Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun 1982,
Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen
Pol Anton Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang
meresahkan masyarakat. Pada Maret tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI,
Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah pemberantasan yang
efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam
pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pang-
opkamtib Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Ja-
ya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro
Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan untuk
melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian
dan ABRI di masing-masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat
luka tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang
tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas
ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam kondisi
tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung
yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan
kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal
dan dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan
diakui terus terang M Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan
Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan para gali (Kompas, 6 April 1983).
Panglima Kowilhan II Jawa-Madura Letjen TNI Yogie S. Memet yang punya
rencana mengembangkannya. (Kompas, 30 April 1983). Akhirnya gebrakan itu
dilanjutkan di berbagai kota lain, hanya saja dilaksanakan secara tertutup.
Menurut Bhati salah seorang target yang selamat, mereka yang melawan langsung
ditembak di tempat. Di berbagai tempat, orang menemukan mayat dengan luka
tembak pada pagi hari—sebagian besar bertato. Ketakutan pun menyebar hingga
1985.
Dari para tentara dan polisi yang ia kenal akrab, Bathi Moelyono tahu ia masuk
sasaran tembak. Sejak itu, ia tak lagi tidur di rumah sendiri. Ia menghabiskan
malam di langit-langit rumah tetangga. Belakangan, dari kota kediamannya,
Semarang, Bathi ke Jakarta, menghadap orang yang ia sebut sebagai “Number
One”, yakni Ali Moertopo.
Tokoh “Operasi Khusus” ini ketika itu telah menjadi Wakil Ketua Dewan
Pertimbangan Agung. Bathi menganggap Ali Moertopo “patron” para preman yang
ia pimpin. Ali Moertopo memberinya selembar “surat jaminan” tak akan ditembak.
Tapi tetap saja Bathi tak merasa aman. “Mungkin penguasa saat itu menganggap
tugas saya sudah selesai dan tiba saatnya untuk dihabisi,” Bathi mengenang.
Bathi lahir di Semarang, 1947, tanpa catatan tanggal dan bulan akibat buruknya
administrasi. Ia mandek di kelas dua Sekolah Menengah Pertama Taman Siswa,
Semarang. Pada 1968, ia terlibat pembunuhan di Semarang, katanya bukan
bermotif perampokan. Bathi diganjar hukuman penjara hingga 1970.
Dalam tim itu, Bathi bertugas mengajak preman dan wong cilik Semarang memilih
Golkar dalam Pemilu 1971. Pada 1975-1980, ia mengetuai serikat buruh terminal
dan parkir Semarang, lalu diangkat menjadi kader Golkar Jawa Tengah pada 1976.
Pada Pemilu 1977, Bathi kembali menjadi motor penggalang suara preman dan
masyarakat jelata agar mencoblos Golkar. “Istilahnya kami bina,” katanya. “Kalau
tidak mau kami bina… ya kami binasakan.”
Sukses menggarap preman Semarang, pada 1981 Bathi mendapat tugas dari orang
yang ia sebut “bos besar” untuk mengetuai Yayasan Fajar Menyingsing. Ini adalah
organisasi bekas narapidana di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Anggotanya ribuan,
semuanya preman. Pada 1982, Golkar bertekad merebut Jakarta—pada Pemilu
1977 kalah dari Partai Persatuan Pembangunan.
Tim itu telah mengundang sejumlah keluarga korban. Ketua Komnas HAM Ifdhal
Kasim mengatakan petrus adalah kejahatan kemanusiaan. Penjahat pun harus tetap
dihormati hak hukumnya. “Mereka tidak boleh asal ditembak,”katanya.
Kontras mencatat korban tewas petrus di seluruh Indonesia pada 1983 berjumlah
532 orang, pada 1984 sebanyak 107 orang, dan pada 1985 sebanyak 74 orang.
Analisis Kasus
Dilihat dari pemaparan kronologis diatas, dapat disimpulkan bahwa petrus adalah
gagasan Soeharto. Hal ini merujuk pengakuan Soeharto dalam
otobiografi Soeharto: Pikiran, Ucapan dan Tindakan Saya.
Selain Soeharto, orang yang harus bertanggung jawab adalah Sudomo dan mantan
Panglima ABRI/Pangkopkamtib Jenderal L.B. Moerdani.
Dalam kasus Petrus terdapat tiga pedoman pokok mengenai pelanggaran HAM
atau kejahatan terhadap kemanusiaan yang dilakukan oleh Presiden Soeharto, yaitu
:
Pertama, UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM pada Pasal 42 ayat (2)
huruf a dan b juncto Pasal 9 haruf a, menjabarkan beberapa unsur-unsur penting
bahwa (1) Seorang atasan Polisi, mampu bertanggung jawab secara pidana, yang
mempunyai bawahan, mempunyai kekuasaan untuk melakukan pengendalian
efektif; (2) Tidak melakukan pengendalian terhadap bawahannya secara patut dan
benar; (3) Mengetahui atau secara sadar mengabaikan informasi yang jelas
menunjukan bahwa bawahan sedang melakukan atau baru saja melakukan
pelanggaran HAM yang berat; (4) Tidak mengambil tindakan yang layak dan
diperlukan dalam ruang lingkup kewenangannya, untuk mencegah atau
menghentikan perbuatan tersebut atau menyerahkan pelakunya kepada pejabat
yang berwenang untuk dilakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan; (5)
Kejahatan terthadap kemanusiaan dalam bentuk serangan yang meluas atau
sistemik, yang diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung
terhadap penduduk sipil dengan cara pembunuhan.
Ketiga, Ketentuan Pasal 42 ayat (2) huruf a dan b jis Pasal 7 huruf b, pasal 9 huruf
e UU No. 26 Tahun 2000 Tentang Pengadilan HAM juga pasal 354 dan 355 KUHP
tentang penganiayaan berat dan perencanaan penganiayaan berat yang berakhir
pada kematian. Hal ini didasarkan pada keterangan saksi bahwa pada mayat korban
yang ditemukan terdapat bekas jeratan di leher seperti dijeran oleh plat besi, dan
tindak penganiayaan lainnya. Substansi tuntutan yang ada pada kedua pasal ini
adalah tindakan kekerasan, penyiksaan keji, pembunuhan dan perampasan
kemerdekan terhadap korban.
Dengan demikian, uraian pasal-pasal ini bermuara pada satu definisi bahwa secara
kontekstual tindakan aparat kepolisian dalam kasus ini merupakan bentuk
“kejahatan terhadap kemanusiaan”. Definisi ini selaras dengan Pasal 9 huruf e
bahwa adanya tindakan dengan sengaja perampasan kemerdekaan atau perampasan
kebebasan fisik secara sewenang-wenang.
BAB IV
PENUTUP
Kesimpulan
Penembakan misterius atau petrus merupakan sebuah kasus yang terjadi pada
zaman orde baru atau era Soeharto berkuasa. Kasus ini digolongkan sebagai kasus
pelanggaran Hak Asasi Manusia, karena mengadili seseorang tanpa melalui proses
hukum dengan cara dibunuh. Akibat kasus ini, ketakutan para preman pada zaman
itu sangat besar, karena mereka menjadi “sasaran tembak” pelaku petrus. Sistem
dari penembakan misterius adalah menghakimi siapa saja yang dinilai sebagai
pelaku kriminal atau kejahatan, seperti preman, perampok, , anak jalanan, dan
sejenisnya. Awalnya, program ini dijalankan sebagai Operasi Clurit yang
diimplementasikan oleh Polda Metro Jaya, Jakarta untuk mereduksi angka
kriminalitas yang dinilai berada di ambang kritis. Namun karena hasilnya cukup
efektif, maka operasi ini diadopsi oleh daerah-daerah lain seperti Jawa Tengah dan
Yogyakarta.
Penyebab utama dari peristiwa ini adalah terlalu kuatnya rezim pemerintahan
Soeharto, sehingga segala macam cara dilakukan untuk mencapai tujuan
pribadinya. Kasus ini juga mencerminkan sikap pemerintah yang represif. Orang-
orang yang menjadi buruan petrus adalah oknum yang melakukan perlawanan
terhadap kekuasaan Soeharto. Ironisnya, salah satu saksi hidup menyebutkan
bahwa oknum tersebut dulunya pernah dimanfaatkan Soeharto selama kampanye
pemilu tahun 1982. Banyak yang mengindikasikan kasus ini dilakukan oleh aparat
keamanan. Banyak yang berpendapat bahwa Soeharto melakukan strategi ini
untuk meneror siapa saja yang menentang kekuasaannya. Di samping itu, peran
lembaga yudikatif seolah berada di bawah kontrol penguasa, sehingga kasus ini
belum tuntas sampai sekarang.
Rekomendasi
Landasan Hukum
(1) Barang siapa sengaja melukai berat orang lain, diancam karena melakukan
penganiayaan berat dengan pidana penjara paling lama delapan tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lama sepuluh tahun.
(1) Penganiayaan berat yang dilakukan dengan rencana terlebih dahulu, diancam
dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
(2) Jika perbuatan itu mengakibatkan kematian, yang bersalah diancam dengan
pidana penjara paling lams lima belas tahun.
Teori tentang HAM
Menurut Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia pasal
(1), bahwa hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat
keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa. Hak itu merupakan
anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara,
hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat
dan martabat manusia.
Dalam bagian Pendekatan dan Substansi TAP MPR No. XVII/MPR/1998 tentang
Hak Asasi Manusia dijelaskan bahwa hak asasi manusia adalah hak dasar yang
melekat pada diri manusia yang sifatnya kodrati dan universal sebagai karunia
Tuhan Yang Maha Esa, dan berfungsi untuk menjamin kelangsungan hidup,
kemerdekaan, perkembangan manusia, dan masyarakat yang tidak boleh diabaikan,
dirampas, atau diganggu gugat oleh siapapun.