Anda di halaman 1dari 4

Tragedi Sampit, Suku Dayak vs Madura

Tragedi Sampit adalah konflik berdarah antar suku yang paling membekas dan bikin geger bangsa Indonesia pada tahun 2001
silam. Konflik yang melibatkan suku Dayak dengan orang Madura ini dipicu banyak faktor, di antaranya kasus orang Dayak
yang didiuga tewas dibunuh warga Madura hingga kasus pemerkosaan gadis Dayak.
Warga Madura sebagai pendatang di sana dianggap gagal beradaptasi dengan orang Dayak selaku tuan rumah. Akibat bentrok
dua suku ini ratusan orang dikabarkan meninggal dunia. Bahkan banyak di antaranya mengalami pemenggalan kepala oleh suku
Dayak yang kalap dengan ulah warga Madura saat itu. Pemenggalan kepala itu terpaksa dilakukan oleh suku Dayak demi
memertahankan wilayah mereka yang waktu itu mulai dikuasai warga Madura.

Tragedi Kerusuhan Sampit (Suku Dayak vs Madura)


Kerusuhan Sampit dengan korban ratusan jiwa ternyata hanya bermula dari perkelahian siswa SMK di
Baamang. Perkelahian itu melibatkan anak warga Dayak dan Madura.

Perkelahian siswa itulah, yang kemudian memicu konflik antarkeluarga, antaretnis, hingga pembantaian
sampai pengusiran puluhan ribu warga Madura. Anak polah, bapa kepradah. Pepatah Jawa yang berarti anak
berbuat, orang tua ikut terlibat ini terjadi atas diri keluarga Matayo. Warga asal Madura yang sudah lama
tinggal di Baamang, Sampit, ini tak terima anaknya berkelahi dengan anak warga Dayak. Tapi, keterlibatan
Matayo atas perkelahian anaknya ini malah memicu kegeraman warga dayak. Lalu, dibuatlah perhitungan.
Minggu dini hari sekitar pukul 03.00 (18 Februari) sekelompok pemuda Dayak menyerang dan membunuh
Matayo. Tiga orang anggota keluarganya ikut tewas. Itu versi warga Madura. Versi warga Dayak agak
berbeda lagi. Mereka bilang, eksekusi terhadap Matayo dan keluarganya terjadi karena yang bersangkutan
sering melakukan tindak kriminal. Warga setempat pun jengkel karena sering dirugikan. Hanya empat jam,
eksekusi Dayak terhadap Matayo ini menyebar.
Warga Madura tak bisa menerima. Sejumlah warga pendatang ini lantas menyatroni Ketua Lembaga
Musyawarah Masyarakat Dayak, Seruyan Tengah, untuk membalas dendam. Lengkap dengan berbagai
senjata, warga Madura ini minta Iniel menyerahkan pembunuh Matayo yang bersembunyi di rumahnya.
Mereka mengancam akan membakar kalau pelaku tidak diserahkan.

Tapi, 39 orang di dalam rumah Iniel tidak keluar. Warga Madura mulai tidak sabar. Mereka melemparkan apa
saja ke pagar dan kaca rumah. Bahkan, ada yang berusaha membakar rumah. Mendengar ribut-ribut, polisi
datang, lalu mengamankan 39 orang yang ada di rumah Iniel. Sebagian memang mengaku membunuh
Matayo. Tapi, warga Madura tidak puas dan mengarahkan amarahnya ke warga Dayak yang lain. Beberapa
rumah warga Dayak dibakar. Nasib tragis dialami Jihan atau Seyan, seorang purnawirawan TNI AD. Seyan
beserta ketujuh anak dan cucunya yang kabarnya masih kerabat Iniel dibakar hidup-hidup dalam rumahnya.
Sejak hari itu, warga Madura menguasai Sampit. Dengan mengacung-acungkan senjata, puluhan warga
Madura pawai keliling kota. Mereka menggunakan berbagai kendaraan, mulai roda dua sampai roda empat.
Mereka tak hanya berpawai. Setiap bertemu warga Dayak, mereka mengejar dan membunuhnya. Sedikitnya,
sepuluh rumah dibakar.

Tujuh orang tewas saat warga Madura menguasai Sampit. Bahkan, seorang ibu muda hamil tujuh bulan ikut
dibunuh dengan dirobek perutnya. "Itu fakta," kata Bambang Sakti, tokoh muda Dayak asal Sungai Samba.
Situasi itu membuat Sampit Minggu malam mencekam. Listrik padam total. Pembakaran di perkampungan
warga di Jalan Baamang berlangsung sporadis. Pengungsi mulai membanjiri gedung pertemuan di depan
rumah jabatan bupati sampit. Tapi, kemudian dialihkan ke kantor bupati.
Yang mengungsi bukan hanya warga Madura. Juga Dayak dan Cina. Mereka berdesak-desakan mengungsi.
Ini terjadi karena mereka belum tahu betul siapa yang menguasai jalanan di Sampit malam itu, Madura atau
Dayak. Di pengungsian, Madura dan Dayak malah rukun.”Saya saat itu ikut mengungsi” ujar seorang
wartawan lokal. Untuk menghadang orang Dayak keluar-masuk Sampit, warga Madura melakukan penjagaan
di pertigaan Desa Bajarum yang mengarah kota Kecamatan Kota Besi.
Penjagaan juga terjadi di Perenggean, Kecamatan Kuala Kuayan, dan desa-desa pedalaman Hilir Mentayan.
Selama berpawai itu, warga Madura terus berteriak-teriak mencari tokoh Dayak. "Mana Panglima Burung?
Mana tokoh Dayak?" tantang mereka. Tak hanya itu, seorang tokoh Madura melakukan orasi lewat pengeras
suara, "Sampit akan jadi Sampang kedua, Sampit jadi Sampang Kedua".
Mereka juga memasang spanduk: Selamat datang orang Dayak di kota Sampang, Serambi Mekkah.
"Spanduk itu yang kami cari sekarang," kata Bambang Sakti. Bambang juga bilang telah menemukan
sejumlah bom di rumah-rumah warga Madura. "Ini bukan isapan jempol," tuturnya. Sedikitnya, pasukan
Dayak sudah menyerahkan 300 bom yang ditemukan di rumah warga Madura. Begitu juga beberapa pucuk
pistol. "Tidak tahu bagaimana tindak lanjutnya," jelasnya. Kabarnya, bom-bom itu dirakit di Jawa, lalu
dikirimkan ke Sampit. Tapi, sumber Jawa Pos menyebutkan, bom rakitan dibuat di Sampit. Lalu,
didistribusikan ke berbagai warga Madura di kecamatan.
Mereka bilang bom itu untuk mempertahankan diri jika sewaktu-waktu diserang warga Dayak. Tapi, karena
bom itu pula, 112 warga Madura di Kecamatan Perenggean dibantai di lapangan kecamatan. Ini setelah
warga Dayak menemukan bom di rumah seorang warga Madura.
Melihat aksi penguasaan warga pendatang itu, warga Dayak tak tinggal diam. Mereka lantas membawa bala
bantuan pasukan dari Dayak pedalaman. Warga Dayak yang tiba lebih dulu melakukan perlawanan sporadis.
Selasa malam (20 Februari), peta kekuatan mulai berbalik.

Warga Dayak pedalaman dari berbagai lokasi daerah aliran sungai (DAS) Mentaya, seperti Seruyan, Ratua
Pulut, Perenggean, Katingan Hilir, bahkan Barito berdatangan ke kota Sampit melalui hilir Sungai Mentaya
dekat pelabuhan. Pasukan Dayak pedalaman yang rata-rata berusia muda tak lebih 25 tahun membekali diri
dengan berbagai ilmu kebal. Jumlahnya sekitar sekitar 320 orang.

Pasukan itu lalu menyusup ke daerah Baamang dan sekitarnya, pusat permukiman warga Madura. Meski
dalam jumlah kecil, kemampuan bertempur pasukan khusus Dayak sangat teruji. Buktinya, mereka mampu
memukul balik warga Madura yang terkosentrasi di berbagai sudut jalan Sampit. Dengan ilmu kebal, mereka
melawan ribuan warga Madura. Bahkan, mereka sanggup menghadapi bom yang banyak digunakan warga
Madura. Dalam bentrok terbuka, seorang warga Madura melemparkan bom ke arah pasukan Dayak. Tapi,
bom dapat ditangkap dan dilemparkan kembali ke arah kerumunan Madura. Meledak. Puluhan warga Madura
tewas seketika. Selain kebal senjata, pasukan Dayak pedalaman tidak mempan ditembak. Mereka justru
memunguti peluru untuk dikantongi. Karena itu, polisi juga keder.
Sejak itu, mental Madura pun langsung down. Strategi yang diterapkan warga Dayak dalam serangan balik
cukup jitu. Selain masuk lewat Baamang, sekitar empat perahu penuh pasukan dayak tidak langsung
merapat ke bibir sungai.
Mereka berhenti di seberang sungai Mentaya. Baru berenang menuju kota pinggir sungai di tepian kota
Sampit. Strategi ini untuk menghindari pengawasan orang Madura. Lantas, secara tiba-tiba, mereka muncul
dan menyerang permukiman Madura. Madura pun dibuat kocar-kacir. Pasukan Dayak pedalaman terus
bergerak ke kantong-kantong tokoh Madura. Seperti, Jalan Baamang III, Simpong atau dikenal Jalan Gatot
Subroto, dan S. Parman. Rumah tokoh Ikatan Keluarga Madura (Ikama) Haji Marlinggi yang cukup megah di
Jalan DI Panjaitan tak luput dari sasaran. Banyak pengawal penguasa Pelabuhan Sampit itu yang terbunuh.
Sebagian lari. Sejumlah becak bekas dibakar berserakan di halaman rumah yang hancur.
Rumah tokoh Madura lain seperti Haji Satiman dan Haji Ismail juga dihancurkan. Tidak terkecuali rumah Mat
Nabi yang dikenal sebagai jagonya Sampit. Padahal, rumah tokoh-tokoh Madura yang berada di Sampit,
Samuda, maupun Palangkaraya tergolong cukup mewah. Serangan pasukan inti Dayak kemudian diikuti
warga Dayak lain. Mereka mencari rumah dan warga di sepanjang kota Sampit. Ratusan warga Madura
dibunuh secara mengenaskan, lalu dipenggal kepalanya.

Hari-hari berikutnya gelombang serangan suku Dayak terus berdatangan. Bahkan, sebelum menyerang,
seorang tokoh atau panglima Dayak lebih dulu membekali ilmu kebal kepada pasukannya. Karena itu, saat
melakukan serangan, biasanya mereka berada dalam alam bawah sadar.
Uniknya, mereka juga dibekali indera penciuman tajam untuk membedakan orang Madura dan non-Madura.
"Dari jarak sekitar 200 meter, baunya sudah tercium," ujar. Itu tak berlebihan. Saat ada evakuasi, di tengah
jalan seorang warga Madura disusupkan. Dia dikelilingi warga non-Madura. Sebelum masuk ke lokasi
penampungan, mereka kena sweeping Dayak. Meski orang itu ada di tengah pengungsi, masih juga tercium
dan disuruh turun. Tanpa ampun, laki-laki tadi dibantai.

Agar serangan ke perkampungan Madura terkendali, para komando warga Dayak menggunakan Hotel Rama
sebagai pusat komando penyerangan. Bahkan, di hotel itulah pasukan diberi ramuan ilmu kekebalan oleh
para panglima. Saat digerebek, aparat menemukan beberapa kepala manusia. Tapi, para tokohnya sempat
meloloskan diri. Kini, di depan hotel bertingkat dua itu dibentangkan police line.
Berada di atas angin, pasukan Dayak lalu melebarkan serangan ke berbagai kota Kecamatan Kotawaringin
Timur. Sasaran pertama, Samuda, ibu kota Kecamatan Mentaya Hilir Selatan, dan Parebok yang banyak
dihuni warga Madura. Samuda dan Parebok jadi sasaran setelah Sampit karena banyak tokoh Madura tinggal
di daerah itu. Di Parebok juga ada Ponpes Libasu Taqwa.
Ponpes yang diasuh Haji Mat Lurah ini juga dijadikan tempat berlindung banyak warga Madura. Warga
Madura di kecamatan lain pun tidak lepas dari buruan. Misalnya, Kuala Kuayan. Ratusan korban jatuh
dengan kepala terpenggal. Kini, warga Dayak praktis menguasai hampir seluruh wilayah Kalimantan Tengah.
Kecuali Pangkalan Bun. Kota ini aman karena hampir tak ada warga Madura yang tinggal di semua kota
kecamatan. Penghuninya, saat itu, banyak yang lari menyelamatkan diri ke hutan, baik Palangkaraya,
Sampit, maupun Samuda.

Bohong, kalau Gubernur Kalteng Asnawi Agani mengatakan orang Madura yang tewas 200 orang, meskipun
itu informasi yang datang dari Posko Sampit. Hal ini dikatakan sejumlah orang Madura yang ikut naik KRI
Teluk Ende 517. Dalam pelayaran menyusuri Sungai Mentaya (70 km), ABK dan pengungsi bisa melihat
puluhan mayat yang mengapung di sepanjang sungai, dan sejumlah bangunan rumah warga Madura dan
Pasar Sampit/Pasar Ganal yang tinggal temboknya yang hangus.
Dikatakan seorang pengungsi yang bekerja di penggergajian kayu, PT Sempagan Raya Sampit, Abdul Sari
(30), bahwa yang tampak di sungai saja ada puluhan yang mengapung dan tersangkut di pinggir. Sementara
yang hanyut dan tenggelam lebih dari 200 warga etnis Madura. "Ini baru yang di sungai, belum yang terserak
di pinggir sepanjang Jl. Masjid Nur Agung saja tidak kurang dari 200 mayat," katanya.

Sementara di Jl. Sampit Pangkalan Bun, saat ini masih banyak mayat yang bergelimpangan di tepi jalan.
Mayat-mayat itu hanya ditutupi dengan batu koral yang dibungkus karung sak. Tidak ada yang menolong
untuk dimakamkan, kami tidak mungkin untuk melakukan itu. Sedang untuk bisa lolos dari kejaran dan
tebasan mandau Dayak saja sudah bersyukur.
Abdul Sari juga mengatakan, sekarang pasukan Dayak tidak lagi membedakan siapa yang akan dibunuh.
Awalnya yang diserang hanya etnis Madura, tapi kini semua pendatang, termasuk orang Jawa, dan Cina.
Mereka bukan hanya ditebas lehernya saja, tapi juga dipenggal jadi beberapa potong.
Di mata etnis Madura, polisi setempat sudah kehilangan kepercayaannya lagi. Mereka (warga etnis Madura)
mengaku, siangnya di sweeping dan senjatanya disita petugas, dan mereka (petugas) mengatakan, semua
sudah aman dan tidak ada apa-apa lagi. Maka warga etnis Madura di Jl. Sampit Pangkalan Bun tenang-
tenang saja dan percaya pada petugas. Ternyata malamnya diawali dengan suara kuluk,... kuluk,... kuluk,...
sebentar kemudian pasukan Dayak muncul dan membunuhi warga Madura. Tidak ada yang tersisa, mereka
yang menyerah maupun yang lari dibunuh. Umumnya mereka diserang pada malam hari, ratusan Dayak
dengan suara kuluk..., kuluk..., sambug-menyambung muncul dari segala penjuru.

Esoknya warga etnis Madura mati mengenaskan dengan badan tanpa kepala lagi. Parebuk Menurut warga
etnis Madura yang ikut KRI Teluk Ende, Sopian (56), warga yang banyak mati dari daerah Parebuk, Semuda.
Karena warga Madura yang ada di sini tidak menghindar tapi melakukan perlawanan sengit. "Saat ini di sana
yang tersisa tinggal wanita dan anak-anak," kata Sopian.
Sopian yang datang ke pengungsian dengan jalan menyusuri sungai mengatakan, dia berjalan sambil
sembunyi-sembunyi di antara pohon hutan yang cukup lebat. Ternyata setelah 7 hari di pengungsian ia
hanya melihat beberapa warga Madura dari Semuda. Berarti ada sedikitnya 500 orang Madura yang tewas
melawan Dayak di Semuda. "Kalau masih hidup seharusnya perjalanan mereka tidak lebih dari satu atau dua
hari saja," kata Sopian.
Sopian bersama pengungsi lain yang ada di pengungsian pun mengaku masih dibayang-bayangi pasukan
suku Dayak. Bahkan ada isu bahwa kamp pengungsian di halaman Pemda Sampit akan diserbu oleh Dayak.
Hal ini membuat warga Madura yang ada di pengungsian menjadi resah, di samping mereka sudah
ketakutan, juga mereka sudah tidak memiliki senjata lagi.
Menurut Kilan, sejumlah orang Dayak membawa mayat orang Madura dengan geledekan keliling kota. Tidak
sampai di situ, geledekan yang berisi orang Madura ditinggal begitu saja di depan Polres Sampit, Jl.
Sudirman. Kekesalan warga Madura terhadap oknum polisi di Polsek Jl. Ba Amang Tengah semakin menjadi,
seperti yang diungkapkan oleh Somad yang mendatangi kantor Polsek. Ia minta perlindungan setelah dikejar-
kejar oleh sekitar 50 Dayak, Somad minta diantar ke tempat pengungsian. Kapolsek bukannya menolong tapi
justru memanggil Dayak yang ada di sekitar situ. Somad mengaku lari ke belakang, dengan melompat lewat
pintu belakang Polsek ia akhirnya lolos lari ke semak-semak. Ia sempat merangkak sejauh 300m sebelum
lepas dari kejaran Dayak dan lari ke hutan. Dari hutan ini ia menyusuri tepian hutan dan akhirnya sampai ke
tempat pengungsian. Ia pun bersyukur karena bisa ketemu dengan anak istrinya.

Seorang pengungsi, Choiri (40), dari Pasuruan mengatakan, ada peristiwa yang sangat mengenaskan dari
daerah Belanti Tanjung Katung, Sampit. Sebanyak 4 truk pengungsi Parengkuan yang dibawa oleh orang
yang mengaku petugas dengan mengatakan akan dibawa ke tempat penampungan pengungsi di SMP 2,
akhirnya dibantai habis. Ternyata mereka yang mengaku petugas adalah pasukan Dayak, orang Madura
disuruh turun dan dibantai. "Jika tiap truk berisi 50 pengungsi berarti ada 200 pengungsi yang tewas
dibantai," kata Choiri.
Choiri mengatakan, yang dibantai itu semuanya wanita dan anak-anak. Begitu jemputan yang kedua tiba,
yang diangkut adalah orang laki-laki dewasa, justru mereka selamat tidak di tempat pengungsian karena
dikawal oleh Brimob dari Jakarta.
Liar Pengakuan seorang pengungsi, Titin (19), asli Lumajang, yang tinggal di Jl. Pinang 20 Sampit
mengatakan, suaminya yang asli Dayak Kapuas yang kini ikut pasukan Dayak. Ia menceritakan, suaminya
pernah bercerita padanya, mengapa orang Dayak menjadi pandai berkelahi dan larinya cepat bagai kijang.
Awalnya suaminya enggan menjadi pasukan Dayak untuk membunuhi orang Madura. Tapi karena
dihadapkan pada satu di antara dua pilihan, jadi pasukan atau mati, terpaksa suaminya memilih jadi pasukan
Dayak. Saat itu ia disuruh minum cairan yang membuatnya ia menjadi berani, kemudian alisnya diolesi
dengan minyak yang membuat ia melihat bahwa orang Madura itu berwujud anjing dan akhirnya harus diburu
dan dibunuh. Makanya orang Dayak tidak punya takut, tidak punya rasa kasihan, ini menurut Titin karena
sudah diberi minuman dan olesan minyak tertentu. Sehingga mereka mirip dengan jaran kepang yang
sedang kesurupan, mungkin mereka kerasukan roh nenek moyangnya dan membunuh sesuai dengan
perintah panglima perang suku Dayak.

Analisa

Prof H.K.M.A Usop, mantan Rektor Universitas Palangkaraya yang kini sebagai Ketua Presedium Lembaga
Musyawarah Dayak Daerah Kalimantan Tengah (KPLMDDKT), mengakui kalau banyak pelanggaran,
tindakan kriminal yang merugikan harta dan nyawa orang Dayak. Sebetulnya, setiap kali terjadi bentrok selalu
diakhiri perdamaian. Tapi, setiap kali pula warga Madura melanggarnya. Begitu seterusnya. "Paling tidak
sudah ada 15 kali perdamaian. Tapi, hasilnya sama selalu dilanggar warga Madura," kata Usop saat
pertemuan tokoh masyarakat Dayak dengan DPRD Kalteng. Bahkan, saat pembuatan jalan Palangkaraya-
Kasongan terjadi bentrok Dayak-Madura, tepatnya di Bukit Batu tahun 1983. Setelah bentrokan reda,
dibuatlah perdamaian antara tokoh Dayak dengan tokoh Madura. Ada satu poin penting dalam perjanjian itu.
Yakni, Warga Madura dengan sukarela akan meninggalkan Kalimantan Tengah jika melakukan pertumpahan
darah terhadap warga dayak. Tapi, berkali-kali ada pertumpahan darah warga Madura jangankan pergi tapi
makin banyak berdatangan ke Kalimantan. "Dokumen itu yang kini sedang kami cari," tambha Usop.

Menurut Dr Thamrin Amal Tomagola, sosiolog dari Universitas Indonesia, ada empat faktor utama akar
konflik di Kalimantan, yaitu;

1. Terjadinya proses marginalisasi suku Dayak. Pendidikan yang minim dan sedikitnya warga Dayak yang
bisa menikmati pendidikan mengakibatkan sedikitnya warga Dayak yang duduk di pemerintahan daerah.
Pemerintahan daerah lebih banyak di pegang oleh warga pendatang.

2. Penempatan transmigran di pedalaman Kalimantan yang mengakibatkan singgungan hutan. Hutan bagi
masyarakat Dayak adalah tempat tinggal dan hidup mereka. Ketika transmigran ditempatkan di pedalaman
Kalimantan, dan mereka melakukan penebangan hutan, kehidupan masyarakat Dayak terganggu. Sejak
tahun 1995 para transmigran di tempatkan di pedalaman Kalimantan, tidak seperti tahun-tahun sebelumnya
yang selalu menempatkan transmigran di pesisir. Para pendatang baru inilah, yang dikenal keras dan
pembuat masalah, tidak seperti pendatang-pendatang sebelumnya. Selain soal transmigrasi, pemerintah juga
telah memberikan keleluasaan bagi para pengusaha untuk membuka hutan melalui HPH.

3. Masyarakat Dayak kehilangan pijakan, terganggunya harmoni kehidupan masyarakat Dayak


mengakibatkan masyarakat Dayak kehilangan pijakan. Kekuatan adat menjadi berkurang. Kebijakan-
kebijakan pemerintah telang menghilangkan/mengurangi identitas mereka sebagai masyarakat adat.

4. Hukum yang tidak dijalankan dengan baik mengakibatkan banyaknya terjadi tindak kekerasan dan kriminal
yang dibiarkan. Proses pembiaran ini berakibat pada lemahnya hukum dimata masyarakat, sehingga
masyarakat menggunakan caranya sendiri untuk menyelesaikan berbagai persoalan, diantaranya dengan
menggunakan kekerasan.

sumber dari : http://archive.kaskus.co.id/thread/2208967/0/kerusuhan-kerusuhan-sipil-di-indonesia

Anda mungkin juga menyukai