Anda di halaman 1dari 4

1.

peristiwa 1965-1966

Apa itu peristiwa 1965-1966 adalah kejadian dimana terjadinya pembantaian masal kepada
orang orang yang di tuduh kan komunis di indonesia kejadian ini terjadi karena ada nya kudeta yang di
laksanakan oleh PKI yang terjadi pada 30 september yang mengakibatkan banyak nya petinggi –petinggi
militer yang di eksekusi oleh karena kejadian itu untuk menumpas paham komunis di indonesia secara
spontan terjadilah pembantaian masal orang orang yang memiliki paham atau pun hubungan dengan
komunis dan pembantaian ini tidak di lakukan dengan menelusuri dulu setiap tersangka nya namun
lebih bersifat massal yang mengakibat kan banyak nya warga sipil yang harus kehilangan
nyawa.peristiwa ini berlangsung selama tahun 1965 – 1966 dan para ahli memperkirakan korban akibat
kejadian ini sekitar 500.000 sampai 2 juta orang yang tewas dalam pembantaian masal ini.

Banyak orang yang bertanya tanya dengan siapa orang yang bertanya siapa orang yang
bertanggung jawab atas kejadian pembantaian yang terjadi di tahun 1965-1966 dan menurut kutipan
yang di nyatakan oleh komisioner Komnas HAM Joseph Adi Prasetyo ia menyatakan bahwa orang yang
bertanggung jawab Yang bertanggung jawab salah satunya ya Panglima Komando Operasi Keamanan
dan Ketertiban waktu itu, Soeharto yang masih menjadi pertanyaan adalah apakan masalah ini sudah
selesai dan jawaban nya belum walau pun ini adalah kasus yang lama masih banyak pertanyaan yang
ada di masyarakat dan kurang nya bukti bukit yang ada dan juga keikut sertaan tni dalam pembantaian
masal yang terjadi di tahun 1965-1966.

2. Penembakan Misterius (1982 - 1986)

Penembakan misterius atau sering disingkat Petrus adalah suatu operasi rahasia dari


Pemerintahan Suharto pada tahun 1980-an untuk menanggulangi tingkat kejahatan yang begitu tinggi
pada saat itu. Operasi ini secara umum adalah operasi penangkapan dan pembunuhan terhadap orang-
orang yang dianggap mengganggu keamanan dan ketentraman masyarakat khususnya di Jakarta dan
Jawa Tengah. Pelakunya tak jelas dan tak pernah tertangkap, karena itu muncul istilah "petrus"
(penembak misterius) Petrus berawal dari operasi penanggulangan kejahatan di Jakarta. Pada tahun
1982, Soeharto memberikan penghargaan kepada Kapolda Metro Jaya, Mayjen Pol Anton
Soedjarwo atas keberhasilan membongkar perampokan yang meresahkan masyarakat. Pada Maret
tahun yang sama, di hadapan Rapim ABRI, Soeharto meminta polisi dan ABRI mengambil langkah
pemberantasan yang efektif menekan angka kriminalitas. Hal yang sama diulangi Soeharto dalam
pidatonya tanggal 16 Agustus 1982. Permintaannya ini disambut oleh Pangopkamtib
Laksamana Soedomo dalam rapat koordinasi dengan Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya dan
Wagub DKI Jakarta di Markas Kodam Metro Jaya tanggal 19 Januari 1983. Dalam rapat itu diputuskan
untuk melakukan Operasi Clurit di Jakarta, langkah ini kemudian diikuti oleh kepolisian dan ABRI di ma-
sing-masing kota dan provinsi lainnya.
Pada tahun 1983 tercatat 532 orang tewas, 367 orang di antaranya tewas akibat luka
tembakan. Pada Tahun 1984 ada 107 orang tewas, di antaranya 15 orang tewas ditembak. Tahun
1985 tercatat 74 orang tewas, 28 di antaranya tewas ditembak. Para korban Petrus sendiri saat
ditemukan masyarakat dalam kondisi tangan dan lehernya terikat. Kebanyakan korban juga
dimasukkan ke dalam karung yang ditinggal di pinggir jalan, di depan rumah, dibuang ke sungai, la-
ut, hutan dan kebun. Pola pengambilan para korban kebanyakan diculik oleh orang tak dikenal dan
dijemput aparat keamanan. Petrus pertama kali dilancarkan di Yogyakarta dan diakui terus terang M
Hasbi yang pada saat itu menjabat sebagai Komandan Kodim 0734 sebagai operasi pembersihan
para gali (Kompas, 6 April 1983). Dan akhir dari korban korban petrus tidak di urus secara adil dan
banyak dari korban korban yang terabaikan dan kasus nya di biarkan begitu saja tanpa ada
kejelasan hukum.

3. Pembantaian Talangsari, Lampung (1989)

Tragedi Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat masa lalu yang terjadi pada
tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way
Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten L ampung Tengah). Peristiwa
ini merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini
termanifetasi dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8
tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Komnas HAM yang memegang mandat
sesuai Undang-undang no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantaian peristiwa
Talangsari dan menyimpulkan bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana. Komnas HAM
mencatat tragedi Talangsari menelan 130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53
orang dirampas haknya sewenang-wenang, dan 46 orang lainnya disiksa. ] ABRI juga membakar
seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi saat itu sangat mencekam. Dusun itu sempat
disebut sebagai Dusun Mati dan orang-orang yang tinggal di sana mendapat sebutan sebagai
"orang lokasi" sehingga mendapat diskriminasi dari penduduk sekitar

Tragedi Talangsari 1989 berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang
adanya asas tunggal Pancasila. Untuk menunjukkan komitmennya, Soeharto menyebut prinsip
tersebut dengan Eka Prasetya Panca Karsa dengan program Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (P-4) Program P-4 banyak menyasar kelompok Islamis yang saat itu
memiliki sikap kritis terhadap pemerintah Orde Baru. Aturan tersebut memancing reaksi kelompok
Islam di Indonesia termasuk yang terjadi di tragedi Tanjung Priok 1984, Barisan Jubah Putih[3] di
Aceh, dan kelompok Warsidi di Lampung.
Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung
Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi
adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya
berjumlah di bawah sepuluh orang.
Pada tanggal 1 Februari 1989, ketika Kepala Dukuh Karangsari mengirimkan surat yang ditujukan
kepada Komandan Koramil (Danramil) Way Jepara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di
dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-
orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri sebagai Komando
Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung
Tengah. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan
Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu
meminta keterangan kepada Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor
Camat Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin,
Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli
Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega,
serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi
kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan Kapten Soetiman
disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman
tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam Lampung
Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7
Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat
gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan advokasi
korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut.
Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut
47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang
sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran
HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300
orang. Ratusan anak buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa
Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas
Antipemerintah atau Islam PKI.
ahun 2001, korban pelanggaran HAM Talangsari mendesak Komisi Nasional Hak Asasi
Manusia untuk segera membentuk KPP HAM. .Berdasarkan rekomendasi rapat paripurna tanggal
23 Februari dibentuk tim penyelidikan berdasarkan UU No. 39 tahun 1999. Tim terdiri dari Enny
suprapto (Kekerasan), Samsudin (Hak hidup), Ruswiyati suryasaputra (Perempuan) dan Muhamad
Farid (anak-anak). Tim mulai bekerja pada Akhir Maret hingga Awal April 2005. Setelah Komnas
HAM turun lapangan pada Juni 2005, ditemukan adanya pelanggaran HAM berat.
Banyak kendala dalam penyelidikan karena fokus para korban banyak yang terpecah belah karena
sebagian ada yang melakukan islah dengan Hendropriyono sejak tahun 1999. Mantan jamaah
Warsidi yang melakukan islah tersebut menghalangi warga lain yang ingin mencari keadilan lewat
pengungkapan kebenaran dan pengadilan HAM. Selain itu, di Talangsari juga mulai ada pengajian
yang digelar oleh orang Hendropriyono yang penceramahnya selalu menyuarakan larangan untuk
mengungkapp kasus Talangsari 1989
Setelah Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan, berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung
bersamaan dengan kasus pelanggaran HAM berat lain seperti Kasus 1965-1966, Penembakan
Misterius 1982-1985, penghilangan orang secara paksa 1997-1998, kerusuhan Mei 1998,
pelanggaran HAM Trisakti , Semanggi I dan Semanggi II, serta peristiwa Wasior dan Wamena 2003.
Namun, Kejaksaan agung menolak semua berkas tersebut karena dianggap kurang bukti formil dan
materill
20 Februari 2019 terjadi deklarasi damai Talangsari yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penangan
Pelanggaran HAM dari Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Deklarasi
digelar di Dusun Talangsari Way Jepara Subing Putra III, Desa Rajabasa Lama, Labuhan Ratu,
Lampung Timur. Dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur, Kapolres, Dandim, Kepala Desa
Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu. Isi dari deklarasi itu antara lain agar korban Talangsari
tidak mengungkap lagi kasus tersebut karena dianggap sudah selesai oleh pemerintah dengan
kompensasi berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung. Deklarasi yang tak
melibatkan korban sama sekali tersebut mendapat penolakan deri korban dan masyarakat sipil
karena poin yang disebutkan dalam deklarasi damai berupa pembangunan fasilitas umum adalah
hak warga negara pada umumnya dan bukan merupakan kompensasi khusus pada orang yang
benar-benar menjadi korban.
Korban yang terhimpun dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian Talangsari
Lampung (PK2PTL) didampingi oleh KontraS dan Amnesti Internasional Indonesia melaporkan
perihal deklarasi tersebut pada Ombudsman Republik Indonesia. Pada tanggal 13 Desember 2019,
Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi damai Talangsari dinyatakan maladministrasi Dengan
adanya pernyataan tersebut, maka korban Talangsari masih harus berjuang memperoleh haknya
atas keadilan dan kebenaran dari negara.

Anda mungkin juga menyukai