Anda di halaman 1dari 11

NAMA : AGUNG ZENIT SUGABE

KELAS : X ABRAHAM
TUGAS : PKN

Mengenang 27 Juli 1996, Ini Kronologi Penyerbuan Kantor DPP PDI

JAKARTA, KOMPAS.com - Selubung misteri mengenai Peristiwa 27 Juli 1996 hingga saat ini
memang belum terungkap.

Belum banyak fakta yang terungkap mengenai siapa yang seharusnya bertanggung jawab
mengenai peristiwa yang dikenal dengan sebutan "Kudatuli" (Kerusuhan 27 Juli) tersebut.

Sejauh ini, informasi yang didapat adalah Peristiwa Kudatuli merupakan tragedi yang terjadi
sebagai buntut dualisme di tubuh Partai Demokrasi Indonesia.

Saat itu, para pendukung Soerjadi yang merupakan Ketua Umum PDI hasil Kongres Medan
periode 1996-1998 menyerbu dan berusaha menguasai kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro 58,
Jakarta, yang dikuasai pendukung Megawati Soekarnoputri.

Adapun Megawati merupakan Ketua Umum PDI hasil kongres Surabaya untuk periode 1993-
1998.

Harian Kompas yang terbit pada 29 Juli 1996 pun mencatat kronologi yang terjadi pada "Sabtu
Kelabu" tersebut.

Kompas.com menuliskan kembali kronologi tersebut untuk memperingati 20 tahun Peristiwa


Kudatuli.

Berikut kronologinya:

06.20 WIB:

Massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk
mini bercat kuning. Sebelumnya, terjadi dialog antara delegasi massa PDI pendukung Soerjadi dan
massa PDI pendukung Megawati sekitar 15 menit.
Massa kubu Megawati meminta agar kantor dinyatakan sebagai status-quo. Kesepakatan tidak
tercapai.
06.35 WIB:

Terjadi bentrokan di antara kedua kubu. Massa PDI pendukung Soerjadi yang mengenakan kaos
warna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta mengenakan ikat kepala
melempari kantor DPP PDI dengan batu dan paving-block.

Massa PDI pendukung Megawati juga membalas dengan benda seadanya yang terdapat di sekitar
halaman kantor.

Massa PDI pendukung Megawati akhirnya berlindung di dalam gedung sebelum kemudian
diduduki massa PDI pendukung Soerjadi.

08.00 WIB:

Aparat keamanan kemudian mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI sepenuhnya, yang
terhitung sejak awal Juni 1996 itu diduduki massa pendukung Megawati Soekarnoputri
penentang Kongres Medan 20-22 Juni 1996.

Kantor DPP PDI kemudian dinyatakan sebagai area tertutup. Polisi memberi tanda police line
berwarna kuning hingga ruas Jl Diponegoro tidak dapat dilewati.

Pers dalam maupun luar negeri juga tidak diperkenankan melewati garis polisi itu. Demikian
pula dengan halaman kantor yang porak-poranda, dijaga ketat pasukan antihuru-hara.

08.45 WIB:

Aparat keamanan mulai mengangkut sekitar 50 warga PDI pro Megawati yang tertahan di kantor
itu dengan menggunakan tiga truk. Beberapa di antaranya mengalami luka-luka akibat perang
batu antara kedua kelompok tersebut.

Sembilan orang lainya diangkut dengan dua mobil ambulans. Spanduk dan poster-poster di DPP
PDI kemudian dibersihkan.

11.00 WIB:
Massa yang memadati ruas jalan Diponegoro dan sekitarnya terus membengkak jumlahnya
menjadi ribuan. Sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah
jembatan layang kereta api, dekat stasiun Cikini.

Mimbar bebas ini kemudian beralih ke Jl Diponegoro. Aksi mimbar bebas ini kemudian dengan
cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dengan aparat keamanan.

Kompas/Eddy Hasby Penyerbuan kantor PDI di Jalan Diponegoro oleh pendukung kubu
Soerjadi berakhir dengan bentrokan antara massa dan aparat keamanan di kawasan Jalan
Salemba, Jakarta Pusat, 27 Juli 1996. Sebelumnya, kantor PDI diduduki massa pendukung
Megawati.

13.00 WIB: Bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat, sehingga aparat
terpaksa menambah kekuatan. Setelah itu massa terdesak mundur ke arah RSCM (Rumah Sakit
Cipto Mangunkusumo), dan Jl Salemba.

15.00 WIB: Massa kemudian mulai membakar tiga bus kota terbakar, termasuk satu bus tingkat.
Massa kemudian mulai membakar beberapa gedung di Jl Salemba.

16.35 WIB:Lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk dan
sejumlah kendaraan militer lainnya mulai dikerahkan dari Jl Diponegoro menuju Jl Salemba.

Massa kemudian membubarkan diri. Api di sejumlah gedung belum berhasil dipadamkan hingga
pukul 19.00 WIB
KERUSUHAN SAMBAS

Kerusuhan Sambas adalah pecahnya kerusuhan antar etnis di wilayah Kabupaten Sambas dan
sekitarnya. Kerusuhan di Sambas sudah berlangsung sekitar tujuh kali sejak 1970, namun yang
terakhir ini (tahun 1999) merupakan terbesar dan akumulasi dari kejengkelan Melayu dan suku
Dayak terhadap ulah oknum-oknum pendatang dari Madura. Akibatnya, orang-orang keturunan
Madura yang sudah bermukim di Sambas sejak awal 1900-an itu ikut menanggung dosa perusuh.[1]
Korban akibat kerusuhan Sambas terdiri dari, 1.189 orang tewas, 168 orang luka berat, 34 orang
luka ringan, 3.833 rumah dibakar dan dirusak, 12 mobil dan 9 motor dibakar/dirusak, 8
masjid/madrasah dirusak/dibakar, 2 sekolah dirusak, 1 gudang dirusak, dan 29.823 warga Madura
mengungsi.

Latar belakang

Awal peristiwa dilatar belakangi kasus pencurian ayam oleh seorang warga suku Madura
yang ditangkap dan dianiaya oleh warga masyarakat suku Melayu.
Peristiwa berkembang dengan bergabungnya ratusan warga suku Madura dan menyerang
beberapa warga suku Melayu yang berakibat 3 orang suku Melayu meninggal dunia dan
2 orang luka-luka.
Selain itu terjadi pula kasus perkelahian antara kenek angkot warga suku Melayu dengan
penumpang angkot warga suku Madura yang tidak mau membayar ongkos.
Akibatnya terjadi saling balas membalas antara warga tempatan yakni suku Melayu dan
suku Dayak menghadapi warga suku Madura dalam bentuk perkelahian, penganiayaan
dan pengrusakan.
Peristiwa berkembang dengan terjadinya kerusuhan, pembakaran, pengrusakan,
perkelahian, penganiayaan dan pembunuhan antara warga suku Melayu dan warga suku
Dayak menghadapi warga suku Madura, yang meluas sampai kedaerah sekitarnya.
Telah terjadi pengungsian warga suku Madura secara besar-besaran. Kemudian isu ini
dieksploitir oleh kelompok-kelompok tertentu untuk kepentingannya.
Peristiwa ini adalah kejadian yang kesepuluh sejak tahun 1970 dan juga pernah terjadi
terhadap etnis yang lain.

Kronologi
Pada tanggal 17 Januari 1999 pukul 01.30 WIB telah ditangkap dan dianiaya pelaku
pencurian ayam warga suku Madura oleh warga suku Melayu.
Pada tanggal 19 Januari 1999 sekitar 200 orang suku madura dari suatu desa menyerang
warga suku Melayu desa lainnya.
Hari berikutnya terjadi perkelahian antara warga suku Madura dan warga suku Melayu
karena tidak membayar ongkos angkot. Kejadian ini berkembang menjadi perkelahian
antara kelompok dan antara desa yang disertai pembakaran, pengrusakan dan tindak
kekerasan lainnya.
Warga suku Melayu dan suku Dayak melakukan penyerangan, pembakaran, pengrusakan,
penganiayaan dan pembunuhan terhadap warga suku Madura dan selanjutnya saling
membalas.
Peristiwa berkembang dengan terjadinya pengungsian warga Madura dalam jumlah besar
menuju Singkawang dan Pontianak.

Tindakan aparat keamanan antara lain :

- Melokalisir dan mencegah meluasnya kejadian

- Membantu mengevakuasi para pengungsi, melakukan pencarian dan penyelamatan suku


Madura yang melarikan diri kehutan,

- Membantu para pengungsi ditempat penampungan,

- Mengadakan dialog dengan tokoh masyarakat dan pemuka agama, serta

- Melakukan upaya penegakan hukum terhadap para pelaku kriminal.

Proses hukum

Pelaku yang ditangkap 208 orang dan dalam proses peradilan sebanyak 59 orang, yang terdiri
dari suku Madura 13 orang, suku Melayu 42 orang dan suku Dayak 4 orang. Barang bukti disita
607 pucuk senjata api rakitan, 2.336 senjata tajam, 76 bom molotov, 86 ketapel, 969 anak panah,
8 botol dan 8 toples obat mesiu, 443 butir peluru timah, 79 peluru pipa besi, 349 butir peluru
setandard ABRI dan 441 butir peluru gotr
Peristiwa Sanggauledo

Kronologi

Kerusuhan terbesar dan terluas terjadi akhir tahun 1996 yang dimulai di Sanggau Ledo,
Kabupaten Sambas. Kerusuhan yang kemudian disebut Kasus Sanggau Ledo tersebut bermula dari
kejadian sepele: "senggolan dangdut".

Awalnya, menjelang tahun baru 1997, ada pertunjukan musik dangdut untuk merayakan
sebuah resepsi perkawinan di Pasar Ledo. Anak muda dari beberapa kecamatan, termasuk dari
Sanggau Ledo yang bertaut sekitar 30 kilometer, pun ramai-ramai bertandang.

Di antara keremangan Minggu malam 29 Desember itu, ketika anak-anak muda tersebut
asyik berjoget, dua pemuda tuan rumah menyenggol seorang wanita yang dibawa pemuda Sanggau
Ledo. Tak senang kawan wanitanya disenggol, sekelompok pemuda dari Sanggau Ledo melabrak.
Mereka kemudian mengeroyok kedua pemuda tadi. Di antara pengeroyok, tiba-tiba ada yang
menghunus senjata tajam, lalu tubuh kedua pemuda itu bergantian rebah bersimbah darah. Mereka
segera dilarikan ke rumah sakit Bethesda di Kecamatan Samalantan, tak jauh dari sana.

Lantas saja tersiar kabar, kedua pemuda setempat suku Dayak itu mati dalam perjalanan.
"Padahal mereka masih dirawat di rumah sakit," kata Kolonel Zainuri Hasyim --waktu itu
Komandan Korem Kalimantan Barat--. Namun desas-desus telanjur menyebar.

Esoknya, 30 Desember, ratusan warga Ledo menyerbu Kecamatan Sanggau Ledo. Orang-orang
Sanggau Ledo menyongsong. Maka tawuran massal tak terhindarkan di kampung yang berjarak
sekitar 250 kilometer dari Pontianak, ibu kota Kalimantan Barat, tersebut.

Warga Sanggau Ledo asal Madura yang diserang tak mampu menahan. Maka sekitar 800 warga
Sanggau Ledo diungsikan ke Pangkalan Udara Supadio II, yang terletak di kota kecamatan
tersebut. Sekitar 200 warga lain diungsikan ke asrama Kompi C di Batalyon 641/Beruang Hitam
di Singkawang, sekitar 120 kilometer dari Ledo.

Penyerbuan tak berlangsung sekali, pada tanggal 1 Januari, massa malah mengepung Pangkalan
Udara Supadio II, yang telah menjadi kamp pengungsi itu. Untung mereka berhasil dihalau satuan
Brimob dan pasukan Beruang Hitam. Berangsur-angsur pengungsi dari Supadio ini diangkut ke
Asrama Haji Pontianak dengan lima pesawat Cassa milik TNI Angkatan Udara.

Kerusuhan tak berhenti di kampung kecil yang letaknya tak jauh dari perbatasan negeri Serawak,
Malaysia Timur, tersebut. Beberapa penduduk asal Madura yang tinggal di kecamatan tetangga,
seperti Ledo, Bengkayang, dan Samalantan, juga terpaksa mengungsi. Hingga 2 Januari 1997,
empat hari setelah Kerusuhan Sanggau Ledo, sekitar 4.000 orang telah "hijrah" ke Singkawang.
Panglima Kodam (Pangdam) VI/Tanjungpura Mayor Jenderal Namoeri Anoem yang berkantor di
Balikpapan, Kalimantan Timur, datang ke daerah kerusuhan. Ia juga mengirimkan pasukan
tambahan.

Kerusuhan mulai bisa ditanggulangi. Bersama pimpinan daerah Kalimantan Barat, tepat di hari
tahun baru itu, Pangdam menggelar pertemuan dengan sejumlah tokoh Dayak dan Madura di
Singkawang. "Kedua belah pihak telah bersedia membantu aparatur keamanan untuk
menenangkan situasi," ujar Namoeri Anoem seusai pertemuan tersebut. Namun, di pelosok-
pelosok suasana masih panas. Arus pengungsi terus berdatangan ke tempat aman.

Menurut Bupati Sambas, Tarya Aryanto, para pengungsi belum bisa kembali ke desa asal. "Mereka
sudah tak memiliki tempat berteduh", kata Tarya. Sekitar 1.094 rumah, menurut Tarya, habis
terbakar dalam kerusuhan yang disebut aparatur keamanan mengakibatkan lima orang meninggal
dunia tersebut.

PERISTIWA ARI HANGGARA


Pada November 1984 Publik Tanah Air pernah di gemparkan oleh cerita pilu seorang Anak
berusia 8 Tahun bernama Arie Hanggara yang tewas setelah sekian lama dianiaya orang tuanya,
Machtino dan Santi. Kisah Arie Hanggara sangat menyedot perhatian publik kala itu, masyarakat
menjadi sangat geram dan berita-beritanya menjadi Headline pada Surat Kabar pada waktu itu
Wajar kemudian ketika difilmkan, Arie Hanggara menjadi film juara satu untuk penonton
terbanyak. Menurut data Perfin pada 1986, penonton Arie Hanggara sekira 382.708.

Film ini menceritakan tentang kisah nyata setelah warga Jakarta dihebohkan kasus meninggalnya
seorang bocah 8 tahun bernama Arie Hanggara akibat penyiksaan orang tuanya. Media massa
meliput penuh gempita kabar ini. Film ini berkisah tentang seorang penganggur kelas berat
bernama Tino Ridwan (Deddy Mizwar). Sifatnya yang pemalas, tukang janji kelas kakap, dan
pembuat anak yang kuat menyebabkan saudara dari pihak istrinya menggunjinginya sebagai
pejantan yang hanya kuat membuat anak.

Karena tak punya kerjaan dan disertai dengan harga diri yang tinggi, sementara Jakarta meminta
terlalu banyak, bersiteganglah si Tino dengan istrinya. Sang istri kembali ke Depok dan Tino
menitipkan anak-anaknya ke rumah neneknya untuk kemudian diambil lagi sewaktu dia sudah
hidup bersama dengan pacarnya, Santi (Joice Erna) secara kumpul kebo. Di rumah kontrakan kecil
ini hiduplah lima orang manusia. Tino dan Santi serta tiga anak Tino dari istri pertamanya: Anggi
(tertua), Arie, dan Andi (si kecil).

Tino sadar betul dengan profesinya sebagai penganggur. Dia pun sehabis mengantar istri ke kantor,
dia melamar kerja di sana dan di sini. Tapi tidak dapat-dapat juga. Teman-teman dihubungi, tapi
semuanya menolak. Padahal di rumah rokoknya terus mengebul dan omongannya juga besar.
Santi sudah mulai cerewet, kerja tidak didapatkan juga, anak-anak di rumah kian membandel saja.
Oleh karena ini semua Tino selalu menetapkan aturan yang keras kepada anaknya. Apa saja harus
diatur. Tapi Arie Hanggara, si anak kedua ini, selalu membandel dengan aturan ini. Wajah Yan
Cherry Budiono yang memerankan Arie ini memang wajah memelas. Sosoknya pendiam. Tapi
diamnya Arie adalah diam yang meresahkan Tino.

Tino sebetulnya sayang dengan anak ini. Santi demikian juga adanya. Namun Santi mulai cerewet
dan menyindir-nyindir Tino atas kenakalan anak-anaknya. Lama-lama dia mulai jengkel, terutama
kepada Arie. Mula-mula kalau semuanya berkumpul di meja makan malam hari, Tino sudah
memperingati dan memaklumkan aturan supaya jangan nakal dan jangan nakal. Akan tetapi Arie
Hanggara tetap membandel dengan aturan itu. Awalnya dipukuli, Arie masih mengaduh, tapi lama-
lama anak ini menjadi adiktif dan seperti meminta untuk dihukum. Lantaran takut melanggar, Arie
sering berbohong.
Di sekolah, Arie jadi pendiam, asosial, dan jadi senang mengincar dompet teman-temannya. Maka
jadi bulan-bulananlah dia. Karena merasa sakit perilaku Arie sudah tak bisa diobati di sekolah SD
Negeri, Tino pun berencana membawa si Arie ke pesanntren di Jawa Timur. Tapi sayang sebelum
dia dibawa ke pesantren, dia harus melakukan kesalahan lagi. Tapi kali ini kesalahan kakaknya.
Tapi Arie mengaku bahwa dialah yang melakukannya. Bahkan dia minta digantung saja atau
tangan diikat saja supaya tak nakal lagi. Sementara Arie diikat, dua saudaranya yang lain
memberinya makan diam-diam.

Tugas Arie di hari kedua sebelum kematian adalah membersihkan kamar mandi. Tapi Arie malas-
malasan. Arie dipanggil. Arie maju ke hadapannya. Bergeraklah tangan si Tino penganggur ini ke
pantat. Dihukumlah anak ini berdiri jongkok. Kakak dan adiknya melihat Arie yang terhuyung-
huyung ngantuk sambil memeluk lutut di lantai menjalani hukuman yang mestinya tak boleh
ditanggungnya. Ia tak boleh makan, adik dan kakaknyalah yang diam-diam memberinya biskuit.
Tatkala mereka menawarkan diri memberi Arie minum, Arie menolak. Dan malapetaka itu pun
terjadi.

Santi pada malam malapetaka dan besoknya Arie dan Tino akan berangkat ke Jatim itu masih
manis menasehati Arie untuk minta maaf saja dengan Tino, ayahnya. Tapi Arie tak melakukannya,
malah dibilangnya pada ibu tirinya itu, dia lebih baik dihukum terus saja. Maka menyambarlah
tangan Santi yang mendorong Arie ke dinding. Tino berdiri dan menggampar pantat kecil anak
malang ini sementara Santi duduk sambil menjahit di ruang makan. Mata Arie yang lebam
kebiruan memandang sendu bapaknya. Tak tahan memandang mata anak itu, diambilnya tongkat
sapu. Diganyangnya pantat itu dengan pukulan bertalu-talu. Menjeritlah Santi melihat ulah Tino.
Anak ini tidak mau lagi menangis. Menatap bapaknya dengan sangat tajam, tapi raut wajah dingin
yang mengerikan. Lalu dengan kesal dan kalap satu tamparan keras menghantam pipi kiri Arie dan
terjungkallah ia ke lantai. Lalu Tino memberinya air minum. Arie tetap di dekat tembok menjalani
hukuman. Mereka sempat pelukan dan suara Tino sudah mengendur. Mungkin capek menghadapi
sikap Arie yang dingin, patuh, tapi kepatuhan yang melawan. Dan Arie minta minum lagi. Tapi
Tino mengancam, setelah dia diberi minum, tidak boleh lagi minum tanpa seizinnya. Arie pun
dengan datar berjanji untuk tak minum lagi.

Mungkin karena jiwa anak ini sudah mau bunuh diri di tangan ayahnya sendiri, dia melanggar lagi
sabda si penganggur ini. Dia mengambil air minum, tapi gesekan gelasnya didengar oleh Tino.
Tino bangun dan lupa bahwa mereka besok mau ke pesantren. Dia kalap. Arie, anak malang ini,
harus menjadi santapan kemarahan jam dua dini hari itu. Sahabat anehdidunia.com tak ada
teriakan. Tak ada rintihan. Tak ada apapun keluar dari mulut anak yang sudah mencium bau
kematian sejak 6 November ini yang bahkan satu jam sebelum kematiannya dia sudah berpesan
kepada dua saudaranya bahwa ia akan pergi dengan sangat jauh. Arie terjatuh di lantai. Paniknya
Tino dan Santi subuh itu melihat anak itu dan membawanya ke RS dalam kondisi yang sebetulnya
sudah tak bernyawa.

Ada raut sesal berkecamuk di hati Tino. Matanya bersimbah air mata melihat Arie terbujur kaku
di atas ranjang roda berkain putih yang ditarik perawat putih-putih menuju dunia putihnya. Tapi
apa boleh buat. Arie sudah tiada. Arie, si anak malang yang sudah mencium bau kematiannya itu
meninggal di dinding penghukumannya. Lalu koran-koran ibukota terbit sore pun menulis dengan
besar di halaman depan kematian tragis bocah malang Arie Hanggara. Arie adalah korban dari
perceraian orang tuanya.

DOM Aceh (Daerah Operasi Militer Aceh) '90-'98


Kronologis

Mei adalah bulan yang penuh dengan peringatan terkait dengan kejadian masa lalu. "Khususnya
pelanggaran HAM berat yang terjadi akibat konflik Aceh". Kejadian ini terjadi pada zaman orde
baru tepatnya pada tahun 1990 hingga 1998.

Operasi militer Indonesia di Aceh 1990-1998 atau juga disebut Operasi Jaring Merah adalah
operasi kontra-pemberontakan yang diluncurkan pada awal 1990-an sampai 22 Agustus 1998
melawan gerakan separatis Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di Aceh. Selama periode tersebut,
Aceh dinyatakan sebagai "Daerah Operasi Militer" (DOM), di mana Tentara Nasional Indonesia
diduga melakukan pelanggaran hak asasi manusia dalam skala besar dan sistematis terhadap
pejuang GAM maupun rakyat sipil Aceh. Operasi ini ditandai sebagai perang paling kotor di
Indonesia yang melibatkan eksekusi sewenang-wenang, penculikan, penyiksaan dan
penghilangan, dan pembakaran desa. Amnesty International menyebut diluncurkannya operasi
militer ini sebagai "shock therapy" bagi GAM.

Desa yang dicurigai menyembunyikan anggota GAM dibakar dan anggota keluarga tersangka
militan diculik dan disiksa. Diperkirakan lebih dari 300 wanita dan anak di bawah umur mengalami
perkosaan dan antara 9.000-12.000 orang, sebagian besar warga sipil tewas antara tahun 1989 dan
1998 dalam operasi TNI tersebut.

Operasi ini berakhir dengan penarikan hampir seluruh personel TNI yang terlibat atas perintah
Presiden BJ Habibie pada tanggal 22 Agustus 1998 setelah jatuhnya Presiden Soeharto dan
berakhirnya era Orde Baru.

Anda mungkin juga menyukai