Penyelesaian
Pada 18 Februari 2001 suku Dayak berhasil menguasai
Sampit. Polisi menahan seorang pejabat lokal yang diduga
sebagai salah satu dalang di balik serangan ini. Orang yang
ditahan tersebut diduga membayar enam orang untuk
memprovokasi kerusuhan di Sampit. Kemudian, ribuan warga
Dayak mengepung kantor polisi di Palangkaraya sembari
meminta pembebasan para tahanan. Permintaan mereka
dikabulkan oleh polisi pada 28 Februari 2001, militer berhasil
membubarkan massa Dayak dari jalanan. Dari Konflik Sampit
ini sedikitnya 100 warga Madura dipenggal kepalanya oleh
suku Dayak. Konflik Sampit sendiri mulai mereda setelah
pemerintah meningkatkan keamanan, mengevakuasi warga,
dan menangkap provokator. Untuk memperingati akhir konflik
2.Bom Bali
KRONOLOGI
12 Oktober 2002, pukul 20.45 WITA Pada hari kejadian, Ali
Imron telah menyiapkan satu bom kotak dengan berat 6
kilogram dengan sistem remote yang dapat diledakkan dari
jarak jauh dengan menggunakan ponsel. Pada pukul 20.45
WITA di malam, dengan menggunakan motor, Ali Imron
meletakkan bom tersebut di trotoar dekat Kantor Konsulat
Jenderal Amerika Serikat. Selanjutnya Ali Imron menuju
kawasan Legian di dekat Diskotek Sari Club dan Diskotek
Paddy's Pub untuk memantau lalu lintas, dan kemudian
kembali ke rumah kontrakannya. 12 Oktober 2002, pukul 22.30
WITA Pada sekitar pukul 22.30 WITA, Ali Imron bersama dua
pelaku bom bunuh diri yakni Jimi dan Iqbal berangkat menuju
kawasan Legian dengan mobil Mitsubishi L300. Sementara
pelaku lainnya, yaitu Idris mengikuti mobil tersebut dengan
menggunakan motor. Sesampainya di Legian, Ali Imron
memerintahkan Jimi untuk menghubungkan kabel-kabel
detonator ke kotak switch bom di mobil Mitsubishi L300 yang
diparkir di depan Diskotek Sari Club. Sementara Iqbal yang
menjadi pengantin bom diperintah untuk memakai bom rompi
yang ditujukan untuk meledakkan diri di Diskotek Paddy's Pub.
12 Oktober 2002, pukul 23.15 WITA Ledakan pertama terjadi di
dalam Diskotek Paddy's yang berasal dari dari rompi yang
dikenakan Iqbal. Ledakan berikutnya terjadi lima meter di
depan Diskotek Sari Club yang berasal dari bom di dalam mobil
di mobil Mitsubishi L300 yang dikendarai Jimi. Tidak berselang
lama, bom kembali meledak di depan Kantor Konsulat Amerika
Serikat di daerah Renon, Denpasar Bali. Dampak Bom Bali I
Dua ledakan yang terjadi di kawasan Legian menimbulkan
kerusakan parah terutama di sekitar lokasi Diskotek Sari Club
dan Diskotek Paddy's Pub. Puluhan bangunan yang berada di
radius 10 - 20 meter dari lokasi ledakan rusak berat. Kaca-kaca
hotel, toko, maupun tempat hiburan di sekitarnya juga tidak
luput dari kerusakan. Kantor Panin Bank yang terletak persis di
depan Diskotek Sari Club terbakar, sementara kantor biro
perjalanan yang berada di sampingnya rata dengan tanah.
Kuatnya ledakan bom yang terjadi di depan Diskotek Sari Club
bahkan meninggalkan lubang besar berdiameter 2x4 meter dan
kedalaman 1,5 meter.
PENYELESAIAN
Tragedi Bom Bali I dianggap menjadi salah satu kasus pelanggaran HAM berat karena telah
merampas hak hidup banyak orang dan meninggalkan trauma mendalam. Oleh karenanya,
majelis hakim kemudian memutuskan bahwa para tersangka kasus Bom Bali I yaitu Amrozi,
Mukhlas, dan Imam Samudra dijatuhi hukuman mati. Eksekusi ketiganya telah dilaksanakan
pada 8 November 2008 di Bukit Nirbaya, Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Pelaku lain
yang terlibat dalam tragedi ini seperti Ali Imron bin H Nurhasyim alias Alik, Mubarok alias Utomo
Pamungkas dan Suranto Abdul Goni alias Umar alias Wayan divonis penjara seumur hidup.
Adapun teroris yang paling dicari yakni Dr Azahari bin Husin atau The Demolition Man tewas
pada penyergapan di tahun 2005. Sementara Zulkarnaen seorang petinggi kelompok militan
Jemaah Islamiyah (JI), yang berhasil ditangkap pada Desember 2020 setelah buron selama
hampir 18 tahun dijatuhi hukuman 15 tahun penjara.
3.TRAGEDI 1998
LATAR BELAKANG
Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan dipicu oleh
tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa Universitas Trisakti
ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi 12 Mei 1998. Hal inipun
mengakibatkan penurunan jabatan Presiden Soeharto, serta pelantikan
B. J. Habibie.
KONFLIK
Kerusuhan Mei 1998 adalah kerusuhan rasial terhadap etnis
Tionghoa yang terjadi di Indonesia pada 13 Mei-15 Mei 1998,
khususnya di Ibu Kota Jakarta namun juga terjadi di beberapa
daerah lain. Kerusuhan ini diawali oleh krisis finansial Asia dan
dipicu oleh tragedi Trisakti di mana empat mahasiswa
Universitas Trisakti ditembak dan terbunuh dalam demonstrasi
12 Mei 1998. Hal inipun mengakibatkan penurunan jabatan
Presiden Soeharto, serta pelantikan B. J. Habibie. Pada
kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan oleh
amuk massa—terutama milik warga Indonesia keturunan
Tionghoa.
Pada kerusuhan ini banyak toko dan perusahaan dihancurkan
oleh amuk massa—terutama milik warga Indonesia
keturunan Tionghoa.[1] Konsentrasi kerusuhan terbesar terjadi
di Jakarta, Medan dan Surakarta. Dalam kerusuhan tersebut,
banyak warga Indonesia keturunan Tionghoa yang
meninggalkan Indonesia. Tak hanya itu, seorang aktivis
relawan kemanusiaan yang bergerak di bawah Romo
Sandyawan, bernama Ita Martadinata Haryono, yang masih
seorang siswi SMU berusia 18 tahun, juga diperkosa, disiksa,
dan dibunuh karena aktivitasnya. Ini menjadi suatu indikasi
bahwa kasus pemerkosaan dalam Kerusuhan ini digerakkan
secara sistematis, tak hanya sporadis.[2]
Amuk massa ini membuat para pemilik toko di kedua kota
tersebut ketakutan dan menulisi muka toko mereka dengan
tulisan "Milik pribumi" atau "Pro-reformasi" karena penyerang
hanya fokus ke orang-orang Tionghoa. Beberapa dari mereka
tidak ketahuan, tetapi ada juga yang ketahuan bukan milik
pribumi. Sebagian masyarakat mengasosiasikan peristiwa ini
dengan peristiwa Kristallnacht di Jerman pada tanggal 9
November 1938 yang menjadi titik awal penganiayaan
terhadap orang-orang Yahudi dan berpuncak pada
pembunuhan massal yang sistematis atas mereka di hampir
seluruh benua Eropa oleh pemerintahan Jerman Nazi.[3]
Sampai bertahun-tahun berikutnya Pemerintah Indonesia
belum mengambil tindakan apapun terhadap nama-nama yang
dianggap kunci dari peristiwa kerusuhan Mei 1998. Pemerintah
mengeluarkan pernyataan yang menyebutkan bahwa bukti-
bukti konkret tidak dapat ditemukan atas kasus-kasus
pemerkosaan tersebut, tetapi pernyataan ini dibantah oleh
banyak pihak.[2]
Sebab dan alasan kerusuhan ini masih banyak diliputi
ketidakjelasan dan kontroversi sampai hari ini. Namun
umumnya masyarakat Indonesia secara keseluruhan setuju
bahwa peristiwa ini merupakan sebuah lembaran hitam sejarah
Indonesia, sementara beberapa pihak, terutama pihak
Tionghoa, berpendapat ini merupakan tindakan pembasmian
(genosida) terhadap orang Tionghoa, walaupun masih menjadi
kontroversi apakah kejadian ini merupakan sebuah peristiwa
yang disusun secara sistematis oleh pemerintah atau
perkembangan provokasi di kalangan tertentu hingga
menyebar ke masyarakat
DAMPAK
Angka resmi menunjukkan sebanyak 499 orang tewas dalam
peristiwa Kerusuhan Mei 1998. Selain itu, lebih dari 4.000 gedung
juga hancur atau terbakar. Kerugian fisik yang ditanggung oleh
pemerintah Indonesia sendiri adalah sebesar Rp 2,5 triliun.
PENYELESAIAN/AKHIR
Pada tanggal 21 Mei yang lalu, Indonesia memperingati 23 tahun
jalannya reformasi. Peristiwa yang ditandai dengan turunnya Soeharto
dari kursi presiden mengawali babak awal masa reformasi. Namun,
peristiwa ini tidak berdiri sendiri, terdapat sejumlah peristiwa yang
pada akhirnya menjungkal Soeharto dari singgasana yang telah
dikuasai selama 32 tahun, salah satunya peristiwa kerusuhan
bernuansa SARA pada 13-15 Mei 1998 di Jakarta dan sejumlah kota.
Berdasarkan laporan dari Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) kasus
Kerusuhan Mei 1998, ditemukan perbedaan jumlah korban meninggal
dunia dan luka-luka yang di dapatkan dari beberapa sumber. Misalnya
saja, berdasarkan data Tim Relawan untuk Kemanusian (TRUK), di
DKI Jakarta ditemukan sebanyak 1.190 orang terbakar, 27 orang
terkena senjata/dan lainnya, serta 91 orang luka-luka. Sementara, data
Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya menunjukkan 451 orang
meninggal dan korban luka-luka tidak tercatat (Komnas Perempuan,
1999).
Masih dalam Laporan TGPF, berdasarkan data Komando Daerah
Militer (Kodam) Jaya ditemukan 463 orang meninggal, termasuk
aparat keamanan, dan 69 orang luka-luka. Sementara itu, berdasarkan
data Pemerintah Daerah DKI Jakarta ditemukan 288 orang meninggal
dunia dan 101 luka-luka. Di kota-kota selain Jakarta, temuan angka
korban juga bervariasi. Berdasarkan data Polri, 30 orang meninggal
dunia, luka-luka 131 orang, dan 27 orang luka bakar. Berdasarkan
data Tim Relawan, 33 meninggal dunia, dan 74 luka-luka (1999).
Selain itu, TGPF juga menemukan adanya kekerasan seksual pada
kerusuhan Mei 1998. Meskipun korban kekerasan seksual tidak
semuanya berasal dari etnis Cina, namun sebagian besar kasus
kekerasan seksual dalam kerusuhan Mei 1998 diderita oleh
perempuan dari etnis Cina. Korban kekerasan seksual ini pun bersifat
lintas kelas sosial.
Melihat laporan tersebut, tak ayal kerusuhan Mei 1998 menjadi salah
satu peristiwa suram bangsa ini. Terjadi pelanggaran Hak Asasi
Manusia (HAM) yang hingga kini kasusnya belum terselesaikan.
Hal yang sama terjadi untuk kasus-kasus pelanggaran HAM berat
lainnya yang terjadi di masa lalu, seperti tragedi 1965, penembakan
misterius era 1980, peristiwa Talangsari, penghilangan orang secara
paksa jelang reformasi, peristiwa Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi
II.
Padahal, seperti yang kita ketahui bersama, telah ada payung hukum
yang menyatakan penyelesaian kasus HAM berat dapat dilakukan
melalui jalur pengadilan ad hoc, seperti diamanatkan di Undang-
Undang (UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Sayangnya, setelah melewati pergantian beberapa kali pemerintahan
di era Reformasi, hal ini urung terlaksana. Alasannya, berkas
penyidikan yang dilakukan oleh Komisi Nasional (Komnas) HAM
dikembalikan oleh Kejaksaan Agung karena dianggap tidak
memenuhi syarat penyidikan.
Bahkan yang terbaru, tim khusus penuntasan dugaan pelanggaran
HAM berat atau Timsus HAM yang dibentuk Kejaksaan Agung juga
tidak membawa perubahan bagi penyelesaian kasus pelanggaran
HAM. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Ali
Mukartono, mengatakan tidak ada kasus-kasus yang bisa
ditindaklanjuti melalui jalur pengadilan. Sebab, Komnas HAM tidak
memenuhi petunjuk yang diberikan dari Kejagung, baik syarat formil
maupun materil. Bahkan, Koordinator Timsus HAM yang juga
Direktur Pelanggaran HAM Berat Kejaksaan Agung, Yuspar
mengusulkan kepada pemerintah untuk menyelesaikan melalui jalur
non-yudisial (mediaindonesia.com, 4/5).
Pernyataan-pernyataan Timsus di atas mengindikasikan bahwa
penyelesaian kasus pelanggaran HAM kerusuhan 1998 melalui jalur
pengadilan masih berjalan di tempat. Padahal, rezim telah berganti
lima kali selepas turunnya Soeharto. Setiap rezim pun gagal
menyelesaikan kasus ini.
Nampaknya, bukan hanya sekedar janji politik yang dibutuhkan,
tetapi juga keberanian dan komitmen dari Presiden dan Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) untuk menuntaskan permasalahan ini
melalui jalur pengadilan. Presiden dan DPR seharusnya menjalankan
mandat UU Nomor 26 Tahun 2000 untuk membentuk Pengadilan
HAM ad hoc guna menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu,
termasuk kerusushan Mei 1998. Oleh karena itu, memperhatikan
persoalan diatas, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan.
Pertama, mendorong Presiden dan DPR untuk tetap berkomitmen
menyelesaikan kasus pelanggaran HAM masa lalu. Kedua,
mendorong Presiden untuk mengevaluasi kinerja Timsus HAM
Kejaksaan Agung yang belum bekerja secara signifikan untuk
menyelesaikan syarat formil maupun materil dalam kasus pelanggaran
HAM melalui jalur pengadilan. Ketiga, mendorong DPR untuk selalu
membuka ruang bagi kelompok masyarakat sipil dalam rangka
memberikan masukan dalam kasus pelanggaran HAM masa lalu.