Anda di halaman 1dari 4

a.

Perkembangan HAM di Indonesia

Hak Asasi Manusia adalah seperangkat hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan
manusia sebagai mahluk Tugas Yang Maha Esa dan merupakan anugrah-Nya yang wajib
dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara hukum, Pemerintahan, dan setiap orang
demi kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Di Indonesia, wacana hak
asasi manusia bukanlah wacana yang asing dalam diskursus politik dan ketatanegaraan
bangsa ini. Kita bisa menemuinya dengan gamblang dalam perjalanan sejarah pembentukkan
bangsa ini, di mana perbincangan mengenai hak asasi manusia menjadi bagian daripadanya.

Jauh sebelum kemerdekaan, para perintis bangsa ini telah memercikkan pikiran-pikiran untuk
memperjuangkan harkat dan martabat manusia yang lebih baik. Percikan pikiran tersebut dapat
dibaca dalam surat-surat R.A. Kartini yang berjudul “Habis Gelap Terbitlah Terang”, karangan-
karangan politik yang ditulis oleh H.O.S. Cokroaminoto, Agus Salim, Douwes Dekker, Soewardi
Soeryaningrat, petisi yang dibuat oleh Sutardjo di Volksraad atau pledoi Soekarno yang berjudul
”Indonesia Menggugat” dan Hatta dengan judul ”Indonesia Merdeka” yang dibacakan di depan
pengadilan Hindia Belanda. Percikan-percikan pemikiran pada masa pergerakan kemerdekaan
itu, yang terkristalisasi dengan kemerdekaan Indonesia, menjadi sumber inspirasi ketika
konstitusi mulai diperdebatkan di Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan
Indonesia (BPUPKI). Di sinilah terlihat bahwa para pendiri bangsa ini sudah menyadari
pentingnya hak asasi manusia sebagai fondasi bagi negara.

Sama halnya dengan negara berkembang yang lain, hak asasi menjadi topik pembicaraan di
Indonesia. Pembicaraan ini dilakukan menjelang perumusan Undang-Undang Dasar 1945,
masa Orde Baru dan Reformasi. Pada waktu rancangan naskah UUD dibicarakan, ada
perbedaan pendapat mengenai peran hak asasi dalam negara demokratis. Banyak kalangan
berpendapat bahwa Declaration des Droits de I’Homme et du Citoyen (1789) berdasarkan
individualism dan liberalism, dank arena itu bertentangan dengan asas kekeluargaan dan
gotong royong. Mengenai hal ini Ir. Soekarno menyatakan : “jikalau kita betul-betul hendak
mendasarkan negara kita kepada paham kekeluargaan, paham tolong-menolong, paham
gotong royong, dan keadilan social, enyahkanlah tiap-tiap pikiran, tiap paham individualisme
dan liberalism daipadanya.”

Di pihak lain, Drs. Moh. Hatta mengatakan bahwa walaupun yang dibentuk negara
kekeluargaan, namun perlu ditetapkan beberapa hak warga negara agar jangan timbul negara
kekuasaan (Machtsstaat). Maka pada akhirnya tercapai kesepakatan bahwa hak asasi
dimasukkan dalam UUD 1945, tetapi dalam jumlah terbatas. Perdebatan tersebut tidak berakhir
begitu saja. Diskursus mengenai hak asasi manusia muncul kembali sebagai usaha untuk
mengoreksi kelemahan dalam Undang-Undang Dasar 1945 pada sidang Konstituante (1957-
1959). Sebagaimana terekam dalam Risalah Konstituente, khususnya dari Komisi Hak Asasi
Manusia, perdebatan di sini jauh lebih sengit dibanding dengan perdebatan di BPUPKI.
Berbeda dengan perdebatan awal di BPUPKI, diskusi di Konstituante relatif lebih menerima hak
asasi manusia dalam pengertian natural rights, dan menganggapnya sebagai substansi
Undang-Undang Dasar. Meskipun ada yang melihat dari perspektif agama atau budaya,
perdebatan di Konstituante sebetulnya telah berhasil menyepakati 24 hak asasi manusia yang
akan disusun dalam satu bab pada konstitusi. Namun konstituante dibubarkan oleh Soekarno,
sehingga kesepakatan-keseakatan yang dicapai urung dilakukan, termasuk mengenai Hak
Asasi Manusia.

Setelah rezim Demokrasi Terpimpin Soekarno digulingkan oleh gerakan mahasiswa 1966,
maka lahirlah rezim Orde Baru yang juga memunculkan kembali perdebatan mengenai
perlindungan konstitusionalitas hak asasi manusia. Perdebatan itu muncul pada Sidang Umum
MPRS tahun 1968 di awal Orde Baru. MPRS ketika itu telah membentuk Panitia Ad Hoc
Penyusunan Hak-Hak Asasi Manusia. Hasilnya adalah sebuah “Rancangan Keputusan MPRS
tentang Piagam Hak-Hak Asasi Manusia dan Hak-hak serta Kewajiban Warga Negara”. Tetapi
sayang sekali rancangan tersebut tidak berhasil diajukan ke Sidang Umum MPRS untuk
disahkan sebagai ketetapan MPRS. Alasannya terutama diajukan oleh fraksi Karya
Pembangunan dan ABRI, akan lebih tepat jika Piagam yang penting itu disiapkan oleh MPR
hasil pemilu, bukan oleh MPR(S) yang bersifat “sementara”. Kenyataannya, setelah MPR hasil
pemilu (1971) terbentuk, Rancangan Piagam Hak Asasi Manusia itu tidak pernah diajukan lagi.
Fraksi Karya Pembangunan dan fraksi ABRI tidak pernah mengingat lagi apa yang pernah
mereka putuskan pada Sidang Umum MPRS tahun 1968 tersebut. Sampai akhirnya datang
gelombang besar “Reformasi”, yang melengserkan Soeharto dari kursi Presiden Indonesia (Mei,
1998) dan membuka babak baru wacana hak asasi manusia di Indonesia.

b. Hak Asasi Manusia Dalam Era Reformasi

Runtuhnya rezim orde baru berarti memasuki era reformasi bagi bangsa Indonesia. B.J. Habibie
yang menggantikan Soeharto sebagai presiden RI tidak punya pilihan lain selain memenuhi
tuntutan reformasi, yaitu membuka sistem politik yang selama ini tertutup, menjamin
perlindungan hak asasi manusia, menghentikan korupsi, kolusi dan nepotisme, menghapus dwi-
fungsi ABRI, mengadakan pemilu, membebaskan narapidana politik, dan sebagainya. Pada
periode reformasi ini muncul kembali perdebatan mengenai konstitusionalitas perlindungan hak
asasi manusia. Perdebatan bukan lagi soal-soal konseptual berkenaan dengan teori hak asasi
manusia, tetapi pada soal basis hukumnya, apakah ditetapkan melalui TAP MPR atau
dimasukkan dalam UUD. Karena kuatnya tuntutan dari kelompok-kelompok reformasi ketika itu,
maka perdebatan bermuara pada lahirnya Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak
Asasi Manusia. Isinya bukan hanya memuat Piagam Hak Asasi Manusia, tetapi juga memuat
amanat kepada presiden dan lembaga-lembaga tinggi negara untuk memajukan perlindungan
hak asasi manusia, termasuk mengamanatkan untuk meratifikasi instrumen-instrumen
internasional hak asasi manusia.

Hasil pemilihan umum 1999 berhasil mengangkat K.H. Abdurrachman Wahid sebagai presiden,
mereka juga berhasil menggulirkan terus isu amandemen Undang-Undang Dasar 1945. Pada
Sidang Tahunan MPR tahun 2000, perjuangan untuk memasukkan perlindungan hak asasi
manusia ke dalam Undang-Undang Dasar akhirnya berhasil dicapai. Majelis Permusyawaratan
Rakyat sepakat memasukan hak asasi manusia ke dalam Bab XA, yang berisi 10 Pasal Hak
Asasi Manusia (dari pasal 28A-28J) pada Amandemen Kedua Undang-Undang Dasar 1945
yang ditetapkan pada 18 Agustus 2000.

Amandemen Kedua tentang Hak Asasi Manusia merupakan prestasi gemilang yang dicapai
Majelis Permusyawaratan Rakyat pasca Orde Baru. Amandemen Kedua itu telah mengakhiri
perjalanan panjang bangsa ini dalam memperjuangkan perlindungan konstitusionalitas hak
asasi manusia di dalam Undang-Undang Dasar. Mulai dari awal penyusunan Undang-Undang
Dasar pada tahun 1945, Konstituante (1957-1959), awal Orde Baru (1968) dan berakhir pada
masa reformasi saat ini merupakan perjalanan panjang diskursus hak asasi manusia dalam
sejarah politik-hukum Indonesia sekaligus menjadi bukti bahwa betapa menyesatkan
pandangan yang menyatakan hak asasi manusia tidak dikenal dalam budaya Indonesia.

Selain keberhasilan memasukkan Hak Asasi Manusia ke dalam Undang-Undang Dasar,


pemerintah era reformasi juga berhasil merumuskan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999
tentang Hak Asasi Manusia. Undang-Undang tersebut dilahirkan sebagai turunan dari
Ketetapan MPR No. XVII/MPR/1998 tentang Hak Asasi Manusia.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia memuat pengakuan yang
luas terhadap hak asasi manusia. Hak-hak yang dijamin di dalamnya mencakup mulai dari
pengakuan terhadap hak-hak sipil dan politik, hak-hak ekonomi, sosial dan budaya, hingga
pada pengakuan terhadap hak-hak kelompok seperti anak, perempuan dan masyarakat adat
(indigenous people).

Penambahan rumusan HAM serta jaminan penghormatan, perlindungan, pelaksanaan, dan


pemajuannya ke dalam Undang-Undang Dasar 1945 bukan semata-mata karena kehendak
untuk mengakomodasi perkembangan pandangan mengenai HAM yang makin menganggap
penting HAM sebagai isu global, melainkan karena hal itu merupakan salah satu syarat negara
hukum. Dalam UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM pasal 2 dinyatakan Negara Republik
Indonesia mengakui dan menjunjung tinggi hak asasi manusia dan kebebasan dasar manusia
sebagai hak yang secara kodrati melekat pada dan tidak terpisahkan dari manusia, yang harus
dilindungi, dihormati, dan ditegakkan demi peringatan martabat kemanusiaan, kesejahteraan,
kebahagiaan, dan kecerdasan serta keadilan.

Dengan adanya rumusan HAM dalam Undang-Undang Dasar 1945, maka secara konstitusional
hak asasi setiap warga negara dan penduduk Indonesia telah dijamin. Dalam hubungan
tersebut, bangsa Indonesia berpandangan bahwa HAM harus memperhatikan karakteristik
Indonesia dan sebuah hak asasi juga harus diimbangi dengan kewajiban sehingga diharapkan
akan tercipta saling menghargai dan menghormati akan hak asasi tiap-tiap pihak

HAM menurut UUD 1945:

 Hak akan warga negara, pasal 26 UUD 1945 “yang menjadi warga negara ialah orang-
orang bangsa Indonesia asli dan orang-orang bangsa lain yang disahkan dengan
undang sebagai warga negara (ayat 1), dan syarat-syarat yang mengenai
kewarganegaraan ditetapkan dengan undang-undang
 Pasal 27 tentang persamaa dalam hukum dan penghidupan yang layak bagi
kemnusiaan.7 Pasal 27 ayat (1) telah menetapkan bahwa segala warga negara
bersamaa kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjujung
hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya. Pasal 27 ayat (2) telah
menetapkan pula bahwa tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan
penghidupan yang layak bagi kemanusiaan
 Pasal 28 UUD 1945 menyatakan dengan tegas tentang kemerdekaan berserikat dan
berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya dijamin oleh
Pemerintah dan Peamerintah akan mengundangkan Undang-undang yang akan
mengaturnya
 Pasal 29 UUD 1945 dalam ayat (2) dengan tegas menyatakan bahwa Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu
 Pasal 30 UUD 1945 dalam pasal ini dinyatakan bahwa tiap-tiap warga negara berhak
dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara, yang syarat-syaratnya diatur
dengan Undang-undang
 Pasal 31 UUD 1945 menegaskan tentang hak-hak asasi di bidang pendidikan, bahwa
tiap-tiap warga negara berhak mendapat pengajaran, yang untuk itu maka Pemerintah
mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pengajara nasional yang diatur
dengan Undang-undang
 Tentang Hak Ekonomi di atur dalam pasal 33 UUD 1945 yang dengan tegas
menyatakan, perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas
kekeluargaan, cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai
hayat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara, Bumi dan air dan kekayaan alam dan
yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-
besarnya kemakmuran rakyat
 Pasal 34 UUD 1945 tentang kesejahteraan sosial, fakir miskin dan anak terlantar
dipelihara oleh Negara
 Hak akan kebebasan dan kemandirian peradilan, yang termuat dalam penjelasan pasal
24 dan 25 UUD 1945 “ kekuasaan kehakiman ialah kekuasaan yang merdeka artinya
terlepas dari pengaruh kekuasaan pemerintah. Berhubungan dengan itu, harus
diadakan jaminan dalam undang-undang tentang kedudukan para hakim
 Hak mempertahanka bahasa daerah, yang termuat dalam penjelasan pasal 36 UUD
1945, “di daerah-daerah yang mempunyai bahasa sendiri yang dipelihara oleh rakyat
dengan baik-baik bahasa-bahasa itu akan dihormati da dipelihara juga oleh negara.
Bahasa-bahasa itu pun merupaka sebagian dari kebudayaan Indonesia yang hidup

Anda mungkin juga menyukai