Anda di halaman 1dari 10

PERKEMBANGAN

DAN
PELANGGARAN
HAM DI LAMPUNG
PELANGGARAN HAM DI
LAMPUNG
Pelanggaran hak asasi manusia (HAM) di Provinsi Lampung
tergolong tinggi. Pelanggaran ini terutama terjadi akibat konflik agraria
dan sumber daya alam. "Di Indonesia, kasus pelanggaran HAM di
Lampung termasuk yang tertinggi setelah Papua dan NAD. Kasus di
Lampung dan Sumsel adalah yang tertinggi di Sumatera,"

Serangkaian kasus yang diduga berupa pelanggaran HAM ini antara


lain adalah kasus Talangsari di Lampung Timur, pengusiran warga di
kawasan Register 45 Mesuji, pengabaian hak petambak plasma di
Rawajitu, pembongkaran Pasar Unit II Tulang Bawang, dan yang terakhir
penembakan petani di Mesuji yang mengakibatkan tewasnya satu warga.
Namun, yang disayangkan, dari sekian banyak kasus ini, hampir tidak
ada yang kasusnya masuk dalam ranah pengadilan.
KASUS TALANGSARI 1989 DI
LAMPUNG
Kasus pelanggaran HAM di Indonesia
salah satunya terjadi di daerah Lampung
yang hingga saat ini peristiwa tersebut
dikenal dengan peristiwa Talangsari 1989.

Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi


antara kelompok Warsidi dengan aparat keamanan di
Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan
Way Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya
masuk Kabupaten Lampung Tengah). Peristiwa ini
terjadi pada 7 Februari 1989.
Peristiwa Talangsari 1989 adalah insiden yang terjadi di antara kelompok Warsidi dengan
aparat keamanan di Dusun Talangsari III, Desa Rajabasa Lama, Kecamatan Way
Jepara, Kabupaten Lampung Timur (sebelumnya masuk Kabupaten Lampung Tengah).
Peristiwa ini terjadi pada 7 Februari 1989.Peristiwa Talangsari tak lepas dari peran seorang
tokoh bernama Warsidi. Di Talangsari, Lampung Warsidi dijadikan Imam oleh Nurhidayat dan
kawan-kawan. Selain karena tergolong senior, Warsidi adalah juga pemilik lahan sekaligus
pemimpin komunitas Talangsari yang pada awalnya hanya berjumlah di bawah sepuluh oarang.
Peristiwa ini diawali pada tanggal 1 Februari 1989, ketika Kepala Dukuh Karangsari
mengirimkan surat yang ditujukan kepada Komandan Koramil (Danramil) Way Jepara, Kapten
Soetiman, yang menyatakan bahwa di dukuhnya ada orang-orang yang melakukan kegiatan
mencurigakan. Yang disebut sebagai orang-orang itu adalah Warsidi dan kelompok pengajian
yang menamakan diri sebagai Komando Mujahidin Fisabilillah, berlokasi di Desa Rajabasa
Lama, Kecamatan Way Jepara, Lampung Tengah. Oleh karenanya pada 6 Februari 1989
pemerintah setempat melalui Musyawarah Pimpinan Kecamatan (MUSPIKA) yang dipimpin
oleh Kapten Soetiman (Danramil Way Jepara) merasa perlu meminta keterangan kepada
Warsidi dan pengikutnya. Berangkatlah sebuah rombongan dari Kantor Camat Way Jepara,
menuju kompleks kediaman Anwar. Dipimpin oleh May. Sinaga memimpin, Kepala Staf
Kodim Lampung Tengah. Rombongan besar terdiri dari Kapten Soetiman, Camat Zulkifli
Malik, Kapolsek Way Jepara Lettu (Pol.) Dulbadar, Kepala Desa Rajabasa Lama Amir
Puspamega, serta sejumlah anggota Koramil dan hansip. Seluruhnya berjumlah sekitar 20
orang. Terjadi kesalahpahaman di antara dua kelompok yang menyulut bentrokan. Kedatangan
Kapten Soetiman disambut dengan hujan panah dan perlawanan golok. Dalam bentrokan
tersebut Kapten Soetiman tewas.
Tewasnya Kapten Soetiman membuat Komandan Korem (Danrem) 043 Garuda Hitam
Lampung Kolonel AM Hendropriyono mengambil tindakan terhadap kelompok Warsidi.
Sehingga pada 7 Februari 1989, 3 peleton tentara dan sekitar 40 anggota Brimob
menyerbu ke Cihideung, pusat gerakan. Menjelang subuh keadaan sudah dikuasai oleh
ABRI.
Menurut data Komite Solidaritas Mahasiswa Lampung (Smalam), tim investigasi dan
advokasi korban peristiwa Talangsari, setidaknya 246 penduduk sipil tewas dalam
bentrokan tersebut. Sementara menurut Komite untuk Orang Hilang dan Korban Tindak
Kekerasan (Kontras) menyebut 47 korban dapat diidentifikasi jenazahnya, dan 88
lainnya dinyatakan hilang. Jumlah yang sesungguhnya masih misterius. Menurut buku
Talangsari 1989, Kesaksian Korban Pelanggaran HAM Lampung, terbitan Lembaga
Studi Pers dan Pembangunan dan Sijado, korban berjumlah 300 orang. Ratusan anak
buah dan pengikut Warsidi ditangkap. Sampai kini para korban peristiwa Talangsari
masih hidup dalam stigma Gerakan Pengacau Keamanan (GPK), Komunitas
Antipemerintah atau Islam PKI.
PERKEMBANGAN KASUS TALANGSARI 1989 DI LAMPUNG

a. Kondisi Korban
Kondisi pembangunan daerah masih jauh tertinggal dari dusun-dusun di
sekitarnya. Banyak dari warga yang mengalami tekanan psikologis.

b. Respon Presiden
Mei 2011, Presiden pernah membentuk tim penyelesaian kasus-kasus
pelanggaran HAM berat. Namun tidak ada perkembangan yang berarti
dari tim ini, selain melakukan kunjungan ke Dusun Talangsari.
c. Respon Komnas HAM
Pada 2 Maret 2005, Komnas HAM membentuk KPP HAM untuk melakukan
penyelidikan, kemudian berkas hasil penyelidikan tersebut kemudian diserahkan oleh
Komnas HAM kepada Jaksa Agung (2006) untuk di tindak lanjuti ke tahap penyelidikan.

d. Respon Kejaksaan Agung


Sampai saat ini Jaksa Agung belum melakukan penyidikan dengan alasan masih dalam
penelitian Direktorat Penanganan Pelanggaran HAM berat dan sejumlah alasan legal
formal lainnya.

e. Respon Komisi III DPR RI


Meskipun telah ada pertemuan dan respon dari Komisi III DPR RI untuk menindaklanjuti
penyelesaian kasus Talangsari tetapi sampai saat ini belum ada langkah nyata yang
dilakukan untuk mendorong pemerintah memenuhi kewajiban penyelesaian peristiwa
Talangsari.
PERKEMBANGAN TERBARU KASUS TALANGSARI 1989 SAAT INI

Kini, upaya penyelesaian pelanggaran berat HAM


masa lalu terus diupayakan pemerintahan Jokowi – JK.
Menkopolhukam dan Jaksa Agung mengambil inisiatif
untuk memulai membangun mekanisme penyelesaian
pelanggaran HAM masa lalu. Tapi inisiatif tersebut
tampaknya akan mendapat banyak penentangan.

Mengapa? Karena selama ini wacana yang


sampai ke publik adalah tim Menkopolhukam
tersebut akan menyelesaikan kasus pelanggaran
berat HAM masa lalu melalui jalur rekonsiliasi
tapi tanpa pengungkapan kebenaran.
DEKLARASI DAMAI

Kabar terbaru di tahun 2019 ini adalah Kemenkopolhukam


melakukan deklarasi damai terkait penyelesaian kasus pelanggaran
HAM berat Talangsari 1989 di Kabupaten Lampung Timur, pada 20
Februari 2019 lalu.
TERIMA KASIH

Anda mungkin juga menyukai