Anda di halaman 1dari 6

Mengungkap Fakta Otak Kerusuhan Mei 1998 Adalah Para Dalang Di balik Jokowi

18/03/2016hukum, Politik

Pengkaderan Kasebul

Saya menempuh pendidikan di sekolah milik Cosmas Batubara, tokoh eksponen’66 yang menghadiri
rapat di rumah Fahmi Idris yang juga dihadiri Sofyan Wanandi. Rapat mana untuk pertama kalinya
Benny Moerdani mengungkap rencana menggulingkan Presiden Soeharto melalui kerusuhan rasial
anti Tionghoa dan Kristen (Salim Said, Dari Gestapu Ke Reformasi, Penerbit Mizan, hal. 316).

Salah satu kegiatan wajib di sekolah milik Cosmas Batubara adalah melakukan retreat dan tahun
ajaran 1992-1993, seluruh siswa kelas 5 SD retreat selama lima hari di sebuah wisma sekitar Klender
yang lebih mirip asrama daripada tempat retreat.

Wisma lokas retreat tersebut sudah sangat tua dan berdesain khas gedung tahun 1960an. Sejak awal
menjejakan kaki di sana saya sudah merasakan aura yang tidak enak dan ini sangat berbeda dari
lokasi retreat lain seperti Maria Bunda Karmel di puncak.

Adapun kegiatan selama retreat lebih menekankan kepada kedisiplinan dan melatih mental sehingga
setiap kamar tidak ada kipas angin atau AC, dan selama retreat kami dipaksa bangun jam 4 pagi
ppadahal baru tidur rata-rata jam 11 malam, ada puasa sepanjang hari, berdoa semalam suntuk dan
ada beberapa kegiatan yang tidak lazim seperti diminta mencium dan mengingat bau bumbu
masakan atau bunga yang disimpan dalam beberapa botol kecil selanjutnya mata ditutup dan setiap
anak akan disodori botol-botol tadi dan diminta menebak bau/wangi apa.

Puluhan tahun kemudian saya membaca bahwa pada tahun 1967 tempat pendidikan Kaderisasi
Sebulan (Kasebul) milik Pater Beek dipindahkan ke Klender, Jakarta Timur yang memiliki tiga blok, 72
ruangan dan 114 kamar tidur. Apakah lokasi yang sama Kasebul dengan tempat retreat adalah
tempat yang sama? Saya tidak tahu.

Puluhan tahun kemudian saya masih ingat pengalaman selama lima hari yang luar biasa melelahkan
tersebut padahal saya tidak ingat pengalaman retreat saat di Maria Bunda Karmel, dan karena itu
saya menjadi paham maksud Richard Tanter bahwa metode Kasebul yang melelahkan jiwa dan raga
tersebut pada akhirnya akan menciptakan kader yang sepenuhnya setia, patuh kepada Pater Beek
secara personal, menjadi orangnya Beek seumur hidup dan bersedia melakukan apapun bagi Pater
Beek sekalipun kader tersebut sudah pulang ke habitat asalnya.

Apakah Kasebul masih dilakukan hari ini mengingat kekuatan Katolik dan Paus di Roma sudah tidak
sekuat puluhan tahun silam, namun saya yakin Kasebul masih ada setidaknya tahun 1992-1993
sebab Suryasmoro Ispandrihari mengaku kepada Mujiburrahman bahwa tahun 1988 dia pernah ikut
Kasebul dan diajarkan untuk anti Islam, pernyataan yang dibenarkan oleh Damai Pakpahan, peserta
Kasebul tahun 1984. Oleh karena itu saya tidak bisa sepenuhnya menyalahkan murid-murid pertama
Pater Beek seperti Jusuf Wanandi, dan Sofyan Wanandi di CSIS bila mereka sampai hari ini tidak bisa
melepas karakter Ultra Kanan untuk melawan Islam, bagaimanapun begitulah didikan Pater Beek,
tapi tetap saja mereka tidak bisa dimaafkan karena mendalangi Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dan
harus diproses secara hukum.
Kudatuli 1996

Upaya menggerakan massa untuk jatuhkan Presiden Soeharto bisa dianggap dimulai pada tanggal 8
Juni 1996, ketika Yopie Lasut selaku Ketua Yayasan Hidup Baru mengadakan pertemuan tertutup
dengan 80 orang di Hotel Patra Jasa dengan tema “MENDORONG TERCIPTANYA PERLAWANAN
RAKYAT TERHADAP REZIM ORDE BARU DI DAERAH-DAERAH” yang dihadiri antara lain oleh aktivis
mahasiswa radikal, tokoh LSM, mantan tapol, Sofyan Wanandi-Megawati Soekarnoputri-Benny
Moerdani.

Tidak berapa lama kemudian, operasi Benny Moerdani untuk meradikalisasi rakyat dengan tujuan
“mendorong” mereka bangkit melawan Presiden Soeharto dimulai ketika pada tanggal 22 Juni 1996,
Dr. Soerjadi, orang yang pada tahun 1986 pernah diculik Benny Moerdani ke Denpasar dan akhirnya
menjadi Ketua PDI periode 1986-1992 dengan diperbantukan Nico Daryanto dari CSIS dan bekerja di
bank milik kelompok usaha Sofyan Wanandi yaitu Gemala Grup dan akhirnya menjadi Presiden
Direktur PT Aica Indonesia, akhirnya terpilih menjadi Ketua Umum PDI menggeser boneka Benny
Moerdani, yaitu Megawati Soekarnoputri.

Megawati dipersiapkan Moerdani sebagai boneka untuk menggantikan Presiden Soeharto yaitu
Megawati Soekarnoputri dalam kongres yang juga dibiayai oleh Sofyan Wanandi.

Menurut kesaksian Alex Widya Siregar, terpilihnya Megawati Soekarnoputri pada munas tahun 1993
adalah karena Direktur A Badan Intelijen ABRI waktu itu yaitu Agum Gumelar menggiring peserta
munas ke Hotel Presiden sambil ditodong pistol dan mengatakan “Siapa tidak memilih Megawati
akan berhadapan dengan saya.” Belakangan diketahui bahwa Agum Gumelar adalah salah satu anak
didik yang setia kepada Benny Moerdani dan bersama Hendropriyono menerima perintah untuk
seumur hidup menjaga Megawati Soekarnoputri.

Sebulan kemudian pada tanggal 27 Juli 1996 terjadi penyerbuan ke kantor PDI oleh massa Dr.
Soerjadi menghantam massa PDI Pro Mega yang sedang berorasi di depan kantor PDI, dan Megawati
telah mengetahui dari Benny Moerdani bahwa penyerbuan akan terjadi namun dia mendiamkan
sehingga berakibat matinya ratusan pendukung Megawati dan menelan korban harta dan jiwa dari
rakyat sekitar.

Pada hari bersamaan Persatuan Rakyat Demokratik yang didirikan oleh Daniel Indrakusuma alias
Daniel Tikuwalu, Sugeng Bahagio, Wibby Warouw dan Yamin mendeklarasikan perubahan nama
menjadi Partai Rakyat Demokratik yang mengambil tempat di YLBHI, dan selanjutnya pasca Budiman
Soejatmiko dkk ditangkap, pada Agustus 1997 PRD deklarasikan perlawanan bersenjata.

Hasil karya CSIS-Benny Moerdani-Megawati dalam Kudatuli antara lain: berbagai gedung sepanjang
ruas jalan Salemba Raya seperti Gedung Pertanian, Showroom Auto 2000, Showroom Honda, Bank
Mayapada, Dept. Pertanian, Mess KOWAD, Bus Patas 20 jurusan Lebak Bulus – Pulo Gadung, bus AJA
dibakar massa. Sepanjang Jl. Cikini Raya beberapa gedung perkantoran seperti Bank Harapan
Sentosa dan tiga mobil sedan tidak luput dari amukan massa dll.

Merekayasa Kerusuhan Mei 1998

Selanjutnya pada hari Minggu, 18 Januari 1998 terjadi ledakan di kamar 510, Blok V, Rumah Susun
Johar di Tanah Tinggi, Tanah Abang sesaat setelah jam berbuka puasa, yang membuat ruangan
seluas 4 x 4 meter tersebut hancur berantakan. Langit-langit yang bercat putih porak-poranda, atap
ambrol, dinding retak, salah satu sudut jebol dan di sana sini ada bercak darah. Menurut keterangan
Mukhlis, Ketua RT 10 Tanah Tinggi bahwa Agus Priyono salah satu pelaku yang tertangkap saat
melarikan diri, ditangkap dalam kondisi belepotan darah dan luka di bagian kepala dan tangannya,
sementara dua lainnya berhasil kabur. Setelah melakukan pemeriksaan, polisi menemukan: 10 bom
yang siap diledakan, obeng, stang, kabel, botol berisi belerang, dokumen notulen rapat, paspor dan
KTP atas nama Daniel Indrakusuma, disket, buku tabungan, detonator, amunisi, laptop berisi email
dan lain sebagainya. Dari dokumen tersebut ditemukan fakta bahwa Hendardi, Sofyan Wanandi,
Jusuf Wanandi, Surya Paloh, Benny Moerdani, Megawati terlibat dalam sebuah konspirasi jahat
untuk melancarkan kerusuhan di Indonesia demi gulingkan Presiden Soeharto.

Temuan tersebut ditanggapi Baskortanasda Jaya dengan memanggil Benny Moerdani (dibatalkan),
Surya Paloh dan kakak beradik Wanandi dengan hasil:

1. Surya Paloh membantah terlibat dengan PRD namun tidak bisa mengelak ketika ditanya perihal
pemecatan wartawati Media Indonesia yang menulis berita mengenai kasus bom rakitan di Tanah
Tinggi tersebut.

2. Jusuf Wanandi dan Sofyan Wanandi membantah terlibat pendanaan PRD ketika menemui
Bakorstanas tanggal 26 Januari 1998, namun keesokan harinya pada tanggal 27 Januari 1998 mereka
mengadakan pertemuan mendadak di Simprug Jakarta Selatan yaitu di rumah Jacob Soetoyo
bersama Benny Moerdani, A. Pranowo, Zen Maulani dan seorang staf senior kementerian BJ Habibie
dan kemudian tanggal 28 Januari 1998, Sofyan Wanandi kabur ke Australia yang sempat membuat
aparat berang dan murka. Sofyan Wanandi baru kembali pada bulan Februari 1998.

Bersamaan dengan temuan dokumen penghianatan CSIS dan Benny Moerdani tersebut, dan fakta
bahwa Sofyan Wanandi menolak gerakan “Aku Cinta Rupiah” padahal negara sedang krisis membuat
banyak rakyat Indonesia marah dan segera melakukan demo besar guna menuntut pembubaran
CSIS, namun Wiranto melakukan intervensi dengan melarang demonstrasi.

Mengapa Wiranto membantu CSIS? Karena dia adalah orangnya Benny Moerdani dan bersama Try
Soetrisno sempat digadang-gadang oleh CSIS untuk menjadi cawapres Presiden Soeharto karena
CSIS tidak menyukai BJ Habibie dengan ICMI dan CIDESnya.

Kepanikan CSIS atas semua kejadian ini terlihat jelas dalam betapa tegangnya rapat konsolidasi pada
hari Senin, 16 Februari 1998 di Wisma Samedi, Klender, Jakarta Timur (dekat lokasi Kasebul) dan
dihadiri oleh Harry Tjan, Cosmas Batubara, Jusuf Wanandi, Sofyan Wanandi, J. Kristiadi, Hadi
Susastro, Clara Juwono, Danial Dhakidae dan Fikri Jufri.

Ketegangan terutama terjadi antara J. Kristiadi dengan Sofyan Wanandi sebab Kristiadi menerima
dana Rp. 5miliar untuk untuk menggalang massa anti Soeharto tapi CSIS malah menjadi sasaran
tembak karena ketahuan mendanai gerakan makar. Akibatnya Sofyan dkk menuduh Kristiadi tidak
becus dan menggelapkan dana.

Tuduhan ini dijawab dengan membeberkan penggunaan dana terutama kepada aktivis “kiri” di
sekitar Jabotabek, misalnya Daniel Indrakusuma menerima Rp. 1,5miliar dll. Kristiadi juga
menunjukan berkali-kali sukses menggalang massa anti Soeharto ke DPR, dan setelah CSIS didemo,
Forum Komunikasi Mahasiswa Islam Jakarta (FKMIJ) yang setahun terakhir digarap segera
mengecam demo tersebut. Di akhir rapat disepakati bahwa Kristiadi akan menerima dana tambahan
Rp. 5 miliar.
Karena kondisi sudah mendesak bagi Benny Moerdani, kakak beradik Wanandi dan CSIS sehingga
mereka memutuskan untuk mempercepat pelaksanaan kejatuhan Presiden Soeharto memakai
rencana yang pernah didiskusikan di rumah Fahmi Idris pada akhir tahun 1980an yaitu kerusuhan
rasial. Adapun metode kerusuhan akan meniru Malari yang dilakukan oleh Ali Moertopo dan
Soedjono Hoemardani dengan diperbantukan Sofyan Wanandi yang mendanai GUPPI, yaitu massa
yang menunggangi demo mahasiswa UI demi menggulingkan Jenderal Soemitro.

Sekedar mengingatkan Malari yang terjadi pada tanggal 15 – 16 Januari 1976 adalah kerusuhan
dengan menunggangi aksi anti investasi asing oleh mahasiswa UI atas hasutan Hariman Siregar,
orangnya Ali Moertopo. Kerusuhan mana kemudian membakar Glodok, Sudirman, Matraman,
Cempaka Putih, Roxy, Jakarta-By-Pass, 11 mati, 17 luka parah, 200 luka ringan, 807 mobil hancur
atau terbakar, 187 motor hancur atau terbakar, 144 toko hancur dan 700 kios di Pasar Senen dibakar
habis. Ini semua buah tangan Wanandi bersaudara, Ali Moertopo dan CSISnya.

Masalah yang harus dipecahkan untuk membuktikan bahwa CSIS adalah dalang Kerusuhan 13-14
Mei 1998 adalah:

1. Siapa yang membuat rencana dan mendanai (think);

2. Identitas massa perusuh (tank); dan

3. Siapa yang bisa menahan semua pasukan keamanan dan menghalangi perusuh?

Ad. 1. Pembuat rencana sudah dapat dipastikan muridnya Ali Moertopo, dalang Malari, yaitu Benny
Moerdani dan Jusuf Wanandi. Sedangkan dana juga sudah dapat dipastikan berasal Sofyan Wanandi
yang meneruskan peran almarhum Soedjono Hoemardani sebagai donatur semua operasi intelijen
CSIS dan Ali Moertopo.

Benny Moerdani mengendalikan Kerusuhan 13-14 Mei 1998 dari Hotel Ria Diani, Cibogo, Puncak,
Bogor. Adapun SiaR milik Goenawan Mohamad yang tidak lain sekutu Benny Moerdani bertugas
membuat alibi bagi CSIS, antara lain dengan menyalahkan umat muslim sebagai dalang Kerusuhan
13-14 Mei 1998 dengan menulis bahwa terdapat pertemuan tujuh tokoh sipil dan militer pada awal
Mei 1998 antara lain Anton Medan, Adi Sasono, Zainuddin MZ, di mana konon Adi Sasono
menegaskan perlu kerusuhan anti-Cina untuk menghabiskan penguasaan jalur distribusi yang selama
ini dikuasai penguasa keturunan Tionghoa.

http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1998/07/14/0014.html

Ad. 2. Sampai sekarang massa perusuh tidak diketahui identitasnya namun dalam sejarah kerusuhan
CSIS, penggunaan preman bukan hal baru. Dalam kasus Malari, CSIS membina dan mengerahkan
GUPPI, tukang becak, dan tukang ojek untuk tujuan menunggangi demonstrasi yang dilakukan
mahasiswa.

Dalam kasus penyerbuan ke Timor Leste, CSIS dan Ali Moertopo mengirim orang untuk bekerja sama
dengan orang lokal melawan Fretilin sehingga Timor Leste menjadi kisruh yang kemudian menjadi
dalih bagi Benny Moerdani menyerbu Timor-Timur. Begitu juga dalam kasus Kudatuli, CSIS
menggunakan preman dan buruh bongkar muat dari daerah Pasar Induk Kramat Jati, 200 orang yang
terlatih bela diri dari Tangerang, dan lain sebagainya.

Bahkan setelah reformasi, terbukti Sofyan Wanandi mendalangi demonstrasi yang menamakan diri
Front Pembela Amar Maruf Nahi Mungkar yang menuntut Kwik Kian Gie mundur karena memiliki
saham di PT Dusit Thani yang bergerak dalam usaha panti pijat ketika pemerintah dan DPR berniat
menuntaskan kredit macet milik kelompok usaha Sofyan Wanandi sebagaimana diungkap Aberson
Marle Sihaloho dan Didik Supriyanto, keduanya anggota fraksi PDIP. Adapun kredit macet dimaksud
adalah hutang PT Gemala Container milik Sofyan Wanandi kepada BNI sebesar Rp. 92miliar yang
dibayar melalui mekanisme cicilan sebesar Rp. 500juta/bulan atau baru lunas 184 tahun kemudian,
dan tanpa bunga.

Ad. 3. Adalah fakta tidak terbantahkan bahwa tidak ada tentara selama kerusuhan tanggal 13 dan 14
Mei 1998, dan bilapun ada, mereka hanya menyaksikan para perusuh menjarah dan membakar
padahal bila saja dari awal para tentara tersebut bertindak tegas maka dapat dipastikan akan
meminimalisir korban materi dan jiwa.

Pertanyaannya apakah hilangnya negara pada kerusuhan Mei disengaja atau tidak?

Fakta lain yang tidak terbantahkan adalah Kepala BIA yaitu Zacky Anwar Makarim memberi
pengakuan kepada TGPF bahwa ABRI telah memperoleh informasi akan terjadi kerusuhan Mei.
Namun ketika ditanya bila sudah tahu mengapa kerusuhan masih terjadi, Zacky menjawab tugas
selanjutnya bukan tanggung jawab BIA. Jadi siapa “user” BIA? Tentu saja Panglima ABRI Jenderal
Wiranto yang berperilaku aneh sebab Jakarta rusuh pada tanggal 13 Mei 1998 dan pada tanggal 14
Mei 1998 dia membawa KSAD, Danjen Kopassus, Pangkostrad, KSAU, KSAL ke Malang untuk
mengikuti upacara serah terima jabatan sampai jam 1.30 di mana sekembalinya ke Jakarta, kota ini
sudah kembali terbakar hebat.

Keanehan Wiranto juga tampak ketika malam tanggal 12 Mei 1998 dia menolak usul jam malam dari
Syamsul Djalal dan dalam rapat garnisun tanggal 13 Mei 1998 malam dengan agenda situasi terakhir
ketika dia membenarkan keputusan Kasum Letjend Fahrul Razi menolak penambahan pasukan untuk
Kodam Jaya dengan alasan sudah cukup.

Selain itu Wiranto menolak permintaan Prabowo untuk mendatangkan pasukan dari Karawang,
Cilodong, Makasar dan Malang dengan cara tidak mau memberi bantuan pesawat hercules sehingga
Prabowo harus mencarter sendiri pesawat Garuda dan Mandala. Bukan itu saja, tapi KSAL Arief
Kusharyadi sampai harus berinisiatif mendatangkan marinir dari Surabaya karena tidak ada marinir
di markas mereka di Cilandak KKO dan atas jasanya ini, Wiranto mencopot Arief Kusharyadi tidak
lama setelah kerusuhan mereda.

Mengapa Wiranto membiarkan kerusuhan terjadi? Tentu saja karena dia adalah orangnya Benny
Moerdani, dan setelah Soeharto lengser, Wiranto bekerja sama dengan Benny Moerdani antara lain
dengan melakukan reposisi terhadap 100 perwira ABRI yang dipandang sebagai “ABRI Hijau” dan
diganti dengan perwira-perwira yang dipandang sebagai “ABRI Merah Putih.”

Setelah Kerusuhan 13-14 Mei 1998, Wiranto bergerak menekan informasi mengenai terjadinya
pemerkosaan massal terhadap wanita etnis Tionghoa termasuk marah karena pengumuman dari
TGPF bahwa terjadi pemerkosaan selama kerusuhan. Tidak berapa lama, Ita Marthadinata, relawan
yang membantu TGPF dan berumur 17 tahun mati dibunuh di kamarnya sendiri dengan luka
mematikan di leher sedangkan sampai hari ini latar belakang pembunuhnya yaitu Otong tidak
diketahui dan dicurigai dia adalah binaan intelijen. Kecurigaan semakin menguat sebab beberapa
hari sebelum kejadian, Ita dan keluarganya membuat rencana akan memberikan kesaksian di
Kongres Amerika mengenai temuan mereka terkait korban Kerusuhan 13-14 Mei 1998.
Bukti CSIS Dalang Kerusuhan Mei 1998

1. Telah teruangkap bahwa CSIS jauh sebelum dan sesat terjadi kerusuhan Mei 1998 kerap
mengadakan rapat-rapat rahasia dengan berbagai kalangan yang berseberangan dengan Suharto.
CSIS intens membangun komunikasi dan jaringan dengan kelompok militer loyalis LB Moerdani,
kelompok aktivis aliran sosialis dan komunis, kelompok media dan aktivis pers anti Suharto, LSM pro
demokrasi dan LSM aliran kiri.

2. CSIS menggalang, membiayai dan membina massa kelompok tertentu yang sewaktu-waktu
digunakannya untuk melalukan aksi massa, membentuk opini publik dan aksi lainnya sesuai
kepentingan politik CSIS.

3. CSIS menggalang, mendorong dan membiayai massa mahasiswa untuk aksi anti Suharto di
berbagai kampus, khususnya kampus-kampus katolik dan kristen (Univ Trisakti, Untar, Unika
Atmajaya, UKI dll).

4. CSIS memiliki motif dan kepentingan terbesar untuk menggulingkan Suharto sejak tahun 1988.
Berpalingnya Suharto dari CSIS dan makin kuatnya peran CIDES sebagai lembaga kajian rujukan
kebijakan pemerintah Orde Baru adalah merupakan ancaman serius terhadap kepentingan CSIS.

5. Setelah selama lebih 20 tahun Suharto dan pemerintah Orde Baru berada dalam pengaruh dan
kendali CSIS, menghasilkan keuntungan dan manfaat terbesar bagi CSIS, elit Katolik, masyarakat
Tionghoa khususnya para konglomerat, perubahan sikap politik Suharto adalah merupakan ancaman
serius terhadap kelanggengan dominasi dan hegemoni kelompok mereka di sektor politik dan
ekonomi. Satu-satunya solusi untuk menjamin kelangsungan dominasi dan hegemoni politik dan
ekonomi kelompok mereka di Indonesia adalah dengan penggulingan Suharto melalui rekayasa
peristiwa kerusuhan Mei 1998.

(AM Panjaitan)

Anda mungkin juga menyukai