Anda di halaman 1dari 2

Tragedi Talangsari 1989 atau Peristiwa Talangsari 1989[1] adalah kasus pelanggaran HAM berat masa

lalu yang terjadi pada tanggal 7 Februari 1989 di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan
Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini
merupakan dampak dari penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Aturan ini termanifetasi
dalam UU No.3 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya serta UU No 8 tahun 1985
tentang Organisasi Kemasyarakatan.[2] Komnas HAM yang memegang mandat sesuai Undang-undang
no 39 tahun 1999 tentang HAM membentuk tim pemantauan peristiwa Talangsari dan menyimpulkan
bahwa telah terjadi pelanggaran HAM berat di sana. Komnas HAM mencatat tragedi Talangsari menelan
130 orang terbunuh, 77 orang dipindahkan secara paksa, 53 orang dirampas haknya sewenang-wenang,
dan 46 orang lainnya disiksa.[3] ABRI juga membakar seluruh perabotan rumah warga sehingga situasi
saat itu sangat mencekam.

Tragedi Talangsari 1989 Berawal dari menguatnya doktrin pemerintah Soeharto tentang adanya asas
tunggal Pancasila. Untuk menunjukkan komitmennya, Soeharto menyebut prinsip tersebut dengan Eka
Prasetya Panca Karsa dengan program Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (P-4).[3]
Program P-4 banyak menyasar kelompok Islamis yang saat itu memiliki sikap kritis terhadap pemerintah
Orde Baru.

Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung
Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi
adalah juga pemilik lahan sekaligus pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah
di bawah sepuluh orang.

Tragedi Talangsari disebut Komnas HAM sebagai pelanggaran HAM berat masa lalu karena peristiwanya
terjadi secara meluas dan sistematis yang berbeda dengan kejahatan biasa. Undang-undang No. 26
tahun 2000 pasal 9 tentang pengadilan HAM menyebut bahwa penyerangan terhadap kelompok sipil
yang dilakukan atas perintah atau komando dari atasan militer maupun non militer dapat dikategorikan
sebagai kejadian yang terjadi secara sistematis sehingga dapat disebut sebagai kejahatan terhadap
kemanusiaan.

1 Februari 1989

Laporan dari kepala desa setempat kepada Komandan Koramil Way Jepara, bahwa kelompok Warsidi
mengadakan ceramah bernada ekstrim, mengumpulkan botol untuk bom Molotov, dan mengadakan
latihan beladiri.

6 Febriari 1989

Rombongan militer yang dipimpin Kapten Sutiman berangkat ke Umbul Cideung. Rombongan itu
langsung diserang karena dikira akan menangkap Warsidi. Kapten Sutiman tewas.

7 Februari 1989

Colonel Hendropriyono, mempin pasukan yang terdiri dari 3 peleton batalyon 143 dan sepeleton
Brigade mobil. Pasukan menyerbu Umbul Cideung. 246 pengikut Warsidi tewas, termasuk Warsidi
sendiri
Warsidi dan teman-temannya oleh pihak militer dituduh melakukan kegiatan subversif yang hendak
menggulingkan pemerintah Soeharto agar bisa mendirikan negara Islam. Tuduhan ini sangat berlebihan.
Warsidi dan teman-temannya hanyalah kelompok kecil. Sumber daya manusianya sedikit dan rendah.
Sebagian besar bahkan hanyalah tamatan Sekolah Dasar.

Selain tidak punya kemampuan untuk memberontak, mereka juga tidak punya niatan untuk mendirikan
negara Islam. Kegiatan mereka di Cihideung adalah untuk membangun sebuah perkampungan yang
menjamin para warganya menerapkan syariat Islam dalam kehidupan sehari-hari.

Peristiwa Talangsari, sebagaimana peristiwa Tanjung Priok (1984) dan Haur Koneng (1993), tak terlepas
dari usaha Soeharto secara umum untuk memastikan tidak ada satu pun kelompok berbahaya yang bisa
mengganggu pemerintahannya. Dengan dalih menyelamatkan Pancasila, setiap kelompok ekstrem, baik
kanan maupun kiri, dicurigai.

Anda mungkin juga menyukai