Anda di halaman 1dari 7

M ANDRE SETIAWAN

150710101485

Peristiwa Penembakan Misterius “PETRUS”

BAB I

PENDAHULUAN

 Latar Belakang

Hak Asasi Manusia (HAM) memiliki arti penting bagi kehidupan manusia karena
masalah ini secara langsung berkaitan dengan hak-hak dasar yang dimiliki oleh
manusia yang berasal dari Tuhan Yang Maha Esa, oleh karena itu pada dasarnya
setiap manusia memiliki martabat yang sama sehingga, dalam hal hak asasi manusia
mereka harus diperlakukan sama, meskipun kondisinya bervariasi. Martabat manusia,
sebagai substansi inti hak asasi manusia di dalamnya mengandung aspek bahwa
manusia memiliki hubungan eksistensial dengan Tuhan mereka (Al-Hakim et al., 2012:
60).

Berdasarkan definisi hak asasi manusia di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap
manusia memiliki martabat yang sama tanpa ada perbedaan baik dari kondisi atau
status sosial di masyarakat. Pemerintah sebagai institusi yang dipercayakan dengan
kekuasaan oleh rakyat memiliki kewajiban untuk menjamin hak warganya. Tujuan
nasional dalam penegakan hak asasi manusia dinyatakan dalam pembukaan UUD
1945, yang berbunyi,

"Melindungi seluruh bangsa dan semua pertumpahan darah di Indonesia, memajukan


kesejahteraan publik, mendidik kehidupan bangsa, dan berpartisipasi dalam
melaksanakan tatanan dunia berdasarkan kebebasan, perdamaian abadi dan keadilan
sosial"

Tetapi jaminan hak-hak dasar ini harus ternoda oleh peristiwa PETRUS (Mysterious
Shooting) yang dianggap sebagai pelanggaran HAM berat yang dilakukan oleh
pemerintah yang berkuasa saat itu. Sebagian besar korban tewas dalam insiden itu
adalah preman atau mereka yang menentang otoritas Orde Baru, residivis atau mantan
narapidana, dan orang-orang yang dituduh sebagai penjahat.1

1
Igbal, Muhammad, Analisis Rekonsiliasi Sebagai Solusi Alternatif Penyelesaian
Masalah Pelanggaran Hak Asasi Manusia Berat Masa Lalu, Fakultas Hukum, UI,
2013.
BAB II

ANALISIS KASUS

 Kronologis Kasus

Penembakan misterius atau sering disingkat sebagai Petrus (operasi clurit) adalah
operasi rahasia dari Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk mengatasi
tingkat kejahatan yang begitu tinggi pada waktu itu. Operasi ini secara umum adalah
operasi penangkapan dan pembunuhan orang-orang yang dianggap mengganggu
keamanan dan perdamaian rakyat, khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya
tidak jelas dan belum pernah tertangkap, karena istilah "petrus" (penembakan
misterius) muncul.

Petrus mulai dari operasi pemulihan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982, Soeharto
memberikan panggilan kehormatan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayor Jenderal Anton
Soedjarwo karena kemampuannya untuk membongkar perampokan yang mengganggu
masyarakat. Pada bulan Maret tahun yang sama, di hadapan ABRI Rapim, Soeharto
meminta polisi dan ABRI untuk mengambil program pemberantasan yang secara efektif
memberikan tingkat kejahatan. Hal yang sama diulang oleh Suharto dalam pidatonya
pada tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya disambut oleh Komandan Kopkamtib
Laksamana Soedomo dalam sebuah rapat koordinasi dengan Panglima Daerah Militer,
Kepala Polisi Nasional, Kepala Polisi Jakarta dan Wakil Gubernur DKI Jakarta di Metro
Markas Kodam. pada 19 Januari 1983. Dalam pertemuan itu diputuskan untuk
melaksanakan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh polisi dan
Angkatan Bersenjata di masing-masing kota dan provinsi lainnya.

Pada tahun 1983 532 orang terbunuh, 367 di antara mereka terbunuh oleh luka tembak.
Pada tahun 1984 ada 107 orang tewas, di mana 15 orang ditembak mati. Pada tahun
1985 ada 74 orang tewas, 28 di antaranya ditembak mati. Para korban bergerak sendiri
ketika mereka menemukan komunitas dalam kondisi tangan dan leher mereka.
Sebagian besar korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggalkan di pinggir
jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, hutan, hutan dan kebun. Pola mengambil
korban sebagian besar diculik oleh orang asing dan dijemput oleh pasukan keamanan.
Petrus pertama kali diluncurkan di Yogyakarta dan diakui terus terang, M Hasbi, yang
pada waktu itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan
untuk gali (Kompas, 6 April 1983). Komandan Jawa-Madura Kowilhan II Letnan
Jenderal TNI Yogie S. Memet yang memiliki rencana untuk mengembangkannya.
(Kompas, 30 April 1983). Akhirnya terobosan dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya
dilakukan secara tertutup.2

Menurut Bhati, salah satu yang selamat, mereka yang bertempur ditembak di tempat. Di
berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka tembak di pagi hari -
kebanyakan dari mereka bertato. Ketakutan menyebar hingga 1985.

Dari tentara dan polisi yang dia kenal baik, Bathi Moelyono tahu dia ada di target. Sejak
itu, dia tidak lagi tidur di rumah. Dia menghabiskan malam di langit-langit rumah
tetangga. Belakangan, dari kota tempat tinggalnya, Semarang, Bathi pergi ke Jakarta,
menghadap orang yang disebutnya sebagai "Nomor Satu", yaitu Ali Moertopo.

Angka "Operasi Khusus" ini pada waktu itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo sebagai "pelindung" para
preman yang dipimpinnya. Ali Moertopo memberinya "surat jaminan" yang tidak akan
ditembak. Tapi tetap saja Bathi tidak merasa aman. "Mungkin penguasa pada waktu itu
menganggap bahwa tugas saya sudah selesai dan sudah waktunya untuk
menyelesaikannya," kenang Bathi.

Selama sepuluh tahun Bhati pindah, awalnya ke lereng Gunung Lawu di daerah
Magetan, Jawa Timur, kemudian ke Jakarta, Bogor, dan sejumlah tempat lain. Dia
mengubah namanya setidaknya tujuh kali: Edi, Hari, Budi, Agus, dan berbagai nama
pasar lainnya.

Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan karena administrasi
yang buruk. Dia stagnan di kelas kedua SMP Taman Siswa, Semarang. Pada tahun
1968, ia terlibat dalam pembunuhan di Semarang, katanya, bukan pola perampokan.
Bathi divonis penjara sampai tahun 1970.

Keluar dari penjara, ia direkrut oleh Golongan Karya untuk menjadi anggota Tim
Penggalangan Monoloyalitas Serikat Pekerja Kota Semarang dan Lot Parkir Kota
Semarang. Saat itu, Orde Baru secara intensif melembagakan monoloyalitas di semua
elemen masyarakat. Intinya: loyal hanya kepada Golkar.

Dalam tim, Bathi ditugaskan dengan mengundang preman Semarang dan anggota
masyarakat untuk memilih Golkar pada pemilihan tahun 1971. Pada tahun 1975-1980,
ia memimpin terminal Semarang dan serikat parkir, kemudian diangkat kader Golkar
Jawa Tengah pada tahun 1976. Pada tahun 1977 pemilu, Bathi kembali menjadi
preman sepeda motor dan pemilih umum untuk memilih Golkar. "Istilah yang kita

2
Marzuki, Suparman, 2011, Robohnya Keadilan: Politik Hukum HAM Era Reformasi,
Yogyakarta, PUSHAM UII.
bangun adalah," katanya. "Jika kita tidak ingin kita berkembang ... ya kita akan
menghancurkannya."

Pekerjaan yang berhasil pada preman Semarang, pada tahun 1981 Bathi mendapat
tugas dari orang yang disebutnya "bos besar" untuk memimpin Yayasan Fajar
Menyingsing. Ini adalah organisasi mantan tahanan di Jawa Tengah dan Yogyakarta.
Anggotanya ribuan, semuanya preman. Pada tahun 1982, Golkar bertekad untuk
memenangkan Jakarta - dalam Pemilihan 1977 kalah dari Partai Persatuan
Pembangunan.

Kelompok preman yang dipimpin oleh Bathi terlibat dalam operasi untuk
menghancurkan citra PPP di Jakarta. Pada Pemilu 1982, Bathi mengoordinasikan
pengawalan dan keamanan Dewan Pemilihan Umum Golkar Jawa Tengah. Namun dia
dan orang-orangnya dikirim ke Jakarta untuk memenangkan Golkar. Ketika lautan
manusia memenuhi kampanye Golkar di ladang Banteng, Jakarta, menjelang Pemilu
1982, Bathi dan orang-orangnya menyamar sebagai pendukung PPP.

Mereka menyerang pendukung Golkar dan menjatuhkan panggung dan berteriak,


"Jalani Ka'bah!" Sejumlah kendaraan dibakar. Mereka pergi dengan menggunakan
seragam PPP, tetapi dibungkus dengan jaket Golkar. Ketika mereka tiba di lapangan,
mereka melepas jaket mereka sehingga baju PPP terlihat. "Kami sudah menyiapkan
tempat mobil dibakar, mana yang tidak," kata Bathi. Akibatnya, pada Pemilu 1982,
suara PPP di Jakarta jatuh oleh Golkar.

Kontras telah menyelidiki kasus ini pada tahun 2002 dengan menghadirkan sejumlah
saksi dan orang yang selamat. Setahun kemudian, Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
memeriksa kasus ini, tetapi mengalami stagnasi di tengah jalan. Sekarang tragedi
Petrus kembali menjadi target Komnas HAM untuk diungkapkan dengan membentuk
tim ad hoc pada akhir Februari lalu.

Tim telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal Kasim
mengatakan Petrus adalah kejahatan terhadap kemanusiaan. Penjahat juga harus
dihormati oleh hak-hak hukum mereka. "Mereka seharusnya tidak ditembak," katanya.

Kontras mencatat kematian Siprus di seluruh Indonesia pada tahun 1983 sebanyak 532
orang, pada 1984 ada 107 orang, dan pada 1985 ada 74 orang. 3

 Analisis Kasus

3
Marzuki, Mahmud, Peter, 2010, Penelitian Hukum, Jakarta, Prenada Media Group.
Dilihat Dilihat dari uraian kronologis di atas, dapat disimpulkan bahwa Petrus adalah ide
Suharto. Ini mengacu pada pengakuan Soeharto terhadap otobiografi Suharto:
Pemikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya.

Tindakan apa yang menentukan? Ya, itu pasti kekerasan. Namun, kekerasan tidak
kemudian ditembak ... Pak ... seperti itu, benar! Mereka yang bertarung, suka atau tidak
suka, harus ditembak. Karena mereka menolak, mereka ditembak. Lalu ada tubuh yang
ditinggalkan. Itu untuk terapi kejut, terapi kejut. Ini agar banyak orang mengerti bahwa
melawan perbuatan jahat masih ada orang yang bisa bertindak dan mengatasinya.
Tindakan itu diambil untuk menghancurkan semua kejahatan yang telah melampaui
batas kemanusiaan. Kemudian, lalu kurangi kejahatan yang menjijikkan itu.

—Suharto (Suharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakanku) (1989), ditulis oleh Ramadan
K.H.)

Selain Soeharto, orang yang harus bertanggung jawab adalah Sudomo dan mantan
Panglima ABRI / Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani.

Dalam kasus Petrus ada tiga pedoman utama mengenai pelanggaran hak asasi
manusia atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden
Soeharto, yaitu:

Pertama, UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia dalam Pasal
42 ayat (2) huruf a dan b juncto Pasal 9 huruf a, menguraikan beberapa unsur penting
yang (1) Seorang polisi atasan, mampu bertanggung jawab pidana, yang memiliki
bawahan , memiliki kekuatan untuk melakukan kontrol yang efektif; (2) Tidak melakukan
kontrol yang baik atas bawahannya; (3) Mengetahui atau secara sadar mengabaikan
informasi yang secara jelas menunjukkan bahwa bawahan melakukan atau baru saja
melakukan pelanggaran HAM berat; (4) Tidak mengambil tindakan yang pantas dan
perlu dalam lingkup kewenangannya, untuk mencegah atau menghentikan tindakan
atau menyerahkan pelaku kepada otoritas yang kompeten untuk penyelidikan,
penyelidikan dan penuntutan; (5) Teror terhadap kemanusiaan dalam bentuk serangan
meluas atau sistemik, yang diketahui bahwa serangan diarahkan pada penduduk sipil
dengan cara pembunuhan.

Kedua, Pasal 340 KUHP tentang Pembunuhan Berencana, bahwa "Siapa pun yang
dengan sengaja dan terencana sebelumnya mengambil alih kehidupan orang lain."
Sehingga unsur tindakan yang memenuhi rumusan pelanggaran pasal ini adalah
tindakan yang disengaja, direncanakan terlebih dahulu, menyita kehidupan orang lain.

Ketiga, ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf e UU
No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia serta pasal 354 dan 355
KUHP tentang penyiksaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir
dengan kematian. Hal ini didasarkan pada kesaksian saksi bahwa tubuh korban yang
ditemukan terperangkap di leher seolah-olah mereka dibebani dengan lempengan besi,
dan tindakan penganiayaan lainnya. Substansi dari tuntutan yang terkandung dalam
dua artikel ini adalah tindakan kekerasan, penyiksaan kejam, pembunuhan dan
perampasan kemerdekaan bagi para korban.

Dengan demikian, deskripsi artikel ini mengarah pada satu definisi bahwa secara
kontekstual tindakan polisi dalam kasus ini adalah bentuk "kejahatan terhadap
kemanusiaan". Definisi ini sejalan dengan Pasal 9 huruf e bahwa ada tindakan yang
disengaja dari perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik secara
sewenang-wenang. 4

BAB III

PENUTUP

 Kesimpulan

Penembakan misterius atau Petrus adalah kasus yang terjadi di era Orde Baru atau era
Suharto yang berkuasa. Kasus ini diklasifikasikan sebagai kasus pelanggaran Hak
Asasi Manusia, karena mencoba seseorang tanpa melalui proses hukum dengan
dibunuh. Sebagai akibat dari kasus ini, rasa takut para penjahat pada waktu itu sangat
besar, karena mereka adalah "sasaran penembakan" dari para pelaku Petrus. Sistem
penembakan misterius adalah untuk menilai siapa saja yang dianggap kriminal atau
kejahatan, seperti preman, perampok, anak jalanan, dan sejenisnya. Awalnya, program
ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang dilaksanakan oleh Kepolisian Daerah Metro
Jaya, Jakarta untuk mengurangi tingkat kejahatan yang dianggap berada di ambang
kritis. Tetapi karena hasilnya cukup efektif, operasi ini diadopsi oleh daerah lain seperti
Jawa Tengah dan Yogyakarta.

Penyebab utama dari peristiwa ini adalah rezim pemerintah Soeharto yang sangat kuat,
sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan pribadinya. Kasus ini
juga mencerminkan sikap represif pemerintah. Orang-orang yang diburu oleh Petrus

4
Rahayu, 2012, Hukum Hak Asasi Manusia, Edisi Cetakan
adalah orang-orang yang menolak kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi
hidup menyatakan bahwa orang ini pernah digunakan oleh Soeharto selama kampanye
pemilihan pada tahun 1982. Banyak yang mengindikasikan bahwa kasus ini dilakukan
oleh pasukan keamanan. Banyak yang berpendapat bahwa Suharto mengadopsi
strategi ini untuk menteror siapa pun yang menentang otoritasnya. Selain itu, peran
peradilan tampaknya berada di bawah kendali pihak berwenang, sehingga kasusnya
belum diselesaikan sampai sekarang.

 Rekomendasi

1. Untuk pasukan keamanan, penulis merekomendasikan untuk menerapkan hukum


secara eksplisit dan sesuai dengan hukum yang berlaku, tanpa intervensi dari pihak
lain.

2. Untuk Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, penulis merekomendasikan agar segera
membentuk tim pencari fakta khusus dan segera mengembangkan jaringan komunikasi.
Ini didasarkan pada pengalaman penulis sendiri dalam analisis kasus penulisan
mengenai kasus Peter. Penulis cukup sulit dalam mencari sumber-sumber sejarah yang
akurat. Langkah ini dimaksudkan agar penerus bangsa akan mengetahui detail
peristiwa yang benar-benar terjadi dan kemudian kasus-kasus seperti Peter tidak akan
terulang dalam sejarah bangsa Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai