Anda di halaman 1dari 5

Nama : Fitria Nursaidah

NIM : 22040704211
Kelas : 2022F

Rumusan Masalah
1. Apa saja fakta-fakta hukum dalam kasus yang telah terjadi?
2. Apa saja aturan-aturan hukum yang terkait dalam kasus tersebut?
3. Apa inti permasalahan dalam kasus tersebut?
Pembahasan
1. Fakta Hukum :
 Penyebab kasus Kudatuli adalah dualisme kepemimpinan di tubuh PDI. Massa
pendukung Soerjadi, bersama dengan aparat, menyerbu kantor DPP PDI di
Jalan Diponegoro 58, Jakarta Pusat yang saat itu dikuasai pendukung
Megawati. Hal ini disebabkan Kongres PDI di Medan pada 20-22 Juni 1996
menyatakan bahwa Soerjadi terpilih menjadi ketua umum periode 1996-1998.
Sementara itu, Megawati merupakan Ketua Umum PDI hasil kongres
Surabaya untuk periode 1993-1998. Para pendukung Soerjadi tidak terima atas
kepemimpinan Megawati. Akibatnya, terjadi bentrokan terbuka antara massa
dengan aparat TNI-Polri. Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan meledak di
markas DPP Partai Demokrasi Indonesia (PDI), Jalan Pangeran Diponegoro
No. 58, Menteng, Jakarta Pusat pada Sabtu, 27 Juli 1996. (PB 4)
 Latar belakang peristiwa ini terjadi karena Soeharto dan pembantu militernya
merekayasa Kongres PDI di Medan dan ingin mendudukkan kembali Soerjadi
sebagai Ketua Umum PDI. Rekayasa pemerintahan Orde Baru untuk
menggulingkan Megawati itu dilawan pendukung Megawati dengan
menggelar mimbar bebas di Kantor DPP PDI. Mimbar bebas yang
menghadirkan sejumlah tokoh kritis dan aktivis penentang Orde Baru, telah
mampu membangkitkan kesadaran kritis rakyat atas perilaku politik Orde
Baru. Sehingga ketika terjadi pengambilalihan secara paksa, perlawanan dari
rakyat pun terjadi. (AJ 5)
 PDI mengalami perpecahan pada masa Orde Baru di mana PDI terpecah ke
dalam dua kubu yaitu PDI Soerjadi dan PDI Pro Megawati. (AJ 1) Sebelum
kerusuhan terjadi, PDI kedatangan "sosok baru" pada 1987, yakni Megawati,
yang mampu mendongkrak suara partai di pemilu. Kehadiran putri Soekarno
tersebut kemudian membuat popularitasnya melejit, sementara Soerjadi yang
berstatus sebagai Ketum PDI menjadi ketar-ketir. Soerjadi pun ingin kembali
menduduki jabatan sebagai ketum namun upayanya terkendala karena
terganjal isu penculikan kader. Berangkat dari dugaan itu, PDI menghelat
KLB di Surabaya yang menyatakan Megawati terpilih sebagai ketum periode
1993-1998. Hasil KLB Surabaya kemudian dikukuhkan dalam musyawarah
nasional (munas) pada 22 Desember 1993 di Jakarta. Megawati lalu resmi
menjabat sebagai Ketum PDI. Meski begitu, Soerjadi yang sebelumnya
menjadi Ketum PDI dinyatakan kembali terpilih sebagai Ketum PDIP
berdasarkan KLB pada 22 Juni 1996 di Medan. Dari sinilah internal PDI
terpecah menjadi dua antara kubu Megawati dengan Soerjadi. Meski
Megawati terpilih sebagai Ketum PDIP berdasarakan KLB Medan, posisinya
tak mendapat pengakuan dari pemerintah. Pemerintah melalui Kepala Staf
Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid justru mengakui Soerjadi sebagai
Ketum PDI. Akibat hal tersebut, Munas PDI yang digelar di Jakarta tidak
dianggap dan kepemimpinan Megawati tidak diakui. Setelahnya, muncul
ketegangan politik yang berujung dengan beredarnya isu perebutan kantor
DPP PDI jelang Juli 1996. Pada saat itu, Megawati mendapat dukungan dari
aktivis dan mahasiswa yang menentang rezim Ode Baru di bawah kekuasaan
Soeharto. Mendengar Kantor DPP akan direbut, PDI kubu Megawati
melakukan penjagaan di lokasi pada siang dan malam hari. Namun, pada 27
Juli 1996 suasana Kantor DPP PDI seketika memanas setelah kedatangan
sekelompok massa yang berasal dari kubu Soerjadi.
 Peristiwa Kudatuli mengangkangi konsepsi HAM tersebut. Komnas HAM
juga menilai terjadi 6 (enam) bentuk pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran
asas kebebasan berkumpul dan berserikat, pelanggaran asas kebebasan dari
rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari perlakuan keji dan tidak
manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa manusia, juga
pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
2. Aturan Hukum :
 Kasus ini merupakan penyerbuan terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia
(PDI) di Jakarta Pusat yang menewaskan lima orang, mengakibatkan 149
orang luka-luka, 136 ditahan, dan 23 orang hilang. Hingga sekarang, pelaku
Peristiwa Kudatuli masih menjadi misteri dan kasusnya belum terselesaikan.
Kendati berdampak besar, namun Komisi Nasional (Komnas) HAM belum
bisa memutuskan apakah Peristiwa Kudatuli tergolong pelanggaran HAM
berat atau ringan. Sebab, proses pemeriksaan, pengkajian, dan
penyelidikannya belum juga terselesaikan hingga hari ini. Penggolongan
ringan atau beratnya pelanggaran HAM tertera dalam Undang-Undang (UU)
Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam hal ini, Pengadilan
HAM bertugas mengadili pelanggaran HAM berat yang diklasifikasikan
menjadi dua, yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
 HAM sendiri berdasarkan UU di atas didefinisikan sebagai seperangkat hak
yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan
Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi, dan dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap
orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia.
Peristiwa Kudatuli mengangkangi konsepsi HAM tersebut.
 Komnas HAM menilai ada enam bentuk pelanggaran HAM dalam peristiwa
Kudatuli, di antaranya pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat ,
pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari
perlakuan keji dan tidak manusiawi, pelanggaran perlindungan terhadap jiwa
manusia, dan pelanggaran asas perlindungan atas harta benda.
 Pasal Kemerdekaan Berserikat dan Berkumpul serta Mengeluarkan Pikiran
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul serta mengeluarkan pikiran ketentuan
dalam UUD 1945 Pasal 28 dan Pasal 28E ayat (3) yang berbunyi:
• Pasal 28
Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan
dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang.
• Pasal 28E ayat (3)
Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan
pendapat. (KUU 1)
 Aturan tentang kemerdekaan berserikat dan berkumpul diatur di dalam UU
HAM yang merupakan payung dari seluruh peraturan perundang-undangan
tentang hak asasi manusia (HAM). Pasal 24 ayat (1) UU HAM menjamin
kemerdekaan berserikat dan berkumpul yang berbunyi:
Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-
maksud damai.
 Dalam International Covenant on Civil and Political Rights atau Kovenan
Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik yang telah diratifikasi
Indonesia melalui UU 12/2005 juga mengatur kemerdekaan berserikat dan
berkumpul serta mengeluarkan pikiran Pasal 19, Pasal 21, dan Pasal 22. (KUU
2)
 Pasal 19 UU UU 12/2005 menjamin hak untuk mengeluarkan pikiran. Adapun
ketentuan pasalnya adalah sebagai berikut.
o Setiap orang berhak untuk berpendapat tanpa campur tangan.
o Setiap orang berhak atas kebebasan untuk menyatakan
pendapat; hak ini termasuk kebebasan untuk mencari,
menerima dan memberikan informasi dan pemikiran apapun,
terlepas dari pembatasan-pembatasan secara lisan, tertulis, atau
dalam bentuk cetakan, karya seni atau melalui media lain sesuai
dengan pilihannya;
o Pelaksanaan hak-hak yang dicantumkan dalam ayat 2 pasal ini
menimbulkan kewajiban dan tanggung jawab khusus. Oleh
karenanya dapat dikenai pembatasan tertentu, tetapi hal ini
hanya dapat dilakukan sesuai dengan hukum dan sepanjang
diperlukan untuk menghormati hak atau nama baik orang lain,
melindungi keamanan nasional atau ketertiban umum atau
kesehatan atau moral umum.
 Pasal 21 UU 12/2005 menjamin hak untuk berkumpul secara damai. Tidak ada
pembatasan yang dapat dikenakan terhadap pelaksanaan hak ini kecuali yang
ditentukan sesuai dengan hukum, dan yang diperlukan dalam suatu masyarakat
demokratis untuk kepentingan keamanan nasional dan keselamatan publik,
atau ketertiban umum, perlindungan terhadap kesehatan atau moral umum,
atau perlindungan atas hak-hak dan kebebasan-kebebasan orang lain.
 Selanjutnya, Pasal 22 ayat (1) dan (2) UU 12/2005 mengatur mengenai hak
atas kebebasan untuk berserikat sebagai berikut.
o Setiap orang berhak atas kebebasan untuk berserikat dengan
orang lain, termasuk hak untuk membentuk dan bergabung
dalam serikat pekerja untuk melindungi kepentingannya.
o Tidak diperkenankan untuk membatasi pelaksanaan hak ini,
kecuali diatur oleh hukum, dan yang diperlukan dalam
masyarakat demokratis untuk kepentingan keamanan nasional
dan keselamatan publik, ketertiban umum, perlindungan
kesehatan dan moral umum, atau perlindungan atas hak dan
kebebasan dari orang lain. Pasal ini tidak boleh mencegah
diberikannya pembatasan yang sah bagi anggota angkatan
bersenjata dan kepolisian dalam melaksanakan hak ini.
3. Inti Permasalahan :
Secara historis Partai Demokrasi Indonesia (PDI) berdiri karena penyatuan
dari beberapa partai politik seperti yang sudah dijelaskan diatas. Secara umum
penyederhanaan partai membawa dua konsekuensi buruk bagi partai politik. Pertama
posisi partai menjadi begitu tergantung kepada tendensi politik nasional (pemerintah)
yang sebenarnya tidak mengakar pada rakyat banyak. Kedua, penyatuan menjadikan
parpol sulit menjelaskan esensi kehadirannya dihadapan tata politik nasional yang
ada. Bagi PDI penyatuan membawa sejumlah konsekuensi yang kurang lebih sama
seperti disebut diatas. Konsekuensi pertama, timbulnya konflik intern yang
berkepanjangan dalam tubuh PDI. Konsekuensi kedua, hilangnya identitas PDI
sebagai partai yang bersatu (AJ 3)

Awal dari lembaran kelam pada 27 Juli adalah perlakukan buruk pemerintah
terhadap PDI dan Megawati. (AJ 2) Kerusuhan bermula dari perebutan kantor DPP
PDI antara massa dari kubu Megawati Soekarnoputri dengan massa dari kubu
Soerjadi. Pada saat itu, PDI tengah didera dualisme kepemimpinan yang diawali dari
terpilihnya Megawati sebagai ketua umum (ketum) berdasarkan kongres luar biasa
(KLB) di Surabaya. Namun, beberapa saat setelahnya Soerjadi juga menyatakan
dirinya terpilih menjadi ketum partai berlambang banteng itu berdasarkan KLB
Medan. Saat kerusuhan terjadi, massa yang terlibat bentrok melakukan aksi
pelemparan dan kekerasan yang berujung pada jatuhnya korban luka dan tewas. (PB
5)

PDI mengalami perpecahan pada masa Orde Baru di mana PDI terpecah ke
dalam dua kubu yaitu PDI Soerjadi dan PDI Pro Megawati. (AJ 1) Sebelum
kerusuhan terjadi, PDI kedatangan "sosok baru" pada 1987, yakni Megawati, yang
mampu mendongkrak suara partai di pemilu. Kehadiran putri Soekarno tersebut
kemudian membuat popularitasnya melejit, sementara Soerjadi yang berstatus sebagai
Ketum PDI menjadi ketar-ketir. Soerjadi pun ingin kembali menduduki jabatan
sebagai ketum namun upayanya terkendala karena terganjal isu penculikan kader.
Berangkat dari dugaan itu, PDI menghelat KLB di Surabaya yang menyatakan
Megawati terpilih sebagai ketum periode 1993-1998.

Hasil KLB Surabaya kemudian dikukuhkan dalam musyawarah nasional


(munas) pada 22 Desember 1993 di Jakarta. Megawati lalu resmi menjabat sebagai
Ketum PDI. Meski begitu, Soerjadi yang sebelumnya menjadi Ketum PDI dinyatakan
kembali terpilih sebagai Ketum PDIP berdasarkan KLB pada 22 Juni 1996 di Medan.
Dari sinilah internal PDI terpecah menjadi dua antara kubu Megawati dengan
Soerjadi. Meski Megawati terpilih sebagai Ketum PDIP berdasarakan KLB Medan,
posisinya tak mendapat pengakuan dari pemerintah. Pemerintah melalui Kepala Staf
Sosial Politik ABRI Letjen Syarwan Hamid justru mengakui Soerjadi sebagai Ketum
PDI. Akibat hal tersebut, Munas PDI yang digelar di Jakarta tidak dianggap dan
kepemimpinan Megawati tidak diakui. Setelahnya, muncul ketegangan politik yang
berujung dengan beredarnya isu perebutan kantor DPP PDI jelang Juli 1996. Pada
saat itu, Megawati mendapat dukungan dari aktivis dan mahasiswa yang menentang
rezim Ode Baru di bawah kekuasaan Soeharto. Mendengar Kantor DPP akan direbut,
PDI kubu Megawati melakukan penjagaan di lokasi pada siang dan malam hari.
Namun, pada 27 Juli 1996 suasana Kantor DPP PDI seketika memanas setelah
kedatangan sekelompok massa yang berasal dari kubu Soerjadi.

Saat massa dari kubu Soerjadi tiba, massa dari kubu Megawati mengira bahwa
mereka adalah kawan. Sebab, massa tersebut datang sekitar pukul 06.20 WIB dengan
menggunakan kaus berwarna merah bertuliskan "DPP PDI Pendukung Kongres
Medan". Massa yang datang justru melakukan penyerangan dengan cara melempari
kantor DPP PDI dengan batu sebesar kepalan tangan. Mereka juga melontarkan caci
maki kepada sosok Megawati beserta pendukungnya. Berawal dari situ, penyerangan
di Kantor DPP PDI diketahui dilakukan oleh massa yang mendukung Soerjadi. Massa
dari kubu Soerjadi yang mendatangi Kantor DPP PDI tak hanya melempari markas
PDI kubu Megawati menggunakan batu. Mereka juga menjebol pagar besi dan
memaksa masuk ke dalam gedung sehinga kubu dari Megawati ada yang melarikan
diri. Setelah Kantor DPP PDI dikuasai, Sekjen PDI kubu Soerjadi, Buttu Hutapea,
menyatakan bahwa gedung partai telah dipakai untuk kegiatan tidak benar. Massa dari
kubu Megawati lalu mendatangi lokasi untuk membantu kawan-kawannya yang
diserang massa dari kubu Soerjadi. Namun kehadiran massa dari kubu Megawati
diadang oleh aparat keamanan yang menyebabkan kerusuhan kembali terjadi.
Peristiwa ini meluas menjadi kerusuhan di beberapa wilayah di Jakarta, khususnya di
kawasan Jalan Diponegoro, Salemba, Kramat. Beberapa kendaraan dan gedung
terbakar (BB 2)

Kasus ini merupakan penyerbuan terhadap kantor Partai Demokrasi Indonesia


(PDI) di Jakarta Pusat yang menewaskan lima orang, mengakibatkan 149 orang luka-
luka, 136 ditahan, dan 23 orang hilang. Hingga sekarang, pelaku Peristiwa Kudatuli
masih menjadi misteri dan kasusnya belum terselesaikan. Kendati berdampak besar,
namun Komisi Nasional (Komnas) HAM belum bisa memutuskan apakah Peristiwa
Kudatuli tergolong pelanggaran HAM berat atau ringan. Sebab, proses pemeriksaan,
pengkajian, dan penyelidikannya belum juga terselesaikan hingga hari ini.
Penggolongan ringan atau beratnya pelanggaran HAM tertera dalam Undang-Undang
(UU) Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dalam hal ini, Pengadilan
HAM bertugas mengadili pelanggaran HAM berat yang diklasifikasikan menjadi dua,
yaitu kejahatan genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan. (PB 4)

HAM sendiri berdasarkan UU di atas didefinisikan sebagai seperangkat hak


yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan Yang
Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi, dan
dilindungi oleh negara, hukum, pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta
perlindungan harkat dan martabat manusia. Peristiwa Kudatuli mengangkangi
konsepsi HAM tersebut. Komnas HAM juga menilai terjadi 6 (enam) bentuk
pelanggaran HAM, yaitu pelanggaran asas kebebasan berkumpul dan berserikat,
pelanggaran asas kebebasan dari rasa takut, pelanggaran asas kebebasan dari
perlakuan keji dan tidak manusiawi, dan pelanggaran perlindungan terhadap jiwa
manusia, juga pelanggaran asas perlindungan atas harta benda. (AJ 4)

Anda mungkin juga menyukai