Anda di halaman 1dari 14

PERLAKUAN DISKRIMINASI NEGARA DAN TINDAKAN KEKERASAN

KELOMPOK MAYORITAS TERHADAP JEMAAT AHMADIYAH DI TASIKMALAYA


Oleh : Andi Ibnu Hadi

DPC Peradi Tasikmalaya terbentuk sejak Tahun 2013 yang hingga kini belum genap
berusia sepuluh tahun (satu Dasawarsa). Dalam kurun waktu tersebut DPC Peradi
Tasikmalaya melakukan revitalisasi peran dan fungsinya untuk hadir ditengah
masyarakat sebagai organ yang dapat membantu masyarakat dalam mengakses
keadilan hukum. Sejalan dengan hal tersebut pada tahun 2016 DPC Peradi Tasikmalaya
telah melakukan berbagai investigasi yang disinyalir merupakan peristiwa hukum yang
berdampak pada hilangnya rasa keadilan. Diantara hasil investigasi yang dilakukan
adalah tindakan kekerasan kelompok mayoritas dan Negara terhadap Jemaat
Ahmadiyah di Tasikmalaya. Adapun bentuk kekerasan dan tindakan diskriminasi
tersebuat adalah sebagai berikut:

1. Perusakan sarana Ibadah

Beberapa peristiwa kekerasan yang sifatnya fisikal berupa perusakan sarana


ibadah milik Jemaat Ahmadiyah beberapa kali terjadi dan menimpa anggota Jemaat
Ahmadiyah di Tasikmalaya. Peristiwa pertama terjadi pada pada 5 April 2003. Pada hari
itu masjid Al-Hidayah milik Jemaah Ahmadiyah di Desa Tolenjeng, Kecamatan Sukaratu,
Kabupaten Tasikmalaya diserang sekelompok orang. Pihak Ahmadiyah meyakini
serangan itu dipicu provokasi seorang mantan mubalig Ahmadiyah yang bernama Ahmad
Hariyandi pada sebuah acara pengajian di Kecamatan Cisayong beberapa waktu
sebelumnya.
Pihak Ahmadiyah mencoba menyelesaikan persoalan akibat kasus penyerangan
itu dengan memilih jalur hukum tetapi tidak membuahkan hasil yang jelas. 1 Akibat dari
perusakan masjid Al-Hidayah ini, sejumlah barang yang berada dalam masjid terbakar,
di antaranya lemari, buku, karpet dan mimbar.2

1 Laporan Tahunan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan dan Intoleransi 2014 “Utang Warisan


Pemerintah Baru, The Wahid Institute, 2014
2 http://www.desantara.org/03-2008/443/menggagas-dialog-menanam-keterbukaan-menuai-kerukunan/,
“Menggagas Dialog, Menanam Keterbukaan, Menuai Kerukunan”, 10 Maret 2008 (Diakses 1 Agustus
2016)
Peristiwa kedua pembakaran masjid milik Jemaat Ahmadiyah terjadi pada 19 Juni 2007.
Peristiwa ini berawal ketika dua bulan sebelumnya, pengurus Ahmadiyah Tasikmalaya
menyelenggarakan sebuah acara bertajuk Musyawarah Kerja Daerah (Mukerda) yang
dihadiri berbagai utusan Ahmadiyah dari beberapa kota di sekitar Tasikmalaya. Menurut
pihak Ahmadiyah, pihak penyelenggara telah memberi tahu acara tersebut kepada aparat
kepolisian untuk urusan perizinan, bahkan mereka juga telah mengundang beberapa
tokoh keagamaan di Tasikmalaya. Acara yang dihadiri oleh ratusan orang dari berbagai
cabang Ahmadiyah di Jawa Barat itu berlangsung dengan lancar.3
Persoalan meletus dua bulan kemudian. Pada 19 Juni 2007, puluhan orang yang
memakai atribut FPI (Front Pembela Islam), Laskar Taliban, dan Gerak (Gerakan Etika
Rakyat Anti Korupsi) mendatangi Masjid Mahmud di Kecamatan Singaparna, Kabupaten
Tasikmalaya dan merusak beberapa bagian dari masjid tersebut. Beberapa hari
setelahnya, aksi-aksi penentangan terhadap keberadaan Ahmadiyah kembali
berlangsung. Seorang anggota DPRD Kota Tasikmalaya ikut secara terbuka dalam aksi-
aksi itu.4
Gambaran kasus di atas menjadi jelas bahwa ancaman terhadap eksistensi
Ahmadiyah di wilayah Tasikmalaya berasal dari organisasi keagamaan yang selama ini
anti terhadap Ahmadiyah, yang salah satunya adalah FPI. Mereka bahkan menebar
ancaman akan melakukan sweeping seluruh kantong Ahmadiyah di seantero
Tasikmalaya. Pernyataan keras ini dilontarkan Ketua Tanfidz FPI Kota Tasikmalaya,
Asep Sofyan, dalam demonstrasi sekitar 150-an anggota FPI gabungan Kota
Tasikmalaya dan Kabupaten Tasikmalaya di depan Gedung DPRD Kabupaten
Tasikmalaya pada 9 Februari 2010. Asep bahkan menuding bahwa sejak 1992
Ahmadiyah merupakan sumber konflik. Selama Ahmadiyah tetap mengaku sebagai
agama Islam, sampai kapan pun akan terus terjadi konflik. Menurutnya Ahmadiyah
adalah cikal bakal kerusuhan di kalangan umat. Ia bahkan menjamin bahwa konflik akan
terus terjadi bila Ahmadiyah tidak dibubarkan.5

3 Ibid.
4 Ibid
5 Kantong-kantong Ahmadiyah yang diancam akan di-sweeping FPI berada di Kabaputen Tasikmalaya,

yang meliputi Desa Tenjowaringin Kecamatan Salawu, Desa Badakpaeh Kecamatan Singaparna, dan
a. Perusakan Masjid Al-Basyarat Sukapura
Masjid Al-Basyarat di bangun pada tahun 1952 yang diinisiasi oleh seorang tokoh
Ahmadiyah bernama Didi Kantadirja seorang ulama yang berprofesi sebagai pedagang.
Masjid Al-Basyarat dikerjakan secara gotong-royong yang melibatkan seluruh
masyarakat Kampung Sukajaya Sukapura. Pengerjaannya dalam kurun Waktu 2 bulan.
Pada saat kondisi sosial JAI di Sukapura berjalan normal, Masjd Al-Basyarat menjadi
pusat kegiatan keagamaan Jemaat Ahmadiyah Sukapura, selain tu pula Masjid Al-
Basyarat menjadi tempat shalat para musliim yang dalam perjalanan (Musyafir).
Masyarakat non Ahmadiyah yang ada dii sekitar Masjid ada yang belajar mengaji di
Masjid tersebut, dengan demikian Masjid Al-Basyarat sangat memberikan manfaat bukan
hanya bagi warga JAI tetapi juga bagi masyarakat sekitar.6
Semenjak munculnya fatwa MUI, SKB dan Pergub Jabar, maka mulai tahun 2005,
tumbuh sikap antipati warga sekitar terhadap warga JAI di desa Sukapura dan desa
Tarunajaya, khususnya setelah peristiwa penyerbuan markas Ahmadiyah di parung
bogor. Pada tanggal 20 Agustus 2007 Pengurus JAI Sukapura yang pada saat itu diketuai
oleh Atek dipanggil oleh Aparat Desa dan Tokoh Masyarakat Taruna Jaya. Dalam
pertemuan itu dihadiri oleh Kepala Desa, Ketua MUI, dan Ketua DMI, yang pada intinya
mereka menyampaikan aspirasi masyarakat dari 8 DKM di Desa Taruna Jaya agar
secepatnya warga JAI Sukapura membongkar Masjid Al-Basyarat. Pada kesempatan itu
tentunya Pengurus JAI menolak permintaan mereka dan keesokan harinya Masjid Al-
Basyarat disegel Kepolisian Kabupaten.7
Berselang 3 bulan sejak pemanggilan Pengurus JAI oleh aparat Desa dan Tokoh
Masyarakat desa Taruna Jaya yaitu tanggal 29 Nopember 2007 Masjid Ahmadiyah
dirusak oleh masyarakat Taruna Jaya. Dalam pengrusakan itu terlibat beberapa anggota
masyarakat non JAI yang ada di sekitar basis JAI Sukapura yaitu dari kampung Sukajaya,
namun demikian masyarakat Sukajaya hanya sekedar ikut-ikutan saja.8

Desa Cipasung Kecamatan Singaparna, termasuk terhadap kantong-kantong Ahmadiyah di Kota


Tasikmalaya
.http://news.detik.com/read/2011/02/09/144314/1567773/10/gelar-demo-fpi-ancam-
sweepingahmadiyah-di-tasikmalaya, “Gelar Demo, FPI Ancam Sweeping Ahmadiyah di Tasikmalaya”,
9 Februari 2011
6 Wawancara dengan Atek Ketua DPC. JAI Sukapura, 19 Agustus 2016
7
Ibid
8
Ibid.
Pada waktu yang bersamaan yaitu pada bulan Nopember 2007 warga JAI
Sukapura di desak oleh warga non JAI untuk membuat surat pernyataan tidak akan
melaksanakan kegiatan keagamaan dan apabila Warga JAI melanggar surat pernyataan
tersebut akan diproses secara hukum.9 Pada tahun 2013 ketua RW. Didatangi oleh salah
satu anggota FPI yang bernama Uu yang berdomisili di Kp. Kersaamaju, kedatangan
anggota tersebut mempertanyaan tindakan aparatur pemerintah terkait masjid Al-
Basyarat yang masih dipakai kegiatan keagamaan. Atas dasar kejadian tersebut anggota
FPI yang berdomisili di Sukamaju (Uu dan Jono) bekerjasama dengan DKM
Miftahurohman (Ata) menggagas meratakan sisa-sisa puing Masjid Al-Basyarat. Mereka
membuat surat petisi perataan masjid Al-Basyarat dengan jumlah dukungan tanda
tangan masyarakat Desa Sukapura sebanyak 300 tanda tangan.10
Surat petisi warga Sukapura tersebut sebagai perubahan atas surat pernyataan
bersama antara Warga JAI Sukapura dan non JAI pada tanggal 30 Nopember 2007.
Surat Petisi perataan puing-puing Masjid Al-Basyarat kemudian disampaikan kepada
Kecamatan Sukaraja dengaan harapan niatan mereka dapat disetujui oleh aparat
pemerintahan dalam hal ini MUSPIKA (Musyawarah Pimpinan Kecamatan). Surat Petisi
warga non JAI Sukajaya rupanya tidak mendapatkan respon dari MUSPIKA sehingga
pada akhirnya perataan puing-puing Masjid Al-Basyarat gagal dilaksanakan.11

b. Perusakan Masjid Baiturrohim Cipakat Singaparna


Pada 20 April 2012 terjadi Perusakan terhadap masjid Baiturrahim di Jalan KH. U.
Syarifuin, Kampung Babakan Sindang, Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna,
Kabupaten Tasikmalaya, yang dilakukan oleh sekelompok massa yang berjumlah 150
orang, 69 yang di antaranya berasal dari massa Front Pembela Islam (FPI).70 Terdapat
juga massa yang berdatangan ke lokasi tetapi tidak dapat diidentifikasi pihak kepolisian.12

9 Wawancara dengan Jan Hapry ketua RW Sukajaya


10 Ibid.
11
Wawancara dengan Jan Happry Ketua RW. Dusun Sukapura, 10 Agustus 2016
12
Kedatangan massa yang tidak teridentifikasi ini sempat membingungkan pihak kepolisian. Kebingunan
yang dimaksud, bahwa jumlah massa yang masuk dalam laporan ke kepolisian tidak sesuai dengan
jumlah massa yang mendatangi lokasi. Seperti terungkap dalam wawancara dengan Kompol Ganjar
Somantri, Kapolsek Singaparna, 9 Agustus 2016
Mereka datang menggunakan kendaraan roda dua dan empat. Mereka
menganggap bahwa Jemaat Ahmadiyah tetap melakukan aktifitas, padahal sudah ada
larangan berupa SKB Tiga Menteri dan Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 12 Tahun
2011 tentang Pelarangan Penyebaran Ahmadiyah.13
Sehari sebelumnya, 19 April 2012, pengurus Jemaat Ahmadiyah
Kecamatan Singaparna memperoleh informasi dari kepolisian setempat dan Kepala
Desa Cipakat bahwa akan ada aksi dari sekelompok massa dari luar Desa Cipakat yang
akan datang ke Jemaat Ahmadiyah Singaparna di Desa Cipakat untuk menyuarakan
aspirasinya dengan memasang spanduk pada 20 April 2012.14
Peristiwa perusakan masjid Baiturrahim adalah yang paling anyar menimpa
Jemaat Ahmadiyah. Peristiwa ini merupakan kejadian yang kedua kalinya setelah
sebelumnya terjadi pada 10 Januari 2008, ketika seluruh umat Islam baru saja
merayakan Tahun Baru Islam. Saat itu perusakan juga dilakukan oleh massa FPI. 15
Padahal dalam sejarahnya masjid Baiturrahim yang dibangun pada tahun 1925 ini
merupakan masjid paling tua milik Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya dan termasuk
“Benda Cagar Budaya”. Walaupun begitu, kenyataan ini pun tidak menyurutkan langkah
massa untuk melakukan perusakan terhadap masjid Baiturrahim. Karena itu, demi
mendapatkan perlindungan atas masjid, Ketua Jemaat Ahmadiyah Kecamatan
Singaparna mengirimkan surat ke Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Nomor
02/JAI/IV/2012 tertanggal 13 April 2012 perihal penggembokan masjid Baiturrahim, tapi
mendapat jawaban yang mengecewakan. Dalam surat jawabannya dengan menyitir UU
Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya Bab V Pasal 41-44, Kementerian
Pariwisata menyatakan bahwa masjid Baiturrahim Singaparna termasuk dalam peringkat
lokal.
Karenanya, berkaitan dengan penggembokan/penyegelan tersebut pihak
Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif tidak memiliki kewenangan menangani

13 Republika Online, “Mencekam, FPI Serang Ahmadiyah?”, 20 April 2012


14 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jemaat Singaparna, “Berita Acara Penyegelan Masjid Ahmadiyah
Singaparna”, tertanggal 21 April 2012, yang ditandatangani oleh Nanang AH (Ketua), dan Heris Diana
(Sekretaris Umum).
15 Ismail Hasani dan Bonar Tigor Naipospos (ed.), Menjamin Kebebasan, Mengatur Kehidupan Beragama;

Laporan Studi Urgensi Kebutuhan RUU Jaminan Kebebasan Beragama/Berkeyakinan, (Jakarta: Pustaka
Masyarakat Setara, Juli 2011), hal. 120-121
masalah sosial kemasyarakatan, dan menyerahkan ke Pemda dan aparat keamanan
setempat yang memiliki kewenangan.16
Seminggu sebelum 20 April 2012, tepatnya Kamis, 12 April 2012, dengan
disaksikan oleh pejabat Muspika setempat, termasuk Camat Singaparna, Kapolsek
Singaparna, Danramil Singaparna, dan Kepala Desa Cipakat, masjid Baiturrahim pun
disegel/digembok.17
Menurut penegasan Acep Sofyan, penyegelan/penggembokan dilakukan oleh
Bakorpakem.18 Ketika itu, warga yang menyaksikan bahkan tidak diperbolehkan
berbicara.19 Sebelum massa dan pihak Muspika setempat mendatangi masjid
Baiturrahim, mereka terlebih dahulu berdialog dengan Kepala Desa Cipakat di rumahnya,
dimana masjid Baiturrahim berada di Desa Cipakat, Kecamatan Singaparna.20
Secara kronologis, peristiwa ini bermula ketika pada pukul 09:20 wib, 20 April
2012, sekelompok massa datang ke masjid Baiturrahim dengan jumlah massa sebanyak
± 10 orang dengan membawa spanduk bertuliskan “Sesuai dengan SK Tiga Menteri dan
Pergub Jabar tentang larangan kegiatan Jemaat Ahmadiyah, kami masyarakat
Kecamatan Singaparna menolak segala bentuk kegiatan Jemaat Ahmadiyah di wilayah
Kecamatan Singaparna. ‘Wahai pengikuti Ahmadiyah, kembalilah ke jalan Islam yang
sesuai dengan AlQuran dan Sunnah’”.21
Bahkan sebelum pemasangan spanduk terjadi, perwakilan dari para Ketua RW
seKecamatan Singaparna menyampaikan keberatan atas kegiatan dan aktifitas Jemaat
Ahmadiyah yang selalu dilaksanakan di masjid Baiturrahim sambil memberikan berkas
berisi pernyataan keberatan aktifitas Ahmadiyah disertai dengan cap dan tandatangan

16 Surat Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Serang Wilayah Kerja Provinsi Banten, Jawa Barat, DKI
Jakarta dan Lampung Direktorat Jenderal Sejarah dan Purbakala Kementerian Pariwisata dan Ekonomi
Kreatif perihal Penyegelan Masjid Baiturrahim Jemaat Ahmadiyah Singaparna kepada Ketua Ahmadiyah
di Singaparna, Kabupaten Tasikmalaya No. UM.001/553/UPT/KPEK/2012 tertanggal 17 Maret 2011.
17 Wawancara dengan Ade Ghani, Kepala Desa Cipakat, 15 Juni 2012
18 Wawancara dengan Acep Sofyan, Ketua FPI Kota Tasikmalaya, 19 Juni 2012
19 Wawancara dengan Najmudin Azis, Camat Singaparna, 19 Juni 2012
20 Ibid.
21 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jemaat Singaparna, “Berita Acara Penyegelan Masjid Ahmadiyah

Singaparna”, tertanggal 20 Agustusl 2016, yang ditandatangani oleh Nanang AH (Ketua), dan Heris
Diana (Sekretaris Umum).
Ketua-Ketua RW (5 RW) dan juga di dalamnya berisi tandatangan yang
mengatasnamakan warga dari kelima RW tersebut.22
Tidak lama setelah pemasangan spanduk selesai dilaksanakan, tiba-tiba datang
sekelompok massa yang berjumlah 150-an orang bergerak menuju masjid Baiturrahim
dan langsung berorasi di depan gerbang masjid. Menurut beberapa keterangan saksi
yang melihat sekelompok massa tersebut asing dan tidak dikenali oleh warga sekitar.
Bahkan Kepala Desa Cipakat yang hadir di lokasi menyatakan bahwa massa tersebut
berasal dari luar Desa Cipakat.23
Ketika orasi dilakukan oleh pengunjuk rasa, sekitar 4-5 orang anggota dari
kelompok massa tersebut berusaha masuk ke dalam masjid lewat samping kiri masjid
dengan cara menaiki benteng, yang menyebabkan terdengar suara pecah kaca dari
masjid. Tak lama kemudian puluhan anggota dari pengunjuk rasa/ kelompok massa
merangsek masuk ke dalam masjid dan dilanjutkan dengan perusakan dan pembakaran
dengan bom molotov terhadap masjid. Setelah itu, massa langsung membubarkan diri.24
Akibat perusakan dan pembakaran dengan bom molotov tersebut, masjid
Baiturrahim mengalami kerusakan tak sedikit, di antaranya sejumlah kaca jendela dan
pintu rusak, 1 buah parabola rusak, sebagian karpet masjid terbakar, 1 buah mimbar
rusak, kabel-kabel listrik rusak, saluran air rusak, 6 buah lampu halaman masjid rusak
dan 1 buah tiang beserta lampu sorot masjid rusak. Kerusakan ini ditaksir mencapai ±
Rp. 10 juta. Kerugian fisik ini juga diperparah dengan dampak secara psikologis berat
yang dialami Jemaat Ahmadiyah Kecamatan Singaparna dan meninggalkan trauma yang
luar biasa terutama bagi ibu-ibu dan anak-anak. Jemaat Ahmadiyah yang masih berada
di dalam masjid ketika peristiwa perusakan terjadi juga tak luput dari kejaran massa yang
masuk melakukan perusakan. Karena dikejar, dua orang Jemaat Ahmadiyah berlari dan
terjatuh dan mengalami memar di kepala dan dada.25
Menjadi pertanyaan kemudian, siapakah orang-orang yang menjadi pelaku
perusakan masjid Baiturrahim dan darimanakah asal mereka. Apakah mereka

22 Ibid
23 Wawancara dengan Ade Ghani, Kepala Desa Cipakat, 20 Agustus 2016.
24 Jemaat Ahmadiyah Indonesia, Jemaat Singaparna, “Berita Acara Penyegelan Masjid Ahmadiyah

Singaparna”, tertanggal 20 Agustus 2016, yang ditandatangani oleh Nanang AH (Ketua), dan Heris
Diana (Sekretaris Umum).
25 Wawancara dengan Nanang AH, Ketua Jemaat Ahmadiyah Desa Cipakat, 17 Juni 2012.
merupakan warga Desa Cipakat atau warga sekitar yang berdomisili di sekitar Desa
Cipakat dan di wilayah Kecamatan Singaparna? Atau mereka, para pelaku tersebut
berasal dari luar Kecamatan Singaparna tapi masih masuk wilayah administratif
Kabupaten Tasikmalaya atau Kota Tasikmalaya? Dalam pandangan Ade Ghani,
perusakan itu terjadi karena massa yang salah satu pimpinannya berasal dari FPI merasa
kesal karena Ahmadiyah Desa Cipakat masih tetap berdiri. Sebelumnya mereka pernah
mendatangi Kepala Desa Cipakat menanyakan mengenai eksistensi Ahmadiyah Desa
Cipakat.26
Pihak kepolisian, seperti yang dikemukakan HA Ruhiyatna, Kanit Intelkam Polsek
Singaparna, juga tidak secara eksplisit mengatribusi pelaku perusakan tersebut terhadap
ormas keagamaan tertentu, seperti FPI, yang juga bukan berasal dari wilayah Kampung
Babakan Sindang, Desa Cipakat. Ormas tersebut juga merupakan warga masyarakat.
Ketika sebelum berangkat ke lokasi, mereka, para massa ormas tersebut, tidak bisa
disebut sebagai pelaku. Mereka datang untuk menyampaikan aspirasi dan sifatnya hanya
situasional.27
Namun, Ruhiyatna membenarkan bahwa ormas yang teridentifikasi
berkecendrungan melakukan kekerasan di Kabupaten Tasikmalaya adalah ormas
keagamaan yang selama ini terlihat aktif menyuarakan kemaksiatan dan
Penyimpangan Ahmadiyah adalah FPI.28
Ade Ghani juga menambahkan bahwa konflik yang terjadi dalam bentuk
penyerangan terhadap Jemaat Ahmadiyah di Desa Cipakat dilakukan oleh orang-orang
dari luar Desa Cipakat dan bukan warga Desa Cipakat. Ia pun heran bila warga Desa
Cipakat yang penduduknya dikenal sangat toleran dan mempunyai tenggang rasa sosial
tinggi melakukan kekerasan terhadap Jemaat Ahmadiyah dan perusakan terhadap
properti mereka yang selalu digunakan untuk beribadah dan beraktifitas. Atau bahkan,
dikarenakan masyarakat Singaparna dikenal sangat toleran itulah justru dapat muncul
aksi kekerasan dari masyarakat di luar Singaparna.29

26 Wawancara dengan Ade Ghani, Kepala Desa Cipakat, 19 Juni 2012.


27 Wawancara dengan HA Ruhiyatna, Kanit Intelkam Polsek Singaparna, 19 Juni 2012
28 Ibid
29 Wawancara dengan Najmudin Azis, Camat Singaparna, 19 Juni 2012
Dalam kasus tersebut, masyarakat Singaparna memang tidak melakukan
pengawalan terhadap masjid Baiturrahim dan Jemaat Ahmadiyah yang berada di lokasi.
Mereka juga tidak ikut campur dalam kasus tersebut. Dengan kata lain mereka tidak
memberi dukungan dan juga tidak melakukan aksi kekerasan. Mereka menyerahkan ke
pemerintah setempat bagaimana menyelesaikan masalah Ahmadiyah. Bahkan menurut
informasi, tak lama setelah kejadian masjid tersebut dibangun kembali.30

c. Perusakan dan Penyegelan Masjid Al-Furqon Kersamaju Cigalontang

Masjid Jemaat Ahmadiyah di Kersamaju terdapat di empat dusun yaitu dusun


Gadeul, Bojong, Kawung Luwuk, Kawung luwuk. Dari ketiga dusun tersebut di Dusun
Dadeul jumlah Jemaat Ahmadiyah lebih banyak bila dibandingkan dengan dusun-dusun
lainnya. Masjid-masjid yang dimaksud pada awalnya hanya berbentuk Musola (masjid
Kecil) yang tebuat dari bahan kayu dengan dinding bilik bambu. Seiring perkembangan
zaman Musola tersebut dibangun menjadi bangunan permanen, namun demikian satu
masjid dengan yang lainnya memiliki luas yang berbeda. Masjid yang seringkali menjadi
sasaran amukan masa intoleran adalah masjid yang terletak di Dusun Dadeul, rupanya
karena alasan masjid ini ukurannya lebih besar dari masjid yang lainnya. 31
Masjid-masjid yang berada di kersamaju semuanya dibangun dengan cara
gotong-royong atau dalam istilah masyarakat setempat disebut dengan Lilikuran antara
Warga Jemaat Ahmadiyah dengan Non Ahmadiah. Lilikuran atau gotong-royong bukan
hanya dengan tenaga saja, tidak kurang masyarakat non Ahmadiyah yang membantu
memberikan bantuan bahan bangunan ataupun makanan untuk rangsum para pekerja.
Selanjutnya masjid-masjid tersebut dipergunakan secara bersama-sama oleh Jemaat
Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah sebagai tempat ibadah dan kegiatan keagamaan.
Hingga pada tahun 2001 muncul rasa anti dari masyarakat Non Ahmadiyah dari dusun
lain tepatnya dusun Cipetir.32
Antipati Masyarakat non Ahmadiyah di Cipetir dipicu oleh para mubalig/ustad dari
luar daerah seperti Garut dan Kota Tasikmalaya yang menyampaikan materi ceramah

30 Ibid
31 Wawancara dengan Ketua DPC. Jemaat Ahmadiyah Kersamaju, 20 Agustus 2016
32 Ibid.
yang tendensius menunding ajaran Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan merongrong
kemurnian ajaran islam.33
Sejak masuknya Ustad yang berhaluan keras pada pengajian-pengajian di Desa
Kersamaju, keberadaan Jemaat Ahmadiyah dalam ancaman intimidasi dan tindak
kekerasan. Puncaknya pada bulan Agustus tahun 2001 Masjid Ahmadiyah di Dusun
Gadeul dirusak oleh masyarakat non Ahmadiyah dari luar Dusun. Perusakan ini
diantaranya dipicu oleh pengajian penutupan kegiatan Peringatan hari Kemerdekaan
yang diadakan di Lapang Desa Kersamaju. Dalam Pengajian tersebut Penceramah
secara Provokatif telah menuding Jemaat Ahmadiyah sebagai ajaran sesat dan “Masalah
Ahmadiyah hanya dapat diselesaikan dengan cara kekerasan” demikian salah satu
kalimat yang disampaikan penceramah dalam pengajian tersebut” Satu hari Sebelum
terjadinya penyerangan Jemaat Ahmadiyah Kersamaju telah mendapatkan informasi
bahwasannya akan ada penyerangan terhadap mereka, sehubungan hal itu maka
seluruh keluarga Jemaat Ahmadiyah Kersamaju mengungsikan diri di Dusun Wanasigra
yang terletak sekitar 2 KM dari Desa Kersamaju.34
Akibat dari peristiwa tersebut Masjid Ahmadiyah Dusun Gadeul rusak berat,
dinding masjid yang terbuat dari bilik bambu bolong-bolong serta lantai Masjid penuh
dengan batu sungai. Satu minggu setelah terjadinya penyerangan, masyarakat Dusun
Gadeul secara gotong-royong membangun kembali Masjid yang telah rusak.35
Selepas Masjid dibangun kembali kehidupan Warga Ahmadiyah dengan Masyarakat
rukun dan harmonis tidak ada silang sengketa dintara keduanya, bahu membahu dalam
setiap urusan kemasyarakatan dan saling melindungi satu dengan yang lainnya.36Satu
bulan setelah renovasi Masjid Al-Furqon timbul kegaduhan kembali, hal ini disebabkan
oleh keinginan warga Jemaat Ahmadiyah dan Non Ahmadiyah di Dusun Gadeul
melaksanakan Shalat Jum’at terpisah dari Masjid jami yang selama dipakai. Atas
kejadian ini Pengurus DPC. Jemaat Ahmadiyah Kersamaju dipanggil oleh Pemerintah
Desa untuk melakukan musyawarah dengan kelompok masyarakat yang merasa
keberatan dengan rencana tersebut. Hasil dari pertemuan tersebut disepakati Jemaat

33 Wawancara dengan Daryo Anggota MUI dean Petugas P3N Desa Kersamaju, 15 Juli 2016
34 Wawancara dengan Ketua DPC. Jemaat Ahmadiyah Kersamaju, 20 Agustus 2016
35 Ibid.
36 Wawancara dengan Kepala Desa Kersamaju, 10 Juli 2016
Ahmadiyah tidak akan mendirikan Shalat Jum’at di Dusun Gadeul, hal ini dituangkan
dalam suarat pernyataan bersama.37
Pada bulan Okotober 2014, anggota Jemaat Ahmadiyah Kersamaju berinisiatif
merenovasi Masjid Al-Furqon menjadi bangunan permanen, sebelum proses renovasi
dimulai Pengurus DPC. Ahmadiyah Kersamaju berkordinasi dengan Pemerintahan Desa
dan dan pada saat itu Pemerintah Desa tidak keberatan. Tanpa diketahui apa alasanya,
tiba-tibsa setelah renovasi berjalan Pemerintah Desa bersama Muspika (Musyawarah
Pimpinan Kecamatan) meminta agar pembangunan dihentikan. Mengingat keberadaan
masjid tersebut sangat dibutuhkan baik oleh anggota Jemaat Ahmadiyah maupun non
Ahmadiyah, maka renovasi tetap dilanjutkan.38
Proses renovasi masjid memperluas ukuran masjid yang semula berukuran 4 kali
8 diperluas menjadi 5 kali 10 meter. Perluasan Masjid ini dikarenakan kapasitas masjid
sudah tidak mencukupi untuk menampung masyarakat Gadeul beribbadah di Masjid
tersebut. Rabu tanggal 11 Maret 2015, semua unsur Muspika datang ke Desa Kersamaju
untuk menghentikan pembangunan, selain itu ada tawaran solusi dari Daryo selaku
petugas P3N dan ketua Karang Taruna agar masjid dikembalikan pada ukuran semula,
namun tawaran itu di tolak oleh Pengurus Cabang Ahmadiyah Kersamaju.39
Senin 30 Maret 2015, pukul 11.00 WIB, datang anggota Satpol PP sebanyak 2
mobil kijang, dengan tanpa memperlihatkan Surat Tugas mereka menghentikan
pembangunan masjid Al-furqon. Saat itu Satpol PP tidak memberikan kesempatan
bertanya kepada anggota ataupun pengurus Jemaat Ahmadiyah Kersamaju dan
menyatakan bahwa penghentian pembangunan untuk waktu yang tidak ditentukan.40
Selanjutnya Pengurus Cabang Jemaat Ahmadiyah mendatangi Kepala Desa dan
meminta agar masalah Ahmadiyah dimusyawarahkan, Kepala desa menyampaikan
bahwa sore hari akan diadakan pertemuan di Kejaksaan dan ia menegaskan bahwa
seluruh pihak terkait akan dilibatkan. Namun dalam kenyataannya, pertemuan di

37 Wawancara dengan Ketua Kudam PC. JAI Kersamaju, 20 Agustus 2016


38 Ibid.
39 Ibid.

40
Sumber: http://ahmadiyyapriatim.blogspot.com/2015/03/kronologis-penyegelan-masjid-al-furqon.html
Kejaksaan pada tanggal 30 Maret 2015, Jemaat Ahmadiyah tidak menerima undangan.
Saat hal ini kembali dikonfirmasi, Kepala Desa Kersamaju menjawab bahwa mungkin
pihak Jemaat Ahmadiyah akan diundang seminggu kemudian.
Kemudian pada hari Selasa tanggal 31 Maret 2015, salah seorang anggota
Jemaat Ahmadiyah dari Satpol PP bahwa akan ada ‘pihak ketiga’ yang datang menyegel
Masjid, namun tidak menjelaskan siapa yang dimaksud dengan pihak ketiga tersebut,
tidak berselang lamanya kemudian Aparat kepolisian telah berada di lokasi sekitar pukul
06.00 WIB dan pengurus maupun anggota Jemaat Ahmadiyah tidak mengetahui bahwa
akan ada penyegelan Masjid.
Pukul 08.30 WIB, Satpol PP datang langsung menyegel Masjid yang disertai oleh
penjagaan Satuan Dalmas Polres Kabupaten Tasikmalaya bersenjata lengkap. Pihak
Jemaat Ahmadiyah tidak sedikitpun diberi kesempatan untuk bertanya dan mengajukan
keberatan Selanjutnya Satpol PP memaksa pengurus Jemaat Ahmadiyah untuk
menandatangani berita acara penyegalan, pengurus yang menandatangi berita acara
tidak mengetahui lengkap isi berita acara dan salinan berita acara tersebut tidak diberikan
kepada pihak Jemaat Ahmadiyah Kersamaju.
Pihak FKUB yang menemui anggota Jemaat Ahmadiyah Kersamaju merasa heran dengan
adanya penyegelan Masjid karena selama ini Jemaat Ahmadiyah hidup rukun dengan warga
sekitar dan masjid yang kini dibangunpun bertujuan untuk digunakan bersama sebagai tempat
ibadah karena di lingkungan sekitar belum ada masjid sebagai sarana ibadah dan pedidikan
agama bagi warga baik warga anggota Jemaat Ahmadiyah maupun Non Ahmadi.

Tindakan diskriminatif lainnya terhadap warga Jemaat Ahmadiyah di Tasikmalaya


adalah upaya mempersulit pelayanan surat nikah dan pengurusan ibadah haji. Tindakan
ini dilakukan oleh sekelompok organisasi Islam yang sangat memusuhi Ahmadiyah dan
mengatasnamakan Islam dengan mendesak pemerintah, yaitu FPI.41 Berdasarkan SKB
mereka “mewajibkan” bagi warga Jemaat Ahmadiyah yang akan menikah untuk keluar
dari keyakinan Ahmadiyah-nya yang dibuktikan dengan surat pernyataan yang harus
ditandatangani. Desakan yang dilontarkan FPI ini berdampak pada warga Jemaat
Ahmadiyah yang tidak dapat menikah di Kantor Urusan Agama (KUA) setempat tapi di
kantor KUA di wilayah lain.42

41
Wawancara dengan H. Encang, Ketua JAI Kota Tasikmalaya, 23 Juni 2016.
42Wawancara dengan Nanang AH, Ketua JAI Kecamatan Singaparna, 17 Juni 2016; dan wawancara
dengan H. Encang, Ketua JAI Kota Tasikmalaya, 23 Juni 2016.
Dalam suatu kasus, warga Ahmadiyah yang akan menikah di KUA dilarang
Bakorpakem Tasikmalaya karena sebelumnya telah mendapat laporan dari FPI. Walau
pun tidak dilarang secara eksplisit dalam SKB Tiga Menteri Tahun 2008 maupun SKB di
Tasikmalaya Tahun 2005 dan 2007, alasan warga Ahmadiyah tidak boleh menikah di
KUA adalah bahwa mereka tidak mau mengaku Islam dalam pernyataannya. Inilah
penyebab utamanya. Ditegaskan pula, sepanjang mereka mengaku Islam, mereka akan
mendapatkan pelayanan publik yang sama dengan warga lainnya. 43
Namun justru sebaliknya, diskriminasi dalam pencatatan pernikahan tidak
diberlakukan bagi umat Islam lainnya, seperti yang dialami Firdaus Gilang Kencana,
warga Nagarawangi RT 04/07, Kecamatan Cihideung, Kota Tasikmalaya ketika membuat
dan menandatangani surat pernyataan pernikahan dengan Fatna Yustianti. Namun tetap
saja Ahmadiyah dianggap sebagai kelompok sempalan agama yang eksistensinya tidak
diakui dan menjadi momok bagi warga Tasikmalaya. Ini terlihat dari surat pernyataan
pernikahan yang ditandatangani Firdaus Gilang Kencana, yang di dalamnya
mencantumkan “… dan bukan Jemaat Ahmadiyah”.44
Seperti halnya yang dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Sukapura, pendaftaran
penikahan wargai JAI di Sukapura seringkali tidak dilayani oleh KUA Kecamatan
Sukaraja. Alasan yang lebih prinsif dari sekedar alasan yuridis, para Penghulu (Juru
Nikah) merasa ada kepuasan bathin manakala mereka dapat melakukan pencegahan
pernikahan bagi warga JAI.45
Hal serupa juga dialami oleh Jemaat Ahmadiyah di Kersamaju, mereka bukan
hanya tidak dilayani pendaftaran nikah saja, hingga pembuatan NA saja tidak dilayanai
yang padahal NA hanyalah surat keterangan yang berisi identitas pribadi mempelai laki-
laki.
Diskriminasi berbentuk lain yang dialami warga Ahmadiyah di Tasikmalaya adalah bila
mereka ingin menunaikan ibadah haji. Di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya, mereka tidak
bisa mendaftarkan diri untuk ibadah haji, tapi mereka harus mendaftarkan diri di luar

43 Dalam kasus ini, FPI menginginkan warga Ahmadiyah yang akan menikah tersebut sebelum menikah
agar menyatakan diri Islam dulu, dengan pernyataan, bukan syahadat. Tapi permintaan ini ditolak warga
Ahmadiyah yang akan menikah. Seperti terungkap dalam wawancara denga Kepala Kantor KESBANPOL
Kota Tasikmalaya, 18 Juni 2016
44 Dalam surat pernyatan pernikahan yang ditandatangani Firdaus Gilang Kencana ini pada 26 Oktober

2011 dengan materai Rp 6.000,- mencantumkan kalimat “… bukan Jemaat Ahmadiyah”


45
Wawancara dengan Ata Ketua DKM Miftahulrohman Kp. Sukajaya Desa Sukapura, 10 Juni 2016
(daerah lain), semisal di Jakarta dan sebagainya. Karena bila mereka ingin mendaftarkan
diri di Kabupaten dan Kota Tasikmalaya mereka juga diharuskan untuk keluar dari
Ahmadiyah.46

46Sebagaimana dijelaskan Nanang Ahmad Hidayat, Ketua DPD Jemaat Ahmadiyah Tasikmalaya.
Wawancara 20 Agustus 2016

Anda mungkin juga menyukai