harisebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga
1985.

Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk
sasaran tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan malam
di langit-langit rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya, Semarang,
Bathi ke Jakarta, menghadap orang yang ia sebut sebagai Number One, yakni Ali
Moertopo.

Tokoh Operasi Khusus ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo patron para preman yang
ia pimpin. Ali Moertopo memberinya selembar surat jaminan tak akan ditembak.
Tapi tetap saja Bathi tak merasa aman. Mungkin penguasa saat itu menganggap
tugas saya sudah selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi, Bathi mengenang.

Selama sepuluh tahun Bhati berpindah-pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di


wilayah Magetan, Jawa Timur, lalu ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Ia
setidaknya tujuh kali berganti nama: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama
pasaran lain.
Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya
administrasi. Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa,
Semarang. Pada 1968, ia terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan bermotif
perampokan. Bathi diganjar hukuman penjara hingga 1970.

Keluar dari penjara, ia direkrut Golongan Karya menjadi anggota Tim Penggalangan
Monoloyalitas Serikat Buruh Terminal dan Parkir Kota Madya Semarang. Ketika itu,
Orde Baru gencar melembagakan monoloyalitas pada semua elemen masyarakat.
Intinya: setia hanya kepada Golkar.

Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih
Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal dan
parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976. Pada
Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan masyarakat
jelata agar mencoblos Golkar. Istilahnya kami bina, katanya. Kalau tidak mau
kami bina ya kami binasakan.

Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang
yang ia sebut bos besar untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah
organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan,
semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakartapada Pemilu 1977
kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.

Kelompok preman pimpinan Bathi terlibat operasi menghancurkan citra PPP di


Jakarta. Pada Pemilu 1982, Bathi mengkoordinasi pengawalan dan pengamanan
Badan Pemenangan Pemilu Golkar Jawa Tengah. Tapi ia dan anak buahnya dikirim
ke Jakarta untuk memenangkan Golkar. Ketika lautan manusia memenuhi kampanye
Golkar di lapangan Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu 1982, Bathi dan anak
buahnya menyamar sebagai pendukung PPP.

Mereka menyerang pendukung Golkar dan merobohkan panggung sambi berteriak,


Hidup Kabah! Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka berangkat naik bus berkaus
PPP, tapi terbungkus rapat jaket Golkar. Sesampai di lapangan, mereka melepas jaket
sehingga tinggal kaus PPP yang tampak. Sudah kami siapkan mana mobil yang
dibakar, mana yang tidak, kata Bathi. Alhasil, pada Pemilu 1982, suara PPP di
Jakarta tumbang oleh Golkar.

Kontras pernah menginvestigasi kasus ini pada 2002 dengan menghadirkan sejumlah
saksi dan korban selamat. Setahun kemudian, Komnas HAM meneliti kasus ini, tapi
mandek di tengah jalan. Kini tragedi petrus kembali menjadi target Komnas HAM
untuk diungkap dengan membentuk tim ad hoc pada akhir Februari lalu.

Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal
Kasim mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap
dihormati hak hukumnya. Mereka tidak boleh asal ditembak,katanya.

Kontras mencatat korban tewas petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah 532
orang, pada 1984 sebanyak 107 orang, dan pada 1985 sebanyak 74 orang.

Landasan Hukum

Pasal-pasal yang dilanggar dalam peristiwa Petrus :

1. Pasal 338 KUHP tentang pembunuhan : Barang siapa dengan sengaja


merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan pidana
penjara paling lama lima belas tahun.
2. Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan: Barang siapa dengan sengaja dan
dengan rencana terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana, dengan pidana rnati atau pidana penjara seumur
hidup atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.
3. Pasal 344 KUHP tentang pembunuhan: Barang siapa merampas nyawa
orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan
kesungguhan hati, diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas
tahun.
4. Pasal 9 UU Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, penyiksaan
diartikan sebagai tindakan yang dengan sengaja dan melawan hukum
menimbulkan kesakitan atau penderitaan yang berat, baik fisik maupun
mental, terhadap seorang tahanan atau seseorang yang berada di bawah
pengawasan.
5. Pasal 354 KUHP tentang Penganiayaan :

1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena


melakukan penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama
delapan tahun.
2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun.

6. Pasal 355 KUHP tentang Penganiayaan :


(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu,
diancam dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam
dengan pidana penjara paling lams lima belas tahun.

Cara Mencegah

1.) Menegakkan supremasi hukum dan demokrasi


Pendekatan hukum dan pendekatan dialogis harus dikemukakan dalam rangka
melibatkan partisipasi masyarakat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Para pejabat penegak hukum harus memenuhi kewajiban dengan memberikan
pelayanan yang baik dan adil kepada masyarakat. Selain itu juga, harus mampu
memberikan perlindungan pada tiap orang dari perbuatan melawan hukum, dan
menghindari tindak kekerasan yang melawan hukum dalam rangka menegakkan
hukum.
2.) Meningkatkan profesionalisme lembaga keamanan dan pertahanan negara
Semakin profesional sebuah lembaga, semakin baik pula masyarakat untuk
mempercayai lembaga tersebut. Demikian halnya dengan lembaga keamanan dan
pertahanan negara, jika mampu meyakinkan masyarakat bahwa mereka itu
profesional, maka pelanggaran HAM mungkin menjadi semakin berkurang.
3.) Meningkatkan penyebarluasan prinsip-prinsip HAM kepada masyarakat
Penyebarluasan prinsip HAM pada masyarakat dapat melalui lembaga
pendidikan formal (sekolah/perguruan tinggi) ataupun lembaga pendidikan non-
formal (kegiatan-kegiatan keagamaan dan kursus-kursus).
Tujuan dari penyebarluasan ini tentunya agar masyrakat mengerti dan paham
seberapa pentingnya HAM itu. Jika masyarakat mengerti, maka akan
meringankan beban pemerintah dalam upaya penegakan HAM.
Upaya ini sebaiknya dilakukan sedini mungkin, apabila masyarakat tahu lebih
awal, maka pelanggaran HAM juga tidak akan terjadi di kemudian hari.
4.) Meningkatkan pengawasan dari masyarakat dan lembaga politik terhadap
setiap upaya penegakan HAM yang dilakukan pemerintah
Jika pemerintah melakukan upaya penegakan HAM, kita sebagai warga negara
juga harus mengawasinya. Baik tidaknya kebijakan pemerintah juga harus kita
awasi dengan seksama. Jika ada kebijakan dan tindakan yang tidak sesuai
peraturan perundang-undangan atau merugikan berbagai pihak, kita dapat
mengoreksi segala kebijakan pemerintah dan melaporkannya.
5.) Meningkatkan kerjasama yang harmonis antar kelompok dan golongan
dalam masyarakat
Kerjasama ini diharapkan mampu menciptakan hubungan yang saling memahami
dan menghormati keyakinan dan pendapat masing-masing.

Kesimpulan

Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada zaman
orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses
hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman itu
sangat besar, karena mereka menjadi sasaran tembak pelaku petrus. Sistem dari
penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai pelaku
kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, , anak jalanan, dan sejenisnya.
Awalnya, program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang diimplementasikan
oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka kriminalitas yang dinilai
berada di ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup efektif, maka operasi ini
diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan
Soeharto, sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan pribadinya.
Kasus ini juga mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-orang yang
menjadi buruan petrus adalah oknum yang melakukan perlawanan terhadap
kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutkan bahwa oknum
tersebut dulunya pernah dimanfaatkan Soeharto selama kampanye pemilu tahun
1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat keamanan.
Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan strategi ini untuk meneror
siapa saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu, peran lembaga yudikatif
seolah berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini belum tuntas sampai
sekarang.

DAFTAR PUSTAKA

Wikipedia. (2013) Penembakan Misterius. Tersedia :


http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_misterius[2 April 2015]m

Litabm. (2008) Kidung Gugat Sasaran Tembak. [Online] Tersedia :


https://litabm.wordpress.com/ [2 April 2015]

DJeantackque, Ollenk (2013) Tentang Pengadilan HAM Abepura. [Online] Tersedia :


http://hukum.kompasiana.com/2013/08/07/tentang-pengadilan-ham-abepura
582205.html [2 April 2015]

Hamzah, Andi. (2007) KUHP & KUHAP. Jakarta : Rineka Cipta.


Janan, Malik.(2011) Pengertian dan Pelanggaran HAM Berat. [Online] Tersedia :
http://malik-janan.blogspot.com/2011/05/pengertian-dan-jenis-pelanggaran-
ham.html [2 April 2015]

Mohammad, Achor. (2011) Penembakan Misterius : Bukti Sikap Represif Rezim


Soeharto. [Online] Tersedia : http://sejarah.kompasiana.com/2011/12/02/penembakan-
misterius-bukti-sikap-represif-rezim-soeharto-418312.html [2 April 2015]
TUGAS PKN

Disusun Oleh :

Nama : Evantiska Ayu Fitriani

Kelas : XI AP 1

No. Absen :

SMK/SMA
Tahun Ajaran 2017 / 2018
Kasus Angeline

1.1 Latar Belakang


Hak merupakan unsur normatif yang melekat pada diri setiap
manusia sejak manusia masih dalam kandungan sampai akhir
kematiannya. Di dalamnya tidak jarang menimbulkan gesekan-gesekan
antar individu dalam upaya pemenuhan HAM pada dirinya sendiri. Hal
inilah yang kemudian bisa memunculkan pelanggaran HAM seorang
individu terhadap individu lain, kelompok terhadap individu, ataupun
sebaliknya.

Setelah reformasi tahun 1998, Indonesia mengalami kemajuan


dalam bidang penegakan HAM bagi seluruh warganya. Instrumen-
instrumen HAM pun didirikan sebagai upaya menunjang komitmen
penegakan HAM yang lebih optimal. Namun seiring dengan
kemajuanini, pelanggaran HAM kemudian juga sering terjadi di sekitar
kita. Kasus pembunuhan angeline juga merupakan salah satu
pelanggaran HAM yang terjadi di Indonesia.

1.2 Kronologis Kasus

Kasus hilangnya Angeline yang berusia 8 tahun ini diketahui


publik setelah pihak keluarga membuat Fanpage "Find Angeline - Bali's
Missing Child" di Facebook. Dalam sekejap, kabar hilangnya Angeline
menyebar ke seluruh Indonesia. Masyarakat Indonesia bersimpati dan
ikut mencari. Fanpage Angeline pun dibanjiri ucapan doa agar bocah
cantik itu bisa ditemukan. Angeline hilang pada media Mei 2015.

Terakhir kali, Angeline terlihat pada tanggal 16 Mei di halaman


rumahnya Jalan Sedap Malam No 26 Denpasar, Bali. Setelah itu pihak
keluarga mengumumkan hilangnya Angeline lewat media sosial,
poster-poster bergambar Angeline juga disebar sampai pelosok Bali
dengan tujuan berharap Angeline segera ditemukan.
Tiga hari setelah Angeline hilang, pihak keluarga baru
melaporkan kasus ini ke Polsek Denpasar Timur. Kemudian dilakukan
pencarian Angeline besar-besaran. Tak hanya di Bali, pencarian
diperluas hingga Banyuwangi dan NTB. Polisi juga menggeledah
rumah tinggal Angeline. Pada penyelidikan awal, tidak ada titik terang.
Polisi sempat kesulitan mengusut kasus ini karena keluarga sempat
menghalang-halangi.
Publik saat itu sempat menaruh curiga dengan Ibu tirinya, Telly
Margareth. Sebab, sang ibu terkesan menutup-nutupi kasus hilangnya
Angeline. Bahkan Menteri Pemberdayaan Aparatur Negara dan
Reformasi Birokrasi Yuddy Chrisnandi dan Menteri Pemberdayaan
Perempuan dan Perlindungan Anak Yohana Susana Yembise saat
berkunjung ke rumah Angeline ditolak dan diusir. Dari sinilah
kecurigaan muncul. Menteri Yohana berang karena tak diperkenankan
masuk ke rumah Angeline.

Setelah melakukan pencarian selama dua pekan lebih,


hilangnya Angeline terjawab. Angeline ternyata tewas dibunuh dan
dikubur di dekat kandang ayam rumah milik ibu tirinya sendiri. Angeline
ditemukan berawal dari kecurigaan polisi. Ada gundukan tanah di
bawah kandang ayam dekat pohon pisang. Kemudian polisi
membongkar gundukan tanah tersebut.
Dalam hitungan jam, polisi akhirnya dapat membongkar kasus
ini. Sementara pelaku utama dalam tewasnya Angeline adalah satpam
di rumah Margareth, Agustinus Tai atau dikenal dengan panggilan
Agus. Secara sadis, Agus menghabisi Angeline dengan cara
mencekik. Angeline diketahui juga mengalami pelecehan seksual.

1.3 Pasal
Pelaku kasus pembunuhan Angeline ini telah bertentangan
dengan pancasila sila ke-2 kemanusiaan yang adil dan beradab.
Setiap manusia harus berperilaku yang adil dan beradab dengan
sesama manusia. Padahal, hal ini dilakukan kepada anak yang
seharusnya masih dalam perlindungan dan pengawasan ketat oleh
orang-orang disekitarnya dan pemerintah Indonesia. Pasal 28B ayat 2
tentang Hak Asasi Manusia menjelaskan bahwa setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta berhak atas
perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi. Pada kasus ini,
Angeline sama sekali tidak mendapatkan perlindungan dari
masyarakat sekitar, terutama keluarga dan lingkungan yang berada di
rumahnya. Angeline juga menjadi korban kekerasan oleh satpam di
rumah ibu tirinya.
Pasal 1 ayat 7 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang
Perlindungan Anak menyebutkan Hak Anak adalah bagian dari hak
asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh Orang
Tua, Keluarga, masyarakat, negara, pemerintah, dan pemerintah
daerah. Dan pasal 1 ayat 15a menyebutkan Kekerasan adalah setiap
perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau
penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran,
termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau
perampasan kemerdekaan secara melawan hukum. Dari peraturan
tersebut sangat jelas bahwa di Indonesia anak mempunyai hak yang
sebagai mana mestinya. Anak mendapatkan perlindungan dari
pemerintah untuk mencegah adanya kekerasan yang mengakibatkan
penderitaan kepada anak. Bahkan dalam kasus ini anak mendapatkan
kekerasan yang sangat kejam, hingga meninggal dunia.
Untuk pengangkatan anak (adopsi) sudah diatur dalam secara
rinci dan jelas dalam peraturan pemerintah (PP) No.54 tahun 2002
tentang Pengangkatan Anak. Di dalam pasal 2 PP No. 54 tahun 2002
menyebutkan Pengangkatan anak bertujuan untuk kepentingan
terbaik bagi anak dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak dan
perlindungan anak, yang dilaksanakan berdasarkan adat kebiasaan
setempat dan ketentuan peraturan perundang-undangan. Dalam
kasus Angeline ini bertentangan dengan peraturan tersebut. Ibu angkat
Angeline tidak mempertanggung jawabkan kewajibannya dalam
mengangkat anak. Kesejahteraan yang seharusnya Angeline dapatkan
malah berubah menjadi kesengsaraan.
PP No. 54 tahun 2002 tentang pengawasan pelaksanaan
pengangkatan anak menyebutkan dalam pasal 35 Pengawasan
terhadap pelaksanaan pengangkatan anak dilakukan oleh Pemerintah
dan masyarakat. Pasal 36 Pengawasan oleh Pemerintah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan oleh Departemen
Sosial. Pasal 37 Pengawasan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 35 dilakukan antara lain oleh:
a. orang perseorangan;
b. keluarga;
c. kelompok;
d. lembaga pengasuhan anak; dan
e. lembaga perlindungan anak.
Pada kasus adopsi Angeline, tidak tercatat permohonan
adopsinya baik di dinas sosial maupun kemensos, padahal anak
tersebut diadopsi dari pasangan WNA-WNI. Hal ini terkait dengan PP
No. 54 tahun 2002 Pasal 15 Pengangkatan anak Warga Negara Asing
oleh Warga Negara Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1) huruf b, harus memenuhi syarat:
a. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah Republik
Indonesia; dan
b. memperoleh persetujuan tertulis dari pemerintah negara asal anak.
Kasus Angeline ini jelas bahwa menyimpang dari peraturan-
peraturan pemerintah yang sudah ada. dengan begitu pemerintah
harus menetapkan peraturan mengenai hukuman yang berkaitan
dengan pembunuhan, kekerasan pada anak, dan pelecehan seksual
pada anak. Kasus ini sangat meresahkan warga negara Indonesia
yang berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara.

1.4 Upaya Pencegahan yang Dilakukan Pemerintah


Kasus pembunuhan Angeline di Bali membuktikan peran
pemerintah cukup lemah dalam menjalankan aturan tentang
perlindungan anak. Pemerintah dinilai baru reaktif ketika sudah terjadi
kasus. Lemahnya pemerintahan dalam hal ini juga tergambar jelas
dalam penyerapan anggaran terkait perlindungan anak.
Namun, dibalik itu kasus Angeline mendorong pemerintah
melakukan revisi undang-undang perlindungan anak. Peraturan
pemerintah tersebut merupakan turunan dari UU No. 23 Tahun 2002
tentang perlindungan anak yang kemudian direvisi menjadi UU No. 35
Tahun 2014. Selain itu juga ada Dirjen Kemensos. Pemerintah
meninjau kembali sistem perlindungan anak sehingga Indonesia
memiliki sistem perlindungan anak yang lebih komprehensif.
Dalam kasus Angeline ini tergolong kasus pembunuhan
berencana. Kitab undang-undang hukum pidana yang dimiliki
Indonesia telah mengatur pembunuhan berencana. Pasal 340 KUHP
menjelaskan sebagai berikut Barang siapa sengaja dan dengan
rencana lebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena
pembunuhan dengan rencana ( moord ), dengan pidana mati atau
pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling lama
dua puluh tahun.
Pembentukan undang-undang memberikan pengertian dan
hukuman berbeda dengan pembunuhan biasa sebagaimana diatur
dalam pasal 338 KUHP yang berbunyi Barang siapa dengan sengaja
merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan dengan
pidana penjara paling lama lima belas tahun.
Pembunuhan berencana merupakan salah satu perbuatan yang
diancam dengan pidana mati, selain itu juga ancaman hukumannya
adalah pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu,
paling lama dua puluh tahun. Dalam kasus ini tersangka Agus Tae
Hamdani akan dikenai Pasal 340 KUHP tentang pembunuhan
berencana dengan acaman hukuman pidana mati atau pidana penjara
seumur hidup atau selama waktu tertentus paling lama dua puluh
tahun. Kemudian, pasal 338 KUHP tentang pembunuhan dengan
acaman hukuman lima belas tahun penjara, Pasal 181 KUHP tentang
sengaja mengubur atau menyembunyikan kematian, diancam dengan
pidana sembilan bulan. Pasal 76 C Undang-Undang perlindungan
anak yang isinya setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan,
melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan
kekerasan terhadap anak, selain juncto Pasal 80 Ayat 3 yang
menyatakan hukuman untuk perbuatan itu lima belas tahun penjara
dan atau denda paling banyak Rp3 miliar.
Tersangka Margriet Megawe dikenakan Pasal 340 KUHP
tentang pembunuhan berencana dengan ancaman hukuman mati atau
seumur hidup dan atau dua puluh tahun. Pasal 338 KUHP tentang
pembunuhan, Pasal 353 Ayat 3 KUHP (lebih subsider) tentang
penganiayaan yang mengakibatkan anak mati, dan Pasal 76 C juncto
Pasal 80 Ayat 1 dan 3 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang
perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang
penelantaran anak.
1.5 Kesimpulan
Pancasila sebagai dasar Negara harus dihayati dan dijiwai serta
digunakan sebagai penunjuk arah semua kegiatan ataupun tingkah
laku. Tiap-tiap sila yang ada merupakan satu kesatuan yang tidak
dapat dipisahkan satu sama lainnya. Pancasila sebagai way of life
sudah tidak sepenuhnya di amalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Degradasi nilai-nilai luhur pancasila telah terjadi di kalangan
masyarakat Indonesia. Bentuk-bentuk penyimpangan tersebut antara
lain pembunuhan.

Ada berbagai fenomena yang menjadi penyebab mulai lunturnya


nilai-nilai pancasila dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga perilaku
penyimpangan terhadap nilai pancasila kerap kali terjadi. Beberapa hal
yang menjadi penyebab lunturnya nilai pancasila menurunnya
sosialisasi nilai-nilai Pancasila dalam masyarakat, pendidikan
mengenai pengamalan nilai-nilai pancasila yang kurang dalam
masyarakat, sikap apatisme, serta berkembangnya hedonisme dan
materalisme.

Beberapa hal yang dapat dilakukan guna mengatasi perilaku


menyimpang tersebut yakni penanaman nilai-nilai pancasila dilakukan
sejak dini melalui pandidikan dalam keluarga, digalakkannya program
pendidikan pancasila tidak hanya pada perguruan tinggi saja, mulai
dari pendidikan dasar agar nilai-nilai luhur pancasila dapat tertanam
kuat di jiwa generasi muda sebagai penerus bangsa.

Anda mungkin juga menyukai