Anda di halaman 1dari 4

TUGAS KEWARGANEGARAAN

Nama : Agum Dwi Gumelar

Kelas : 1C/ S1 Ilmu Keperawatan

NIM : C2114201037

Tragedi Talangsari 1989

Peristiwa Talangsari 1989 adalah kasus pelanggaran HAM berat yang terjadi pada 7
Februari 1989. Nama Talangsari diambil dari tempat terjadinya peristiwa ini. Talangsari
adalah sebuah dusun di Desa Rajabasa Lama, Way Jepara, Lampung Timur.Peristiwa
Talangsari terjadi karena penerapan asas tunggal Pancasila di masa Orde Baru. Saat itu,
pemerintah, polisi, dan militer menyerang masyarakat sipil di Talangsari.

Catatan Komnas HAM, Peristiwa Talangsari menewaskan 130 orang, 77 orang


dipindahkan secara paksa atau diusir, 53 orang haknya dirampas secara sewenang-wenang,
dan 46 orang mengalami penyiksaan. Jumlah korban secara pasti tidak diketahui hingga saat
ini.
 Faktor Penyebab Tragedi Talangsari di Way Jepara Lampung Timur Tahun 1989 :
1. SARA (Suku, agama, ras, antar golongan)
Merupakan faktor penyebab terjadinya Peristiwa Talangsari di Way Jepara
Lampung Timur tahun 1989. Perbedaan pemahaman mengenai ajaran Islam telah
melahirkan sikap antipati terhadap sebuah kelompok pengajian yang dipimpin oleh
Warsidi. Sikap eksklusiv Warsidi dan Jemaahnya yang enggan bergaul dengan
masyarakat telah membuat hubungan antar keduanya menjadi tidak harmonis. Hal ini
ditandai dengan beberapa hal yaitu, jemaah Warsidi menolak untuk sholat berjamaah
diluar kelompoknya, menolak undangan kenduri penduduk,serta mengambil tanaman
milik wargapunmenurut mereka adalah hal yang biasa.

2. Keadilan/ Kemanusiaan
Mereka mengecam pemerintah selalu melakukan korupsi, kolusi dan nepotisme.
Pengajian Warsidi juga menilai pemerintah Indonesia tidak mampu menyejahterakan
rakyat, serta gagal menciptakan keadilan. Kemelaratan terjadi di mana-mana. Selain
itu hukum tidak berpihak pada rakyat kecil. Jemaah Warsidi kemudian menyimpulkan
Pancasila, Undang-Undang Dasar (1945), Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN)
adalah produk gagal.

3. Situasi Politik
Situasi Politik sangat berpengaruh terhadap sebuah peristiwa. Jemaah Warsidi
sangat menentang sistem politik Orde Baru yang dirasa merusak kemurnian agama
Islam yang berusaha menerapkan asas tunggal pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Selain itu pemerintah Orde Baru telah gagal menyejahterakan rakyat, sehingga
Warsidi kerap memberikan ceramah-ceramah yang terkesan keras dan lain pada masa
itu serta sering mengkritik pemerintah.

4. Protes Pada Negara


Ekslusivisme jemaah Warsidi secara langsung berdampak terhadap sikap mereka
kepada pemerintah desa. Warsidi dan jemaahnya menolak untuk membayar pajak.
Bagi mereka Islam hanya mengenal zakat dan infaq. Selain itu mereka juga menolak
himbauan pemerintah desa untuk mengibarkan bendera merah putih pada setiap
peringatan hari besar nasional. Jemaah Warsidi juga selalu menolak untuk diajak
bergotong royong mengeraskan jalan desa serta menolak ajakan untuk malaksanakan
ronda malam.
Dari berbagai penolakan terhadap kebijakan pemerintah desa tersebut, maka
muncul anggapan bahwa kelompok tersebut adalah pemberontak, Gerakan Pengacau
Keamanan (GPK), Subversif dan lain sebagainya.

 Kronologi Tragedi Talangsari 1989


Tragedi Talangsari berawal dari penetapan semua partai politik harus berasaskan
Pancasila sesuai dengan usulan pemerintah kepada DPR dalam UU Nomor 3 Tahun
1985. Sejak aturan itu ditetapkan, seluruh organisasi masyarakat di Indonesia wajib
mengusung Pancasila. Hal tersebut juga berlaku untuk ormas keagamaan. Jika tak
mengusung asas Pancasila, ormas tersebut dianggap menganut membahayakan negara
karena menganut ideologi terlarang.
Hal ini terjadi pada kelompok kecil bernama Usroh yang diketuai Abdullah
Sungkar. Kelompok Usroh diburu oleh pemerintah Orde Baru. Kelompok ini
melarikan diri ke Lampung. Di Lampung, Usroh bergabung dengan pengajian
Warsidi, seorang petani sekaligus guru ngaji. Kehadiran kelompok Usroh diterima
oleh Warsidi karena memiliki tujuan yang sama, yakni mendirikan kampung kecil
untuk menjalankan syariat Islam dalam kehidupan sehari-sehari.
Pada 1 Februari 1989, Camat Way Jepara Zulkifli Malik bertukar surat dengan
Komandan Rayon Militer Way Jepara Kapten Soetiman. Dalam suratnya, Zulkifli
menjelaskan informasi yang didapat dari Kepala Desa Rajabasa Lama, Amir Puspa
Mega dan Kepala Dusun Talangsari, Sukidi, tentang keberadaan pengajian yang
dianggap berkaitan dengan gerakan Islam garis keras.
Kapten Soetiman meminta Kepala Desa untuk mengawasi Warsidi dan
kelompoknya. Laporan dari Kepala Desa terkait aktivitas kelompok Warsidi
diteruskan ke Kodim Lampung Tengah, Mayor Oloan Sinaga. Mayor Oloan
mengirimkan sejumlah anggotanya mengawasi kelompok Warsidi ke Dusun
Talangsari. Kedatangan para anggota Kodim menyebabkan bentrokan dengan
masyarakat hingga menewaskan Kapten Soetiman.
Pada 7 Februari 1989, sekitar pukul 4 pagi, militer menyerang Talangsari.
Penyerangan itu dilakukan di bawah Komando Korem Garuda Hitam 043 yang
dipimpin Kolonel Hendropriyono. Penyerangan dilakukan dengan menyasar jamaah
pondok pesantren pengajian Warsidi. Penyerangan dilakukan saat jamaah yang datang
dari berbagai daerah bersiap mengadakan pengajian akbar. Dengan posisi tapal kuda,
para tentara mengarahkan tembakan secara bertubi-tubi dan melakukan pembakaran
pondok rumah panggung.
Diduga rumah panggung tersebut berisi ratusan jamaah yang terdiri dari bayi,
anak-anak, ibu hamil, serta orang tua. Sebanyak 246 jamaah dinyatakan hilang,
ratusan orang disiksa, ditangkap, ditahan, dan diadili secara semena-mena.

 Penyelesaian Tragedi Talangsari


Bagi Komnas Ham, kasus Peristiwa Talangsari tergolong dalam pelanggaran HAM
berat, karena peristiwanya yang terjadi secara meluas dan sistematis, berbeda dengan
kejahatan biasanya. Menurut UU No. 26 Tahun 2008 pasal 9 tentang pengadilan
HAM menyebutkan bahwa penyerangan terhadap kelompok sipil yang dilakukan atas
perintah dari atasan militer maupun non-militer dapat dikategorikan sebagai kejadian
sistematis, dianggap kejahatan terhadap kemanusiaan.
Tahun 2001, korban dari Peristiwa Talangsari mendesak Komnas HAM untuk
segera membentuk Komisi Penyelidik Pelanggaran HAM (KPP HAM). Pada 23
Februari 2001, tim penyelidikan pun dibentuk berdasarkan UU No. 39 Tahun 1999.
Tim ini terdiri dari :
 Enny Suprapto (Kekerasan)
 Samsudin (Hak Hidup)
 Ruswiyati Suryasaputra (Perempuan)
 Muhammad Farid (Anak-anak)

Tim mulai bekerja pada akhir Maret sampai awal April 2005. Setelah Komnas HAM
turun ke lapangan pada Juni 2005, di dapati adanya pelanggaran HAM yang berat. Setelah
Komnas HAM mengeluarkan laporan penyelidikan, berkas diserahkan ke Kejaksaan Agung.
Namun, laporan tersebut ditolak oleh Kejaksaan Agung karena dianggap kurang ada bukti
formil dan materil.

 Deklarasi Damai
Beberapa tahun berselang, 20 Februari 2019, terjadi deklarasi damai Talangsari
yang diinisiasi oleh Tim Terpadu Penangan Pelanggaran Ham dari Kementerian
Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan. Deklarasi ini dilakukan di
Dusun Talangsari, Lampung Timur, dihadiri oleh anggota DPRD Lampung Timur,
Kapolres, Dandim, Kepala Desa Rajabasa Lama, dan Camat Labuhan Ratu.
Isi dari deklarasi tersebut adalah agar korban Talangsari tidak lagi mengungkap
kasus tersebut karena telah dianggap selesai oleh pemerintah dengan kompensasi
berupa pembangunan jalan dan fasilitas umum di Lampung. Dari isi tersebut, korban
dan masyarakat sipil pun melemparkan penolakan, karena kompensasi yang diberikan
bukan kompensasi khusus untuk orang-orang yang menjadi korban dalam Peristiwa
Talangsari.
Korban yang ada dalam Perkumpulan Keluarga Korban Peristiwa Pembantaian
Talangsari Lampung didampingi oleh Kontras dan Amnesti Internasional Indonesia
melaporkan perihal deklarasi tersebut pada Ombudsman Republik Indonesia.
Akhirnya, tanggal 13 Desember 2019, Ombudsman mengumumkan bahwa deklarasi
damai Talangsari dinyatakan maladministrasi. Dengan demikian, para korban
Talangsari masih harus berjuang memperoleh haknya.

Anda mungkin juga menyukai