Anda di halaman 1dari 1

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia pada masa

Pemerintahan Soeharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu
tinggi pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan
terhadap orang-orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat
khususnya di Jakarta dan Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu
muncul istilah "petrus" (penembak misterius).

Pada awal 1980-an, telah banyak ditemukan warga Indonesia yang tewas, bahkan kian tahun terus
meningkat.  Panglima Angkatan Bersenjata Indonesia, Jenderal Leonardus Benjamin Moerdani, mulanya
menyalahkan kasus pembunuhan ini kepada para geng.  Berawal dari situ, tanpa diberitahukan kepada
publik, Petrus dilakukan untuk menekan angka kriminalitas.  Operasi ini rencana akan dilakukan bulan
Maret 1983 oleh Komandan Garnisun Yogyakarta, Letkol M Hasbi.  Namun, setelah berita ini tersebar,
beberapa penjahat menyerahkan diri, beberapa ditembak, ada yang melarikan diri, dan yang lainnya
berhenti melakukan kejahatan.  Ternyata, peristiwa Petrus ini membuat angka kejahatan menurun secara
signifikan, khususnya tahun 1983.  Kejahatan kekerasan di Yogyakarta menurun dari 57 menjadi 20 dan
Semarang menurun dari 78 menjadi 50.  Berkat keberhasilan ini, pemerintah terus melanjutkan Petrus. 
Intejilen polisi memberi Komandan Garnisun daftar orang-orang yang termasuk jadi tersangka kejahatan. 
Garnisun kemudian membuat daftar baru dan mengeluarkan ultimatum publik kepada semua preman
untuk segera menyerah ke markas garnisun, tanpa perlu menyebutkan nama.  Mereka yang merasa
preman, harus menandatangani pernyataan setuju menahan diri dari kegiatan kriminal.  Jika tidak,
mereka akan menghadapi tindakan tegas dari pihak berwajib.  Akan tetapi, karena daftar tersebut penuh
dengan misteri, tanpa nama, warga mulai bertanya-tanya apakah mereka termasuk penjahat atau tidak.
Rupanya, hal ini juga merupakan taktik pengawasan diri, agar orang-orang sadar akan tindakan mereka
dan berhati-hati dalam bertindak. Kendati taktik ini berhasil, Soeharto tetap tidak mengakui bahwa aksi
pembunuhan dan fakta mengenai Petrus yang sudah terjadi itu dilakukan oleh militer. 

Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka tembakan. Pada
Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun 1985 tercatat 74 orang
tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat ditemukan masyarakat dalam
kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal
di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, laut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban
kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan dijemput aparat keamanan. 

Aksi Petrus dianggap telah melanggar Hak Asasi Manusia, karena telah membunuh seseorang tanpa
diadili melalui jalur hukum.  Amnesti Internasional juga mengirimkan surat untuk menanyakan kebijakan
pemerintah Indonesia. Sampai saat ini, kasus tersebut belum terselesaikan dengan baik karena sudah
tidak saksi dan susah untuk menemukan bukti. Diduga pelaku kasus pelanggaran HAM petrus ada pada
media 1980-an

Anda mungkin juga menyukai