Anda di halaman 1dari 16

Periode Tahun 1945

Pemikiran HAM pada awal kemerdekaan menekankan pada hak untuk merdeka, hak kebebasan untuk
berserikat melalui parpol serta hak kebebasan untuk menyampaikan pendapat terutama di parlemen.
Pemikiran HAM telah mendapat legitimasi secara formal karena telah memperoleh pengaturan dan
masuk ke dalam hukum dasar negara (konstitusi), yaitu UUD 1945. prinsip kedaulatan rakyat dan negara
berdasarkan atas hukum dijadikan sebagai sendi bagi penyelenggaraan negara Indonesia merdeka.
Komitmen terhadap HAM pada masa ini ditunjukkan dalam Maklumat Pemerintah tanggal 1 November
1945 yang tertulis dalam Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka.

Langkah selanjutnya memberikan keleluasaan kepada rakyat untuk mendirikan parpol. Sebagaimana
tertera dalam Maklumat Pemerintah tanggal 3 November 1945 yang menyatakan sebagai berikut:

1) Pemerintah menyukai timbulnya parpol karena dapat dipimpin ke jalan yang teratur segala aliran
paham yang ada.

2) Pemerintah berharap parpol tersusun sebelum dilangsungkannya pemilihan anggota BPR pada
(Januari 1946). Hal ini penting dalam kaitan dengan HAM adalah adanya perubahan mendasar dan
signifikan terhadap sistem pemerintahan dari presidensial menjadi parlementer (Maklumat Pemerintah
tanggal 14 November 1945, yang tertulis dalam Buku 30 Tahun Indonesia Merdeka)

Intrumen hak asasi manusia dalam Konstitusi (Undang-Undang Dasar 1945)

Pada perubahan kedua Undang-Undang Dasar 1945 oleh MPR RI yang ditetapkan pada tanggal 18
Agustus 2000, hak asasi manusia diatur dalam Bab XA, yang selengkapnya berbunyi sebagai berikut :

1. Pasal 28A: Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.

2. Pasal 28B: (1) Setiap orang berhak membentuk keluarga dan melanjutkan keturunan melalui
perkawinan yang sah. (2) Setiap anak berhak atas kelangsungan hidup, tumbuh, dan berkembang serta
berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

3. Pasal 28C: (1) Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya,
berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan
budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia. (2) Setiap orang
berhak untuk memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun
masyarakat, bangsa, dan negaranya.

4. Pasal 28D:

(1) Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta
perlakuan yang sama di hadapan hukum.

(2) Setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja.

(3) Setiap warga negara berhak memperoleh kesempatan yang sama dalam pemerintahan.
(4) Setiap orang berhak atas status kewarganegaraan.

5. Pasal 28E:

(1) Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya, memilih pendidikan dan
pengajaran, memilih pekerjaan, memilih kewarganegaraan, memilih tempat tinggal diwilayah negara
dan meninggalkannya, serta berhak kembali.

(2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai
dengan hati nuraninya. (3) Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan
mengeluarkan pendapat.

6. Pasal 28F: Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk
mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki,
menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang
tersedia.

7. Pasal 28G:

(1) Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat, dan harta
benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman
ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi.

(2) Setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan atau perlakuan yang merendahkan derajat
martabat manusia dan berhak memperoleh suaka politik dari ngara lain.

8. Pasal 28H:

(1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, danmendapatkan lingkungan
hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.

(2) Setiap orang berhak mendapat kemudahan dan perlakuan khusus untuk memperoleh kesempatan
dan manfaat yang sama guna mencapai persamaan dan keadilan.

(3) Setiap orang berhak atas jaminan sosial yang memungkinkan pengembangan dirinya secara utuh
sebagai manusia yang bermartabat. (4) Setiap orang berhak mempunyai hak milik pribadi dan hak milik
tersebut tidak boleh diambil alih secara sewenang-wenang oleh siapa pun.

9. Pasal 28I:

(1) Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama,
hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak
dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi
dalam keadaan apa pun.

(2) Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak
mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu.

(3) Identitas budaya dan hak masyarakat tradisional dihormati selaras dengan perkembangan zaman
dan peradaban.
(4) Perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak asasi manusia adalah tanggung jawab
negara, terutama pemerintah.

(5) Untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia sesuai dengan prinsip negara hukum yang
demokratis, maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, di atur, dan dituangkan dalam peraturan
perundang-undangan.

10. Pasal 28J:

(1) Setiap orang wajib menghormati hak asasi manusia orang lain dalam tertib kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

(2) Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasannya yang
ditetapkan dengan undang-undang dengan maksud sematamata untuk menjamin pengakuan serta
penghormatan atas hak dan kebebasan orang lain dan untuk memenuhi tuntutan yang adil sesuai
dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum dalam suatu
masyarakat demokratis.

HAK ASASI MANUSIA DI INDONESIA PERIODE KONSTITUANTE

A. Perkembangan Hak Asasi Manusia

Wacana hak asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan di
Indonesia. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan bangsa
ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya. Jauh sebelum
kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk memperjuangkan
harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Pecikan pikiran tersebut dapat dibaca dalam surat-surat
R.A. Kartini yang berjudul “ Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-karangan politik yang ditulis
oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh
Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul ”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan
judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan
pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia,
menjadi sumber inspirasi ketika konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah
menyadari pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.

Sub-bab ini berusaha menelusuri perkembangan wacana hak asasi manusia dalam diskursus politik dan
ketatanegaraan di Indonesia, paling tidak dalam kurun waktu setelah kemerdekaan. Diskursus
mengenai hak asasi manusia ditandai dengan perdebatan yang sangat intensif dalam tiga periode
sejarah ketatanegaraan, yaitu mulai dari tahun 1945, sebagai periode awal perdebatan hak asasi
manusia, diikuti dengan periode Konstituante (tahun 1957-1959) dan periode awal bangkitnya Orde
Baru (tahun 1966-1968).354 Dalam ketiga periode inilah perjuangan untuk menjadikan hak asasi
manusia sebagai sentral dari kehidupan berbangsa dan bernegara berlangsung dengan sangat serius.
Tetapi sayang sekali, pada periode-periode emas tersebut wacana hak asasi manusia gagal dituangkan
ke dalam hukum dasar negara atau konstitusi. Perjuangan itu memerlukan waktu lama untuk berhasil,
yaitu sampai datangnya periode reformasi (tahun 1998-2000). Periode ini diawali dengan pelengseran
Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan reformasi. Inilah periode yang sangat “ friendly”
terhadap hak asasi manusia, ditandai dengan diterimanya hak asasi manusia ke dalam konstitusi dan
lahirnya peraturan perundang-undangan di bidang hak asasi manusia.

(1) Perdebatan Awal tentang Hak Asasi Manusia

Sesuai dengan pembabakan di atas, pemaparan berikut akan dimulai dengan pembahasan periode
pertama. Pada waktu menyusun konstitusi, Undang-Undang Dasar1945. terjadi perdebatan mengenai
apakah hak warga negara perlu dicantumkan dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar? Soekarno dan
Supomo mengajukan pendapat bahwa hak-hak warga negara tidak perlu dicantumkan dalam pasal-
pasal konstitusi. Sebaliknya, Mohammad Hatta dan Muhammad Yamin tegas berpendapat perlunya
mencantumkan pasal mengenai kemerdekaan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pikiran dengan
lisan maupun tulisan di dalam Undang-Undang Dasar. Perdebatan dalam sidang-sidang BPUPKI tersebut
merupakan tonggak penting dalam diskursus hak asasi manusia di Indonesia, yang memberi pijakan bagi
perkembangan wacana hak asasi manusia periode-periode selanjutnya. Karena itu, menarik apabila kita
menyimak sedikit perdebatan tersebut. Mengapa Soekarno dan Supomo menolak pencantuman pasal-
pasal hak warga negara dalam Konstitusi Indonesia? Penolakan Soekarno dan Supomo tersebut
didasarkan pada pandangan mereka mengenai dasar negara --yang dalam istilah Soekarno disebut
dengan “Philosofische grondslag” atau dalam istilah Supomo disebut “Staatsidee”-- yang tidak
berlandaskan pada faham liberalisme dan kapitalisme. Menurut pandangan Soekarno, jaminan
perlindungan hak warga negara itu --yang berasal dari revolusi Prancis, merupakan basis dari faham
liberalisme dan individualisme yang telah menyebabkan lahirnya imperialisme dan peperangan antara
manusia dengan manusia. Soekarno menginginkan negara yang mau didirikan itu didasarkan pada
asas kekeluargaan atau gotong-royong, dan karena itu tidak perlu dijamin hak warga negara di
dalamnya. Kutipan di bawah ini akan menunjukkan argumen Soekarno yang menolak mencantumkan
hak-hak warga negara: “... saya minta dan menangis kepada tuan-tuan dan nyonya-nyonya, buanglah
sama sekali faham individualisme itu, janganlah dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar kita yang
dinamakan “rights of the citizens” yang sebagai dianjurkan oleh Republik Prancis itu adanya”. “... Buat
apa kita membikin grondwet, apa gunanya grondwet itu kalau ia tak dapat mengisi perutnya orang yang
hendak mati kelaparan. Grondwet yang berisi “droits de I’ homme et du citoyen” itu, tidak bisa
menghilangkan kelaparannya orang yang miskin yang hendak mati kelaparan. Maka oleh karena itu,
jikalau kita betul-betul hendak mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, faham tolong-
menolong, faham gotong-royong dan keadilan sosial, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap-tiap faham
individualisme dan liberalisme dari padanya”. Sedangkan Supomo menolak dicantumkannya hak warga
negara dalam pasal- pasal Undang-Undang Dasar dengan alasan yang berbeda. Penolakan Supomo
didasarkan pada pandangannya mengenai ide negara integralistik (staatsidee integralistik), yang
menurutnya cocok dengan sifat dan corak masyarakat Indonesia. Menurut faham tersebut negara harus
bersatu dengan seluruh rakyatnya, yang mengatasi seluruh golongan-golongannya dalam lapangan
apapun. Dalam negara yang demikian itu, tidak ada pertentangan antara susunan hukum staat dan
susunan hukum individu, karena individu tidak lain ialah suatu bagian organik dari Staat. Makanya hak
individu menjadi tidak relevan dalam paham negara integralistik, yang justru relevan adalah kewajiban
asasi kepada negara. Paham inilah yang mendasari argumen Supomo. Sebaliknya, mengapa Hatta dan
Yamin bersikeras menuntut dicantumkannya hak warga negara dalam pasal-pasal Konstitusi? Hatta
setuju dengan penolakan terhadap liberalisme dan individualisme, tetapi ia kuatir dengan keinginan
untuk memberikan kekuasaan yang seluas-luasnya kepada negara, bisa menyebabkan negara yang ingin
didirikan itu terjebak dalam otoritarianisme. Berikut argumen Hatta:357 “Tetapi satu hal yang saya
kuatirkan kalau tidak ada satu keyakinan atau satu pertanggungan kepada rakyat dalam hukum dasar
yang mengenai haknya untuk mengeluarkan suara, saya kuatir menghianati di atas Undang- Undang
Dasar yang kita susun sekarang ini, mungkin terjadi satu bentukan negara yang tidak kita setujui”.
“Sebab itu ada baiknya dalam satu fasal, misalnya fasal yang mengenai warga negara disebutkan di
sebelah hak yang sudah diberikan juga kepada misalnya tiap-tiap warga negara rakyat Indonesia, supaya
tiap-tiap warga negara itu jangan takut mengeluarkan suaranya. Yang perlu disebut disini hak buat
berkumpul dan bersidang atau menyurat dan lain-lain. Tanggungan ini perlu untuk menjaga supaya
negara kita tidak menjadi negara kekuasaan, sebab kita dasarkan negara kita kepada kedaulatan rakyat”.

Begitu juga dengan Yamin. Sarjana hukum lulusan Belanda itu menolak dengan keras argumen-argumen
yang membela tidak dicantumkannya hak warga negara dalam Undang-Undang Dasar. “Supaya aturan
kemerdekaan warga negara dimasukkan dalam Undang-Undang Dasar seluas-luasnya. Saya menolak
segala alasan-alasan yang dimajukan untuk tidak memasukkannya. Aturan dasar tidaklah berhubungan
dengan liberalisme, melainkan semata-mata satu kesemestian perlindungan kemerdekaan, yang harus
diakui dalam Undang-undang Dasar,” Yamin mengucapkan pidatonya pada sidang BPUPKI.358
Pendapat kedua pendiri bangsa ini didukung oleh anggota BPUPKI lainnya, Liem Koen Hian, yang
mengusulkan perlunya dimasukkan hak kemerdekaan buat drukpers, onschendbaarheid van woorden
(pers cetak, kebebasan mengeluarkan pikiran dengan lisan).359 Mereka sangat menyadari bahaya
otoritarianisme, sebagaimana yang mereka lihat terjadi di Jerman menjelang Perang Dunia II, apabila
dalam negara yang mau didirikan itu tidak diberikan jaminan terhadap hak warga negara.

Percikan perdebatan yang dipaparkan di atas berakhir dengan suatu kompromi. Hak warga negara yang
diajukan oleh Hatta, Yamin dan Liem Koen Hian diterima untuk dicantumkan dalam Undang-Undang
Dasar, tetapi dengan terbatas. Keterbatasan itu bukan hanya dalam arti bahwa hak-hak tersebut lebih
lanjut akan diatur oleh undang- undang, tetapi juga dalam arti konseptual.360 Konsep yang digunakan
adalah “Hak Warga Negara” (“rights of the citizens”) bukan “Hak Asasi Manusia” (human rights).
Penggunaan konsep “Hak Warga Negara” itu berarti bahwa secara implisit tidak diakui paham natural
rights yang menyatakan bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki oleh manusia karena ia lahir
sebagai manusia. Sebagai konsekuensi dari konsep itu, maka negara ditempatkan sebagai “regulator of
rights”, bukan sebagai “ guardian of human rights” –sebagaimana ditempatkan oleh sistem Perlindungan
Internasional Hak Asasi Manusia. Perdebatan tersebut tidak berakhir begitu saja. Diskursus mengenai
hak asasi manusia muncul kembali --sebagai usaha untuk mengoreksi kelemahan dalam Undang-
Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-1959). Sebagaimana terrekam dalam Risalah
Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi Manusia, perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding
dengan perdebatan di BPUPKI. “Diskusi ini merupakan pernyataan paling jelas, paling bebas dan paling
baik mengenai kesadaran tentang hak asasi manusia di kalangan rakyat Indonesia,” rekam Buyung
Nasution yang melakukan studi mendalam tentang periode ini.361 Berbeda dengan perdebatan awal di
BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak asasi manusia dalam pengertian natural
rights,362 dan menganggapnya sebagai substansi Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang
melihat dari perspektif agama atau budaya, perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil
menyepakati 24 hak asasi manusia yang akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Sayang,
Konstituante dibubarkan oleh Konstituante sangat menghargai keabsahan universalitas Hak Asasi
Manusia sebagai hak yang menjadi bagian inti dari kodrat manusia dan terdapat pada setiap peradaban
manusia. Soekarno, akibatnya kesepakatan-kesepakatan yang telah dicapai dalam Konstituante ikut
dikesampingkan, termasuk kesepakatan mengenai hak asasi manusia. Pembubaran Konstituante
tersebut diikuti oleh tindakan Soekarno mengeluarkan dekrit yang isinya adalah pernyataan untuk
kembali ke Undang-Undang Dasar 1945 yang kemudian dikenal dengan “Dekrit 5 Juli 1959”. Dengan
kembali ke Undang- Undang Dasar 1945, maka status konstitusional hak asasi manusia yang telah diakui
dalam Konstitusi RIS dan Undang-Undang Dasar “Sementara” 1950 menjadi mundur kembali. Makanya
setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966, yang
melahirkan rezim Orde Baru, perdebatan mengenai perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia
muncul kembali. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS
ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia.363 Hasilnya adalah
sebuah “Rancangan Keputusan MPRS tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta
Kewajiban Warga Negara”. Tetapi sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang
Umum MPRS untuk disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya --terutama diajukan oleh fraksi Karya
Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR hasil pemilu,
bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”.

Kenyataannya, setelah MPR hasil pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia itu
tidak pernah diajukan lagi. Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa
yang pernah mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut.364 Sampai akhirnya
datang gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei,
1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.

(2) Hak Asasi Manusia dalam Konstitusi Baru

Presiden BJ. Habibie yang ditunjuk Soeharto sebagai penggantinya mengumumkan kabinetnya sebagai
“Kabinet Reformasi”. Presiden yang baru ini tidak Panitia Ad Hoc ini dibantu oleh satu Tim Asistensi
ilmiah, yang antara lain, melibatkan Prof. Hazairin SH, Dr. Soekiman Wirjosardjojo, A.G. Pringgodigdo
SH, Prof. Notonogoro, SH, Achmad Subardja SH, Prof. sunario SH, dan Prof. SJ N. Drijarkara. Lihat M.
Dawam Rahardjo, Hak Asasi Manusia: Tantangan Abad ke-21, makalah tidak diterbitkan, 1997. punya
pilihan lain selain memenuhi tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup,
menjamin perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus
dwi-fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Perhatian
pokok buku ini adalah yang berkaitan dengan wacana hak asasi manusia pada periode reformasi.

Pada periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak
asasi manusia. Perdebatkan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi manusia,
tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau dimasukkan dalam UUD?
Gagasan mengenai Piagam Hak Asasi Manusia yang pernah muncul di awal Orde Baru itu muncul
kembali. Begitu pula gagasan untuk mencatumkannya ke dalam pasal-pasal Undang-Undang Dasar juga
muncul kembali ke dalam wacana perdebatan hak asasi manusia ketika itu. Karena kuatnya tuntutan
dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu, maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan
MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi
Manusia, tetapi juga memuat amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk
memajukan perlindungan hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-
instrumen internasional hak asasi manusia.

Hasil Pemilu 1999 merubah peta kekuatan politik di MPR/DPR. Kekuatan politik pro-reformasi mulai
memasuki gelanggang politik formal, yakni MPR/DPR. Selain berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman
Wahid sebagai presiden, mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang
Dasar 1945. Pada Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak
asasi manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak Asasi Manusia
(dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945 yang ditetapkan pada 18
Agustus 2000. Hak-hak yang tercakup di dalamnya mulai dari kategori hak-hak sipil politik hingga pada
kategori hak-hak ekonomi, sosial dan budaya. Selain itu, dalam bab ini juga dicantumkan pasal tentang
tanggung jawab Presiden Habibie membuat Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RAN-HAM) 1998-
2003. yang memuat agenda pemerintahannya dalam penegakan hak asasi manusia, meliputi
pendidikan dan sosialisasi hak asasi manusia serta program ratifikasi instrumen internasional hak asasi
manusia.negara terutama pemerintah dalam perlindungan, pemajuan, penegakan, dan pemenuhan hak
asasi manusia. Di samping itu ditegaskan bahwa untuk menegakkan dan melindungi hak asasi manusia
sesuai prinsip negara hukum yang demokratis maka pelaksanaan hak asasi manusia dijamin, diatur dan
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan. Salah satu isu yang menjadi riak-perdebatan dalam
proses amandemen itu adalah masuknya pasal mengenai hak bebas dari pemberlakuan undang-undang
yang berlaku surut (non-retroactivity principle ) yakni pasal 28I. Masuknya ketentuan ini dipandang
oleh kalangan aktifis hak asasi manusia dan aktifis pro-reformasi yang tergabung dalam Koalisi untuk
Konstitusi Baru sebagai “sabotase” terhadap upaya mengungkapkan pelanggaran berat hak asasi
manusia di masa lalu, khsususnya di masa Orde Baru. Alasannya pasal itu dapat digunakan oleh para
pelaku pelanggaran hak asasi di masa lalu untuk menghindari tuntutan hukum. Undang-Undang
Pengadilan Hak Asasi Manusia dan Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi, yang lahir
setelah Amandemen Kedua menjadi senjata yang tak dapat digunakan untuk pelanggaran hak asasi
manusia di masa lalu. Sementara anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat beralasan bahwa adanya
pasal itu sudah lazim dalam instrumen internasional hak asasi manusia, khususnya dalam Kovenan
Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (KIHSP). Selain itu, menurut anggota Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Pasal 28I itu harus dibaca pula dalam kaitannya dengan Pasal 28J ayat (2).

Terlepas dari kontroversi yang dipaparkan di atas, Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia
merupakan prestasi gemilang yang dicapai Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru.
Amandemen Kedua itu telah mengakhiri perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan
perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal
penyusunan Undang-Undang Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968)
dan berakhir pada masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia
dalam sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan pandangan
yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.

(3) Undang-Undang Hak Asasi Manusia

Sebagaimana dikemukakan sebelumnya, periode reformasi merupakan periode

yang sangat “friendly” terhadap hak asasi manusia. Berbeda halnya dengan periode Orde Baru yang
melancarkan “ black-campaign” terhadap isu hak asasi manusia. Presiden B.J. Habibie dan DPR sangat
terbuka dengan tuntutan reformasi, maka sebelum proses amandemen konstitusi bergulir, presiden
lebih dulu mengajukan Rancangan Undang-Undang Hak Asasi Manusia ke Dewan Perwakilan Rakyat
untuk dibahas. Pembahasan di Dewan Perwakilan Rakyat juga tidak memakan waktu yang lama dan
pada 23 September 1999 telah dicapailah konsensus untuk mengesahkan undang-undang tersebut yakni
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan
sebagai turunan dari Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang luas
terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari pengakuan
terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga pada pengakuan
terhadap hak-hak kelompok seperti anak,

perempuan dan masyarakat adat (indigenous people). Undang-Undang tersebut dengan gamblang
mengakui paham ‘natural rights ’, melihat hak asasi manusia sebagai hak kodrati yang melekat pada
manusia. Begitu juga dengan kategorisasi hak-hak di dalamnya tampak merujuk pada instrumen-
instrumen internasional hak asasi manusia, seperti Universal Declaration of Human Rights, International
Covenan on Civil and Political Rights, International Covenan onEconomic, Social and Cultural Rights,
International Convention on the Rights of Child, dan seterusnya. Dengan demikian boleh dikatakan
Undang-Undang ini telah mengadopsi norma-norma hak yang terdapat di dalam berbagai instrumen hak
asasi manusia internasional tersebut.

Di samping memuat norma-norma hak, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi
Manusia juga memuat aturan mengenai Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (bab VII). Mulai Pasal 75
sampai Pasal 99 mengatur tentang kewenangan dan fungsi, keanggotaan, serta struktur kelembagaan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia. Jadi kalau sebelumnya Komisi Nasional Hak Asasi Manusia berdiri
berdasarkan Keputusan Presiden No. 50 Tahun 1993, maka setelah disahkan Undang-Undang Nomor
39 Tahun 1999 landasan hukumnya diperkuat dengan Undang-Undang. Hal yang menarik dalam
Undang-Undang ini adalah adanya aturan tentang partisipasi 285 masyarakat (bab VIII), mulai dari
Pasal 100 sampai Pasal 103. Aturan ini jelas memberikan pengakuan legal terhadap keabsahan advokasi
hak asasi manusia yang dilakukan oleh organisasi-organisasi pembela hak asasi manusia atau “human
rights defenders”. Selain itu, Undang-Undang ini juga mengamanatkan pembentukan Pengadilan Hak
Asasi Manusia yang harus dibentuk paling lama dalam jangka waktu empat tahun setelah berlakunya
Undang-Undang tersebut (Bab IX).

Pertanyaannya kemudian adalah, bagaimana status Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 ini setelah
keluarnya Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia? Apakah tetap berlaku atau tidak? Kaidah
“ketentuan yang baru menghapus ketentuan yang lama” jelas tidak dapat diterapkan di sini. Kaidah
tersebut hanya berlaku untuk norma yang setingkat. Karena kedudukan kedua ketentuan tersebut tidak
setingkat, dan sejalan dengan “stuffenbau theorie des rechts ” (hierarchy of norm theory),norma
konstitusi lebih tinggi daripada undang-undang. Maka Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 itu tetap
berlaku dan dapat dipandang sebagai ketentuan organik dari ketentuan hak asasi manusia yang terdapat
pada amandemen kedua.

B. Ratifikasi Perjanjian Internasional Hak Asasi Manusia

Pembahasan selanjutnya terkait dengan penerapan instrumen internasional hak asasi manusia ke dalam
hukum nasional. Perbincangan mengenai isu ini biasanya diletakkan dalam konteks dua ajaran berikut,
yakni ajaran dualis (dualistic school) dan ajaran monis monistic school ). Ajaran yang pertama melihat
hukum internasional dan nasional sebagai dua sistem hukum yang terpisah dan berdiri sendiri-sendiri.
Sedangkan ajaran yang kedua melihat hukum internasional dan nasional sebagai bagian integral dari
sistem yang sama. Meskipun kedua ajaran tersebut dalam prakteknya tumpang- tindih, biasanya negara
yang dirujuk menganut ajaran monis adalah Inggris dan Amerika Serikat. Tetapi hanya Amerika Serikat
yang menyatakan dengan gamblang dalam konstitusinya bahwa “ all treaties made or which shall
be made, under the Authority of the United States, shall be the supreme Law of the Land; and the
judges in every State shall be bound thereby .

dikatakan lebih dekat dengan ajaran yang pertama. Hal ini terlihat dari ketentuan Pasal 11 ayat (2)
Undang Undang Dasar 1945.

Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia juga tidak bisa menafikan hukum internasional,
tetapi penerapannya harus sesuai dengan ketentuan hukum Indonesia. Seperti dikatakan di atas,
Pasal 11 ayat (2) Undang-Undang Dasar mensyaratkan dalam proses pemberlakuan hukum
internasional ke dalam hukum nasional terlebih dahulu mengambil langkah transformasi melalui proses
perundang- undangan domestik. Proses ini dikenal dengan ratifikasi atau aksesi. Jadi meskipun
Indonesia telah memiliki basis hukum perlindungan hak asasi manusia yang kuat di dalam negeri seperti
dipaparkan di muka, tetap dipandang perlu untuk mengikatkan diri dengan sistem perlindungan
internasional hak asasi manusia. Sebab dengan pengikatan itu, selain menjadikan hukum internasional
sebagai bagian dari hukum nasional

( supreme law of the land), juga memberikan landasan legal kepada warga negaranya untuk
menggunakan mekanisme perlindungan hak asasi manusia internasional, apabila ia (warga negara)
merasa mekanisme domestik telah mengalami “exshausted” alias menthok. Sampai saat ini Indonesia
baru meratifikasi 8 (delapan) instrumen internasional hak asasi manusia dari 25 (dua puluh lima)
instrumen internasional pokok hak asasi manusia. Delapan instrumen internasional hak asasi manusia
yang diratifikasi itu meliputi: (i) Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Politik Perempuan; (ii) Konvensi
Internasional tentang Hak Anak; (iii) Konvensi Internasional tentang Penghapusan Segala Bentuk
Diskriminasi terhadap Perempuan; (iv) Konvensi Internasional tentang Anti Apartheid di Bidang Olah
Raga; (v) Konvensi Internasional tentang (Anti?) Menentang Penyiksaan; (vi) Konvensi Internasional
tentang Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Rasial; (vii) Kovenan Internasional tentang Hak Sipil
dan Politik; dan (viii) Kovenan Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Ketentuan itu
berbunyi, “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat yang
luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau
mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan
Perwakilan Rakyat”.

Landasan legal ini diperkuat oleh Pasal 17 (1) UU No.39/1999 yang menyatakan “Setiap orang berhak
untuk menggunakan semua upaya hukum nasional dan forum internasional atas semua pelanggaran
Hak Asasi Manusia yang dijamin oleh hukum Indonesia dan hukum internasional mengenai Hak Asasi
Manusia yang telah diterima oleh negara Republik Indonesia”.

Dibanding dengan jumlah instrumen internasional pokok hak asasi manusia, maka sebetulnya tingkat
ratifikasi Indonesia masih rendah. Sebagai perbandingan, Filipina, misalnya, telah meratifikasi 18
(delapan belas) konvensi internasional hak asasi manusia.

Sejak tahun 1998, Indonesia telah memiliki Rencana Aksi Nasional Hak Asasi Manusia (RANHAM) untuk
mengejar ketertinggalan di bidang ratifikasi tersebut. Dengan adanya RANHAM, diharapkan proses
ratifikasi dapat berjalan dengan terencana. Melalui RANHAM ini, yang periode lima tahun pertamanya
dimulai pada 1998-2003, telah disusun skala prioritas untuk melakukan ratifikasi terhadap instrumen-
instrumen hak asasi manusia internasional. Sedangkan pada RANHAM lima tahun kedua (2004-2009),
rencana ratifikasi diprioritaskan pada konvensi-konvensi berikut ini: (i) Konvensi untuk Penindasan
Perdagangan Orang dan Eksploitasi Prostitusi Orang Lain (pada 2004); (ii) Konvensi tentang
Perlindungan Hak Pekerja Migran dan Keluarganya (pada 2005); (iii) Protokol Opsional tentang Hak
Anak tentang Perdagangan Anak, Pornografi Anak dan Prostitusi Anak (pada 2005); (iv) Protokol
Opsional tentang Konvensi Hak Anak tentang Keterlibatan Anak dalam Konflik Bersenjata (pada 2006);
(v) Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman Kejahatan Genosida (pada 2007); Statuta Roma
(pada 2008); dan seterusnya. Kalau rencana aksi ini berjalan, maka pada 2009 Indonesia dapat
mensejajarkan diri dengan negara-negara lain yang tingkat ratifikasinya tinggi.

Masa Orde Baru

Sejak PKI berhasil ditumpas, Presiden Soekarno belum bertindak tegas terhadap G 30 S/PKI. Hal ini
menimbulkan ketidaksabaran di kalangan mahasiswa dan masyarakat. Pada tanggal 26 Oktober 1965
berbagai kesatuan aksi seperti KAMI, KAPI, KAGI, KASI, dan lainnya mengadakan demonsrasi. Mereka
membulatkan barisan dalam Front Pancasila. Dalam kondisi ekonomi yang parah, para demonstran
menyuarakan Tri Tuntutan Rakyat (Tritura). Oleh karena itu presiden memberi mandat kepada Letjen
Soeharto untuk memulihkan keadaan dan kewibawaan pemerintah. Mandat itu dikenal sebagai Surat
Perintah Sebelas Maret (Supersemar). Keluarnya Supersemar dianggap sebagai tonggak lahirnya Orde
Baru .

Orde Baru adalah sebutan bagi masa pemerintahan Presiden Soeharto di Indonesia. Orde Baru
menggantikan Orde Lama yang merujuk kepada era pemerintahan Soekarno. Orde Baru hadir dengan
semangat "koreksi total" atas penyimpangan yang dilakukan Orde Lama Soekarno. Orde Baru tersebut
berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998. Dalam jangka waktu tersebut, ekonomi Indonesia
berkembang pesat meski hal ini dibarengi praktek korupsi yang merajalela di negara ini. Selain itu,
kesenjangan antara rakyat yang kaya dan miskin juga semakin melebar. Dalam beberapa aspek, HAM
terjamin. Tetapi dalam beberapa aspek lainnya, HAM tidak dilindungi.

Penegakan HAM pada Orde Baru

Orde Baru membawa banyak perubahan positif pada penegakan HAM. Perubahan-perubahan tersebut
antara lain menyangkut aspek politik, ekonomi, dan pendidikan.
a. Politik

Salah satu kebijakan politik yang mendukung persamaan HAM terhadap masyarakat Indonesia di dunia
internasional adalah didaftarkannya Indonesia menjadi anggota PBB lagi pada tanggal 19 September
1966. Dengan mendaftarkan diri sebagai anggota PBB, hak asasi manusia Indonesia diakui
persamaannya dengan warga negara di dunia. Ini menjadi langkah yang baik untuk membawa
masyarakat Indonesia pada keadilan dan kemakmuran.

b. Ekonomi

Orde Baru memilih perbaikan dan perkembangan ekonomi sebagai tujuan utamanya dan menempuh
kebijakannya melalui struktur administratif yang didominasi militer namun dengan nasehat dari ahli
ekonomi didikan Barat. Dalam hal ekonomi, masyarakat mendapatkan hak-hak mereka untuk
mendapatkan hidup yang layak. Program transmigrasi, repelita, dan swasembada pangan mendorong
masyarakat untuk memperoleh kemakmuran dan hak hidup secara layak.

c. Pendidikan

Dalam bidang pendidikan, masa Orde Baru menampilkan kinerja yang positif. Pemerintah Orde Baru bisa
dianggap sukses memerangi buta huruf dengan beberapa program unggulan, yaitu gerakan wajib belajar
dan gerakan nasional orang tua asuh (GNOTA). Dengan demikian, masyarakat Indonesia mendapatkan
hak asasinya untuk mendapatkan pendidikan.

Pelanggaran HAM pada Orde Baru

Harus diakui pada masa Orde Baru dari segi pembangunan fisik memang ada dan keamanan terkendali,
tetapi pada masa Orde Baru demokrasi tidak ada, kalangan intelektual dibelenggu, pers di daerah di
bungkam, KKN dan pelanggaran HAM terjadi di mana-mana . Secara garis besar ada lima keburukan
Orde Baru, yaitu: kekuasaan pemerintah yang absolut, rendahnya transparansi pengelolaan negara,
lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat, hukum yang diskriminatif, dan dan lemahnya perlindungan
HAM.

a. kekuasaan pemerintah yang absolut

Suharto, presiden Republik Indonesia ke-2, menduduki tahta kepresidenan Indonesia selama 32 tahun.
Itu berarti, Suharto telah memenangkan sekitar enam kali pemilihan umum (Pemilu). Pada waktu itu,
kekuasaan Suharto didukung oleh partai Golongan Karya yang dibayang-bayangi oleh Partai Demokasi
Indonesia dan Partai Persatuan Pembangunan. Tampak jelas dalam pemerintahan Suharto di mana
pemerintahan dijalankan secara absolut. Presiden Suharto mengkondisikan kehidupan politik yang
sentralistik untuk melanggengkan kekuasaan. Salah satu hak sebagai warga negara untuk mendapatkan
kedudukan dalam pemerintahan menjadi hak yang sulit didapatkan tanpa melakukan kolusi dan
nepotisme.
b. rendahnya transparansi pengelolaan

Rendahnya transparansi pengelolaan negara juga menjadi salah satu keburukan pemerintahan Orde
Baru. Transparansi merupakan bentuk kredibilitas dan akuntabilitasnya. Suatu undang-undang tidak
mengikat jika tidak diundangkan melalui lembaran negara. Suatu sidang pengadilan dianggap tidak sah
apabila tidak dibuka untuk umum. Penelitian yang dilakukan oleh lembaga peneliti yang menyangkut
kepentingan masyarakat harus dipublikasikan. Pada masa Orde Baru, hak penyiaran dikekang. Berita-
berita televisi dan surat kabar tidak boleh membicarakan keburukan-keburukan pemerintahan, kritik
terhadap pemerintah, dan berita-berita yang dapat mengganggu stabilitas dan keamanan nasional.

Keuangan negara juga menjadi rahasia internal pemerintahan. Hutang negara menjadi terbuka jelas pun
saat krisis dunia melanda. Indonesia tidak mampu membayar hutang luar negeri yang bertumpuk-
tumpuk. Lebih dari itu, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika yang menurun tajam memaksa
perusahaan-perusahaan memecat sebagian karyawannya untuk mengurangi biaya produksi. Bahkan,
banyak perusahaan tumbang dan gulung tikar karena negara tidak mampu membayar hutang luar
negeri. Bila dirunut lebih dalam, semua itu berakar dari rendahnya transparasi pemerintah terhadap
masyarakat.

c. Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat

Lemahnya fungsi lembaga perwakilan rakyat menjadi salah satu keburukan Orde Baru. Dewan
Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat menjadi semacam boneka yang dikendalikan
oleh pemimpin negara. Dalam hal ini, aspirasi-aspirasi dan keinginan rakyat tidak mampu diwujudkan
oleh pemerintah. Program-program pemerintah seperti LKMD, Inpres desa tertinggal, dan seterusnya,
menjadi semacam program penjinakan yang dilakukan oleh penguasa agar rakyat miskin tidak berteriak
menuntut hak-hak mereka.

d. Hukum yang diskriminatif

Hukum yang diskriminatif menjadi keburukan Orde Baru selanjutnya. Hukum hanya berlaku bagi
masyarakat biasa atau masyarakat menengah ke bawah. Pejabat dan kelas atas menjadi golongan yang
kebal hukum. Hak masyarakat untuk mendapatkan perlakukan yang sama di depan hukum menjadi hal
yang sangat langka. Hak asasi sosial dilanggar oleh pemerintah.

Beberapa kekurangan sistem orde baru dapat dirangkum dengan enam poin, yaitu:

semaraknya korupsi, kolusi, nepotisme,


pembangunan Indonesia yang tidak merata dan timbulnya kesenjangan pembangunan antara pusat
dan daerah, sebagian disebabkan karena kekayaan daerah sebagian besar disedot ke pusat,

munculnya rasa ketidakpuasan di sejumlah daerah karena kesenjangan pembangunan, terutama di


Aceh dan Papua,

kecemburuan antara penduduk setempat dengan para transmigran yang memperoleh tunjangan
pemerintah yang cukup besar pada tahun-tahun pertamanya,

bertambahnya kesenjangan sosial (perbedaan pendapatan yang tidak merata bagi si kaya dan si
miskin),

kritik dibungkam dan oposisi diharamkan,

kebebasan pers sangat terbatas, diwarnai oleh banyak koran dan majalah yang dibreidel,

penggunaan kekerasan untuk menciptakan keamanan, antara lain dengan program "Penembakan
Misterius" (petrus), dan

tidak ada rencana suksesi (penurunan kekuasaan ke pemerintah/presiden selanjutnya).

Perlindungan HAM dalam Orde Baru memang dirasa masih lemah. Berita mengenai penembakan
misterius terhadap musuh-musuh negara ----termasuk teroris, menjadi catatan hitam Orde Baru.
Diskriminasi terhadap hak-hak asasi kaum minoritas dan Chinese pun menjadi pelanggaran HAM yang
tidak bisa dilupakan. Meski demikian, Orde Baru memperlihatkan peran yang besar untuk menjaga
stabilitas nasional. Stabilitas nasional ini memungkinkan negara untuk menjaga terlaksananya
pelaksanaan perlindungan HAM bagi masyarakat.

Periode Reformasi

Penyebab utama runtuhnya kekuasaan Orde Baru adalah adanya krisis moneter tahun 1997 . Sejak
tahun 1997 kondisi ekonomi Indonesia terus memburuk seiring dengan krisis keuangan yang melanda
Asia. Keadaan terus memburuk. KKN semakin merajalela, sementara kemiskinan rakyat terus meningkat.
Terjadinya ketimpangan sosial yang sangat mencolok menyebabkan munculnya kerusuhan sosial.
Muncul demonstrasi yang digerakkan oleh mahasiswa. Tuntutan utama kaum demonstran adalah
perbaikan ekonomi dan reformasi total.

Periode Reformasi diawali dengan pelengseran Soeharto dari kursi Presiden Indonesia oleh gerakan
reformasi. Pada tanggal 21 Mei 1998 Presiden Soeharto mengundurkan diri dari jabatannya sebagai
presiden RI dan menyerahkan jabatannya kepada wakil presiden B.J. Habibie. Peristiwa ini menandai
berakhirnya kekuasaan Orde Baru dan dimulainya Orde Reformasi.
Penegakan HAM pada Masa Reformasi

Orde reformasi membawa banyak perubahan ke arah yang lebih baik. Beberapa perubahan positif yang
dibawa oleh reformasi pada periode jabatan presiden B.J. Habibie adalah:

a. Kebijakan dalam bidang politik

Reformasi dalam bidang politik berhasil mengganti lima paket undang-undang masa Orde Baru dengan
tiga undang-undang politik yang lebih demokratis. Berikut ini tiga undang-undang tersebut.

• UU No. 2 Tahun 1999 tentang Partai Politik.

• UU No. 3 Tahun 1999 tentang Pemilihan Umum.

• UU No. 4 Tahun 1999 tentang Susunan dan Kedudukan DPR/MPR.

Kebijakan dalam bidang politik ini membawa pengaruh pada tata politik yang adil. Hak warga negara
untuk mendapatkan kedudukan di bidang politik dan pemerintahan menjadi terbuka. DPR dan MPR
mulai berfungsi dengan baik sebagai aspirasi rakyat untuk memperoleh hak-hak mereka.

b. Kebijakan dalam bidang ekonomi

Untuk memperbaiki perekonomian yang terpuruk, terutama dalam sektor perbankan, pemerintah
membentuk Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Selanjutnya pemerintah mengeluarkan UU
No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Tidak Sehat, serta UU No. 8 Tahun
1999 tentang Perlindungan Konsumen. Perbankan menjadi sektor yang penting untuk menjaga stabilitas
ekonomi. Masalah utang negara dan inflasi menyebabkan masyarakat tidak berdaya untuk memperoleh
kehidupan yang layak. Bank Indonesia menjadi pusat keuangan negara untuk mengatur aliran uang demi
stabilitas ekonomi rakyat.

c. Kebebasan menyampaikan pendapat dan pers

Kebebasan menyampaikan pendapat dalam masyarakat mulai terangkat kembali. Hal ini terlihat dari
munculnya partai-partai politik dari berbagai golongan dan ideologi. Masyarakat bisa menyampaikan
kritik secara terbuka kepada pemerintah. Di samping kebebasan dalam menyatakan pendapat,
kebebasan juga diberikan kepada pers. Reformasi dalam pers dilakukan dengan cara menyederhanakan
permohonan Surat Izin Usaha Penerbitan (SIUP). Dengan pers, masyarakat dapat menyerukan aspirasi
mereka. Hak masyarakat untuk mendapatkan informasi secara jelas dan terbuka pun mulai dibuka.

d. Pelaksanaan Pemilu
Pada masa pemerintahan Habibie, berhasil diselenggarakan pemilu multipartai yang damai dan
pemilihan presiden yang demokratis. Pemilu tersebut diikuti oleh 48 partai politik. Keberhasilan lain
masa pemerintahan Habibie adalah penyelesaian masalah Timor Timur. Usaha Fretilin yang memisahkan
diri dari Indonesia mendapat respon. Pemerintah Habibie mengambil kebijakan untuk melakukan jajak
pendapat di Timor Timur. Referendum tersebut dilaksanakan pada tanggal 30 Agustus 1999 di bawah
pengawasan UNAMET. Hasil jajak pendapat tersebut menunjukkan bahwa mayoritas rakyat Timor Timur
lepas dari Indonesia. Sejak saat itu Timor Timur lepas dari Indonesia. Pada tanggal 20 Mei 2002 Timor
Timur mendapat kemerdekaan penuh dengan nama Republik Demokratik Timor Leste dengan
presidennya yang pertama Xanana Gusmao dari Partai Fretilin.

Beberapa Pelanggaran HAM pada Masa Reformasi

Sekalipun terdapat berbagai pembenahan, di masa reformasi masih terjadi banyak pelanggaran HAM.
Dalam beberapa hal, HAM sudah cukup ditegakkan. Tetapi dalam beberapa hal lain, pelanggaran HAM
justru semakin marak setelah masa reformasi berlangsung. Berikut ini adalah beberapa kasus
pelanggaran HAM yang terjadi pada masa reformasi.

a. Kebijakan Yang Anti Rakyat Miskin

Dalam pelaksanaan hak asasi manusia, khususnya hak ekonomi sosial dan budaya, kinerja pemerintah
sangat lemah. Pemahaman aparat pemerintah terhadap hak asasi, baik di lembaga eksekutif – termasuk
aparat penegak hukum maupun di lembaga legislatif menjadi hambatan utama bagi pelaksanaan
instrumen-instrumen HAM internasional yang sudah diratifikasi. Pemahaman yang lemah terhadap hak
asasi manusia, dan lemahnya komitmen untuk menjalankan kewajiban menghormati, melindungi, dan
memenuhi hak telah berdampak pada meluasnya pelanggaran HAM, khususnya terhadap warga yang
lemah secara ekonomi, sosial dan politik. Ini diperparah dengan kebijakan/strategi ekonomi pasar yang
pro-modal kuat yang telah membawa dua dampak di bidang aturan hukum/perundangan. Pertama,
aturan hukum telah diskriminatif terhadap kaum miskin dan secara sistematis menghilangkan hak-hak
dasar kaum miskin; Kedua, diabaikannya/ tidak dijalankannya hukum dan peraturan yang secara
substansial berpihak pada kelompok miskin

b. Meningkatnya Pengangguran dan Masalah Perburuhan

Di antara regulasi yang disusun sepanjang tahun 2000 hingga 2006, paling tidak ada tiga perundang-
undangan yang selama tahun 2007 selalu mewarnai seluruh dinamika perburuhan. Perundang-
undangan itu adalah UUNo 21 tahun 2000 tentang Serikat Buruh, UU No 13 tahun 2003, dan UU No. 2
tahun 2004 yang mengatur tentang PPHI. Ketiga Undang-undang itu kemudian menjadi roh sistem
perburuhan di Indonesia. Melalui UU No 13 tahun 2003, pemerintah mengundang para investor untuk
membuka lapangan kerja dengan mengurangi “perlindungan” terhadap buruh. Tingkat upah yang tinggi
di Indonesia sering dipandang membebani kaum pengusaha sehingga mereka menuntut agar biaya
tersebut ditekan.Alih-alih mengurangi jumlah pengangguran, justru PHK massa dilegalkan. Akibat PHK
tersebut, ribuan buruh ikut menambah jumlah pengangguran. Berdasarkan survey yang dilakukan BPS,
pada bulan Oktober 2005 tingkat pengangguran terbuka diperkirakan mencapai 11,6 juta oarang atau
10,84% dari angkatan kerja yang ada yaitu 106,9 juta orang. Angka ini jauh lebih tinggi 700.000
dibandingkan awal tahun 2005. Kemudian pada Februari 2006 angka pengangguran mencapai 11,10 juta
orang (10,40%). Sementara itu, pada bulan Februari 2007, jumlah pengangguran terbukti tetap masih
tinggi yaitu sekitar 10,55 juta dengan tingkat pengangguran terbukamencapai 9,75%. Hingga
pertengahan tahun 2007, masih ada 60.000 kasus pemutusan hubungan kerja (PHK) yang belum
terselesaikan. Nilai pesangon dari seluruh kasus tersebut mencapai sekitar 500 milyar rupiah. Salah satu
di antaranya adalah kasus PT. Dirgantara Indonesia (PT. DI). Selama kasus belum terselesaikan, agar
tetap hidup, puluhan ribu buruh tersebut kemudian bekerja lagi dengan sistem kerja baru yang
mencekik. Pada tahun 2007 buruh kembali diresahkan dengan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP)
yang menurutnya akan mengatasi berbagai klausul kontroversial dalam undang-undang ketenagakerjaan
tersebut. Paket rancangan tersebut berisi dua judul RPP. Pertama, RPP tentang Perubahan Perhitungan
Uang Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja dan Uang Penggantian Hak. Kedua, RPP tentang Program
Jaminan Pemutusan Hubungan Kerja (RPP Jaminan PHK). Singkatnya, paket-paket RPP tersebut
mengandung arti melestarikan sistem kontrak dan outsorcing dan mempertegas pelegalan PHK. Dengan
demikian perjuangan kaum buruh menuntut hak-hak normatifnya akan semakin jauh dari realitas.

c. Terabaikannya hak-hak dasar rakyat

Rubrik Fokus dalam Harian Kompas membuat deskripsi secara detail mengenai fenomena kemiskinan
paling kontemporer di negeri ini . Ulasan Fokus ini antara lain menyebutkan bahwa pemerintah sudah
semestinya merasa malu! Sudah membangun selama 60 tahun, dibekali wilayah yang sangat luas dan
kaya sumber daya alam, iklim cuaca yang kondusif, tanah yang subur, dan selama puluhan tahun rajin
berutang miliaran dollar AS ke berbagai negara dan lembaga internasional, kok bisa sampai rakyatnya
mengalami busung lapar atau mati kelaparan. Dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia
seperti Malaysia, Thailand, Filipina, dan China, jumlah anak kurang gizi, angka kematian bayi, angka
kematian ibu, anak putus sekolah, tingkat kemiskinan, tingkat pengangguran, tingkat pendapatan,dan
berbagai indikator kesejahteraan lainnya, lebih buruk. Bahkan dibandingkan Vietnam pun Indonesia
kalah. Merebaknya kasus busung lapar dan sejumlah penyakit lain yang diakibatkan oleh kemiskinan,
juga menunjukkan kegagalan pemerintah memenuhi kebutuhan pangan, sandang, dan kesehatan
sebagai hak paling dasar minimum rakyat. Meskipun tidak semua kasus malnutrisi adalah akibat faktor
ekonomi, kasus busung lapar yang mengancam sekitar 1,67 juta atau delapan persen dari total anak
balita di Indonesia diakui terkait erat dengan rendahnya daya beli dan akses masyarakat miskin ke
pangan. Masih tingginya tingkat kelaparan di masyarakat menunjukkan ada yang tidak beres dengan
kebijakan pembangunan. Secara normatif orientasi kebijakan pembangunan memang telah berubah.
Pemenuhan hak dasar rakyat merupakan salah satu komitmen yang tertuang dalam Strategi
Pembangunan Nasional 2004-2005. Namun pada kenyataanya, implementasi kebijakan itu hingga
sekarang sepertinya belum berubah dimana pembangunan masih menekankan pada pertumbuhan
ekonomi, dengan mengabaikan pemerataan dan keadilan.

Anda mungkin juga menyukai