Anda di halaman 1dari 4

Kerusuhan Sampit, Kegagalan Merawat

Perbedaan 18 Tahun Silam


rivaldo

18 Feb 2019, 07:33 WIB


12

Ilustrasi

Liputan6.com, Jakarta - Malam di Kota Sampit, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kalimantan Tengah,
baru saja beranjak. Minggu dini hari, 18 Februari 2001, tepat pukul 01.00 WIB, sekelompok warga
Dayak menyerang rumah seorang warga Madura bernama Matayo di Jalan Padat Karya. Empat orang
meninggal dunia dan 1 orang luka berat akibat serangan itu, semuanya warga Madura.

Serangan yang diduga aksi balas dendam itupun mendapat perlawanan. Pagi harinya, sekitar pukul
08.00 WIB, sejumlah warga Madura mendatangi rumah seorang Dayak bernama Timil yang diduga
menyembunyikan salah satu pelaku penyerangan.

Saat itu Timil berhasil diamankan polisi, tetapi warga Madura yang tak puas langsung membakar
rumahnya. Warga Madura yang marah juga menyerang rumah kerabat Timil dan menewaskan 3
penghuninya.

Selang beberapa lama, tepatnya pukul pukul 12.00 WIB, pasukan Brimob Polda Kalimantan Selatan
sebanyak 103 personel dengan kendali BKO Polda Kalteng tiba di Sampit. Puluhan tersangka berikut
barang bukti senjata tajam kemudian dibawa ke Mapolda Kalteng di Palangka Raya. Namun, situasi
tak kunjung kondusif.

Sampai malam keesokan harinya, Senin 19 Februari, ditemukan sejumlah jasad di berbagai sudut
Kota Sampit. Demikian pula dengan aksi penyerangan rumah serta pembakaran kendaraan. Kondisi
ini membuat Wakil Gubernur Kalteng mengirimkan bantuan 276 personel TNI dari Yonif 631/ATG
ke Sampit pada malam itu juga.
Yang jelas, pada 18 dan 19 Februari 2001, Kota Sampit sepenuhnya dikuasai warga dari Madura.
Selama dua hari sejak penyerangan rumah Matayo, warga Madura berhasil bertahan, bahkan berani
melakukan sweeping terhadap permukiman-permukiman warga Dayak.

Namun, situasi berbalik pada 20 Februari 2001, ketika sejumlah besar warga Dayak dari luar kota
berdatangaan ke Sampit. Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS)
Mentaya, seperti Seruyan, Ratua Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke
kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya dekat pelabuhan.

Ratusan warga Dayak itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya yang merupakan pusat
permukiman warga Madura. Mereka mampu memukul balik warga Madura yang terkonsentrasi di
berbagai sudut jalan Sampit.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan warga Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum
menyerang, seorang tokoh atau panglima Dayak dikabarkan lebih dulu membekali ilmu kebal kepada
pasukannya. Karena itu, saat melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar.
Bahkan, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-
Madura.

Berada di atas angin, warga Dayak melebarkan serangan ke berbagai kawasan di Kotawaringin
Timur. Warga Dayak pun praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah, kecuali
Pangkalan Bun yang tetap aman karena hampir tak ada warga Madura yang tingga di tempat ini.

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mencatat, korban jatuh mencapai sekitar 400
jiwa. Sedangkan menurut data kepolisian, ada 319 lebih rumah dibakar dan sekitar 197 lainnya
dirusak.

Sementara menurut data dari Polres Kotawaringin Timur, jumlah korban meninggal dari kedua belah
pihak kerusuhan Sampit ada 315 orang. Jumlah rumah yang dibakar 583 dan dirusak 200. Sementara
8 mobil dan 48 sepeda motor dirusak.

Selain itu, banyak juga cerita memilukan dari mereka yang selamat. Dikutip dari SCTV, ada
pasangan suami istri yang harus berpisah lantaran keduanya berlainan etnis. Sang istri Madura dan
suami Dayak. Tak lama setelah pertikaian pecah, si istri turut mengungsi ke Madura.

Alih-alih nyaman di kampung sendiri, kehadirannya malah ditolak lantaran bersuami orang Dayak.
Begitupun ketika ia harus mengikuti si suami, masyarakat Dayak sulit menerima. Kini, ibu muda
yang tengah hamil tua itu terpaksa diungsikan ke Banjar. Sedangkan suami tetap di kampungnya.

Akibat kerusuhan ini pula, tercatat sedikitnya 33 ribu orang berlindung di tempat-tempat
penampungan dan lebih dari 23.800 warga pendatang diungsikan keluar Kalimantan. Secara
bergiliran mereka dievakuasi menggunakan kapal-kapal milik TNI.

Kerusuhan Sampit yang menjalar hingga kesegala penjuru Kalimantan Tengah itu baru benar-benar
berakhir sekitar pertengahan Maret. Untuk memperingati akhir konflik ini dibuatlah perjanjian damai
antara suku Dayak dan Madura. Untuk memperingati perjanjian damai itu, dibangun sebuah tugu
perdamaian di Sampit.
Bertikai Sejak Lama
Ilustrasi.
Kerusuhan Sampit pada 2001 bukanlah peristiwa yang berdiri sendiri, karena telah terjadi beberapa
insiden sebelumnya antara warga Dayak dan Madura. Bahkan, konflik besar terakhir terjadi pada
Desember 1996 dan Januari 1997 yang mengakibatkan 600 korban tewas.

Warga Madura yang pertama tiba di Kalimantan tahun 1930 merupakan bagian dari program
transmigrasi yang dicanangkan pemerintah kolonial Belanda dan dilanjutkan oleh pemerintah
Indonesia. Jumlah warga Madura pun kemudian menjadi signifikan dalam percaturan ekonomi di
Kalimantan Tengah.

Tahun 2000, tercatat warga transmigran membentuk 21 persen populasi Kalimantan Tengah. Suku
Dayak pun dikabarkan merasa tidak puas dengan persaingan yang terus datang dari warga Madura
yang semakin agresif.

Ditambah lagi, aturan-aturan baru telah memungkinkan warga Madura memperoleh kontrol terhadap
banyak industri komersial di provinsi ini seperti perkayuan, pertambangan dan perkebunan.

Dalam disertasinya bertajuk Migrasi Swakarsa Orang Madura ke Kalimantan Barat, almarhum
Profesor Hendro Suroyo Sudagung mengungkapkan, pertikaian yang sering terjadi antara warga
Madura dan Dayak dipicu rasa etnosentrisme yang kuat di kedua belah pihak. Semangat persukuan
inilah yang mendasari solidaritas antar-anggota suku di Kalimantan.

Situasi seperti itu diperparah kebiasaan dan nilai-nilai yang berbeda, bahkan mungkin berbenturan.
Misalnya, adat orang Madura yang membawa parang atau celurit ke mana pun pergi, membuat orang
Dayak melihat sang "tamu"-nya selalu siap berkelahi.

Sebab, bagi orang Dayak, membawa senjata tajam hanya dilakukan ketika mereka hendak berperang
atau berburu. Tatkala di antara mereka terlibat keributan --dari soal salah menyabit rumput sampai
kasus tanah-- amat mungkin persoalan yang semula kecil meledak tak karuan, seperti amarah yang
meletup di Sampit 18 tahun lalu.

Konflik Sampit sendiri diyakini bermula dari perselisihan antara dua etnis ini sejak akhir 2000. Pada
pertengahan Desember 2000, bentrokan antara etnis Dayak dan Madura terjadi di Desa Kereng
Pangi, Kabupaten Katingan, dan membuat hubungan kedua pihak tegang.

Ketegangan itu kian hebat setelah perkelahian di sebuah tempat hiburan di desa pertambangan emas
Ampalit. Sandong, seorang etnis Dayak, tewas akibat beberapa luka bacokan dalam perkelahian itu.

Kasus tewasnya Sandong sebenarnya telah ditangani polisi setempat, namun hal itu tak bisa meredam
amarah keluarga dan tetangga Sandong. Dua hari usai peristiwa naas itu, 300 warga Dayak
mendatangi tempat tewasnya Sandong untuk mencari pelaku.

Tak berhasil menemukan pelaku, kelompok warga Dayak itu melampiaskan kemarahannya dengan
merusak sembilan rumah, dua unit mobil, lima unit motor, dan dua tempat karaoke. Semuanya milik
warga Madura.

Penyerangan itu membuat 1.335 orang Madura mengungsi. Ada dugaan bahwa salah seorang pelaku
pembunuhan Sandong bersembunyi di Sampit, ibu kota Kabupaten Kotawaringin Timur, kota
tetangga Katinggan. Sampit pun memanas yang berujung pada kerusuhan besar pada Minggu nahas,
18 Februari 2001 dinihari. Dari sinilah benang merah rusuh Sampit bisa ditarik.

Tidak sampai satu tahun setelah kerusuhan berakhir, warga Sampit dan Kalimantan Tengah langsung
berbenah. Warga Madura pun kembali berdatangan ke Sampit untuk mencari penghidupan. Sejak itu,
Sampit mengalami perkembangan dan kemajuan yang pesat, baik dibidang ekonomi maupun
industri.

Sampit kini dikenal sebagai kota yang damai, sejahtera, dan keseharian penduduk yang rukun.
Sampit tentu telah belajar dari kerusuhan Februari 2001, bahwa kebencian antarwarga sebangsa
hanya akan memunculkan pihak yang kalah dan tanpa pemenang

Dari artikel tersebut ,

1. analisilah contoh kasus diatas (link) lalu jelaskan latar belakang apa yang mendasari
konflik sosial tersebut !
2. konflik tersebut termasuk kedalam hal yang menimbulkan stratifikasi atau deferensiasi ,
Jelaskan !
3. Sebutkan dampak dari adanya perbedaan yang terjadi dalam konflik tersebut !
4. Sebutkan upaya agar tidak terjadi konfil !

Anda mungkin juga menyukai