Anda di halaman 1dari 8

KASUS PELANGGARAN HAM

Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia

Kronologi Konflik Sunni dan Syiah

Ketegangan antara Sunni dan Syiah sudah terjadi sejak tahun 2004. Yaitu ketegangan

antara Kyai Ma’mun dan Kyai Ali Kharar, namun ketegangan ini

tidak berujung pada

kekerasan karena ketokohan Kyai Ma’mun. Tekanan pada

kelompok Syiah di Sampang

menguat sejak tahun 2006 setelah Kyai. Ma’mun

meninggal dunia. Dan semakin diperburukdengan keretakan antara Utz. Rois dan Utz. Tajul, dimana
keluarga terbelah menjadi duakubu, yaitu kubu dipimpin oleh Utz. Tajul (Iklil, Hani, dan Umma), dan Utz.
Rois (Achmad,Budur, Kalsum dan Fatimah). Tekanan pada tahun 2006 diwarnai dengan adanya
pengadangan terhadap kelompok Syiah di Nangkrenang yang hendak mengikuti kegiatanAsyura di
Malang, meskipun aksi ini tidak berujung pada bentrokan secara fisik.

Dan padatanggal 9 April 2007, saat berlangsung acara Maulid di kediaman Utz. Tajul Muluk Dusun
Nangkrenang, sejumlah besar massa yang berasal dari KarangPenang datang mengadang tamu yang
menghadiri acara. Massa meminta Utz. Tajul Mulukmenghentikan acara dan menghentikan dakwah
Syiah. Kemudian Utz. Tajul Muluk dipaksamembuat pernyataan kembali ke ajaran Ahlusunnah Wal
Jamaah yang dibacakan di atas panggung dihadapan massa.

Pada tahun 2009 khususnya setelah Utz. Rois keluar dari Syiah ditandai denganmenguatnya intimidasi
dan tekanan terhadap penganut Syiah dan mobilitas massa yangintensif. Para ulama Madura yang
tergabung dalam BASSRA (Badan Silaturahmi UlamaSemadura) mengeluarkan ultimatum terhadap Syiah
tidak boleh melakukan dakwah Syiahdan kembali ke Ahlusunnah Wal Jamaah. Pada tanggal 15
Desember 2009, Utz. Roismenyatakan keluar dari Syiah.

Dalam pandangan Kesbangpol Kabupaten Sampang hal inimenimbulkan persaingan pengaruh


ketokohan di Desa Karang Gayam Kecamatan Omben.Tanggal 26 Oktober 2010 Bakorpakem mendesak
Utz. Tajul tidak mengadakan ritual dandakwah Syiah, Utz. Tajul membuat surat pernyataan tidak akan
melakukan aktivitas dakwahdemi keselamatan umat banyak.

Tanggal 27 Juli 2010, sejumlah massa dari desa Blu’uran

berkumpul di dusun Nangkernang hendak menyerang rumah kediaman Utz. Tajul. Meresponaksi
tersebut, pihak Polres dan Pemda Sampang meminta Utz. Tajul tidak kembali ke

Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia

kampungnya dan Pemda Sampang siap merelokasi Utz. Tajul sesuai dengan rekomendasiForum Ulama
Sampang.Karena adanya ancaman dan desakan dari massa, maka pada tanggal 29 Juli 2011 Utz.Tajul
menandatangani surat pernyataan yang menyatakan kesediannya untuk sementarawaktu keluar dari
Sampang selama satu tahun menuju ke Malang. Deretan ketegangan Sunni-Syiah akhirnya pada 29
Desember 2011 berujung pada pembakaran rumah komunitas Syiah.Jumlah rumah yang dibakar
sebanyak 4 (empat) rumah yaitu 2 (dua) rumah Utz. Iklil, 1 (satu)rumah Sdri. Hani dan 1 (satu) rumah
Utz. Tajul Muluk dengan jumlah 15 jiwa yangmenghuni 4 (empat) rumah tersebut. Pembakaran rumah-
rumah tersebut dilakukan oleh olehmassa kurang lebih 1000 orang yang berasal dari 4 (empat) desa
yaitu Desa Karang Gayam,

Desa Pandeng, Desa Blu’uran dan Desa Tlambeh (Massa dari

aliran Sunni atau Aswaja) yangterdiri dari orang dewasa, perempuan, dan anakanak yang membawa
kayu, celurit, batu danlinggis, disamping itu massa juga menutup akses jalan menuju TKP guna
menghalangi petugas keamanan. Akibat aksi pembakaran yang dialami Komunitas Syiah yang tinggal
diDesa Karang Gayam Kecamatan Omben Kabupaten Sampang, sebanyak kurang lebih 300 jiwa
mengungsi ke Gor Sampang.

10

Pasca kejadian tanggal 29 Desember 2011, Majelis Ulama Indonesia (MUI)Kabupaten Sampang
mengeluarkan fatwa tertanggal 1 Januari 2012 yang menyatakan ajaranyang dibawa Tajul Muluk adalah
sesat dan merupakan penistaan terhadap Islam. Kemudian pada tanggal 2 Januari 2012 PCNU Kabupten
Sampang mengeluarkan surat pernyataan yangmendukung fatwaMUI Kabupaten Sampang. Tanggal 3
Januari 2012 BASSRA meminta MUI Pusat dan MUIJawa Timur untuk mengeluarkan fatwa sesat
terhadap Syiah, dan meminta kepada PemkabSampang agar melarang ajaran Syiah di Madura. Pada 10
April 2012, Pengadilan NegeriSampang memutuskan vonis 3 bulan 10 hari terhadap Musikrah (50 tahun)
tersangka pelaku pembakaran rumah pimpinan Syiah dan pesantren Syiah pada 29 desember 2011.
Dengandikurangi masa tahanan, tersangka langsung bebas.Kekerasan terhadap komunitas penganut
Syiah di Sampang Madura Jawa Timurkembali terjadi pada tanggal 26 Agustus 2012.
11

Pada sekitar pukul 08.00 Wib ratusan massa bersenjata tajam seperti celurit, pedang, dan pentungan
serta bom molotov telah berkumpul di kampung Nangkernang untuk menghadap kepergian anak-anak
penganut Syiah ke pondok

Pelangaran HAM Secara Vertiikal dan Horizontal di Indonesia

pesantrennya seperti di Bangil 4 Laporan Tim Temuan dan Rekomendasi (TTR) TentangPenyerangan
terhadap Penganut Syiah di Sampang, Madura dan di Pekalongan. Bahwa adaimbauan yang disampaikan
melalui pengeras suara di mushola-mushola termasuk musholamilik Utz. Rois Al Hukama agar para
muslimin berkumpul menghadapi para penganut Syiahyang dianggap sesat. Pengadilan Negeri Surabaya
menjatuhkan vonis terhadap 6 (enam)tersangka pelaku serangan terhadap Komunitas Penganut Syiah
pada 26 Agustus 2012,masing-masing Mukhsin alias Tamam Bin Mohamad Rowi 10 bulan penjara
dengan pasal pengeroyokan, Mat Safi bin Misnoto dengan 1 tahun 6 bulan penjara dengan pasal
penganiayaan, Saniwan alias Muhriyah 8 bulan penjara dengan pasal pengeroyokan, dan Saripin 8 bulan
penjara dengan pasal pengeroyokan. SementaraRois Al Hukama yang diduga sebagai terdakwa utama
justru divonis bebas pada 16 April2013. Sementara Hadiri alias Hosen didakwa pelaku pembunuhan
terhadap Hamamahdivonis 4 tahun penjara.

12

Tanggal 20 Juni 2013, sekitar 168 penganut Syiah Sampangdirelokasi paksa oleh Pemkab Sampang ke
Rumah Susun Puspo Argo Sidoarjo denganmenggunakan 3 truk dan 2 bus polisi dan dikawal oleh 3 mobil
patroli.

Penyelesaian Masalah

Upaya-upata rekonsiliasi terkait Konflik penganut Syiah dan Sunny di Sampang,Madura, Jatim sampai
saat ini masih terus dilakukan. Memang masih memerlukan waktumembawa kedua pihak untuk
mendapatkan pemahanan yang bisa diterima kedua pihak. Namun demikian, pemerintah terus
melakukan pendekatan kepada para ulama, mengingat peran dan posisi ulama di Pulau Madura yang
sangat dominan. Demikian juga peran pemdasampang yang terus didorong pro aktif di lini depan
penyelesaian konflik ini sesuai amanahUU Pemda dan UU Penanganan Konflik Sosial di daerah yang
menjadi tanggung jawabkepala daerah.

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) saat berkunjung ke Sampang pada awal desember 2013,
telah memperoleh laporan dari Tim Rekonsiliasi Syiah yangdiketuai oleh Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Ampel Surabaya, Abd A'la.Presiden SBY mengatakan, dalam pertemuan informal dengan
Tim Rekonsiliasi SyiahSampang itu, ia mendengarkan perkembangan penyelesaiannya dari Ketua Tim
Prof. A'la.Saat bertemu dengan Tim Rekonsiliasi Syiah itu, Presiden SBY di dampingi oleh menko
polhukam Djoko suyanto,Menko kesra agung laksono,Mentri agama Suryadharma ali,Mendagri
Gamawan Fauzi,Mensesneg sudi silalahi,seskab dipo alam,Menteri BUMN dahlan iskan,Mendikbud M
Nuh,Kapolri jendral sutarman, dan panglima Moeldoko. Hingga saat ini, proses rekonsiliasi tersebut
masih berjalan dan pemerintah terus berupaya untuk sedapatnya meredam konflik.

Pelanggaran HAM secara vertikal di Indonesia : Kasus Tanjung Priok 1984

Kronologi KejadianPada pertengahan tahun 1984, Beredar isu tentang RUU organisasi sosial yang
mengharuskan penerimaan azas tunggal. Hal ini menimbulkan implikasi yang luas. Diantara pengunjung
masjid di daerah ini, terdapat seorang mubaligh yang terkenal, Menyampaikan ceramah pada
jama'ahnya dengan menjadikan isu ini sebagi topik pembicarannya, sebab Rancangan Undang-Undang
tersebut sudah lama menjadi masalah yang kontroversi.Kejadian berdarah Tanjung Priok dipicu oleh
tindakan provokatif tentara.[footnoteRef:2] Pada tanggal 7 september 1984, seorang Babinsa beragama
katholik sersan satu Harmanu datang ke musholla kecil yang bernama "Musholla As-sa'adah" dan
memerintahkan untuk mencabut pamflet yang berisi tulisan problema yang dihadapi kaum muslimin,
yang disertai pengumuman tentang kegiatan pengajian yang akan datang. Tak heran jika kemudian
orang-orang yang disitu marah melihat tingkah laku Babinsa itu. Pada hari berikutnya Babinsa itu datang
lagi beserta rekannya, untuk mengecek apakah perintahnya sudah dijalankan apa belum. Setelah
kedatangan kedua itulah muncul isu yang menyatakan, kalau militer telah menghina kehormatan
tempat suci karena masuk mushola tanpa menyopot sepatu, dan menyirami pamflet-pamflet di
musholla dengan air comberan. [2: Poesponegoro, MD dan Notosusanto, N. 2008. Sejarah Nasional
Indonesia VI: Jaman Jepang dan Jaman Republik Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, hlm. 642644]

Pada tanggal 10 september 1984, Syarifuddin rambe dan Sofyan Sulaiman dua orang takmir masjid
"Baitul Makmur" yang berdekatan dengan Musholla As-sa'adah, Berusaha menenangkan suasana
dengan mengajak ke dua tentara itu masuk ke adalam sekretarit takmir mesjid untuk membicarakan
masalah yang sedang hangat. Ketika mereka sedang berbiacara di depan kantor, massa diluar sudah
terkumpul. Kedua pengurus takmir masjid itu menyarankan kepada kedua tentara tadi supaya
persoalaan disudahi dan dianggap selesai saja. Tapi mereka menolak saran tersebut. Massa diluar sudah
mulai kehilangan kesabarannya. Tiba-tiba saja salah satu dari kerumunan massa menarik salah satu
sepeda motor milik prajurit yang ternyata SEOrang marinir dan membakarnya. Saat itu juga Syarifuddin
Rambe dan Sofyan Sulaiman beserta dua orang lainnya ditangkap aparat keamanan. Turut ditangkap
juga Ahmad Sahi, Pengurus Musholla As-sa'adah dan satu orang lagi yang saat itu berada di tempat
kejadian, selanjutnya Mohammad Nur yang membakar motor ditangkap juga. Akibat penahanan empat
orang tadi kemarahan massa menjadi tak terbendung lagi, yang kemudian memunculkan tuntutan
pembebasan ke empat orang yang ditangkap tadi.Pada tanggal 11 September 1984, Massa yang masih
memendam kemarahannya itu datang ke salah satu tokoh didaerah itu yang bernama Amir Biki, karena
tokoh ini dikenal dekat dengan para perwira di Jakarta. Maksudnya agar ia mau turun tangan membantu
membebaskan para tahanan. Sudah sering kali Amir biki menyelesaikan persoalan yang timbul dengan
pihak militer. Tapi kali ini usahanya tidak berhasil.Pada tanggal 12 September 1984, beberapa orang
mubaligh menyampaikan ceramahnya di tempat terbuka, mengulas berbagai persoalan politik dan
sosial, diantaranya adalah kasus yang baru terjadi ini. Dihadapan massa, Amir biki berbicara dengan
keras, yang isinya mengultimatum agar membebaskan para tahanan paling lambat pukul 23.00 Wib
malam itu juga. Bila tidak, mereka akan mengerahkan massa untuk melakukan demonstrasi.Saat
ceramah usai, berkumpulah sekitar 1500 orang demonstran yang bergerak menuju kantor Polsek dan
Kormil setempat. sebelum massa tiba di tempat yang dituju, tiba-tiba mereka telah terkepung dari dua
arah oleh pasukan yang bersenjata berat. Massa demonstran berhadapan langsung dengan pasukan
tentara yang siap tempur. Pada saat pasukan mulai memblokir jalan protokol, mendadak para
demonstran sudah dikepung dari segala penjuru. Saat itu massa tidaklah beringas, sebagian besar
mereka hanya duduk-duduk sambil mengumandankan takbir. Lalu tiba-tiba terdengar aba-aba mundur
dari komandan tentara, tanpa peringatan lebih dahulu terdengarlah suara tembakan, lalu diikuti oleh
pasukan yang langsung mengarahkan moncong senjatanya ke arah demonstran. Dari segala penjuru
terdengan dentuman suara senjata, tiba-tiba ratusan orang demonstran tersungkur berlumuran darah.
Disaat para demonstran yang terluka berusaha bangkit untuk menyelamatkan diri, pada saat yang sama
juga mereka diberondong senjata lagi. Tak lama berselang datang konvoi truk militer dari arah
pelabuhan menerjang dan menelindas demostran yang sedang bertiarap di jalan, Dari atas truk tentara
dengan membabi buta menembaki para demonstran. Dalam sekejap jalanan dipenuhi oleh jasad-jasad
manusia yang telah mati bersimbah darah. Sedang beberapa korban yang terluka tidak begitu parah
berusaha lari menyelamatkan diri berlindung ke tempat-tempat disekitar kejadian.Sembari para tentara
mengusung korban-korban yang mati dan terluka ke dalam truk militer, masih saja terdengar suara
tembakan tanpa henti. Semua korban dibawa ke rumah sakit tentara di Jakarta, sementara rumah sakit-
rumah sakit yang lain dilarang keras menerima korban penembakan Tanjung Priok. Setelah para korban
diangkut, datanglah mobil pemadam kebakaran untuk membersihkan jalanan dari genangan darah para
korban penembakan. Pemerintah menyembunyikan fakta jumlah korban dalam tragedi berdarah itu.
Lewat panglima ABRI saat itu LB. Murdhani menyatakan bahwa jumlah yang tewas sebanyak 18 orang
dan yang luka-luka 53 orang. Tapi data dari Sontak (SOlidaritas Untuk peristiwa Tanjung Priok) jumlah
korban yang tewas mencapai 400 orang. Belum lagi penderitaan korban yang ditangkap militer
mengalami berbagai macam penyiksaan. Dan Amir Biki sendiri adalah salah satu korban yang tewas
diberondong peluru tentara.

Penyelesaian MasalahTragedi Tanjung Priok ini diselesaikan di Pengadilan HAM ad hoc di Jakarta, pada
tahun 2003 2004.[footnoteRef:3] Pengadilan HAM Jakarta Pusat yang berwenang memeriksa dan
mengadili perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok telah menyelesaikan tugasnya untuk mengadili
perkara tersebut pada pertengahan tahun 2004 yang lalu. Perkara terakhir yang diputuskan oleh
Pengadilan HAM Jakarta Pusat adalah perkara Sutrisno Mascung, dkk, yaitu pada 20 Agustus 2004,
dengan putusan terdakwa Sutrisno Mascung, dkk telah terbukti secara sah dan meyakinkan melakukan
pelanggaran HAM yang berat berupa pembunuhan dan percobaan pembunuhan. Oleh karenanya,
terdakwa Sutrisno Mascung, dkk dijatuhi pidana penjara masing-masing 3 tahun penjara untuk Sutrisno
Mascung, dan 2 tahun penjara untuk anggotanya.[footnoteRef:4] [3: McGlynn, JH. 2007. Indonesia in
the Soeharto Years: Issues, Incidents and Images. Jakarta: The Lontar Foundation, hlm. 202] [4: Ibid.,
Hlm. 235]

Sebelumnya, Pengadilan HAM Jakarta Pusat juga telah menjatuhkan putusan kepada para terdakwa
lainnya dalam perkara pelanggaran HAM berat Tanjung Priok. Pada 30 April 2004, Majelis Hakim yang
mengadili perkara R. Butar-Butar menyatakan bahwa R. Butar-Butar selaku Komandan Kodim 0502
Jakarta telah terbukti melakukan kejahatan terhadap kemanusiaan berupa pembunuhan dan
penganiayaan. Terhadap terdakwa R. Butar-Butar, Majelis Hakim yang dipimpin Cicut Sutiyarso
menjatuhkan pidana berupa pidana penjara selama 10 tahun.

Proses PersidanganDalam putusan pertama, Majelis Hakim menyatakan bahwa unsur-unsur kejahatan
terhadap kemanusiaan telah terbukti secara sah dan meyakinkan.[footnoteRef:5] Menurut Majelis
Hakim, unsur-unsur yang terbukti dalam kejahatan terhadap kemanusiaan dalam peristiwa Tanjung
Priok adalah adanya serangan, ditujukan terhadap penduduk sipil, serangan yang meluas atau
sistematik. Sedangkan dalam putusan model kedua, unsur-unsur tersebut tidak terpenuhi. Mengenai
unsur meluas atau sistematik ini, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang diungkapkan Jaksa
Penuntut Umum yang didasarkan pada bukti-bukti yang ditemukan di persidangan, bukan merupakan
bukti adanya serangan sistematik atau meluas sifatnya yang merupakan unsur dari kejahatan
kemanusiaan. [5: Linton, S. 2006. "Accounting for Atrocities in Indonesia" dalam The Singapore Year
Book of International Law Vol 10 No.1: Hlm. 199231. diakses pada 14 April 2014]

Dalam pertimbangannya, Majelis Hakim menyatakan bahwa fakta yang dikemukakan oleh Jaksa
Penuntut Umum atas peristiwa tanggal 12 September 1984 yang terjadi di Jalan Yos Soedarso, Tanjung
Priok lebih menunjukkan bukti terjadi bentrokan seketika atau spontan antara aparat dan massa
(bandingkan dengan tuntutan JPU).[footnoteRef:6] Dengan demikian,bentrokan yang terjadi secara
spontan.

KASUS PELANGGARAN HAM KEJAHATAN BIASA

Kasus Pencemaran Nama Baik, Jerinx SID Jadi Tersangka

Rabu, 12 Agustus 2020 | 16:40 WIB

Oleh : YUD

"Iya sudah ditetapkan sebagai tersangka, sudah kami periksa hari ini dan dia hadir. Sudah kami tahan
juga hari ini di rutan Polda Bali," kata Dirreskrimsus Polda Bali Kombes Pol Yuliar Kus Nugroho saat
dihubungi melalui telepon di Denpasar, Rabu (12/8/2020).Ia mengatakan dasar penetapan Jerinx
sebagai tersangka dilakukan berdasarkan alat bukti yang cukup, ada keterangan saksi, ahli, dan
kesesuaian antara keterangan semuanya termasuk barang buktinya.
"Bahwa itu terpenuhi unsur delik membuat pencemaran nama baik, penghinaan dan menimbulkan
suatu permusuhan kepada IDI, sesuai dengan UU ITE," kata Yuliar.

Dalam perkara ini, pasal yang disangkakan yaitu Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) dan/atau Pasal 27
ayat (3) jo Pasal 45 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 Tentang
Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik
dan/atau pasal 310 KUHP dan atau Pasal 311 KUHP, sesuai dengan Laporan Polisi No.
LP/263/VI/2020/Bali/SPKT, tanggal 16 Juni 2020. Dengan ancaman hukuman enam tahun penjara dan
denda Rp 1 miliar.Sebelumnya, pada (6/8) penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus)
Polda Bali telah melakukan pemeriksaan terhadap drummer band SID ini, dengan memberikan 13
pertanyaan.

Dari hasil pemeriksaan Jerinx yang berlangsung selama kurang lebih dua jam tersebut diperoleh tiga
catatan mendasar. Pertama, dari hasil keterangan, Jerinx memang yang memuat postingan itu. Kedua,
dari postingan itu, Jerinx menggugah IDI selaku organisasi profesional untuk mengambil tindakan atas
ketidakadilan terhadap rakyat, rapid test sebagai syarat layanan ke RS. Ketiga terkait dengan beberapa
postingan yang cukup banyak pada 16 Juni 2020.

KASUS PELANGGARAN HAM LUAR BIASA

Bom Bali 1 adalah salah satu tragedi terorisme terparah yang pernah terjadi di Indonesia.

Pada malam hari, 12 Oktober 2002, sebuah bom meledak di jalan Legian Kuta Bali yang sering menjadi
tempat berkumpul para turis warga negara asing (WNA).

Akibat kejadian tersebut, sekitar 202 orang dikabarkan tewas dengan ribuan lainnya luka-luka.Tragedi
itu lantas disebut sebagai peristiwa Bom Bali 1 disusul peristiwa serupa pada 2005 yang disebut Bom Bali
2.

Ternyata setelah nyaris 20 tahun lalu, proses hukum kasus terorisme ini masih saja terus
berlanjut.Dikutip Pikiran-Rakyat.com dari US News, militer AS dikabarkan sudah mengisi dakwaan
terhadap pelaku Bom Bali 2002.Tidak hanya itu saja, mereka juga mengisi dakwaan untuk para dalang di
balik aksi pengeboman Bom Jakarta 2003.

Dakwaan ini dijatuhkan kepada Encep Nurjaman alias Riduan Isamuddin yang dikenal juga dengan nama
Hambali.Dua lainnya adalah warga Malaysia bernama Mohammed Nazin Bin Lep dan Mohammed Farik
Bin Amin yang disebut sebagai kaki tangan Hambali.Ketiga orang ini diduga pihak AS sebagai dalang dari
Bom Bali 2002 dan Bom Jakarta 2003 yang menewaskan banyak warga AS.Hambali yang memimpin aksi
terorisme merupakan pemimpin kelompok Jemaah Islamiyah (JI) yang melakukan serangkaian aksi
terorisme di Indonesia pada periode tersebut.

JI juga diketahui merupakan kepanjangan tangan dari Al-Qaeda yang ada di Asia Tenggara.Pada Kamis,
21 Januari 2021 kemarin, Pentagon mengumumkan rencana untuk melanjutkan dakwaan militer
terhadap tiga orang ini yang kini ditahan di Pangkalan AS, Teluk Guantanamo.

Seorang pejabat senior hukum militer menyetujui dakwaan non-kapital yang mencakup persekongkolan,
pembunuhan dan terorisme atas dugaan peran mereka dalam pemboman mematikan klub malam di
Bali pada tahun 2002 dan setahun kemudian di Hotel JW Marriott di Jakarta.

Jaksa penuntut militer sebelumnya telah bergerak untuk menuntut mereka di hadapan komisi militer di
Guantanamo, tetapi pejabat Pentagon, yang dikenal sebagai otoritas yang bersidang, tidak pernah
menandatangani dakwaan tersebut.Di saat langkah selanjutnya akan dijalankan pemerintah AS, mereka
terkendala adanya pandemi Covid-19 yang terjadi di sana.

Anda mungkin juga menyukai