Anda di halaman 1dari 2

Nama : Muhammad Ridho

Nim. : 2000874201207
Mata Kuliah : Hukum dan HAM
Artikel

Pendahuluan

Peristiwa talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7 Februari
1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini. Talangsari adalah sebuah
dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur. Peristiwa Talangsari terjadi
karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu, pemerintah, polisi, dan
militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari. Catatan Komnas HAM, Peristiwa
Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang
haknya dirampas secara sewenang-wenang, dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah
korban secara pasti tidak diketahui hingga saat ini.

Peristiwa Talangsari
Tragedi Talangsari berawal dari penetapan semua partai politik harus berasaskan Pancasila
sesuai dengan usulan pemerintah kepada DPR dalam UU Nomor 3 Tahun 1985. Sejak aturan
itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat di Indonesia wajib mengusung Pancasila. Hal
tersebut juga berlaku untuk ormas keagamaan. Jika tak mengusung asas Pancasila, ormas
tersebut dianggap menganut membahayakan negara karena menganut ideologi terlarang. Hal
ini terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah Sungkar. Kelompok
Usroh diburu oleh pemerintah Orde Baru. Kelompok ini melarikan diri ke Lampung.

Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian Warsidi, seorang petani sekaligus guru
ngaji. Kehadiran kelompok Usroh diterima oleh Warsidi karena memiliki tujuan yang sama,
yakni mendirikan kampung kecil untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-
sehari. Pada 1 Februari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Malik bertukar surat dengan
Komandan Rayon Militer Way Jepara Kapten Soetiman. Dalam suratnya, Zulkifli
menjelaskan informasi yang didapat dari Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa Mega dan
Kepala Dusun Talangsari, Sukidi, tentang keberadaan pengajian yang dianggap berkaitan
dengan gerakan Islam garis keras. Kapten Soetiman meminta Kepala Desa untuk mengawasi
Warsidi dan kelompoknya. Laporan dari Kepala Desa terkait aktivitas kelompok Warsidi
diteruskan ke Kodim Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga. Mayor Oloan mengirimkan
sejumlah anggotanya mengawasi kelompok Warsidi ke Dusun Talangsari. Kedatangan para
anggota Kodim menyebabkan bentrokan dengan masyarakat hingga menewaskan Kapten
Soetiman.

Pada 7 Februari 1989, sekitar pukul 4 pagi, militer menyerang Talangsari. Penyerangan itu
dilakukan di bawah Komando Korem Garuda Hitam 043 yang dipimpin Kolonel
Hendropriyono. Penyerangan dilakukan dengan menyasar jamaah pondok pesantren
pengajian Warsidi. Penyerangan dilakukan saat jamaah yang datang dari berbagai daerah
bersiap mengadakan pengajian akbar. Dengan posisi tapal kuda, para tentara mengarahkan
tembakan secara bertubi-tubi dan melakukan pembakaran pondok rumah panggung. Diduga
ramah panggung tersebut berisi ratusan jamaah yang terdiri dari bayi, anak-anak, ibu hamil,
serta orang tua. Sebanyak 246 jamaah dinyatakan hilang, ratusan orang disiksa, ditangkap,
ditahan, dan diadili secara semena-mena. Pasca peristiwa itu, Talangsari ditutup untuk umum
dengan penguasaan tanah berada di bawah Korem Garuda Hitam.

Anda mungkin juga menyukai