0 penilaian0% menganggap dokumen ini bermanfaat (0 suara)
42 tayangan9 halaman
Peristiwa Kudatuli adalah pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI oleh massa pendukung Soerjadi pada 27 Juli 1996. Bentrokan terjadi antara kedua kubu yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Konflik internal PDI antara kubu Megawati dan Soerjadi merupakan latar belakang peristiwa ini.
Peristiwa Kudatuli adalah pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI oleh massa pendukung Soerjadi pada 27 Juli 1996. Bentrokan terjadi antara kedua kubu yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Konflik internal PDI antara kubu Megawati dan Soerjadi merupakan latar belakang peristiwa ini.
Peristiwa Kudatuli adalah pengambilalihan secara paksa kantor DPP PDI oleh massa pendukung Soerjadi pada 27 Juli 1996. Bentrokan terjadi antara kedua kubu yang mengakibatkan korban jiwa dan luka-luka. Konflik internal PDI antara kubu Megawati dan Soerjadi merupakan latar belakang peristiwa ini.
Peristiwa Kudatuli atau Peristiwa 27 Juli merupakan peristiwa pengambilalihan
secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai oleh kubu Megawati Soekarnoputri.
Peristiwa Kudatuli atau Peristiwa 27 Juli merupakan peristiwa pengambilalihan
secara paksa kantor DPP Partai Demokrasi Indonesia di Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai oleh kubu Megawati Soekarnoputri. Nama Peristiwa Kudatuli diambil dari akronim “Kerusuhan Dua Puluh Tujuh Juli”. Peristiwa Kudatuli merupakan buntut dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Saat itu, penyerbuan dilakukan oleh sejumlah massa pendukung Soerjadi yang merupakan Ketua Umum versi Kongres PDI di Medan sekaligus yang disokong oleh Orde Baru. Sementara Megawati Soekarnoputri adalah Ketua Umum PDI hasil kongres Surabaya untuk periode 1993-1998. Sebelum meletusnya tragedi berdarah Peristiwa Kudatuli, di dalam tubuh PDI memang sudah ada konflik internal. Hal ini bermula dari bergabungnya Megawati Soekarnoputri dengan PDI pada 1987 yang membuat banyak pihak menjadi resah, terutama pemerintah Orde Baru. Sebab saat itu keluarga Soekarno tengah menjadi korban ambisi Soeharto. Upaya de-Soekarnoisasi pun dilakukan dengan membatasi pergerakan putera-puteri Soekarno, terutama dalam pentas politik. Saat itu, hanya ada tiga partai politik, Golkar, PPP, dan PDI yang selalu memperoleh suara paling buncit Ketua Umum PDI saat itu, Soerjadi kemudian menjadikan Megawati dan adiknya, Guruh Soekarnoputra sebagai pendulang suara bagi mereka yang merindukan sosok Soekarno. Megawati kemudian menjadi anggota DPR dari PDI, siapa sangka kariernya justru melejit. Suara PDI juga melejit pada Pemilu 1987 dan 1992, sehingga membuat penguasa menjadi resah. Begitu juga dengan Ketua Umum PDIP, Soerjadi yang ketokohannya mulai tersaingi oleh Megawati. Meski beberapa kali dijegal, Megawati akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu di PDI setelah Kongres PDI di Surabaya pada 1993 memilihnya sebagai ketua umum. Berkat dukungan mayoritas kader PDI, Megawati sukses merebut tampuk kekuasaan dari Soerjadi. Pasca terpilih sebagai ketua umum, Megawati berkeliling Indonesia untuk konsolidasi dan menemui rakyat. Ketidaksukaan pemerintah Orde Baru akan popularitas Megawati justru membuat Megawati makin dicintai. Ia adalah simbol perlawanan terhadap tekanan Orde Baru, namanya bahkan sempat diusulkan sebagai calon presiden. Pemerintah Orde Baru yang mengendus ancaman ini segera merancang skenario untuk menggembosi kekuatan Megawati. Pada 1996, Kongres PDI digelar di Medan, Soerjadi digunakan pemerintah untuk mendongkel Megawati. Soerjadi mengklaim kemenangan. Menteri Dalam Negeri saat itu, Yogie S Memed, dan Panglima ABRI Jenderal Feisal Tanjung hadir memberi restu.
Megawati sendiri dan pendukungnya tak hadir dalam kongres .
Di Jakarta dan berbagai kota di Indonesia, unjuk rasa digelar memprotes PDI versi Soerjadi yang dibekingi pemerintah. Dukungan untuk Mega mengalir deras. Selain aksi unjuk rasa, PDI kubu Megawati juga melakukan perlawanan dengan mengajukan gugatan perdata ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Bambang Widjojanto menjadi pembela Megawati di pengadilan. Megawati juga menggerakkan mimbar bebas bak dukungan bagi Corazon Aquino ketika rezim Ferdinand Marcos berkuasa di Filipina. Di DPP PDI di Jalan Diponegoro, mimbar bebas digelar setiap hari. Sejarawan Peter Kasenda dalam bukunya Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat (2018) mencatat mimbar tersebut tak disukai ABRI dan polisi. Pangab Jenderal Feisal Tanjung bahkan menuduh mimbar tersebut sebagai makar. Tuduhan itu segera dibalas Megawati dengan mengatakan, mimbar digelar untuk menyalurkan suara rakyat yang terinjak-injak. Ia mengaku kegiatannya tak ditutup-tutupi dan tak ada agenda makar. Menurutnya, jika memang ada agenda makar tentu sudah dilakukan, ia mengatakan hanya ingin menjaga harga diri warga yang porak poranda dengan adanya Kongres di Medan. Tak mengakui Kongres Medan yang memenangkan Soerjadi, PDI kubu Megawati pun menjaga DPP siang malam. Pasalnya, isu perebutan DPP sudah merebak. Yang mereka lakukan hanya menjaga dan mencoba mempertahankan. Para simpatisan bahkan sudah menandatangani surat tidak akan menuntut Megawati jika nanti mereka harus kehilangan nyawa. Yang ditakutkan tapi dinanti tiba juga. Mirip operasi intelijen, kantor DPP PDI yang dijaga pendukung Megawati itu akhirnya digeruduk pendukung PDI kubu Soerjadi di saat fajar 27 Juli 1996. Harian Kompas lewat tulisannya Kronologi Kerusuhan 27 Juli mencatat, massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning. Terjadi dialog antara delegasi massa PDI pendukung Soerjadi dan massa PDI pendukung Megawati sekitar 15 menit. Massa kubu Megawati meminta agar kantor dinyatakan sebagai status quo, namun kesepakatan tidak tercapai. Pukul 06.35 terjadi bentrokan di antara kedua kubu. Massa PDI pendukung Soerjadi yang mengenakan kaus warna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta mengenakan ikat kepala melempari kantor DPP PDI dengan batu dan paving-block. Massa PDI pendukung Megawati juga membalas dengan benda seadanya yang terdapat di sekitar halaman kantor. Massa PDI pendukung Megawati akhirnya berlindung di dalam gedung sebelum kemudian diduduki massa PDI pendukung Soerjadi. Sekitar dua jam kemudian, aparat keamanan mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI dan menyatakannya sebagai area tertutup. Ruas Jalan Diponegoro tidak dapat dilewati. Pers asing dan nasional tidak diperkenankan mendekat. Pagi itu, puluhan pendukung Mega sudah babak belur terluka akibat saling lempar batu, sedangkan sebagian mereka diamankan. Memasuki siang hari, pukul 11.00, massa memadati ruas Jalan Diponegoro dan sekitarnya, jumlahnya menjadi ribuan. Tak cuma pendukung Megawati, sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, dekat Stasiun Cikini yang kemudian beralih ke Jalan Diponegoro. Aksi mimbar bebas ini kemudian dengan cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dan aparat keamanan. Bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat sehingga aparat terpaksa menambah kekuatan. Setelah itu massa terdesak mundur ke arah Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo (RSCM) dan Jalan Salemba. Massa kemudian membakar tiga bus kota, termasuk satu bus tingkat serta beberapa gedung di Jalan Salemba. Lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk, dan sejumlah kendaraan militer lain dikerahkan dari Jalan Diponegoro menuju Jalan Salemba. Kerusuhan baru dapat diredam pada malam hari. Pasca-kejadian itu, informasi tentang jumlah korban tewas dan luka simpang siur. Pangdam Jaya Mayjen Sutiyoso menyebut "hanya" dua orang yang tewas dan 26 luka- luka. Ini pun disebut bukan dari kubu Megawati, melainkan dari kubu Soerjadi yang mengalami serangan jantung. Satu lagi adalah satpam yang loncat dari lantai tujuh karena gedungnya hendak dibakar massa. Sementara Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang kala itu dipimpin Bambang Widjojanto menyatakan 47 orang dirawat di RSCM, 10 orang dirawat di RS Cikini, dan 1 orang di RS Fatmawati. Minggu tanggal 28 Juli 1996 sekitar pukul 09.00, tiga mobil jenazah keluar dari RS Cikini dengan pengawalan tentara. Kamar mayat RS Cikini dijaga ketat oleh tentara yang melarang siapa pun mendekat. Di hari yang sama, sejumlah wartawan yang sempat masuk ke kamar mayat RSCM menjumpai puluhan mayat yang penuh luka penganiayaan. Sementara Komnas HAM menyimpulkan 5 orang tewas, 149 orang luka-luka, 23 hilang, dan 136 ditahan akibat peristiwa itu. Penyelidikan digelar dengan kewenangan terbatas Komnas HAM, tetapi tak pernah ada tindak lanjut. Pihak ABRI saat itu menuding kerusuhan dimotori kekuatan Partai Komunis Indonesia (PKI, Partai Rakyat Demokratik (PRD) turut dituding jadi dalang kerusuhan. Aktivis PRD, Budiman Sudjatmiko yang kini menjadi politikus PDI-P dijebloskan ke penjara dengan hukuman 13 tahun penjara. (3) Secara kronologi waktu, Peristiwa Kudatuli dapat diurutkan sebagai berikut: 06.20 WIB Massa PDI pendukung Soerjadi mulai berdatangan dengan menggunakan delapan kendaraan truk mini bercat kuning. Sebelumnya, terjadi dialog antara delegasi massa PDI pendukung Soerjadi dan massa PDI pendukung Megawati sekitar 15 menit. Massa kubu Megawati meminta agar kantor dinyatakan sebagai status-quo. Kesepakatan tidak tercapai. 06.35 WIB Terjadi bentrokan di antara kedua kubu, massa PDI pendukung Soerjadi yang mengenakan kaos warna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres Medan" serta mengenakan ikat kepala melempari kantor DPP PDI dengan batu dan paving- block. Massa PDI pendukung Megawati juga membalas dengan benda seadanya yang terdapat di sekitar halaman kantor. Massa PDI pendukung Megawati akhirnya berlindung di dalam gedung sebelum kemudian diduduki massa PDI pendukung Soerjadi. 08.00 WIB Aparat keamanan kemudian mengambil alih dan menguasai kantor DPP PDI sepenuhnya, yang terhitung sejak awal Juni 1996 itu diduduki massa pendukung Megawati Soekarnoputri penentang Kongres Medan 20-22 Juni 1996. Kantor DPP PDI kemudian dinyatakan sebagai area tertutup. Polisi memberi tanda police line berwarna kuning hingga ruas Jl Diponegoro tidak dapat dilewati. Pers dalam maupun luar negeri juga tidak diperkenankan melewati garis polisi itu. Demikian pula dengan halaman kantor yang porak-poranda, dijaga ketat pasukan antihuru-hara. 08.45 WIB Aparat keamanan mulai mengangkut sekitar 50 warga PDI pro Megawati yang tertahan di kantor itu dengan menggunakan tiga truk. Beberapa di antaranya mengalami luka-luka akibat perang batu antara kedua kelompok tersebut. Sembilan orang lainya diangkut dengan dua mobil ambulans. Spanduk dan poster-poster di DPP PDI kemudian dibersihkan. 11.00 WIB Massa yang memadati ruas jalan Diponegoro dan sekitarnya terus membengkak jumlahnya menjadi ribuan. Sejumlah aktivis LSM dan mahasiswa menggelar aksi mimbar bebas di bawah jembatan layang kereta api, dekat stasiun Cikini. Mimbar bebas ini kemudian beralih ke Jl Diponegoro. Aksi mimbar bebas ini kemudian dengan cepat berubah menjadi bentrokan terbuka antara massa dengan aparat keamanan. 13.00 WIB Bentrokan terbuka antara massa dan aparat semakin meningkat, sehingga aparat terpaksa menambah kekuatan. Setelah itu massa terdesak mundur ke arah RSCM dan Jl Salemba. 15.00 WIB Massa kemudian mulai membakar tiga bus kota terbakar, termasuk satu bus tingkat. Massa kemudian mulai membakar beberapa gedung di Jl Salemba. 16.35 WIB Lima panser, tiga kendaraan militer khusus pemadam kebakaran, 17 truk dan sejumlah kendaraan militer lainnya mulai dikerahkan dari Jl Diponegoro menuju Jl Salemba. Massa kemudian membubarkan diri, api di sejumlah gedung belum berhasil dipadamkan hingga pukul 19.00 WIB.
Pascainsiden itu, Megawati menyerukan pendukungnya untuk tenang sembari
menunggu hasil gugatannya terhadap pemerintah dan Soerjadi di pengadilan. Megawati akhirnya kalah dalam gugatan itu. Kekalahan Megawati justru menguatkan posisinya dalam kontestasi politik, PDI Perjuangan yang dibentuknya menang pemilu dan ia menjadi wakil presiden bagi Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Megawati Soekarnoputri tahun 1998.(KOMPAS/ARBAIN RAMBEY) Di era pemerintahan Gus Dur, penyelidikan Kudatuli kembali dibuka. Saat itu, tekanan publik terutama dari keluarga korban sangat kuat. Hal tersebut ditambah sikap politik baru polisi terhadap militer pascapemisahan TNI- Polri. Penyelidikan Peristiwa 27 Juli atau Peristiwa Kudatuli yang mengarah ke sejumlah petinggi militer secara tak langsung akan memperlancar proses pemisahan. Gus Dur memperhatikan betul penyelesaian 27 Juli, begitu pula isyarat kuat dari Megawati kala itu. Namun, penyelidikan tidak berjalan lancar, para penyidik diteror untuk tidak melanjutkannya. Teror diduga datang dari Angkatan Darat. Masalah teknis pembuktian yang rumit membuat penyelidikan Peristiwa Kudatuli sangat lambat. Soerjadi dan sejumlah orang lainnya sempat dijadikan tersangka dan ditahan, tetapi kasusnya menggantung tak kunjung dilempar ke kejaksaan. Bahkan setelah menjadi presiden pada 2001, Megawati tetap diam. Disinyalir ada pertentangan kepentingan yang dihadapi Megawati menyangkut insiden 27 Juli 1996. Menurut Peter Kasenda (Peristiwa 27 Juli 1996: Titik Balik Perlawanan Rakyat, 2018), Megawati dihadapkan pada kebutuhan untuk memelihara demokrasi dan stabilitas pemerintahan yang sedang dibangunnya. Dukungan PDI-P di DPR tidak mayoritas dan kekuasaannya belum sepenuhnya terkonsolidasi. Megawati membutuhkan dukungan dari militer, di sisi lain, ia dituntut korban dan keluarga korban peristiwa Kudatuli untuk mengusut peristiwa yang terjadi. Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) yang menjadi pengacara korban beberapa kali menanyakan komitmen Megawati dalam mengungkap kasus 27 Juli 1996. Dalam pertemuan dengan TPDI, Megawati menyadari dirinya mempunyai tanggung jawab moral terhadap korban. Namun, Megawati masih membutuhkan waktu untuk mengetahui tingkat resistensi militer. Megawati juga mengatakan kepada TPDI bahwa penyelesaian Peristiwa Kudatuli tidak perlu melibatkan semua tentara. Cukup satu orang yang diadili, yakni Pangab Jenderal (Purn) Feisal Tanjung. Namun, pihak TNI keberatan atas permintaan Megawati, pasalnya jika Feisal yang diminta pertanggungjawaban, itu sama saja dengan menggugat kebijakan TNI secara keseluruhan. Resistensi ini akhirnya membuat Megawati diam dan memilih "menjaga" hubungan baik dengan militer. Sutiyoso, Pangdam Jaya kala itu yang sempat jadi tersangka, selanjutnya malah moncer kariernya sebagai Gubernur DKI dua periode. Pengadilan Koneksitas yang digelar di era Megawati hanya mampu membuktikan seorang buruh bernama Jonathan Marpaung yang terbukti mengerahkan massa dan melempar batu ke Kantor PDI. Jonathan dihukum dua bulan sepuluh hari. Sementara dua perwira militer yang disidang, Kol CZI Budi Purnama (mantan Komandan Detasemen Intel Kodam Jaya) dan Letnan Satu (Inf) Suharto (mantan Komandan Kompi C Detasemen Intel Kodam Jaya) divonis bebas. Bahkan hingga kini, saat Megawati berhasil menjadi ketua umum parpol terlama dalam sejarah dan mencetak Jokowi menjadi presiden dua kali, ia tetap membisu soal peristiwa 27 Juli. Dalang peristiwa itu tak terungkap dan belum diadili hingga kini