Anda di halaman 1dari 9

MAKALAH

PERISTIWA TALANG SARI


TAHUN 1989
Dosen Pengampu: Bapak Wardani M.Pd

Disusun oleh:

M.Nurul Huda
2201072007

PRODI TADRIS ILMU PENGETAHUAN SOSIAL

FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN) METRO

TAHUN AJARAN 2022/2023


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur hanyalah milik Allah SWT. Kepada-Nya kita memuji dan bersyukur,
memohon pertolongan dan ampunan. Dengan rahmat dan pertolongan nya alhamdulilah
makalah yang berjudul “ PERISTIWA TALANG SARI 1989” ini dapat diselesaikan dengan
baik.
Makalah ini disusun dalam rangka menyelesaikan tugas dari dosen Wardani,M.Pd
pada mata kuliah kajian ham dan demokrasi.. kami sangat menyadari bahwa penulisan
makalah ini jauh dari kata sempurna dan tentunya masih banyak kekurangan dalam makalah
tersebut, maka kami harap para pembaca untuk memberi kritik dan saran untuk makalah ini,
agar menjadi lebih baik lagi. Kemudian, apabila terdapat kekeliruan, penulis mohon maaf
yang sebesar-besarnya.
Penulis juga mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
terlibat dalam pembuatan dan penyelesaian makalah ini.

Metro, 29 november 2023

Penulis
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan

BAB II PEMBAHASAN
A. Peristiwa Talang Sari 1989
B. Hubungan Talang Sari dengan Jamaah islamiyah(JI)

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan

DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi
pada 7 Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini.
Talangsari adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung
Timur.
Peristiwa Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde
Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di
Talangsari.

Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77


orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara
sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti
tidak diketahui hingga saat ini.

Para keluarga korban Talangsari juga masih menuntut penyelesaian dan


pertanggungjawaban kasus ini. Sejumlah aksi demonstrasi kerap digelar oleh keluarga
korban dan aktivis HAM.

1.2. Rumusan Masalah


1. Mengapa disebut Peristiwa Talang Sari?
2. Apa Hubungan Talang Sari dengan Jamaah islamiyah(JI)?

1.3. Tujuan
1. Untuk menganalisis peristiwa yang terjadi Talang Sari di Lampung.
2. Untuk menjelaskan awal mula terjadinya peristiwa Talang Sari.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peristiwa Talang Sari
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara
kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di dusun Talangsari III Desa
Rajabasa Lama Kecamatan Way Jepara Kabutapen Lampung Timur
(sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa itu terjadi pada 7
februari 1989. Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh
bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh
Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah
juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada
awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang. Sebuah surat tiba di hari
senja. Surat yang dikirim tertanggal 1 Februari 1989 itu bertanda tangan dari
Kepala Dukuh Karangsari. Ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil)
Way JePara, Kapten Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada
orang-orang yang melakukan kegiatan mencurigakan. Yang disebut sebagai
orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian yang menamakan diri
sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa Lama,
Kecamatan Way Jepara, Lampung Timur.
Oleh karenanya pada 6 Februari 1989 pemerintah setempat melalui
Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin oleh Kapten
Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada
Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat
Way Jepara, menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga
memimpin, Kepala Staf Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri
dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu
(Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir Puspamega, serta sejumlah
anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20 orang. Terjadi
kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan.
Kedatangan Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan
golok. Dalam bentrokan tersebut Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem)
043 Garuda Hitam Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil
tindakan terhadap kelompok Warsidi. Sehingga pada 7 Februari 1989, 3
peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob menyerbu ke Cihideung, pusat
gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh ABRI.
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim
investigasi dan advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246
penduduk sipil tewas dalam bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite
untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) menyebut 47
korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88 lainnya dinyatakan hilang.
Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku Talangsari 1989,
Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga Studi Pers
dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak
buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa
Talangsari masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK),
Komunitas Antipemerintah atau Islam PKI. Mereka terus menanggung beban
sosial di masyarakat, dan tidak mendapatkan hak sebagai warga negara.
Di sebut-sebut keompok pengajian itu banyak mengkritisi
pemerintahan Orde Baru yang dinilai gagal menyejahterakan rakyat. Mereka
juga mengecam asas tunggal Pancasila, yang mereka nilai sebagai biang
kemelaratan rakyat Indonesia. Jemaah Warsidi mengecam pemerintah yang
gagal menyejahterakan rakyat dan gagal menciptakan keadilan, konomi hanya
dikuasai kaum elite yang dekat dengan kekuasaan. Jemaah Warsidi kemudian
menyimpulkan Pancasila, Undang-Undang Dasar 1945, Garis-Garis Besar
Haluan Negara (GBHN) adalah produk gagal.
Menanggapi peristiwa Talangsari berdarah tersebut Presiden Soeharto
seperti disampaikan Ketua MUI Hasan Basri, seusai menghadap Kepala
Negara di Bina Graha mengatakan, “janganlah karena perbuatan sekelompok
kecil orang, merusak nama baik umat Islam yang besar jumlahnya di
Indonesia”
Apapun pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini
sungguh sangat mahal harganya. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh
aparat hingga kini juga masih tetap misteri. Korban penyerbuan aparat
keamanan terhadap kelompok Warsidi pun hingga kini terpecah dalam dua
kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan
Militer di Lampung (Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan
secara hukum kasus pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut. Kelompok
lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar Umat (Format) dan
Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka
menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para
pelakunya (berbagai sumber).
B. Hubungan ‘Genetis’ Talangsari dengan Jama’ah Islamiyah (JI)
Menurut Riyanto bin Suryadi mantan Komandan Pasukan Khusus
Jama'ah Warsidi, bila kasus Talangsari ini dipandang dalam perspektif
kekinian, tampak ada hubungan ‘genetis’ dengan gerakan JI (Jamaah
Islamiyah). Dikatakan demikian, karena keduanya punya titik persintuhan
dengan sosok bernama Abdullah Sungkar.
Abdullah Sungkar adalah tokoh NII yang hengkang ke Malaysia sejak
1985. Kemudian pada tahun 1993 ia memisahkan diri dari NII dan membentuk
Jama’ah Islamiyah (JI). Kasus Talangsari terjadi pada Februari 1989, ketika
Abdullah Sungkar masih berada di Malaysia. Ini dapat diartikan, meski secara
fisik Abdullah Sungkar berada di Malaysia, namun komunikasi dan
pembinaan terus berlanjut hingga ke Talangsari sekalipun.
Semasa masih berada di Indonesia, semasih menjadi kader NII,
Abdullah Sungkar aktif membina gerakan keagamaan yang dinamakan Usroh.
Sejumlah pelaku kasus Talangsari merupakan bagian dari gerakan Usroh
Abdullah Sungkar ini. Misalnya, Sukardi, yang bergabung ke dalam gerakan
Usroh Abdullah Sungkar pada tahun 1984. Selain menjadi aktivis gerakan
Usroh Abdullah Sungkar, Sukardi juga anggota tim pencari dana Fa’i
pimpinan Nur Hidayat bin Abdul Mutholib.
Nur Hidayat sendiri merupakan salah satu anggota gerakan Usroh
Abdullah Sungkar Jakarta Selatan, yang mengenal gerakan Usroh Abdullah
Sungkar pada tahun 1984 dari Ibnu Toyib alias Abu Fatih. Sosok Ibnu Toyib
alias Abu Fatih kemudian hari dikenal sebagai salah satu petinggi JI, yang
pernah menjabat sebagai Ketua Mantiqi II. Nama-nama lain yang juga terkait
kasus Talangsari yang juga menjadi anggota gerakan Usroh pimpinan
Abdullah Sungkar adalah Mushonif, Abadi Abdillah, Margotugino, Suryadi,
Alex alias Muhammad Ali, Arifin bin Karyan (mantan aktivis gerakan Usroh
Abdullah Sungkar Jakarta Ring Condet). Mushonif yang divonis 20 tahun
penjara dalam kasus Talangsari, sebenarnya tidak terlibat dalam peristiwa itu.
Ia adalah alumnus Pondok Pesantren al-Mukmin Ngruki (1983-1986) yang
diutus untuk mengajar di Pondok Pesantren Al-Islam di Way Jepara,
Kabupaten Lampung Tengah. Kala itu ia bersama Abadi Abdullah ditugaskan
pimpinan ponpes Ngruki untuk mengajar di ponpes Al-Islam, Way Jepara,
Lampung. Selama di Way Jepara, Mushonif aktif mengikuti pengajian yang
diselenggarakan Warsidi. Karena, ia merasa satu pemahaman dengan Warsidi.
Ketika ditangkap aparat, dengan jujur dan terus terang Mushonif mengakui
dirinya anggota jamaah Warsidi, namun tidak terlibat aksi kekerasan.
Nama lain yang ikut membidani kasus Talangsari adalah Wahidin AR
Singaraja alias Zainal, mantan aktivis gerakan Usroh Abdullah Sungkar
Ring Condet (sejak 1984) yang terakhir bekerja sebagai Satpam Taman
Impian Jaya Ancol, Jakarta Utara. Ketika Nur Hidayat dalam masa pelarian,
Wahidin menjadi semacam tempat singgah. Nur Hidayat sesekali mengikuti
pengajian yang dikelola Wahidin. Ketika kasus Talangsari meledak, Wahidin
hilang bagai ditelan bumi. Ia sama sekali tidak pernah mengikuti proses
hukum sebagaimana Nur Hidayat dan sebagainya, karena buron hingga kini.
Wahidin AR Singaraja alias Zainal kelahiran Dusun Betung, Kecamatan
Cempaka, Kabupaten Ogan Komering Ulu, Palembang, merupakan anggota
tertua dari empat sekawan yang disebut-sebut sebagai aktivis dari Jakarta.
Wahidin lahir pada tanggal 24 Agustus 1948. Meski sempat merencanakan
gerakan makar di Talangsari bersama-sama dengan Nur Hidayat, Sudarsono
dan Fauzi Isman, dan ikut menjalin kesepakatan dengan anggota tim
perunding Warsidi, kasus Talangsari keburu meledak (6-7 Februari 1989),
sebelum ia sempat menginjakkan kakinya untuk hijrah dan menetap di dukuh
Cihideung.
Nama lain yang layak dikutip di sini adalah Abdul Haris alias Haris
Amir Falah. Ia sempat menjadi bagian gerakan Usroh Abdullah Sungkar sejak
1984, dan pada tahun 1987 pernah menjadi bagian dari kelompok Nur Hidayat
yang di kemudian hari merancang gerakan makar di Talangsari. Ketika itu Nur
Hidayat mengawali persiapan perangnya dengan membentuk empat shaf yang
dipimpin oleh empat orang. Pertama, shaf Ali dipimpin oleh Nur Hidayat
(mengurusi masalah kemiliteran). Kedua, shaf Usman dipimpin oleh
Sudarsono (mengurusi masalah pendanaan) Ketiga, shaf Abu Bakar dipimpin
oleh Haris Amir Falah (mengurusi masalah dakwah). Keempat, shaf Umar
dipimpin oleh Arifin Agule (mengurusi masalah perhubungan).
Belakangan, Haris mengundurkan diri, sehingga ia tidak terlibat kasus
Talangsari. Nama Haris Amir Falah kembali mencuat ketika ia ikut
mendirikan MMI (Majelis Mujahidin Indonesia). Bahkan terakhir kali, Haris
menjabat sebagai Ketua MMI Wilayah DKI Jakarta. Ketika Abu Bakar
Ba’asyir mundur dari MMI dan mendirikan Jama’ah Ansharut Tauhid, Haris
Amir Falah merupakan salah satu pendirinya. Bersama-sama dengan Abu
Bakar Baasyir dan Fauzan Al-Anshari, Haris Amir Falah hengkang dari MMI.
Berdasarkan kenyataan di atas, sesungguhnya gerakan Usroh Abdullah
Sungkar yang mengalir ke Lampung, menghasilkan radikalisme ala Warsidi
(1989). Sebelumnya, ia mengalir ke Tanjung Priok (kasus Tanjung Priok
1984). Dengan demikian, tidak ada alasan untuk menafikan keberadaan
gerakan radikal yang disandingkan dengan doktrin agama, tidak ada alasan
menafikan keberadaan JI, juga keberadaan jamaah NII yang tidak sekadar
bercita-cita mendirikan negara ideologisnya tetapi mengupayakan cita-citanya
itu melalui sebuah upaya sistematis dan terencana yang berdarah-darah
sekalipun.
Kalau saja radikalisme Talangsari versi Warsidi tidak segera
ditumbangkan saat itu juga, mungkin di tempat itu akan menjelma menjadi
sebuah basis pemberontakan yang jauh lebih dahsyat. Pada masa itu (1989)
radikalisme berupa pemberontakan bersenjata dilakukan dengan panah
beracun, golok, clurit atau bendorit (perpaduan antara bendo alias golok
dengan clurit). Kini, radikalisme itu sudah menjadi sesuatu yang sangat
mengerikan, termasuk bom bunuh diri sebagaimana terjadi akhir-akhir ini
di JW Marriott dan Ritz Carlton pada 17 Juli 2009.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara
kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa
Rajabasa Lama, Kecamatan Way Jepara, Kabutapen Lampung Timur
(sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini terjadi pada 7
Februari 1989. Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh
bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh
Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah
juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada
awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh orang.
Apapun pertumpahan darah di antara sesama pemilik negeri ini
sungguh sangat mahal harganya. Dugaan terjadinya pelanggaran HAM oleh
aparat hingga kini juga masih tetap misteri. Korban penyerbuan aparat
keamanan terhadap kelompok Warsidi pun hingga kini terpecah dalam dua
kelompok. Satu kelompok yang menamakan dirinya Korban Kekerasan
Militer di Lampung (Koramil) menuntut agar Komnas HAM menyelesaikan
secara hukum kasus pelanggaran berat HAM pada kasus tersebut. Kelompok
lainnya, yang menamakan diri Forum Persaudaraan Antar Umat (Format) dan
Gerakan Ishlah Nasional (GIN), menuntut Komnas membiarkan mereka
menyelesaikan persoalan melalui pendekatan kekeluargaan dengan para
pelakunya (berbagai sumber).

DAFTAR PUSTAKA

http://rissaaprilia.blogspot.com/2016/11/peristiwa-talangsari-1989.html
http://sejarah-kelam-indonesia.blogspot.com/2015/01/tragedi-talangsari-lampung-1989.html
https://id.wikipedia.org/wiki/Peristiwa_Talangsari_1989
https://serdadu92.wordpress.com/2013/01/22/peristiwa-talangsari-1989/

Anda mungkin juga menyukai