Anda di halaman 1dari 81

PERJALANAN

JURNALISTIK DALAM
SAFARI DA'WAH KE
MENTAWAI

Kegiatan Masyarakat Islam Kepulauan Mentawai


Pengakuan Sagerebug
Perjuangan Da’i Mentawai
Da'wah Islam ke Kepulauan Mentawai
Juru Da'wah di Mentawai
Bersama DDII ke Sipora
Dari misi DDII di Mentawai
Penduduk Lama Tinggalkan Kebiasaan Lama dan Pilih Islam
Ide Pak Natsir dan Harun Zain Terus Digalakkan Bangun
Mentawai
Bersama DDII dan BAZIZ PT Semen Padang ke Sipora
Menyokong Kiprah DDII
Nasib Guru Memprihatinkan
Pondok Pesantren HAMKA Maninjau Tampung 15 Anak Asal
Mentawai
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

264
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

KEGIATAN MASYARAKAT ISLAM DI


KEPULAUAN MENTAWAI1)

Kegiatan masyarakat Islam di Kepulauan Mentawai makin


semarak. Setidak-tidaknya kenyataan ini terlihat dari berbagai
kegiatan keislaman yang diselenggarakan seperti di Kecamatan
Siberut Selatan. Peristiwa bersejarah bagi masyarakat Islam seperti
Isra Mi’raj Nabi Muhammad SAW juga diperingati masyarakat
setempat pada tanggal 23 Pebruari 1990 di masjid Al-Wahidin
Muara Siberut.
Bukan sekedar peringatan Isra’ Mi’raj Nabi Muhammad
SAW dengan penceramah Drs. Erman Darwis guru agama SMPN
setempat, yang menarik malah kekompakan masyarakat Islam di
sini yang cukup diperhitungkan di mana telah dilangsungkan
pula lelang makanan mencari dana pembangunan rumah ibadah
masjid Al Wahidin. Dengan lelang singgang ayam nasi kunyit
enam buah, 11 kue lapis dan 40 potong kue bolu sumbangan
wanita Islam setempat pada malam peringatan Isra’ Mi’raj itu
1)
Penuntun Amal Bakti, April 1990

265
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

mampu mengumpulkan swadaya masyarakat Rp. 786.000.-


Abdul Hadi A. Roni, BA, selaku ketua pembangunan masjid Al
Wahidin, menyatakan dana yang telah terkumpul sudah
mencapai Rp. 34 juta, belum termasuk swadaya masyarakat
berupa pengangkutan pasir dan kerikil.
Sehari sebelumnya, di lokasi ini berlangsung lomba adzan,
pidato dan MTQ yang diikuti oleh pelajar SMP Negeri Muara
Siberut. Tujuannya tidak lain untuk menanamkan aqidah
Islamiyah kepada generasi muda harapan bangsa masa datang.
Hal yang menarik lainnya terjadi di Desa Saliguma. Di sini pada
25 Pebruari 1990, telah dilakukan khitanan masal diikuti oleh 20
anak-anak/dewasa muallaf. Di antara muallaf yang dikhitan
adalah Ahmad Jiroi sebagai Kepala Desa dan Nurkata sebagai
Ketua Muallaf Saliguma. Menurut Kepala KUA Kecamatan
Siberut Selatan Abdul Hadi A. Roni, BA, kegiatan khitanan masal
ini terlaksana berkat kerja sama DDII Pembantu Perwakilan
Padang, Yayasan Rumah Sakit Islam Ibnu Sina, Mahasisiwa
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas Padang, Puskesmas,
alim ulama serta pemuka masyarakat setempat.
Kendati jumlah juru da'wah itu sangat terbatas, namun
mereka tetap bersatu padu. Keterpaduan ini terlihat pula dengan
lahirnya Pengurus DDII Sub-Pembantu Perwakilan Padang di
Muara Siberut. Di kediaman Abdul Hadi A. Roni, BA, pada
tanggal 27 Pebruari 1990 berhasil dibentuk kepengurusan DDII
Sub-Pembantu Perwakilan Padang di Muara Siberut. Muspika
dan Kepala KUA Siberut Selatan serta Kepala Desa Siberut
sebagai pelindung/penasehat. Ketua Abdul Hadi A. Roni, BA,
Wakil Ketua Syarifuddin dan dilengkapi sekretaris, wakil,
bendahara dan pembantu- pembantu lainnya.
DDII dibentuk sebagai wadah penyalur bantuan, infaq dan
sadaqah kaum Muslimin dari Tanah Tepi maupun yang di rantau
untuk muallaf yang ada, di samping membangun rumah ibadah
baru. Masyarakat setempat juga telah menerima bantuan tahap
kedua dari Pimpinan Yayasan Sosial dan Wakaf Al Ishlah Jakarta

266
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

melalui H. Faruq Sanusi Medan, Sumut sebanyak Rp. 5 juta


tahun 1989. H. Faruq juga telah menyumbang Rp. 180.000 untuk
membangun asrama pelajar muallaf di Muara Siberut. Di samping
itu diterima bantuan dua set amplifier lengkap dengan akki dari
Yayasan Ibu Sumatera Barat, dua jam dinding, 14 lembar kain
mukenah dan tiga drum minyak tanah melalui Ketua DDII
Pembantu Perwakilan Padang Bapak Mas’oed Abidin.
Dengan hanya bermodalkan semangat itu, Pengurus DDII
Sub-Pembantu Perwakilan Padang Muara Siberut telah
menetapkan programnya untuk jangka panjang, di antaranya
menyelesaikan pembangunan masjid Matotonan sebagai masjid
percontohan bagian selatan Mentawai. Membangun kebun kelapa
kolektif dengan menanam kelapa hibrida di dusun Selapak.
Dengan ketentuan setiap yang menanam satu batang harus pula
menanam satu pohon untuk menunjang kegiatan Islam,
masyarakat juga menyetujuinya dan lahannya pun sudah
tersedia.

Membangun Asrama Pelajar Muallaf di Muara Siberut


Untuk mendukung kegiatan-kegiatan tersebut di atas,
sangat tergantung pada partisipasi dermawan Islam dari Tanah
Tepi serta yang berada di perantauan. Pada awal September 1990,
pemuda-pemuda Sumatera Barat mengadakan pengabdian ke
Kepulauan Mentawai yang dipusatkan di Siberut Selatan.
Kegiatan yang dikoordinir oleh Kantor Wilayah Departemen
Agama Sumatera Barat. Ketika itu Drs. Afrizal Moetwa mewakili
Kantor Wilayah Departemen Agama ke Mentawai membawa 40
judul buku agama dan uang tunai guna kelancaran kegiatan
agama Islam sebanyak Rp. 150.000.-
Di Siberut Selatan sekarang juga telah banyak terbentuk
wirid remaja yang sekaligus mendirikan perpustakaan wirid
remaja di masjid Al-Wahidin. Kegiatan-kegiatan da'wah juga
terus berlangsung berkat kemauan beberapa da’i yang jumlahnya

267
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

cukup dihitung dengan jari, seperti Abdul Hadi A. Rani, BA.,


Sulhatril, BA., Yusran arif, BA., Iskandar, BA., Drs. Herman
Darwis, Aguslan, BA., Mohd. Idris dan Ismail/Alidin. 

268
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

PENGAKUAN SAGEREBUG2)

Pertama-|ama saya mendoakan semoga Bapak (Majalah


SALAM, red.) dalam keadaan sehat walafiat. Saya baru kali ini
membaca SALAM dari wartawan Bapak yang datang ke daerah
kami dan membagi-bagikannya. Saya tertarik dan ingin
menanyakan masalah-masalah tentang agama kepada Bapak.
Nama saya Sagerebug (27 th), setelah masuk Islam
berganti nama menjadi Anwar. Bisa dikatakan sebagai muallaf.
Masuk agama Islam atas kesadaran sendiri. Sekarang (tahun 1990,
red.), sedang belajar bacaan shalat dan langsung shalat, membaca
Al Quran bisa sedikit-sedikit. Sebelum saya masuk Islam, saya
mengikuti adat kebudayaan daerah kami di pedalaman
Mentawai. Badan kami penuh tato, begitu juga kawan-kawan
kami. Sering kami bergantian menusuk-nusukan bahan tato ke
badan.
Saya sering berburu babi di hutan kemudian dijual kepada
orang lain. Kadang-kadang saya memakan daging buruan
2)
Sugianto, Salam, 15 Ramadhan 1412 H no. 30

269
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

tersebut bersama kawan-kawan. Bila saya ingat-ingat kadang-


kadang merasa bersalah dan berdosa. Yang ingin saya tanyakan,
berdosakah kiranya saya shalat sementara di badan melekat tato-
an? Tak mungkin rasanya saya menghilangkannya. Ditusuk saja
sewaktu ditato sakit sekali, bahkan badan panas dingin kurang
lebih satu pekan.
Ada pun bahan tatoan dari arang, kerak tempat memasak
(bila kita memasak dan pancinya hangus itu yang diambil, red.),
kemudian dicampur dengan air tebu, setelah itu ditusuk-tusukan.
Bila sudah lama baru menjadi warna hijau. Bagaimana dengan
jualan daging babi apakah berdosa? Yang jelas itu semua kami
lakukan sewaktu kami belum masuk Islam. Alhamdulillah,
sekarang saya tidak lagi makan daging babi, tapi jualan masih.
Terima kasih sebelumnya atas jawaban Bapak pada kami. 

270
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

PERJUANGAN DA’I MENTAWAI3)

Bagi para da’i, mubaligh di kota-kota besar dalam


melaksanakan tugasnya mungkin serba mudah, baik ekonomi,
dana, transportasi dan yang lainnya. Tapi lain halnya dengan
perjuangan para da’i di Kepulauan Mentawai, tepatnya di
Kecamatan Siberut Selatan. Karena mereka banyak menghadapi
kendala, misalnya perjalanan ke desa yang akan dituju ada
kalanya menghadapi badai, ombak, angin kencang atau
gelombang pasang. Tidak heran perjalanan akan tertunda. Atau
sebaliknya, bila aliran sungai mengering, motor boat yang
ditumpanginya tidak bisa jalan. Selain itu, sedikitnya Rp 10.000,-
uang yang harus dikeluarkan untuk menuju desa binaan.
Oleh karena itu, untuk menyiarkan Islam di kepulauan ini,
memerlukan perjuangan yang penuh dengan keikhlasan,
ketabahan dan kesabaran. Faktor ekonomi para da’i begitu
sederhana sekali, namun semangat menyiarkan Islam tidak akan
kalah dengan da’i di kota. Bagi da’i di Kepulauan Mentawai,

3)
Sugianto, Salam, Ramadhan 1412 H, no. 30

271
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

diperlukan ketabahan dalam memberikan siraman rohani kepada


para muallaf mengingat mereka masih memakan daging babi
yang jelas diharamkan dalam Islam. Memang untuk membimbing
sikap yang sudah mendarah daging sedikit sulit. Untuk
menghentikannya memakan waktu yang cukup serius. Sekalipun
begitu, dengan bimbingan yang rutin dan siraman rohani tentang
Islam, sudah banyak yang meninggalkan kebiasaan makan
daging babi dan mereka mengganti dengan binatang buruan
seperti ayam dan burung.
Sarana transportasi di Desa Mattonang masih sangat sulit.
Namun di desa ini, pembinaan para da’i kepada muallaf sudah
mulai memperlihatkan hasil yang menggembirakan. Para muallaf
sudah mulai belajar shalat dan mengaji dengan baik. Di desa ini
pun sudah ada masjid yang sederhana. Meski sederhana, di
masjid ini sebanyak 150 orang aktif belajar mengaji. Dan
pengajarnya mendapat honorarium dari DDII Sumatera Barat
sebanyak Rp 30.000,- per bulan. Da’i di Desa Mattonang yang
aktif sebanyak dua orang.
Lain halnya dengan da’i Desa Saibi. Ustadz Ja’far
Nasution sudah lima tahun mengabdi di desa ini. Dia adalah
utusan dari Yayasan Baitul Makmur Medan. Di desa ini yang
Muslim belum begitu banyak, baru sekitar 50 orang. Banyak
kendala dalam menyampaikan da'wah tidak menjadikannya
mundur dari tugasnya yang mulia itu.
Sedangkan di Desa Saliguma ummat Islamnya baru
sebanyak 70 KK atau 220 muallaf dan baru ada satu masjid dan
satu mushalla. Di desa ini, kaum missionaris sudah memiliki
gereja dan menyampaikan ajarannya dengan gencar. Karenanya
di desa ini membutuhkan da’i tambahan dan sekolah-sekolah
Islam, seperti ibtidaiyah atau yang lainnya untuk membentengi
ummat Islam dari missi kristenisasi. Sebab di desa ini cuma ada
satu orang da’i. Perjuangan Ustadz Ujang (da’i di sini), memang
cukup berat, namun berkat keyakinan dan kesabarannya ia tetap
berdiri tegak membangun para muallaf di Desa Saliguma. Para

272
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

muallaf mulai berdatangan dan terpaut hatinya untuk memeluk


Islam dengan ikhlas.
Itulah perjuangan para da’i di Kepulauan Mentawai
dengan ketabahan, kesabaran dan keyakinan yang mantap
mereka menyelamatkan ummat Islam dari kegelapan. Gelombang
demi gelombang perjuangan telah mereka kerahkan
semampunya. Tantangan dan ujian serasa berat, masalah
ekonomi, kesehatan dan transportasi, dalam menghadapi
missionaris yang kian merayap dengan sarana dan prasarana
yang lebih lengkap. Namun mereka tetap tegar dengan derap
langkah dan perjuangan yang sama untuk membawa ummat
dalam menemui ridha-Nya. Perjuangan mereka perlu kita
dukung, terlebih dukungan materi yang sangat dibutuhkan
mereka demi lancarnya syi’ar Islam di Kepulauan Mentawai. 

273
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Replianto

DA'WAH ISLAM KE KEPULAUAN


MENTAWAI4)

Upaya keras yang dilakukan Dewan Dakwah Islamiyah


Indonesia (DDII) Perwakilan Sumatera Barat untuk
mengembangkan agama Islam di Kepulauan Mentawai mulai
membuahkan hasil. Buktinya, tidak hanya masyarakat yang ada di
daerah Tanah Tepi saja yang mau menyumbangkan ternak
kurbannya bagi masyarakat Mentawai, tapi pemeluk Islam di
Kepulauan inipun banyak yang menunaikan ibadah itu.
Menurut Ketua DDII Perwakilan Sumbar H. Mas’oed
Abidin menyambut Hari Raya Iedul Adha 1415 Hijriyah, DDII
Perwakilan Sumbar berhasil mengumpulkan 50 peserta kurban
dengan hewan kurbannya 19 ekor sapi. "Jumlah itu tidak termasuk
hewan qurban pesertanya dari Kepulauan Mentawai sendiri, yang
berjumlah tiga ekor sapi dan beberapa ekor kambing", ujarnya pada
Singgalang, Minggu (21/5/95).

4 )
Harian Umum Singgalang, 23 Mei 1995

274
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Di Kepulauan Mentawai, katanya ternak kurban kaum


muslim yang merupakan jemaah beberapa masjid di Padang dan
Bukittinggi serta sejumlah orang yang menamakan dirinya hamba
Allah dari PT. Semen Padang, DDII menyembelih 15 ekor sapi.
Sedangkan lebihnya dipotong di pemukiman transmigrasi Sitiung I
sebanyak satu ekor, Lunang III (I), Lunang Silaut (I) dan kurban
untuk panti asuhan anak yatim piatu Sipisang Palupuah Seekor
pula.
Ke-15 ternak kurban yang diperuntukkan bagi masyarakat
muslim di Kepulauan Mentawai ini, sebut Mas’oed Abidin,
disembelih dan dibagikan pada penduduk di empat kecamatan
yang berada di sana. Pada masyarakat di Kecamatan Siberut Utara,
disembelih lima ekor (4 DDII dan I Masyarakat). Siberut Selatan
enam ternak kurban (5 DDII dan 1 masyarakat). Di kecamatan
Sipora disembelih enam ekor sapi. Dan satu ekor lagi di desa
Papapuat, Kecamatan Sikakap.
Dalam Hari Raya Iedul Adha kali ini, ada satu daerah yang
meski telah banyak penduduk beragama Islam, namun
penyembelihan: ternak kurban baru pertama kali diadakan.
Kegiatan yang banyak menarik minat masyarakat mereka bukan
dari beragama Islam itu, dilakukan di dua daerah yang berlainan
yakni Desa Matotonan Kecamatan Siberut Selatan dan Desa
Pasapuat, Kecamatan Sikakap.
Melihat kenyataan yang dialami rombongan DDII
perwakilan Sumbar pada saat pelaksanaan penyembelihan ternak
kurban ini, H. Mas’oed Abidin beserta rombongan yang lain
semakin yakin bahwa Islam makin berkembang di daerah ini. Hal
ini terbukti dengan pembangunan sebuah masjid sumbangan DDII
Sumbar di Desa Nem-nem Leu Leu. Masjid seluas 15 x 15 meter
dan telah menghabiskan dana sekitar Rp 19 juta tersebut, dibangun
secara gotong royong oleh masyarakat Islam yang ada disana.
"Tidak hanya yang di Desa Mara dan Sagitsi saja yang
datang untuk bergotong royong, penduduk Islam yang di desa
Sipora pun datang memberikan bantuannya", ujar Mas’oed Abidin

275
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

sambil menyebut untuk sampai ke satu desa dari desa lain harus
melakukan penyeberangan sungai dengan motor boat selama dua
jam. "Islam bisa dimasyarakatkan disana, kalau kita mau
menyumbangkan sedikit dana dan waktu kita", ujarnya lagi. 

276
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

JURU DA'WAH DI MENTAWAI5)

Masyrakat asli Kepulauan Mentawai kabupaten Padang


Pariaman, perlu terus digenjot dalam segala segi kehidupan.
Karena sampai saat ini, mereka masih banyak yang hidup
terbelakang. Mereka masih jauh tertinggal jika dibandingkan
dengan saudara-saudara mereka yang tinggal di Tanah Tepi
(Sumatera Barat daratan, red).
Pemerintah sebenarnya sudah berusaha dengan berbagai
program untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat
Mentawai. Dan hasilnya sudah mulai terasa. Sebagai bukti, sudah
cukup banyak di antara penduduk asli yang melanjutkan
pendidikan ke Tanah Tepi, seperti di Padang, Pariaman dan
tempat lainnya, bahkan dalam bidang agama juga sudah banyak
putera-puteri Mentawai yang menamatkan pendidikannya di
berbagai madrasah baik negeri maupun swasta.
Generasi muda Mentawai yang berhasil melanjutkan
pendidikan ke Tanah Tepi kebanyakan mereka berasal dari ibu
5 )
Singgalang, 24 November 1995

277
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

kecamatan dan sekitarnya. Dan kita juga mengetahui bahwa


penduduk yang bermukum sekitar ibu kecamatan boleh
dikatakan sudah sama cara berpikirnya dengan masyarakat
Sumatera Barat daratan.
Yang jadi persoalan adalah masyarakat kepulauan
Mentawai yang tinggal di pedalaman, sekaligus mereka inilah
umumya yang masuk kategori terbelakang.
Untuk menggenjot masyarakat Mentawai terbelakang ini
juga sudah banyak petugas yang diturunkan. ada dari unsur
pemerintahan, seperti dari Departemen Sosial dan instansi terkait
lainnya. Sementara dari pihak swasta tercatat dari organisasi
da'wah, seperti Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII),
Majelis Dakwah Islamiyah (MDI), Muhammadiyah dan organisasi
Islam lainnya.
Kita merasa salut pada juru da'wah yang diterjunkan
organisasi ke-Islaman ini ke Mentawai. Apalagi semua mereka itu
masih tergolong muda-muda. Untuk itu, kepada mereka yang
sudah mengabdi di Mentawai sangat wajar disebut sebagai
“tenaga pejuang”. Tenaga yang rela berjihad pada jalan Allah.
Tenaga muda yang mengabdi di Mentawai sebagai juru
da'wah terus diusahakan oleh induk organisasinya mengabdi
lebih baik, demi meningkatkan rasa keberagamaan masyarakat.
Namun, kita juga perlu memaklumi bahwa untuk membawa
seseorang jadi pemeluk agama Islam juga alang kepalang
sulitnya. apalagi masyarakat yang masih terbelakang.
Bagaimanapun juga kita perlu memberikan dorongan
positif agar tenaga da'wah yang mengabdi di Mentawai tetap
betah membawa masyarakat ke jalan yang benar. Membawa
masyarakat agar jadi pemeluk Islam yang taat. Tapi, kita juga
harus maklum, juru da'wah yang diterjunkan ke Mentawai
adakalanya punya keterbatasan dalam bergerak. Mereka tidak
punya alat transportasi, seperti boat atau sejenisnya untuk
mengunjungi masyarakat. Bahkan kita juga sangat berharap agar

278
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

tenaga da'wah daerah terpencil ini jangan sampai mengeluh


karena minimnya biaya hidup mereka. Untuk itu, sangat wajar
masalah biaya hidup ini termasuk yang selalu jadi perhatian
bersama.
Mereka yang sudah mengabdi di Mentawai sebagai juru
da'wah wajar terus dimotivasi. Dan jangan mereka sampai
diobjekkan oleh organisasi yang mengurusnya. 

279
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Alfian Zainal

BERSAMA DDII KE SIPORA6)

KE MENTAWAI MEMBUAT UTANG

"Bismillahirramanirrahim, pembangunan masjid kita mulai".


Begitu akhir sebuah rapat perencanaan ditutup Ketua
DDII H.Mas’oed Abidin di Sipora, Senin lalu. Pondasi, esok
harinya sudah mulai digali, tetapi tidak sesenpun uang yang ada,
"Bahkan tidak se-sen dibelah tujuh pun", kata Mas’oed.
Lalu bagaimana membangun masjid permanen, lengkap
dengan tempat wudhuk, tempat mandi dan WC?
Aneh, tetapi itu telah dilakukan. Dua masjid berwarna
hijau di Desa Mara dan Nem-nem Leleu telah berdiri. Lantainya
marmer, sangat kokoh dan megah, bersih, bahkan dibanding
banyak masjid di daerah lain sekalipun. Sangat kontras dengan
bangunan lain di sekelilingnya yang umumnya hanya rumah-

6 )
Singgalang 26 - 29 November 1995

280
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

rumah penduduk yang berdinding rumbia (sebahagian kecil


papan), tadir dan beratap rumbia.
Modal membangun masjid itu hanya air mata dan utang.
Caranya, bahan-bahan bangunan yang dibutuhkan dikirim dari
Padang dengan cara berutang dengan toko bahan bangunan.
Utang itulah yang disodorkan kepada jemaah di seluruh Sumbar
sehingga ketika masjid selesai, utang pun lunas. "Dengan cara
begini, para dermawan kita semakin yakin dengan apa yang kita
lakukan", kata Mas’oed.
Mas’oed melihat bahwa masjid akan menjadi basis untuk
jangka panjang, terutama sekali untuk pendidikan agama anak-
anak, "Kita membangun masjid untuk generasi Mentawai. Untuk
sepuluh dan dua puluh tahun yang akan datang, "lanjut Mas’oed.
"Selain itu, kita ingin memberikan gambaran kepada jemaah
bahwa apa yang kita niatkan untuk ummat tidak sederhana",
lanjutnya.
Karena itu pulalah Mas’oed mengakui, setiap ke
Mentawai, untuk membuat utang. Suatu ketika kedatangan
Mas’oed didampingi oleh H.Zulkarnain Dt. Sati, pemilik toko
bangunan yang mau mengutangkan bahan sampai jutaan tanpa
menaikkan satu sen pun harga dari harga pasar, "Wah,
dikampung saya saja tidak smgagah ini masjidnya", kata
Zulkarnain.
Sisi lain, menurut pengamatan, Singgalang, konsep basis
ini mengingatkan kepada fungsi surau pada budaya Minang
sebelumnya. Para remaja Islam dan anak-anak dengan sendirinya
akan semakin betah tidur di masjid dibandingkan rumah sendiri.
Selain lebih nyaman dan wah, kebiasaan hidup bersih juga
ditanamkan sejak dini dengan fasilitas yang tersedia. Para da’i
akan menjadi guru yang intens memperhatikan perkembangan
anak didiknya.
Begitulah membangun masjid di Mentawai.
Merencanakannya tidak sampai dua jam, tanpa proposal dan .....

281
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

tanpa uang, tentunya. Bahkan, para tukang yang mengerjakan


masjid juga tidak di datangkan dari Padang, tetapi dari daerah itu
sendiri. Tujuannya, setiap masjid selesai, tukang baru akan lahir,
karena para remaja yang ikut gotong royong di masjid itu
mendapat ilmu pertukangan. Tukang juga diberikan kebebasan
penuh untuk merencanakan, membuat model sendiri dan
mengerjakannya. "Kita hanya datang ketika akan meresmikan
saja", kata Mas’oed.
Dalam kunjungan Senin lalu, dua masjid juga
direncanakan. Satu di Desa Taraet dan satu lagi di Dusun Sagetsi
dengan ukuran 12 x 12 meter.

MENTAWAI TETAP TERTINGGAL

Meskipun metode mendirikan masjid di Mentawai yang


dilakukan DDII cukup menarik, tetapi sebenarnya masih banyak
persoalan yang mendasar dan cukup menghantui di Mentawai
secara umum. Terutama sekali menyangkut kemiskinan
penduduk yang jelas tidak mungkin bisa diselesaikan oleh DDII
saja. Selama ini, melihat daerah tersebut sebagai “objek” dan tidak
pragmatis.
Persepsi yang buruk tentang Mentawai kadang terasa
berlebihan. Bayangan yang beredar, Mentawai adalah daerah
terbelakang dengan penduduk yang ganas dan liar, miskin
bahkan hanya pakai cawat. Mentawai dilihat sebagai daerah
dengan tato sekujur badan kemudian mengadakan ritus seperti
masyarakat primitif. "Mentawai yang ada dalam benak saya
sungguh berbeda apa yang saya lihat," kata Zulkarnain yang
untuk pertama kalinya ke Mentawai.

282
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Padahal, seperti pengamatan Singgalang di berbagai desa


di Sipora, keramahan masyarakat justru sangat menonjol, tidak
hanya yang beragama Islam. Menyapa dengan ramah menjadi
kebiasaan, termasuk ketika berpapasan sampan di laut misalnya.
Kecuali masyarakat yang miskin, generasi Mentawai
memperlihatkan kecerdasan yang tinggi. Bahkan, kata Mas’oed,
ada penelitian yang menunjukkan bahwa IQ rata-rata masyarakat
Mentawai lebih tinggi dari rata-rata masyarakat Sumbar. Soalnya
mereka tiap hari mengkonsumsi ikan.
Kebiasaan masyarakat yang memelihara babi, misalnya,
sebenarnya bisa diganti dengan ternak lain, seperti kambing atau
sapi. Hal ini pernah terungkap pada seminar tentang Mentawai.
Tetapi tetap terbentur saja kepada: tidak banyak yang mau ke
Mentawai untuk memulai seperti yang dilakukan DDII atau
Muhammadiyah. Bahkan para pejabat sendiripun
memperlihatkan keengganan mereka ke Mentawai, padahal
perjalanan ke Sipora dengan KM. Kuda Laut hanya 3,5 jam dari
Bungus. Bahkan setiap hari Rabu ada rute penerbangan Tabing-
Rokot dengan waktu tempuh 45 menit dan biaya Rp. 30.000 per
orang.
Hanya kalian yang akan membuat Mentawai maju. Orang
lain boleh mengambil apa saja dari Mentawai ini, tetapi jangan
gadaikan diri sendiri", kata Mas’oed sambil menahan air
matanya, kepada 47 siswa MTsN Padusunan (Filial) di Sioban.
Mas’oed bisa jadi benar.
Mentawai atau may ta owu yang berarti datanglah ke sini
adalah panggilan. Mungkin undangan untuk sekedar
menyaksikan gubuk-gubuk yng dibawahnya ada kandang babi
hutan. Atau menyaksikan hutan-hutan mereka yang semakin
dijarah sementara sebahagian besar dari 56 ribu jiwa tetap miskin.
May ta owu. Tetapi siapa yang peduli?

283
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

PARA DA’I MENENTANG MAUT

"Alhamdulillah, Ustadz, Babi saya melahirkan anak


sembilan ekor".
Pernyataan aneh, tetapi begitulah kenyataanya. Sang
ustadz itupun terpaksa mengurut dada menanggapi pernyataan
mualaf yang masih lugu itu.
Hal yang demikian adalah keseharian yang dihadapi
seorang ustadz di Mentawai. Meskipun ia mempunyai jama'ah,
tetapi memelihara babi hutan bahkan memakannya tidak bisa
dihindarkan. "Memelihara babi merupakan nilai kehormatan bagi
orang Mentawai. Almarhum Abang saya yang Islam bahkan
punya sebuah bukit tempat memelihara babi di Sipora ini", kata
Zulkifli, ustadz pertama di Mentawai yang berasal dari
penduduk asli Mentawai.
Bagaimana meyakinkan ummat bahwa babi sesuatu yang
haram dan dilarang agama, di Mentawai memang membutuhkan
kesadaran bagi seorang ustadz disana. Di Desa Nem-Nem Kec.
Sipora, misalnya ada mualaf yang ngotot tidak mau menjual
babinya, meskipun telah dibujuk dengan bermacam cara. Bahkan,
kandang babi yang kotor itu ada yang terletak hanya belasan
meter dari masjid.
Menjadi da’i di Mentawai memang tidak semudah
menjadi da’i di Padang atau Bukittinggi misalnya, yang cukup
mengatur jadwal kunjungan ke masjid-masjid, mushalla dan
diundang pada acara syukuran. Kemudian da’i memberikan
ceramah di mimbar dengan sebuah keyakinan bahwa jemaah
mengerti dengan pengajiannya.
Tetapi Mentawai? Para da’i boleh dikatakan setiap hari
bergelut dengan maut. Bayangkan mereka harus menerjang
gelombang Samudera Indonesia berjam-jam dengan sebuah boat
atau biduk kecil. Tidak sekali dua mereka dibalikkan ombak atau

284
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

melawan badai. Bahkan, seperti Mukhiar misalnya, harus


berenang menyusuri bagantoinan (sungai) karena tidak ada
tumpangan atau sampan yang lewat. Capek berenang,
bergantung sebentar di akar nipah, kemudian berenang lagi.
Atau, seperti Ilsyam Suprianto yang baru menjadi muslim
Juni 1995 lalu bahkan belum dikhitan harus berjalan kaki selama
12 jam dari Desa Matobek ke Dusun Taraet Desa Betumonga
melewati hutan. Taraet terletak di pantai barat Pulau Sipora yang
luasnya 916 km² itu, sementara Matobek berada di Pantai Timur,
"Kalau dengan biduk tidak mungkin, ombaknya saja lebih tinggi
dari kapal", kata guru SD ini.
Yang patut pula dicatat dari perjuangan mereka, muallaf
da’i ini bukan memberi ceramah di masjid-masjid seperti di
daerah lain di Sumbar dengan puluhan jemaah. Mereka
mengunjungi jemaah ke gubuk-gubuk tempat tinggalnya, karena
masjid permanen boleh dikatakan barang langka dan baru
dimulai pembangunannya dua tahun terakhir di daerah-daerah
terpencil dan baru dimasuki Islam. Di gubuk itulah, para da’i
memberikan pengetahuan yang tidak sekedar ceramah. "Kalau
ber-wudhuk harus dijelaskan dengan contoh, tidak bisa dengan
teori belaka", kata Ketua DDII (Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia) H. Mas’oed Abidin kepada Singgalang, Senin
(20/11/95) ketika berkunjung ke Sipora selama tiga hari.
Didampingi H.Mawardi, H. Najib Adnan (da’i pertama di
Mentawai), H.Zulkarnain Dt. Sati dan Ade Zulkarnain, seorang
santri di salah satu pesantren terkemuka di Padang Panjang.
Selain itu, para da’i memang harus rutin menemui
jemaahnya karena kebiasaan dan adat yang mudah terpengaruh
dan masih labil itu. Salah satunya, ya makan babi itu. Bahkan,
kata salah seorang ustadz, ada penduduk setempat tamat PGA di
Padang, sampai di Mentawai, kembali kepada kebiasaan makan
babi dan minum tuak 7).
7 )
Sebenarnya minum tuak bukanlah kebiasaan orang-orang Mentawai masa
dulu, karena di Mentawai tidak dikenal produksi minuman keras (nira, air kelapa

285
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Sipora yang terdiri dari 10 desa, delapan termasuk IDT


yang tiap desanya berjauhan. Bahkan antar dusun dalam satu
desa saja bisa memakan waktu 30 menit bila ditempuh dengan
boat. Seperti dusun Sagetsi yang masih wilayah Desa Nem-nem.
Untungnya sekarang di Kec. Sipora sudah ada 15 da'i,
sementara di keseluruhan. Mentawai jumlahnya 69 da’i yang
masih muda-muda. Antar mereka juga sangat kompak dan
terkoordinasi dibawah Bakor Dakwah yang dipimpin oleh Drs.
Maryulis dan da’i senior Zulkifli. Tidak jarang mereka membawa
jemaah untuk berkumpul ke desa lain untuk bergotong royong
atau mengadakan kegiatan bersama.

Bapak Angkat
Tentu saja para da’i tersebut tidak dapat gaji apapun dari
jemaah, karena mereka umumnya sangat miskin. Namun yang
menarik mereka mendapat honor dari Padang dengan sistem
bapak angkat yang jumlahnya sekitar Rp. 60.000 sampai Rp.
75.000 per bulan. Pola seperti ini dilakukan oleh DDII yang
berusaha melobi kelompok-kelompok Bazis di PT. Semen Padang,
Bank BNI, perbankan atau para dermawan. Mereka diminta
untuk mengirimkan wesel langsung kepada da’i yang menjadi
anak angkat dermawan itu, rutin setiap bulan. DDII, kata
Mas’oed yang paling mudah menangis di Mentawai itu, hanya
memberi daftar nama kepada mereka. "Bahkan ada wesel yang
yang berasal dari Hamba Allah" yang hanya saya saja yang tahu
orangnya", kata Mas’oed.
Sebuah sisi dari kehidupan Mentawai yang begitu,
“berjarak” dari Padang ini memang terasa pada da’i yang lugu,
sederhana namun sangat lincah dan nekat ini. Satu-satunya
jawaban yang keluar dari mulut mereka ketika ditanya kenapa
mau begitu, jawabannya adalah, "Kami ingin berjihad". Bahkan

fermentasi) dan sejenisnya. Minum tuak (minuman keras) adalah kebiasaan yang
datang dari luar, salah satu pengaruh globalisasi negatif

286
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

diantara mereka kadang berasal dari keluarga Protestan dan


sebahagian keluarganya beragama Kristen. Dua orang saudara
Hesto, 32 misalnya, beragama Kristen. Atau M. Sahal 23, yang
bersaudara tujuh orang, empat kristen dan ayahnya baru masuk
Islam tiga bulan yang lalu. Bahkan Ilsyam adalah satu-satunya
yang Islam dari seluruh keluarganya. Kakaknya, Melky, justru
ketua keluarga gereja di Sipora tersebut. "Tetapi tidak ada
pertentangan atau perselisihan. Dalam keluarga kami, bebas
memilih agama yang disukai", kata Ilsyam. Jawaban itu adalah
gambaran dari masyarakat Mentawai umumnya.

PERSEPSI SEBELAH MATA DAN ASIMILASI

SAGETSI yang teduh dan tenang adalah sebuah dusun di


Desa Nem-nem Leleu Kecamatan (pulau) Sipora. Dari Sioban
ibukota kecamatan yang juga pelabuhan utama termasuk paling
dekat dengan jarak 1,5 jam waktu tempuh dengan boat. Selain
melewati laut juga ditambah menyusuri bagantoinan (sungai)
selebar lima sampai delapan meter selama 20 menit. Di pinggir
sungai berwarna keruh itu dipenuhi pohon nipah atau bakau.
Sagetsi adalah keramahan dari penduduk yang 9%
beragama Protestan dan 26% Islam. Selebihnya beragama Katolik
dan Pantekosta. Di dusun tersebut seperti dusun lainnya terdapat
gereja dan sebuah masjid yang umurnya 25 tahun, merupakan
masjid tertua di Sipora. Anak-anak sekolah dasar yang sebahagian
tanpa sepatu menyapa ramah setiap tamu yang datang sambil
melambai-lambaikan tangannya," Noon (mari)," panggil mereka
kepada Singgalang sebagai ajakan untuk berkeliling kampung.
Kemudian mereka berusaha menjelaskan dengan bahasa
Mentawai yang asing ditelinga. Hanya sedikit dan jarang yang

287
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

mengerti bahasa Minang. Komunikasi yang menggelitik, namun


masing-masing berusaha untuk memahani sekaligus sok tahu.
Itulah Sagetsi, keramahan yang luput dari bayangan
tentang Kepulauan Mentawai yang subur dan dipandang dengan
sebelah mata. Mentawai memang daerah yang perawan yang
sering diseminarkan. Tapi jauh tertinggal dibanding daerah
“Tanah Tepi” begitu orang Mentawai menyebut Sumbar8).
Tetapi anak-anak bermata sipit dan manis-manis itu lebih
beruntung dari orangtua mereka yang tidak mengenyam
pendidikan "Anak-anak pun, hanya kelas empat SD ke atas yang
bisa berbahasa Indonesia", kata Sekwilcam Sipora Yahya.
Mentawai dengan penduduk 56 ribu jiwa itu memang
rata-rata miskin. Namun persepsi selama ini bahwa daerah
tersebut ganas, primitif, bercawat bahkan (yang lebih sadis)
mereka dianggap kanibal adalah salah sama sekali. Bisa jadi
persepsi itu dimulai ketika Gubernur Sumbar Harun Zain (waktu
itu) menggunting rambut kepala suku Sikudai sebagai tanda
asimilasi mereka dengan masyarakat Sumbar. Namun, setelah itu
mereka kembali lagi ke hutan dan sepasang kerbau pemberian
gubernur menjadi liar. "Tetapi jumlah suku Sikudai saat ini hanya
tinggal 36 orang", kata Ketua DDII Sumbar H.Mas’oed Abidin
yang sejak 1968 telah aktif di Mentawai.
Di Sipora, hampir tidak ditemukan rumah permanen dan
mereka hanya tinggal di rumah berdinding bambu (tadir) dan
beratap rumbia. Bahkan sedikit sekali rumah yang berdinding
papan. Sebuah perkampungan penduduk di setiap dusun terdiri
dari kelompok rumah yang tersusun rapi namun kumuh. Jarak
rumah dengan kandang babi atau tempat penyulingan nilam
secara tradisional terlalu dekat. Bahkan tidak sedikit rumah yang
di bawahnya terdapat kandang babi yang kandang diberi makan
kotoran manusia.

8 )
Mulai tahun 1997 Sagetsi mulai dibentuk Program Pematangan Lahan untuk
lahan transmigrasi Sipora

288
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Namun, ada yang mengagumkan dari masyarakat


Mentawai, yaitu egaliter, terbuka dan ramah. Masyarakat Sipora
adalah masyarakat yang berusaha menghindari konflik dan
berusaha menjaga ketenangan ketenangan diantara mereka.
Sikap demokratisnya terlihat dari asimilasi dan kerukunan agama
yang ada. "Saya belum menemukan adanya perbenturan karena
persoalan agama", kata Hesto, di dusun Sagetsi.
Sipora, dengan luas 16 km² sebahagian besar adalah hutan
lebat yang dikelilingi lautan luas. Penduduknya 11.604 (2.396 KK)
dengan penghasilan utama kelapa, minyak nilam, nelayan dan
berkebun pisang dan ubi. Yang jelas, tidak ditemukan masyarakat
yang bercawat, kecuali bercelana pendek dan bertelanjang dada
ketika mereka memancing ikan atau berkebun.
Secara kultural, Mentawai memang lebih dekat dengan
Kepulauan Nias atau Sumatera Utara dan asimilasi masyarakat
sudah sangat baik, dengan perkawinan atau karena banyak anak
Mentawai yang dikirim ke Sumut untuk sekolah gereja. Berbeda
dengan Tanah Tepi, perkawinan antara wanita Mentawai dengan
laki-laki Minang memang sering, tetapi jarang sekali putera
daerah ini yang kawin dengan wanita Minang.
Masing-masing pemeluk agama memang tidak
mempersoalkan agama mereka masing-masing. Bahkan, ketika
membangun masjid, masyarakat dari agama lain pun itu
bergotong royong. Bagi mereka, igama adalah kebebasan
individu, sehingga tidak jarang di dalam satu keluarga
sebahagian beragama kristen dan sebahagian agama lagi Islam.
Mengusik orang lain adalah sesuatu yang tabu bagi mereka
sehingga daerah ini terasa harmonis.
Bisa jadi, pandangan sebelah mata terhadap Mentawai
yang membuat daerah ini tertutup sendirinya. Menurut
penduduk setempat, selain pedagang, jarang yang mau
berkunjung ke daerah tersebut, termasuk para pejabat. Alasannya
mungkin karena tidak ada tempat menginap karena hotel yang
ada satu-satunya di Sikakap. Paling-paling hanya tidur di masjid

289
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

yang dua tahun belakangan ini mulai bermunculan (lihat: Ke


Mentawai Membuat Utang", Singgalang Minggu, 26/11/95).
Padahal, setiap Senin sudah ada ferry Kuda Laut yang hanya 3,5
jam ke Sipora. Bahkan, setiap Rabu ada pesawat dari Tabing-
Rokot dengan waktu tempuh 45 menit. Pesawat kecil dengan dua
baling-baling itu bermerk Smac buatan Inggris dengan delapan
penumpang.
Meskipun pembangunan sangat lamban dan tidak
sebanding dengan penghasilan dari daerah ini, seperti kayu,
cengkeh, kelapa dan minyak nilam, masyarakat Mentawai
mempunyai motivasi pendidikan yang tinggi. Terbukti, sudah
banyaknya putera daerah yang dikirim sekolah ke luar
daerahnya. Bahkan, di Sioban sudah ada MTsN filial Padusunan
dengan siswa 47 orang.
Soalnya kondisi di Sipora sangat memprihatinkan
meskipun sekolah dasar cukup permanen. Di Taraet, misalnya
satu SD hanya dengan tiga orang guru. Daerah tersebut tidak ada
listrik, kecuali dari generator milik gereja atau pendatang yang
kebetulan berdagang disana.
Itu hanya Sipora yang merupakan pulau terkecil dari tiga
pulau Siberut dan Sikakap yang lebih besar, Mentawai, dengan
seloroh Mas’oed bisa jadi berarti minta diawai, butuh sentuhan,
meskipun masyarakat yang hidup rukun itu tidak beruasaha
melayani tamu-tamunya yang datang meskipun dengan sebuah
lambaian dan senyum dari atas biduk ketika berpapasan.
"Noon", kata mereka dengan irama yang lembut. Tapi apa
boleh buat, dari Padang berita yang datang hanya berbentuk
seminar. 

290
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Eki Hari Putra

DARI MISI DDII DI MENTAWAI

MEREKA KINI MEMELUK AGAMA ALLAH9)

Asyhadualla ilaha illallah waasyhaduanna


Muhammadarrasulullah
Ungkapan dua kalimat syahadat yang menandai peng-
Islaman seseorang, meluncur dengan mantap dari bibir 61
penduduk Desa Katurai, Siberut Selatan di Kepulauan Mentawai.
Rentetan kallimatullah yang bersiponggang di langit-langit gedung
SD 05 Talolagok dan Masjid Nurul Iman Sarausau membuat
rombongan Tim Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
Padang dan Diniyah Putri Padang Panjang yang menyaksikan
langsung pensyahadatan, tak kuasa lagi menahan air mata haru.
Betapa tidak, rombongan yang terdiri dari 12 anggota yang turut
dalam misi syiar Islam selama tiga hari sejak Selasa (9 Jan 1996)
lalu seakan merasakan detak terputusnya belitan dosa dan

9 )
Harian Umum Singgalang, 13 Januari 1996

291
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

kefasikan yang menyungkupi muallaf selama ini. “Sudah puluhan


kali saya menyaksikan pensyahadatan ini, dan setiap penyaksian
itu air mata saya selalu terurai,” ujar Mawardi Said,
mengungkapkan pengalamannya.
Tapi getar-getar keharuan yang mengiringi setiap
momentum itu selalu saja menyiksakan sejumlah problema yang
berdimensi luas bagi ummat Islam. Maka amat beralasan kalau
Ketua DDII Padang H. Mas’oed Abidin yang memimpin syiar
kali ini mengatakan,”Saudara-saudara sekarang telah muslim, itu
berarti saudara-saudara jadi bagian yang utuh dari ummat Islam.
Karena sesungguhnya ummat Islam itu bersaudara, hingga
kehinaan yang dialami seorang muslim jadi tanggung jawab
ummat Islam yang lain.”. H. Mas’oed, yang membimbing
pensyahadatan yang disaksikan, oleh, Kepala KUA Drs. Asrizal
dan Komandan Koramil diwakili Sertu. S. Siregar, pemuka
masyarakat, Kepala Desa Katurai Lugai, pantas berkata begitu,
sebab ungkapan dua kalimat syahadat belum menjamin seseorang
menjadi muslim yang baik.
Pemeluk Islam bertanya, “Apakah kami bisa diajar
bagaimana memanfaatkan bambu yang banyak tumbuh disini?”.
Ini diungkapkan oleh Lukman, salah satu da’i yang bertugas di
Taileleu, Siberut Selatan. Lewat pertanyaan da’i tersebut, Mas’oed
menjelaskan bahwa, syiar Islam di Mentawai tak hanya sekadar
masalah akidah dan ibadah belaka, sebab, secara umum
kehidupan di Mentawai bukan saja bergulat dengan
keterbelakangan tapi terkait pula dengan upaya memanfaatkan
potensi yang ada untuk memberdayakan ekonomi rakyat.
Lagipula katanya potensi Mentawai bukan hanya hasil hutan
melulu, sektor perikanan pun cukup menjanjikan. Maka tak heran
kalau Lukman berani merekomendasikan, kalau saja komposisi
da'wah Islam itu selain bermuatan agama tapi sekaligus
membangkitkan potensi ummat niscaya hal ini akan menambah
kentalnya rasa keagamaan mereka yang baru masuk Islam
tersebut. “Artinya kita butuh da'wah yang sifatnya kontemporer.“

292
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

rumus Mas’oed. Pendekatan da'wah seperti ini makin perlu,


sebab seperti yang dibeberkan da’i Ja’far Nasution, misi-misi
agama lain ternyata dengan jeli memanfaatkan wanita-wanita
mereka untuk mendidik kereampilan keputerian bagi para wanita
Mentawai. “Terus terang saja, untuk urusan kewanitaan kami
kelabakan.” tutur salah seorang dari 23 da’i yang ada di Siberut
Selatan.
H. Mas’oed Abidin kepada Singgalang menjelaskan bahwa
Ia punya pendapat yang sama. Tahapan yang dinilainya amat
penting adalah bagaimana melanjutkan pembinaan muallaf.
Sebab tak rahasia lagi, katanya, agama-agama selain Islam juga
melakukan pendekatan secara amat mencolok kepada penduduk
di gugusan kepulauan di pesisir barat pulau Sumatera itu.
“Pengalaman menunjukkan, bila pembinaan itu terputus tak
sedikit penduduk yang sudah beragama Islam itu jadi murtad.”
ujar Mas’oed yang bersama DDII telah melaksanakan syiar Islam
ke Mentawai sejak 1968. Untuk itu ia menghimbau ummat Islam
di Sumbar agar lebih intens memperhatikan kelangsungan
kehidupan syiar Islam di Mentawai. Bentuk keterlibatan itu,
menurut rumusannya adalah bagaimana semua organisasi-
organisasi Islam baik yang bergerak di sektor amal ataupun
pendidikan mengarahkan programnya secara terpadu. Misalnya,
bagaimana ummat Islam memberi peluang pemasaran bagi
produk kerajinan bambu yang mereka buat nantinya. “Yang
jelas,” sambung Mas’oed, ”Kita datang dengan Islam, bukan
dengan mengedapankan “bendera-bendera” organisasinya
masing-masing. Sebab kalau hanya bertumpu kepada da'i-da’i
pembinaan Islam sukar untuk berhasil.” ujarnya.
Menyadari hal itu pembinaan itu terkait dengan SDM,
maka Majelis Guru Diniyah Putri Padang Panjang melalui Hj. Ny.
Husna Abidin mengundang sebanyak lima pelajar Mentawai
untuk menuntut agama Islam di Perguruan Islam tersebut.
“Ongkos pendidikan sepenuhya jadi tanggungan kami. Jika
mereka lulus nantinya, diharapkan mereka ikut pula menegakkan

293
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

syiar agama di kampungnya.” jelasnya mengungkapkan maksud


undangan tersebut.

KETIKA YOHANES JADI IBRAHIM10)


Sejak tahun 1985, Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
(DDII) Padang, dalam melakukan syiar ke Kepulauan Mentawai,
telah menggalang kerja sama dengan lembaga da'wah Islam
lainnya. Pada tanggal 9 Januari 1996, DDII Padang membawa
sebanyak 12 orang anggota Perguruan Diniyah Putri Padang
Panjang, untuk meninjau dari dekat perkembangan ummat islam
di Kecamatan Siberut Selatan. Selama 3 hari, selain berdialog
dengan ummat islam dan da’i di sana, juga dilangsungkan
pensyahadatan sebanyak 61 warga Siberut Selatan, sekaligus
penyerahan bantuan dari BUMN, masjid/mushalla di Padang
dan pribadi-pribadi, guna mendukung missi Islam di Mentawai.
“Anai obak bagamu tugorok ka Islam? Ku obak! Teu bagakko
tugorok ka Islam.” “Adakah yang memaksa Anda untuk
memasuki Islam? Tak ada! Saya masuk Islam atas kesadaran
pribadi.”
Untaian kata-kata dalam bahasa Mentawai ini teruntai di relung
hati 61 penduduk (27 di antaranya anak-anak) di Siberut Selatan,
ketika mereka diminta untuk menegaskan kembali pilihannya
untuk masuk Islam. Kendati dalam menjawab pertanyaan
ekspresi wajah mereka sangat beragam, namun di antara
keheningan yang menyertai jawaban mereka, sikap yang terlontar
tetap sama, hati mereka telah bulat untuk memeluk Islam sebagai
penuntun jalan hidup mereka. Hal itu mereka ungkapkan satu
per satu melalui da’i yang bertugas di dusun Sarausau dan
Talolagok dan sekaligus sebagai penerjemah ke dalam Bahasa
Indonesia.

10)
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 20 Januari 1996

294
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Dalam kesempatan ini Ketua Dewan Dakwah Islamiyah


Indonesia (DDII) Padang Bapak H. Mas’oed Abidin mengatakan,
“Tidak ada paksaan dalam Islam.” Kutipan salah satu ayat dalam
Al-Quran di atas, merupakan sikap Islam, bahwa dalam beragama
tidak sepersen pun menganut pola pemaksaan dalam syi’arnya.
Hal ini bukan hanya berlaku di Mentawai saja, tetapi untuk
semua tempat di mana saja di permukaan bumi ini. Karena pada
dasarnya Allah SWT telah memberikan kebebasan memilih.
“Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu. Barang siapa yang ingin
beriman, hendaklah ia beriman. Dan barang siapa yang ingin kafir,
biarlah ia kafir (Q.S. 18:29).
Hingga pada waktu calon muallaf terakhir mengucapkan
kata Teu bagakko tugorok ka Islam... (Saya masuk Islam atas kesadaran
sendiri), tiada terasa detak jantung ummat islam yang
menyaksikannya bergetar dan berdetak kencang. Betapa tidak,
sikap ini memastikan mereka sebentar lagi bebas bari kerangkeng
kekafiran. Apakah mereka dahulunya penganut Arat Sabulungan
atau pemeluk agama non-Islam. Nur Illahi telah menerangi kalbu
mereka. Sebuah nilai yang belum mereka ketahui secara utuh.
Namun lain halnya dengan ummat islam yang menyaksikan
momentum itu, tak pelak lagi kebebasan itu telah membuat mata
mereka berkaca-kaca oleh air mata. Tidak terkecuali, beberapa
pasang mata anggota DDII, Diniyah Putri Padang Panjang,
bahkan Ketua DDII Padang H. Mas’oed Abidin yang
membimbing langsung pelafazan Dua Kalimat Syahadat tak
kuasa lagi menahan air mata, begitu para saksi termasuk Ketua
KUA Siberut Selatan Drs. Asrizal, menyatakan pensyahadatan itu
sah. “Saudara-saudara kini telah Islam,” ujarnya dengan suara
parau. Selanjutnya kata-kata yang diucapkan oleh Ketua DDII
Padang seakan tertelan oleh keharuannya sendiri dan kesyahduan
menyelimuti gedung SD 05 Katurai dan masjid Nurul Iman
Sarausau, tempat di dilangsungkannya pensyahadatan tersebut.
“Sudah puluhan kali saya menyaksikan peristiwa ini, namun tiap
kali itu pula saya selalu mengeluarkan air mata,” kata Abdul
Hadi A. Roni, da’i yang bertugas pertama kali di Siberut Selatan.

295
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Sebuah keharuan yang patut dimaklumi, karena sejak


syiar Islam mendarat di Kepulauan Mentawai sekitar dua dasa
warsa lalu, dari 55.000 jumlah penduduk kepulauan ini, sebanyak
25.760 sudah memeluk agama Islam. “Artinya, sekitar 46 % dari
total penduduk yang ada telah beragama Islam,” demikian kata
H. Mas’oed Abidin, yang mengkoordinasikan syi’ar Islam di sana
sejak tahun 1985. Seiring dengan itu, pertambahan rumah ibadah
juga mengalami kemajuan yang mencengangkan. Pada saat ini
(1996), terdapat 42 masjid/mushalla, di antaranya 11 masjid di
Suberut Utara, 10 masjid/mushalla di Siberut Selatan, 12 masjid di
Sipora dan 9 masjid di Sikakap. “Yang menggembirakan, rata-rata
pengerjaan pembangunan rumah-rumah ibadah itu dilaksanakan
secara swadaya,” kata ketua DDII Padang. “Pihaknya, katanya
lagi, hanya mengkoordinasikan bantuan uang dan material
bangunan yang berfungsi sebagai pemancing, yang berasal dari
BAZIS PT. Semen Padang, PT. Bank BNI 1946, masjid/mushalla
di Padang, Lembaga Islam, baik dalam maupun luar negeri serta
pribadi-pribadi yang peduli dengan syi’ar Islam di Kepulauan
Mentawai.
Untuk melengkapi ciri dan semangat keislaman yang kian
berkembang tersebut, maka secara serempak para muallaf
tersebut mengganti namanya. Sebuah nama bagi Islam adalah
semangat, teladan dan sekaligus doa dan harapan dari pihak
yang memberi nama. ”Baroko, sekarang engkau kuberi nama
Hanafi,” tutur H. Mas’oed Abidin. Atau, “Timotius, engkau kini
bernama Jamaluddin Al Afghani dan Yohanes, kamu sekarang
menjadi Ibrahim.” Ibrahim merupakan nama seorang Rasul
dalam Islam. Figur yang berani berhadapan dengan ayah dan
penguasa sekalipun, dalam menegakkan keesaan Allah.

296
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

DA’I-DA’I "WATERWORLD" DARI SIBERUT11)

Bagaimana anda membayangkan seorang da’i bertugas di


Mentawai atau tepatnya di kecamatan Siberut Selatan. Yang pasti
tentu tak pernah sama dengan da’i-da’i yang ada di Sasareu
(Tanah Tepi-red.): sebutan orang Mentawai untuk Padang dan
daerah lain di Sumatera Barat. Di Padang, dari segi transportasi
misalnya amat mudah untuk bisa mendatangi ummat islam
dalam menyampaikan syiar Islam. Hingga untuk membuat janji
dengan da’i tak hanya perkara hari apa yang bisa ditentukan,
bahkan sampai ke jamnya bisa ditetapkan. Itu baru dari unsur
transportasi, belum lagi bicara soal kemudahan alat komunikasi,
media massa, atau referensi da'wah yang melimpah.
Tetapi jangan bayangkan hal serupa itu terjadi di Siberut
atau pun di Kepulauan Mentawai. Ja’far Nasution, seorang da’i
yang bertugas di desa Malilimok misalnya, kini mesti berpikir dua
kali bagaimana ia bisa menggapai dusun Talolagok, Katurai.
Mengapa? Apakah tidak ada sarana jalan ke sana? Masalahnya
bukan soal jalan. Untuk ke dusun Talolagok tidak ada pilihan lain
kecuali lewat permukaan air. "Dengan speed boat yang pakai
motor tempel ke sana makan waktu setengah jam. Tapi itu
mustahil, kita nggak punya speed boat Bang. Nah, kalau dengan
mendayung perahu bisa dua jam,” ujarnya datar. Padahal, kalau
dusun yang 20 orang penduduknya di-Islamkan oleh Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Padang, Selasa tanggal 9
Januari 1996, tidak sering dikunjungi akibatnya bisa runyam.
Sebab kunjungan da’i adalah melanjutkan tahap yang
sesungguhnya amat penting dalam menumbuhkan iman di dada
para muallafnya. “Bila tak mendapat bimbingan keagamaan, ada
saja yang murtad,” kata Salim P., da’i di desa Saliguma. “Bila
seorang warga Mentawai telah masuk Islam,” lanjutnya, “tak

11 )
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 22 Januari 1996

297
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

berarti mereka langsung saja bisa diajar mengaji, shalat atau


ibadah lainnya.”
Untuk mengajar mereka bisa melaksanakan wudhuk,
langkahnya cukup berliku dan panjang. Mula-mula para muallaf
itu disadarkan kalau memasuki masjid mesti dalam keadaan
bersih. Caranya, mereka diajar untuk mencuci kaki tiap kali ke
masjid. Lalu, setelah terbiasa, baru dilanjutkan dengan tata tertib
wuduk. "Jangankan bisa shalat, untuk mengajar bisa berwuduk
saja makan waktu berbulan-bulan,” kata Salimh alias tunjangan
tersebut, selebihnya mereka menerima uluran tangan dari
pribadi-pribadi muslim yang peduli dengan syiar Islam di
Mentawai. Perinciannya sebanyak 22 dibantu BAZIS PT. Semen
Padang, 3 orang dibantu Kedubes Saudi Arabia, PD PT. Semen
Padang membantu 3 orang, IIRO juga membantu 11 da’i.
"Masalahnya, bukan tunjangan yang jumlahnya tak sampai Rp.
100 ribu per orang yan, namun berbeda dengan kawan-kawannya
yang umumnya bertugas di desa-desa di bibir pantai, da’i yang
satu ini bertugas di Matotonan, desa yang tersuruk di pedalaman
Siberut. Untuk mencapai desa itu mesti menyusuri sungai. Berapa
lama ke sana? Tak sekedar soal berapa jam lagi, tapi memakan
waktu dua hari! Celakanya, tak selamanya arus sungai itu
bersahabat dengan da’i, karenanya, jangan heran bila bersua
tempat dangkal terkadang perahu harus menaiki pundak
manusia. "Yang mengharukan mesti tempat dia jauh, penganut
Islamnya justru paling banyak, hampir 800 orang.”, ungkap H.
Mas’oed Abidin, Ketua DDII Padang.
Memang berat tugas jadi da’i, karena masih menurut H.
Mas’oed Abidin, dalam Islam seorang da’i tidak saja harus
menyampaikan syiar Islam tapi ia juga menjadi guru bagi
masyarakat dalam masalah-masalah sosial kemasyarakatan.
Padahal, di antara 77 da’i di Kepulauan Mentawai sebanyak 23
bertugas di Siberut Selatan, tempat mereka bertugas saling
berjauhan. Tempat itu dipisahkan oleh laut, selat, serta sungai.
Sebagai ilustrasi dengan ber-speed boat, dari ibu kecamatan

298
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Muara Siberut jarak yang paling dekat ditempuh sudah menelan


waktu selama dua jam. "Da’i-da’i kita kekurangan boat, untuk
medatangi tempat-tempat terpencil.”, papar Mas’oed12). Artinya
bak aktor Kevin Costner dalam film Waterworld, para da’i yang
bertugas di Kepulauan Mentawai mesti siap-siap untuk
berakrab-akrab dengan perahu, dalam mengharungi dunia air
Mentawai demi tegaknya asma Allah.
Di tengah pancaran optimistik dan himpitan kendala
alam, ada hal yang justru menyentuh, ternyata tak semua da’i
mendapat tunjangan tetap. Kecuali 44 da’i dari 77 da’i yang
memperoleh nafkah alias tunjangan tersebut, selebihnya mereka
menerima uluran tangan dari pribadi-pribadi muslim yang peduli
dengan syiar Islam di Mentawai. Perinciannya sebanyak 22
dibantu BAZIS PT. Semen Padang, 3 orang dibantu Kedubes
Saudi Arabia, PD PT. Semen Padang membantu 3 orang, IIRO
juga membantu 11 da’i. "Masalahnya, bukan tunjangan yang
jumlahnya tak sampai Rp. 100 ribu per orang yang membuat
galau. Terkadang, susahnya kalau ada anggota keluarga yang
sakit, untuk ke Muara Siberut sewa speed boat tak kurang Rp 100
ribu.”, kata Ja’far lambat.

ANTARA KUALITAS DAN HIMPITAN NASIB13)

Berapakah jumlah ummat Islam di Mentawai? Tak ada


yang tahu pasti. Yang jelas data dari Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) Sumatera Barat menyebutkan dari 55.000
penduduk Kepulauan Mentawai, 25.760 orang diantaranya

12 )
Untuk seluruh Kepulauan Mentawai, DDII yang mengkoordinir 77 da’i Islam,
hanya memiliki 4 buah speed boat kapasitas 15 pk, dan sudah tua (sejak tahun
1994) dan terletak pada pusat kecamatan
13 )
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 24 Januari 1996

299
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

pemeluk agama Islam. Jumlah itu melingkupi pula kaum


pendatang yang beragama Islam sejak lahir. Umumnya mereka
dari suku Minangkabau terutama dari Kabupaten Padang
Pariaman ditambah dengan orang Tapanuli Selatan, atau propinsi
lain di pulau Sumatera. "Angka itu menunjukkan 45 persen dari
warganya ternyata beragama Islam.”, kata H. Mas’oed Abidin,
Ketua DDII Sumbar.
Menyimak data itu, sepintas cukup spektakuler mengingat
gugusan kepulauan ini baru dijamah secara serius oleh syiar Islam
30 tahun silam. Bandingkan dengan misi Kristen yang
menancapkan kukunya sejak zaman kolonial Belanda, maka data
itu jelas membanggakan. Berpijak kepada fenomena ini, maka
timbul pertanyaan tentang bagaimana kualitas ummat Islamnya.
Memang tak mudah menjawabnya. Menyoal mutu kehidupan
beragama bukan hanya ditandai maraknya kehidupan Islam tapi
penilaian juga “hak prerogatif” Allah SWT. "Secara kuantitatif
pemeluk agama Islam sudah 45 persen, tapi secara kualitatif
angka itu berkisar 10 persen.”, ujar Mas’oed.
Lalu, kalau memang yang 10 persen itu berkualitas
dimanakah mereka berada? Sekilas, dapat disimpulkan ummat
yang menampakkan adanya denyut agama Islam kebanyakan
berdomisili di ibu kecamatan. Di Muara Siberut, ibu kecamatan
Siberut Selatan misalnya, dimana berdiri Masjid Al Wahidin,
dengan mudah dapat dirasakan kumandang syiar Islamnya. Itu
terlihat rutinnya pelaksanaan wirid pengajian dan pendidikan
Islam. bahkan di masjid yang terletak tak jauh dari bibir pantai,
sesekali diadakan pengajian dengan mendatangkan khatib-khatib
yang didatangkan dari Tanah Tepiatau berasal dari Sumatera
Utara.
Lantas bagaimana dengan tempat-tempat yang jauh dari
ibu kecamatan? Kemudian bagaimana pula kondisi kehidupan
beragama di sana? Lagi-lagi pertanyaan yang tak mudah dijawab.
Dengan penduduknya yang sebelumnya rata-rata kawasan
menganut Arat Sabulungan atau agama non Islam lainnya bisa

300
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

dimaklumi semangat Islamnya belum merata. Singkatnya kepada


para muallaf, alias yang baru saja beragama Islam, tak bijaksana
rasanya menuntut gelora Islam yang menyala di dada mereka.
Semuanya membutuhkan proses. Jadi tak adil jika disamakan
dengan yang menganut Islam sejak kecil.
Bahkan, andai mau jujur jika tuntunan itu diarahkan bagi
pribadi-pribadi yang kenal Islam sejak lahir sekalipun, masih
banyak yang perlu dilakukan dalam meningkatkan derajat
taqwanya.
Permasalahannya, khusus bagi penduduk asli Mentawai
yang Islam, agama ini telah menyebabkan pola hidupnya berubah
secara mendasar. Betapa tidak, kalau dulu diikat oleh aturan
budayanya, kini mereka disadarkan, ada kekuatan lain yang
mutlak menguasai dirinya. Yakni Allah SWT. Kondisi ini,
sungguh tak nyaman bagi mereka yang setengah- setengah
masuk Islam. Hingga menjalani tahap-tahap selanjutnya dalam
merefleksikan dirinya selaku ummat Muhammad SAW, adalah
berat bagi dirinya. Akibatnya, tak jarang mereka jadi murtad lagi.
Celakanya, di sudut lain belum mantapnya pemahaman Islam,
menyebabkan mereka cenderung memperbadingkan syiar Islam
dengan misi-misi agama non Islam. "Tiap ada pensyahadatan di
satu desa, mereka langsung minta didirikan masjid di
kampungnya. Kendati, perbandingan ummat dan efektifitas
adanya masjid masih timpang.”, kata Drs. Asrizal, Kepala KUA
Siberut Selatan. Menurut pengamatan Singgalang,
berkembangnya tuntutan untuk mendirikan masjid di tiap-tiap
desa, dipicu menjamurnya rumah-rumah ibadat non Islam di
tiap-tiap desa di Mentawai.
Berpatokan pada hal ini, maka demi memantapkan
kualitas Islam di Kepulauan Mentawai DDII menempuh dua
langkah. Pertama, secara berangsur-angsur memperketat
syarat-syarat yang ditujukan bagi pribadi-pribadi yang ingin
masuk Islam. Contohnya yang berlaku pada desa Sarausau dan
Katurai, puluhan penduduk yang menyatakan dirinya Islam

301
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

ternyata telah tiga bulan menunggu untuk di-Islamkan. "Bukan


apa-apa, masa tunggu tersebut memberikan kesempatan untuk
memikirkan lagi keputusan yang mereka ambil. Selain itu, meski
jumlahnya kecil kita ingin cari yang berkualitas. Sedikit tapi
mantap lebih besar pengaruhnya dalam pengembangan Islam ke
depan, sebab, bila mereka punya niat yang sungguh-sungguh lalu
dipanggil Allah maka niat yang tak sampai itu jadi tangung jawab
ummat Islam lainnya.
Kedua, adalah bagaimana meyakinkan mereka bahwa
Islam mampu memberikan jalan keluar bagi himpitan nasib. Jika
saat ini nasib mereka dijerat faktor keterbelakangan, maka ummat
Islam mesti mendayagunakan potensi mereka menjadi sesuatu
yang menguntungkan. "Ajari kami memanfaatkan bambu, Pak.”,
ujar Lukman, da’i di Talileleu menirukan permintaan ummat
Islam yang diasuhnya. Andai ini bisa dijawab, kata Mas’oed, dan
kepandaian yang diperdapat itu mampu mengangkat derajatnya,
maka makin tebal kepercayaan mereka kalau ummat Islam
memang punya kepedulian sesamanya.

YANG ANEH-ANEH DARI SIBERUT14)

Selama ikut syiar Islam di Metawai banyak keanehan


ditemui. Bila bersirobok dengan hal yang janggal di sana, ya jangan
heran pula.”, ujar H. Mawardi Said, tak lama setelah Km. Sumber
Rezeki Baru (SRB) bergerak meninggalkan bibir pantai Padang.
Mendengar lontaran ini, karuan Singgalang disergap penasaran.
Ada apa di Mentawai? Atau, kejutan apa yang akan ditemui
dalam misi syiar Islam DDII Sumbar dan Diniyah Putri Padang
Panjang di Siberut Selatan.

14 )
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 25 Januari 1996

302
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Sayangnya bak ujian, tak mudah menangkap maksud


ungkapan. Tanda tanya terus menyelingkupi, bahkan sampai
kapal berpenumpang Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII)
Sumbar ini. melepas jangkar di lepas pantai Muara Siberut, pada
Selasa (9/1/1996) pagi. Keanehan tak juga menampakkan diri.
Sebaliknya, yang muncul pesona alam membetot bola mata.
Gugus pulau nan hijau dengan semburat cahaya matahari pagi di
depan mata begitu mempesona.
Di atas speed boat yang mengantar penumpang yang
turun di Muara Siberut, teka-teki itu menggelitik lagi. Pesona
yang hadir seketika jadi terusik. Untuk lagi ide-ide untuk
memecahkan teka-teki berloncatan dari benak. Apa tidak
mungkin keanehan itu berlangsung dalam perjalanan Padang-
Siberut tapi luput dari pengamatan. Ya, mengapa tidak! Terus
terang selama 12 jam di atas KMP SRB cukup mengesankan.
Memang banyak juga yang janggal di kapal. Bayangkan
KMP yang berawak 11 ABK ternyata telah menjadi komunitas
tersendiri. Berbagai suku bangsa tumplek di atasnya. Tengok saja
bule-bule yang umumnya wisatawan manca negara (wisman)
berseliweran. Para penumpang bergelatakan di atas hamparan
tikar disepanjang gang di kelas. Bagi mereka yang sarat dengan
tentengan lebih suka mengambil tempat di lambung kapal. Situasi
ini menunjukkan kepulauan Mentawai yang makin menggeliat.
Magnit Mentawai menyihir orang untuk mengadu untung di
sana. Magnit Mentawai membuat orang rela merogoh koceknya
melintasi benua dan samudera, hanya untuk mengagumi
kemolekannya. "Sudah dua tahun belakangan, kapal penumpang
rutin sekali seminggu melayari Mentawai.”, kata H. Abdul Hadi
A. Roni, yang hampir 20 tahun tinggal di Muara Siberut.
Lantas apanya yang aneh? Bisa jadi keanehan itu beranjak
dari beragamnya suku bangsa di atas kapal. Suasana beraneka
pula, baik tegur sapa yang terdengar ataupun garis-garis wajah
yang hadir. Lalu? Keikutsertaan Diniyah Putri Padang Panjang
menimbulkan nuansa tersendiri. Apalagi enam diantaranya

303
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

wanita yang berbusana muslim. Kecuali mereka, nyaris tak ada


penumpang lainnya berjilbab. Sosok mereka kontan menarik
perhatian penumpang lainnya. Tapi jangan berpikir untuk
membandingkannya dengan wanita-wanita bule yang cenderung
urakan dan berpakaian ala kadarnya. Maklum saja, gemerincing
“dollar” mengantarkan mereka bisa tampil “apa adanya”.
Gambaran-gambaran terus terang belum mampu untuk
menjawabnya.
Syukurlah, begitu kaki menjejak Muara Siberut, kegalauan
hati mulai tersingkap. Itu terjadi sewaktu sejarah syiar Islam di
Mentawai dituturkan lagi oleh Ketua DDII Sumbar H. Mas’oed
Abidin. kepada Mahfuz, anggota PP Muhammadiyah, ia
membagi kisah pembangunan Masjid Al Wahidin, yang terletak
sekitar 100 meter dari dermaga Muara Siberut. "Ketika masjid
akan dibangun, kami pusing kemana mau mencari pasir. Kecuali
di laut, daratan Mentawai hampir-hampir tak punya sumber
galian pasir.”, kenangnya. Di tengah kegundahan, tiba-tiba badai
menerjang Muara Siberut, dan itu berjalan seminggu. Begitu
badai usai. Begitu kehidupan berjalan normal, sungguh tak
diduga di lokasi pembangunan masjid ditemukan tumpukan
gunungan pasir. Badai yang terkadang berwajah menakutkan,
namun atas perintah Allah SWT kata Mas’oed, ia mampu
memangkas kegalauan ummat muslim yang mengimpikan
adanya masjid. Ajaibnya, kata Mas’oed, "Pasir yang dikirim badai
itu habis, ketika masjid selesai dibangun.”, Allah berbuat
sesuka-Nya. Dan Al Wahidin kini jadi masjid yang termegah di
Mentawai.
Keanehan lainnya ternyata masih bersumber dari
pembangunan Masjid Fatthiyyah Al Azzaz yang dibangun dua
tahun lalu di dusun Malilimok. Kesulitan pasir menghadang, juga
teratasi oleh badai yang tiba-tiba menerjang dusun. "Yang
menarik, penimbunan rawa dimana bangunan masjid hendak
didirikan ternyata dibantu pula oleh warga yang beragama non
muslim.”, ujarnya. Kendati cerita-cerita itu meninggalkan goresan

304
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

yang mendalam, tetap saja belum lengkax karena getarnya tak


bisa dirasakan langsung. "Eh, kapan datang? Badai, nggak?
Padang hujan terus kami khawatir juga bagaimana Anda di
sana.”, Pertanyaan memberondong Singgalang setibanya di
Padang. Inilah keanehan itu agaknya. Tak ada hujan sama sekali
diperjalanan. Wah, jadi teringat saat-saat speed boat meluncur
dari Muara Siberut untuk menuju dusun-dusun di Siberut,
bukankah awan hitam selalu bergelayut.
Anehnya, langit makin lama justru makin terang begitu
speed boat makin jauh meninggalkan dermaga. Apakah ini
keanehan yang lain? Wallahualam.

MENTAWAI = MINTAK DIAWAI15)

"Beginilah Mentawai, mestinya orang muda seperti Anda


ini seharusnya yang memajukan Mentawai. Sebab, kami sudah
tua-tua, padahal banyak yang bisa diperbuat di sini.”, ucap, Idris
Batubara, guru madrasah di Muara Siberut.
Ya, Kepulauan Mentawai terhampar di sebelah barat
Sumatera Barat, satu dekade belakangan menyita perhatian
khusus berbagai kalangan. Untuk mengamatinya, kacamata yang
dipakai juga beragam.
Raungan gergaji mesin meluluh lantakkan hutan-hutan
perawan di Seberut, Sikakap, Sipora, dan Pagai -empat gugus
pulau terbesar di sana-, ketika pengusaha menilai kekayaan alam
Mentawai berbau uang. Artinya, harta Mentawai didayagunakan
untuk mengisi pundi-pundi ekspor misalnya, ataupun untuk
menghidupkan berbagai indsutri hilir lainnya.

15 )
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 26 Januari 1996

305
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Lain kali, ada yang berkesimpulan penduduk asli


Mentawai perlu dimukimkan kembali. "Mereka mesti diajar
bagaimana menjalani hidup dengan benar, mereka harus tahu apa
itu kesehatan, apa itu hidup bersih, atau untuk hidup mereka
perlu keterampilan.”, Demikianlah landasan ideal dari program
pemukiman kembali yang digagas pemerintah. Dan keluarlah
barisan bajak-bajak, sikerei, wanita dan anak- anak dari hutan,
untuk menghuni rumah-rumah yang dipersiapkan sebelumnya.
Tapi apa lacur, begitu pekerjaan dianggap selesai menurut aturan
pemerintah, seketika pula “bau” hutan dan kecipak air sungai,
laut, dan selat menghimbau mereka. Pemukiman lama dihuni
lagi, ladang lama didatangi lagi, kebiasaan lama dijalani lagi.
Di tengah pergulatan pemikiran bagaimana
memberdayakan (empowering) penduduk Mentawai (baca: warga
asli), tiba- tiba saja ada usulan dari negeri yang disebut maju.
Kemajuan iptek dan akumulasi modal membuat mereka dengan
nyaring berkata, "Selamatkan hutan Mentawai.”, Seiring dengan
itu mereka yang berbendera LSM pun dengan rajin menelusuri
kemolekan Mentawai. Hasilnya, hutan harus diselamatkan
kekayaan laut mesti dilindungi, adat Mentawai harus dijaga dari
kepunahan. Itu bergema di tiap-tiap seminar, di berbagai forum,
tersimpan rapi di sejumlah proceeding. Padahal, kata Batubara
lagi, Mentawai hanya minta di awai, apakah itu alamnya
ataupun penduduknya, bukan untuk dipeluk erat-erat.
Lantas apa yang harus dilakukan di sana, tak ada yang
membantah kalau metoda yang disusun bagi yang berbaju
pemerintah, swasta, atau LSM, tak ada yang jelek. "Untuk
bertugas di Mentawai perlu persiapan mental dan mencintai
pekerjaan yang dijalani.”, kata Henyunus, guru SD 05 Katurai,
Siberut Selatan. Bagaimana tidak, untuk menjemput gaji saja
alumni SPG Lubuk Alung, mesti ikhlas berdayung selama empat
jam ke Muara Siberut, ibu kecamatan Siberut Selatan. Pendeknya,
bagi aparat pemerintah untuk bertugas di Mentawai, sepatutnya
yang punya niat bertugas sesuai dengan apa yang digariskan.

306
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

"Dan jangan jadikan Mentawai tempat “pembuangan” bagi


pegawai yang tak berprestasi. Kapan daerah kami akan maju.”,
tambah H. Lakri, anggota DPRD Pariaman, yang berasal dari
Mentawai ini.
Masih segar terdengar, ucapan seorang sosiolog di
Padang, yang mengatakan bila hendak memajukan gugusan
kepulauan ini memerlukan biaya besar. Minimal, katanya, biaya
yang tersedia 10 kali lipat dari dana pembangunan untuk daerah
di Sumbar lainnya. Tapi yang terpenting lagi, kata dia, bagaimana
mengembalikan harga Mentawai yang dieksploitasi selama ini
termasuk oleh pemegang HPH dan pengusaha perikanan. "Bila
yang diambil itu 100 maka kembalinya harus 100 juga, yang
terjadi selama ini tak seperti itu.”, ujarnya. Argumentasi Pakar
tersebut cukup beralasan juga, lihat hasil jarahan mereka saja
sudah membuat ekosistem Mentawai merana. Air sungai jadi
coklat, terumbu karang ambrol, dan hutan jadi botak adalah bukti
keserakahan mereka. Kemudian bagaimana dengan urang
santiang berkulit putih yang rajin berkaok-kaok soal pelestarian
alam. Anggap saja itu anugerah, setelah mereka puas
menghamburkan “racun” ke udara lewat cerobong pabriknya,
kini mereka merasa perlu peduli dengan ulah tersebut. "Untuk
keselamatan Planet Bumi.”, katanya, dan tak membuat kita tidak
pula harus berlaku bijaksana soal pelestarian alam.
Karena, jauh sebelumnya nenek moyang telah
mengajarkan hal yang terbaik untuk lingkungan kepada
cucu-cucunya.
Tegas lagi, Islam juga mengajarkan bahwa manusia akan
memetik bencana jika terlalu bersilantas angan kepada alam. "Kita
bersama-sama memikirkan Mentawai, kita mesti berbuat, sebab
Sumatera Barat terlalu banyak punya hutang di sini.”, ujar H.
Mas’oed Abidin. Mengapa? Tanpa ada kepulauan itu, maka
amukan Samudera Indonesia, katanya, akan langsung
menghantam dan membuncah di pantai-pantai yang ada di Tanah
Tepi.

307
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

KEMBALIKAN HARTA MENTAWAI16)

K adir, mahasiswa PTN di Padang, terlihat bahagia.


Apa sebab? Usulan skripsinya tentang kajian sosial di Kepulauan
Mentawai diluluskan sang pembimbing. Izin yang dikantonginya
kontan membuat hatinya bersorak, "Ah, bila skripsi kelar, tentu
titel sarjana sudah bisa kugenggam.”. Tanpa membuang waktu
lagi, ia lantas berkemas-kemas, buku- buku, alat-alat tulis, dan
surat-surat, ia siapkan dengan cermat.
Maka tak heran dalam tempo singkat, sosoknya sudah
terlihat di atas kapal penumpang yang lego jankar di lepas pantai
Mentawai. Kemudian dengan memanggul ransel, Kadir yang
tampil berkaos oblong, dan memakai jeans, ia bergabung dengan
pasisia lainnya menaiki speed boat yang merapat di lambung
kapal. Tak sampai 10 menit berspeed boat, ia kini telah menginjak
“bumi” Mentawai. "Inikah Mentawai.”, gumamnya.
Esoknya, dengan penuh semangat, ia mengantarkan surat
izin mengadakan penelitian ke kantor pemerintahan desa.”. Buat
apa tanya-tanya kami, sudah banyak orang Tanah Tepi yang tanya
ini itu, tapi nggak ada hasilnya buat kami.”, ucap Bajak Balik,
acuh tak acuh, kepada Kadir. Mendengar keluh kesah itu Kadir
tak kuasa lagi menahan reaksinya. Ia menepuk jidatnya dan
manggarumin.”, Keluhan ini sudah yang ketiga, ada apa
sebenarnya.”. Maka lagi-lagi, ia mesti “berakrobat” menerangkan
apa maksud penelitiannya. Respondennya, yakni penduduk asli
Mentawai hanya manggut- manggut, dan dengan malas
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang disodorkan Kadir.
16 )
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 27 Januari 1996

308
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Ya, penelitian. Sebagai upaya untuk mengungkapkan


sebuah hipotesa, atau memecahkan problema, tak ada yang lebih
paten selain melakukan penelitian. Begitu pula di Mentawai, telah
berjibun penelitian yang dilakukan di sana. Apakah itu,
dilakukan institusi pemerintah (baca: PT) yayasan/LSM asing,
misionaris, atau yang lainnya. Pendeknya, mereka telah
menjadikan Mentawai sebagai lahan temuan ilmiahnya. Dan
aspek yang mereka kuliti juga beragam. Mulai dari kajian sosial,
budaya, antropologi, pelestarian alam, perikanan sampai
bagaimana warga bisa memanfaatkan pekarangan. Mereka lalu
mengadakan wawancara, mengaduk-aduk pemukiman
penduduk, membedah struktur kemasyarakatan mereka. Lalu,
begitu jadwal di lapangan usai, mereka beranjak dengan
meninggalkan penduduk dengan segunung pertanyaan. "Untuk
apa mereka tanya-tanya kita.”, ujar penduduk tak mengerti. Dan
pertanyaan itupun singgah di telinga Kadir. “Ini untuk tugas
sekolah.”, jawabnya "Apa itu sekolah?" ia balik bertanya. Kadir
tak tahu harus bagaimana menerangkannya. Untunglah di saat
genting itu ia mendengar ocehan bahasa Mentawai dari kawan si
penanya. "Dia mengerti, kebetulan saya punya anak yang sekolah
di Padang.”, jelas kawannya itu.
Tak hanya manfaat penelitian yang dipertanyakan, tapi
memberi pengertian apa yang hendak dilkukan juga
menimbulkan tanda tanya bagi penduduk Mentawai.
"Kembalikan lagi hasil-hasil penelitian itu buat penduduk
Mentawai. Jangan hanya menggalinya saja kemudian pergi tanpa
berita.”, ujar H. Mas’oed Abidin. Ketua DDII Sumbar. Sebab, ia
menilai apa yang ditelusuri oleh peneliti tak lain adalah “harta”
dari Mentawai sendiri. Namun kenyataannya, karya-karya itu tak
pernah mendekam di bumi Mentawai, padahal katanya,
tulisan-tulisan ilmiah itu punya nilai dalam mendayagunakan
potensi Mentawai. "Apakah kita punya arsip yang lengkap
tentang Mentawai. Lalu, apakah Pemda punya hasil-hasil
penelitian yang dilakukan peneliti asing.”, kata Mas’oed.

309
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Langkanya kajian tentang Mentawai, membuat mereka


yang ingin tahu persoalan Mentawai akan kelabakan.
Tampaknya, “harta” Mentawai itu lebih layak diperdebatkan di
gedung- gedung yang memakai pengatur udara, entah itu di
Wina atau Roma misalnya, hingga badan-badan dunia lalu jatuh
iba. “Mentawai banyak masalah dan perlu dibantu.”, demikian
kesimpulannya, dan danapun mengucur. Lalu cerita lama pun
berulang. Tim penelitian diturunkan lagi. Kali ini misinya untuk
menajamkan skenario pemberian bala bantuan.
"Pertanyaan lagi. Tunggu saja nanti, saya mau cari lokan.”,
kata Baroko. Tampaknya, yang mendesak adalah bagaimana
menjelmakan hasil-hasil penelitian yang menumpuk itu menjadi
realita. Agenda berupa program aksi mesti diterapkan. Hingga
tak terlihat lagi penduduk asli berdayung ke ibu kecamatan
hanya untuk menukarkan seekor ayam dengan segepok garam.
Hingga tak terdengar lagi cacingan menghuni perut-perut balita
karena pola makan yang tak benar.
Pendeknya, mereka harus di motivasi agar selalu
meningkatkan kualitas hidupnya.

310
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

SALIM P, DA’I SERATUS UMMAT DARI


SIBERUT17)

Rasanya mustahil ummat islam di Indonesia tidak kenal


dengan KH. Zainuddin MZ. Ulama anak Betawi asli ini
belakangan memang menonjol dalam khasanah syi’ar Islam di
tanah air. Dalam da'wahnya, KH. Zainuddin MZ mampu
memadukan pengetahuan Islam dengan vokal khas. Ekspresinya
pas, terkadang wajah dan tutur katanya begitu lembut, dan
dengan tiba-tiba ia jadi serius. Suaranya mengguntur ketika
menerangkan Aqidah Islam. Nilai plus Zainuddin yang lain, ia
punya kemampuan menyelipkan humor dalam da'wahnya.
Setiap kali berda'wah ribuan ummat datang menghadirinya.
Kharisma yang dimiliki oleh KH. Zainuddin MZ, dalam
menyedot perhatian jutaan ummat islam, membuat ia dijuluki
“Da’i Sejuta Ummat.”
Tetapi siapakah Salim P? Dan apa hubungannya dengan
KH. Zainuddin MZ? Salim P. putra kelahiran Langsa, Aceh
Timur ini memang tidak sekondang dan setenar KH. Zainuddin
MZ. Yang membuat ia sejajar dengan “Da’i Sejuta Ummat”
adalah karena mereka sama-sama bergelar Da’i. Ketenaran Salim
P., telah menggema di sekitar desa Saliguma, Siberut Selatan
Kepulauan Mentawai. Lelaki yang suka bersenda gurau ini,
pantas lekat di hati ummat islam di Saliguma. “Kini tak kurang 60
KK yang telah menganut Islam di desa ini. Dan alhamdulillah, 47
orang di antaranya saya yang mensyahadatkan,” ungkapnya.
Jumlah itu memang relatif kecil jika dibandingkan dengan
jumlah ummat islam di Sumatera Barat apalagi di Indonesia.
Namun untuk ukuran Kepulauan Mentawai, yang baru disentuh
da'wah Islam secara intentisif sejak 20 tahun belakangan, angka
tersebut sudah cukup besar. Kepulauan Mentawai yang terletak
17 )
Eki HP, Harian Umum Singgalang, 21 Januari 1996

311
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

di pesisir barat pulau Sumatera, yang masuk dalam wilayah


administratif Daerah Tingkat II Kabupaten Padang Pariaman,
tidak hanya disibukkan oleh urusan agama belaka. Bagaimana
memanfaatkan potensi kepulauan yang terdiri dari empat
kecamatan ini, juga merupakan masalah yang cukup mendapat
perhatian. ”Tidak mudah membina ummat yang jumlahnya 150
orang di Mentawai (desa Saliguma),” kata Salim P.
Jika dilihat dari latar belakang kehidupan Salim P., maka
ketabahan yang ia miliki dalam membina ummat islam di
Saliguma ini kiranya dapat kita mengerti. Dari 23 da’i yang ada
di Siberut Selatan, hanya dia satu-satunya da’i yang tamatan
SMA. “Kau harus meniru perilaku Rasulullah,” demikian nasihat
orang tua Salim P. yang sampai sekarang masih tetap ia ingat.
Rasa keda’ian Salim P. muncul ketika pada tahun 1986 ia
turun dari kapal pembawa kayu balak di Saliguma. Keputusan
jadi da’i diambilnya setelah cita-cita menjadi guru SMA
menguap. “Sejak tahun 1982 sebenarnya saya telah mengajar,
namun pada tahun 1985 keluar kebijaksanaan, bahwa alumni
SMA tidak lagi diangkat menjadi guru,” kata alumni SMA 2
Medan ini. Maka ketika lamaran menjadi da’i dikabulkan sebuah
lembaga Islam di Medan, ia segera ingat akan nasihat ayahnya.
dan tanpa pikir panjang lagi, ia segera banting stir menjadi da’i.
Selesai menjalani pendidikan da’i, ia ditugaskan di kabupaten
Tanah Karo, Sumatera Utara selama setahun. Kemudian ia
dipindahkan di desa Saliguma Kepulauan Mentawai karena da’i
yang sebelumnya diangkat telah menjadi guru agama.
Lalu apa kiat da’i berumur 37 tahun ini dalam
melaksanakan tugas yang penuh dengan tantangan ini? “Mudah
saja, yang penting da’i mesti mampu menyelami perilaku dan
struktur masyarakat yang dihadapinya.” katanya. Dia memberi
contoh tentang memakan daging babi yang diharamkan oleh
ajaran Islam. Padahal di sisi lain, daging babi merupakan
makanan yang tidak dapat dipisahkan dari kebudayaan
penduduk Mentawai. “Mau punen (pesta) potong babi, mau

312
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

kenduri harus ada daging babi, mau mengangkat Sikerei (kepala


suku) potong babi. Menolak makan daging babi, bisa
mengakibatkan kita dijauhi,” paparnya menerangkan kendala
yang kerap melanda ummat islam yag dibina. “Lebih-lebih para
muallaf atau mereka yang baru masuk Islam,” ujarnya. Akhirnya,
ia hanya menyarankan agar mengurangi makan daging babi.
Sebab kalau langsung dilarang , bisa-bisa mereka akan menjauhi
da'wah Islam.
Budaya masyarakat Kepulauan Mentawai tidak semuanya
bertentangan dengan ajaran Isam. Sebagai contoh, dalam hal
pembagian sesuatu barang. Masyarakat Mentawai sangat
menjunjung tinggi prinsip-prisip keadilan. “Hal itu sesuai sekali
dengan ajaran Islam,” katanya. Dia sudah membuktikan sendiri,
setiap kali datang Hari Raya Iedul Adha, daging korban dibagi
secara cermat. “Jangankan dagingnya, tulang-tulangnya pun
dibagi dengan rata dan cermat,” ungkap ayah tiga putera ini.
“Jadi, tidak perlu repot-repot mengatur berapa jatah yang mesti
diberikan. Sampai-sampai tamu yang menginap di rumah mereka
ikut juga menikmati daging korban,” lanjutnya. “Anai tamu ku ke
uma. A kek iba mae punen (Saya ada tamu di rumah. Apakah
mereka juga mendapat daging, red),” tutur Salim menirukan
permintaan masyarakat. Lucunya, belakangan diketahui, bahwa
tamu yang mereka perjuangkan bukan beragama Islam.
Di samping menghadapi kendala dalam hal kebiasaan
masyarakat setempat, da'wah Islamiyah juga mengalami
permasalahan dalam hal dana, transportasi serta komunikasi,
yang secara langsung maupun tidak langsung, membuat ruang
gerak da’i jadi terbatas dalam mengemban missinya. Sebagai
contoh hambatan yang disebabkan oleh alam. Untuk melakukan
aktivitasnya, seorang da’i harus mengayun tongkat sampan
selama dua jam mengarungi sungai atau selat. Sehingga tidak
mengherankan kalau di waktu pasang sedang surut da’i menaiki
sampannya dan terkadang ia dinaiki oleh sampannya. Itu baru
persoalan alam, belum lagi masalah minimnya alat transportasi,

313
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

komunikasi serta kesejahteraan da’i sendiri, lebih-lebih mereka


yang bertugas jauh di pedalaman lebih rumit lagi persoalannya.
Menimbang kondisi yang ada, Salim P. mempunyai
pemikiran tersendiri dalam hal da'wah Islamiyah di Kepulauan
Mentawai. “Untuk menjadi da’i tidak mesti seorang sarjana,
tamatan SMA saja cukup,” katanya. “Alasannya, pemikiran
penduduk di sini tentang Islam, belum sekritis ummat islam di
Tanah Tepi (Sumatera). Yang penting adalah upaya yang terus-
menerus dalam menanamkan kesadaran mengikuti petunjuk Al-
Quran dan Hadist,” katanya menjelaskan. “Sarjana cukup
membina ummat di kota saja. Untuk punya titel kan diperlukan
banyak biaya, sehingga kalau tamat pekerjaannya juga yang
banyak menghasilkan uang,” selorohnya. Bagaimana dengan
Salim sendiri? Salim mendapat tunjangan yang tidak sampai Rp
100.000/bulan. Namun ia berkeyakinan kalau seorang menolong
di jalan Allah, maka Allah pasti akan memberi pertolongan pula.
“Saya hanya berharap PGA saja alias pegawai gaji akhirat,”
katanya seraya tertawa keras.
Menyinggung hurup “P “di belakang namanya, ia
menyebutkan kalau huruf itu merupakan singkatan salah satu
marga di Tanah Karo yaitu Perangin-angin. Mengenai nama
tersebut, ia punya pengalaman menarik. Saat diperkenalkan
kepada penduduk Saliguma tak lama setelah ia datang ke desa
ini, mereka heran kok saya jadi da’i.
“Masalah ummat islam di Kepulauan Mentawai,”
menurut Salim P., “tidak hanya melulu soal aqidah atau perkara
keterbelakangan saja. Untuk itu, kita perlu secara bersama-sama
mengatasinya dengan memadukan kemampuan yang ada pada
diri kita masing-masing,” ajak Da’i Seratus Ummat ini. 

314
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

PENDUDUK MENTAWAI
TINGGALKAN KEBIASAAN LAMA
DAN PILIH ISLAM18)

"Asyhadualla ilaha illallah waasyhaduanna


Muhammadarrasulullah"
Terucap dari mulut 98 orang (27 diantaranya anak-anak)
penduduk Sarausau, Siberut Mentawai, Sumatera Barat, (Sumbar).
Mereka memilih Islam sebagai agamanya dan meninggalkan
kebiasaan lama Arat Sabulungan, Peristiwa itu terjadi pada selasa
(9/1) lalu.
"Dengan demikian, dari 55 ribu penduduk Kepulauan
Mengawai, kita sudah memeluk agama Islam sebanyak 25.760
orang atau 46 persen". Kata Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) Sumbar Haji Mas’oed Abidin (61) kepada
Republika di Padang, sabtu (13/1). Ia dengan rombongan sebanyak
12 orang, diantaranya dari Diniyah Putri Padang Panjang, baru saja
18 )
Harian Umum Republika, 16 Januari 1996

315
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

kembali dari Mentawai". Saya membimbing mereka melafazkan


dua kalimah syahadat", kata Mas’oed.
"Bisakah agama Islam mengajari kami, bagaimana cara
mengelola bambu dengan baik, kami punya banyak". kata salah
seorang penduduk di situ kepada rombongan.
Sebuah pertanyaan bersahaja. Pertanyaan itu,
memang pantas mereka ajukan, sebab Mentawai punya sebait sajak
tua yang mengguratkan kekecewaan atas perilaku pendapat ke situ.
Sajak itu kalau di Indonesiakan :

Burung dan Buaya


Elang dan rusa
hutan belantara
itulah jalan dan kampung kami
hutan belantara, jalan dan kampung kami
kenapa dirobek orang Tanah Tepi?
Orang Tanah tepi adalah penduduk Padang atau daerah
lainnya di Sumbar yang datang ke Mentawai guna menguras bumi,
kayu dan hasil hutan di Mentawai.
Dan kini mereka menuntut, mereka minta diajari cara
mengelola bambu. Keluguan dan keterbelakangan penduduk
Mentawai, memang bukan rahasia lagi. Kemajuan hanya singgah di
pinggir-pinggir pantai. Ada banyak sekolah disitu, tapi kekurangan
murid, ada yang belajar, tapi mereka dihadapkan pada kurangnya
sarana pendidikan.
Menurut Mas’oed, sepanjang 1995/1996 ini saja, DDII telah
meng-Islamkan pemeluk Arat Sabulungan di Mentawai sebanyak
2.079 orang yang dilakukan di 42 masjid ke situ sejak tahun 1985.
"Kita kekurangan sarana seperti boat untuk mengunjungi daerah-
daerah terpencil padahal para da’i kita bekeja sepenuh hati",
tuturnya.

316
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Para da’i itu secara bergiliran mengunjungi ke 42


masjid/musholla di 4 pulau besar di Mentawai. Sebanyak 11 masjid
ada di Siberut Utara. Di situ terdapat 281 orang penduduk yang di
Islamkan pada tahun 1995. Di Siberut Selatan ada 10 masjid/
musholla yang menampung 825 penduduk yang baru memeluk
Islam. Lalu 12 tempat di Sipora , dengan 702 muallaf dan di Sikakap
9 masjid yang dijadikan tempat membina 244 pemeluk Islam yang
baru masuk. Pada 9 Januari lalu itu, penduduk yang masuk Islam
berasal dari Desa Sarausau dan Desa Katurai Siberut Selatan.
Meski secara kuantitatif pemeluk Islam sudah 45 persen,
tapi secara kualitatif menurut Mas’oed mencapai 10 persen. "Tak
apalah, di Padang saja masih banyak Islam KTP," katanya.
Para da’i tadi menjalankan tugasnya sejak berbilang tahun
silam. Lalu dari penghasilan apa mereka hidup? "Ada yang
membantu," kata Mas’oed.
Sebanyak 22 orang dibantu oleh BAZIS PT. Semen Padang
sejak setahun silam dengan uang saku Rp. 60 ribu/orang, dari BNI
Rp. 75 ribu/orang untuk 9 orang, dari Haiyah Ighatsah untuk 11
orang telah jalan 2 tahun besarnya Rp. 150 ribu/orang, dari
perorangan untuk dan dari distributor Semen Padang untuk 3
orang.
Tapi semua itu adalah soal yang sedang dihadapi DDII.
Sementara penduduk yang 98 orang itu. bukan mustahil mereka
akan kembali ke kebiasaan lama atau malah pindah memeluk
agama lain. Syiar Islam di Mentawai, sepanjang sejarahnya,
memang sering kalah disitu.
Mas’oed memohon, jika ada badan atau pihak tertentu,
utamanya dari kalangan Islam, jika hendak membangun Mentawai,
maka yang perlu dilakukan adalah membangun manusianya.
"karena itu, peran da’i sangat penting," katanya. Sebuah tugas yang
suci tentunya. Tapi da’i itu selalu berteman berbagai kekurangan. 

317
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

IDE PAK NATSIR DAN HARUN ZAIN


TERUS DIGALAKKAN BANGUN
MENTAWAI19)

Badan Amil Zakat Infak dan Sadaqah (BAZIS) Korpri BNI


1946 Padang, memberikan bantuan peralatan shalat dan sejumlah
pakaian Muslim untuk penduduk Kepulauan Mentawai yang
baru masuk Islam. Bantuan tersebut disalurkan melalui Dewan
Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) Sumatera Barat yang
diterima langsung oleh petugas DDII di Siberut, Mentawai yaitu
Saudara Abdul Hadi A. Roni. Bantuan dari BNI 1946 itu adalah
40 helai sarung, 20 mukenah, 20 peci, 20 jilbab dan 40 buku
tuntunan shalat.
Menurut Ketua DDII Perwakilan Sumatera Barat H.
Mas’oed Abidin, yang disertai Pimpinan Perguruan Diniyah
Putri Padang Panjang, bantuan peralatan shalat tersebut
diserahkan kepada ummat islam di Siberut Selatan sekaligus

19 )
Harian Umum Singgalang, 8 Januari 1996

318
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

melakukan pensyahadatan kepada puluhan masyarakat di sana.


Dalam kesempatan iu pula, Pimpinan Perguruan Diniyah Putri
Padang Panjang Dra. Husna Nurdin bersama rombongan dan
seorang santri asal Jepang Nina Hatori, juga akan menyerahkan
bantuan pakaian serta 10 kardus pakaian yang berasal dari
sumbangan jama’ah masjid Nurus Sakinah Ulak Karang Padang.
Menurut Ketua DDII Padang, “Sebenarnya da'wah Islam
di Kepulauan Mentawai telah mulai dilakukan sejak tahun 1950
oleh ulama asal Padang Panjang, yaitu Inyiak Adam dan Encik
Rahmah. Sedangkan DDII hanya melanjutkan usaha yang telah
dirintis oleh ulama tempo doeloe itu. Pada tahun 1968, sewaktu
Bapak M. Natsir berkunjung ke Sumatera Barat dan mengadakan
pertemuan dengan Gubernur Harun Zain, pada kesempatan itu
ditegaskan oleh Bapak Natsir, agar masyarakat Sumatera Barat
menggerakkan keterampilan, hidupkan kembali madrasah yang
sudah loyo, hidupkan kembali puro (tabungan), bangun rumah
sakit Islam dan kembangkan da'wah Islam di Kepulauan
Mentawai.
Apa yang dilontarkan oleh Almarhum M. Natsir di atas,
sekarang sedikit demi sedikit sudah mulai menampakkan hasil.
Namun kita harus terus menggalakkan harapan Bapak M. Natsir
tersebut,” demikian kata H. Mas’oed Abidin. “Bahkan dengan
dimotori oleh mantan Gubernur Sumatera Barat, Bapak Harun
Zain, telah diberangkatkan 17 putera Mentawai untuk menuntut
ilmu di Pesantren Darul Fallah Bogor, dan sekarang mereka telah
menjadi aktivis dan kader pembangunan di Kepulauan
Mentawai. Di antara mereka ada yang menjadi Pegawai Negeri,
wiraswastawan, serta tokoh masyarakat lainnya, yang semuanya
telah memberikan partisipasi langsung dalam membangun
Kepulauan Mentawai,” lanjut H. Mas’oed Abidin. 

319
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Maifil Eka Putra

BERSAMA DDII DAN BAZIS PT.


SEMEN PADANG KE SIPORA20)

45 MUALLAF IKRARKAN JANJI PENUH


KESADARAN

Alhamdulillahirabbil ‘alamiin, kata-kata itu muncul dari


mulut H. Mas’oed Abidin, selaku Ketua Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) Perwakilan Padang, seusai mensyahadatkan 45
muallaf di Sipora. Kemudian ucapan itu diikuti oleh jama’ah yang
menyaksikan. Malam itu (Rabu, 21 Agustus 1996), udara sangat
cerah di langit Mentawai, penuh bintang dan dihiasi oleh bulan
sabit. Agaknya cocok dengan suasana hati jama’ah Masjid Nurul
Iman Sioban, kecamatan Sipora itu. Dengan ridha Allah SWT, 45
muallaf itu tanpa ada paksaan mengikrarkan diri menjadi seorang
muslim. Mereka berjanji dengan sepenuh hati dan tanpa ragu-ragu
mengikuti ikrar yang diucapkan H. Mas’oed Abidin.
20 )
Harian Umum Singgalang, 26 - 29 Agustus 1996

320
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Mereka tidak mengakui adanya Tuhan selain Allah dan


membenarkan bahwa Muhammad adalah Rasul/utusan Allah.
Ketika ikrar ini diucapkan, tangan kanan keempat puluh lima
muallaf itu menunjuk ke atas. Puluhan orang yang menjadi saksi
pengikraran malam itu hanya terdiam dan terharu
menyaksikannya. Seusai pengikraran tersebut, semuanya saling
bersalaman dan berpelukan. Di antara jama’ah ada yang
meneteskan air mata, seakan bertemu dengan saudara setelah
berpisah puluhan tahun.
Selain mengucapkan syahadat, sebelumnya berjanji untuk
tidak melakukan tindakan-tindakan yang dilarang agama, seperti
mencuri, berzina, murtad dan meninggalkan ibadah. Janji itu yang
menentukan kesediaan H. Mas’oed Abidin mau mensyahadatkan
orang-orang bumi Sekerei itu. Seusai acara itu baru dilaksanakan
pembacaan doa peneguh iman dan ungkapan syukur atas sadarnya
beberapa anak manusia akan agama yang benar.
Setelah pensyahadatan, 45 muallaf, yang paling tua
berumur 70 tahun dan paling kecil berumur 9 tahun dan terdiri dari
15 wanita dan 30 laki-laki, mereka mendapat pembagian kain untuk
beribadah. Untuk laki-laki mendapat sarung dan peci, serta baju
gunting Cina, sedangkan yang wanita diberi mukenah dan kain
sarung.
Semua bahan-bahan bantuan yang diberikan merupakan
bantuan dari Korpri PT. Semen Padang yang disalurkan melalui
Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) perusahaan tersebut.
Perusahaan Persero yang didirikan pada tahun 1901 ini, tidak
hanya memikirkan bisnis saja, tetapi juga memperhatikan bidang
kerohanian. Hal ini dibuktikan dalam bekerja sama dengan DDII
Perwakilan Padang, mencoba memberikan perhatian kepada
masyarakat di Kepulauan Mentawai. "Untuk kategori BUMN, baru
PT. Semen Padang yang banyak membantu kami memperhatikan
orang Islam di bumi Mentawai," demikian ungkap Mas’oed
Abidin. Beliau juga berharap, ada BUMN lain yang mau ikut
peduli demi kemajuan masyarakat Mentawai dan kemajuan ummat

321
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

islam secara umum. Karena untuk memajukan Mentawai tidak bisa


diupayakan satu kelompok orang saja, melainkan harus ada kerja
sama semua pihak. Bantuan yang diberikan oleh PT. Semen Padang
adalah berupa honor bagi tenaga da’i yang bertugas membina
ummat di daerah pedalaman.
Selain itu, Tim PT. Semen Padang juga dilengkapi dengan 2
orang dokter dan 7 orang tenaga para medis, yang dipimpin oleh
dr. Subandji Sadeli, DS., THT yang bertugas melaksanakan
khitanan massal bagi 30 muallaf. Setiap muallaf mendapat bantuan
berupa uang dan perlengkapan untuk ibadah. Sedangkan untuk
pengisian rohani dilaksanakan oleh Koselor Agama Islam PT.
Semen Padang H. Ristawardi Dt. Marajo Nan Batungkek Ameh.
Menurut Ir. Khairul Nasri, selaku koordinator rombongan
yang juga sebagai Ketua BAZIS PT. Semen Padang mengatakan,
apa yang disumbangkan oleh PT. Semen Padang untuk kelancaran
Da'wah Islamiyah di Mentawai pada Pekan Muhtadin IV, hanya
menyampaikan pesan dari seluruh pegawai PT. Semen Padang
yang mengeluarkan kewajibannya, untuk diberikan kepada orang
yang membutuhkannya. Sedangkan besar sumbangan yang
diberikan, Khairul Nasri keberatan untuk memberikan keterangan
lebih rinci. "Yang jelas, kita memberikan hak mereka, biar Allah saja
yang tahu. Namun kita berharap BUMN lain juga ikut mengikuti
jejak kami," kata Khairul. "Karena di BUMN ada juga BAZIS-nya.
Dan yang paling perlu mendapat bantuan adalah ummat islam di
Kepulauan Mentawai, karena penduduknya masih jauh tertinggal
dari penduduk Tanah Tepi," lanjutnya.

322
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

IMANULLAH BERJANJI AKAN BERSUNGGUH-


SUNGGUH

Tidak ada paksaan memeluk agama Islam, demikian


diungkapkan oleh Ustadz Ristawarti Dt. Marajo Nan Batungkek
Ameh, ketika tabligh akbar, sebelum pensyahadatan 45 muallaf di
Masjid Nurul Iman Sioban, kecamatan Sipora. Namun lanjutnya,
jika sudah masuk Islam tidak boleh murtad atau keluar dari agama
Islam, karena sudah terang mana yang benar dan mana yang salah.
"Kalau keluar, berarti meneguk ludah yang telah kita buang.
Sama dengan menumpang mobil, biar tidak mendapat tempat
duduk, tetap membayar sesuai tarif. Maka penumpang yang ingin
selamat jangan coba-coba membayar tidak sesuai dengan tarif.
Demikian juga memeluk Islam, kalau ingin selamat laksanakan
perintah Islam dengan baik, jangan setengah-setengah walaupun
seorang yang baru masuk Islam. Karena dengan bersungguh-
sungguh itulah yang akan membawa keselamatan," ujar Ustadz
Ristawarti.
Apa yang disampaikan oleh Ustadz Ristawarti itu tersemat
mati dalam hati Imanullah seorang muallaf paling tua di antara
yang disyahadatkan itu. Dia berjanji akan bersungguh-sungguh
melaksanakan perintah agama Islam, meski umurnya telah 70
tahun. Hal ini dinyatakan Imanullah, ketika ditanya apa
motivasinya masuk Islam. Imanullah, 70 tahun mengaku masuk
Islam tanpa adanya rayuan siapa pun. Dia sudah mempelajari Islam
sejak zaman Belanda, ketika itu dia masih remaja. Waktu itu di
Mentawai sudah ada yang beragama Islam. Selama itu, baru
sekarang hatinya terketuk untuk masuk Islam. Bagi Imanullah,
yang sebelum masuk Islam namanya adalah Immanuel, Islam
berarti syurga yang telah lama diimpikannya. Di dalam Islam ia
banyak melihat kemajuan dan ajaran yang memotivasi manusia
untuk maju. Hal ini tentu dengan ajaran jihad di jalan Allah SWT.

323
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Dia yakin dengan ajaran jihad, setiap yang dilakukan manusia


dalam kehidupan adalah bernilai ibadah di sisi Allah. Dengan itu
pula ia optimis, Mentawai akan maju seperti Tanah Tepi, karena ada
motivasi untuk membangun yang diimbali dengan pahala. Selain
itu, yang lebih ia puji adalah rasa persaudaraan yang tinggi. Dalam
Islam, kata Imanullah lagi, susah senang dirasakan bersama. Kalau
ada saudara seaqidah yang miskin atau kekurangan harta, akan
dibantu lewat zakat atau sedekah.
Bahkan yang menarik, meski di dalam harta orang kaya ada
harta orang miskin, namun orang miskin dilarang untuk meminta-
minta. Malahan, kata Imanullah seraya mengutip hadist Nabi,
tangan yang di atas lebih baik dari tangan yang di bawah. "Artinya
orang yang memberi lebih baik dari orang yang menerima di mata
Allah," kata Imanullah yang mantan Kepala Suku di Matobek
kecamatan Sipora ini.
Sebenarnya pada Pekan Muhtadin III (1995), Imanullah
sudah ada niat untuk masuk Islam. Namun karena malu dikhitan,
dia masih ragu. Dan akhirnya pada Pekan Muhtadin IV (1996),
perasaan malu itu dia buang. Setelah dikhitan oleh Tim Kesehatan
PT. Semen Padang di Puskesmas kecamatan Sipora di Sioban, dia
merasa lega. Cita-citanya untuk bergabung dengan Islam tercapai
sudah. "Rupanya khitan yang sebelumnya saya anggap sakit,
ternyata tidak demikian," katanya gembira.
Dalam keluarganya, Imanullah yang memiliki tato, sebagai
seorang ayah yang juga Kepala Suku, tidak bersikap keras terhadap
anak-anaknya. Dia mempunyai lima orang anak, dua orang
perempuan dan tiga laki-laki. Sorang di antaranya, anak yang
ketiga telah terlebih dahulu masuk Islam bulan Juli 1995. Dengan
masuk Islam anaknya yang ketiga itu, dia bisa mempelajari
perubahan yang tedapat dalam diri anaknya. Karena itu pulalah
semakin kuat hatinya untuk memeluk Islam sebagai tuntutannya.
Menurutnya, setahun setelah anaknya masuk Islam, ia
merasa tersanjung sebagai ayah. Ada rasa kebanggaan terhadap

324
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

dirinya. Akhlak anaknya terhadap orang tuanya makin baik. Selain


itu, anak Imanullah yang keempat merupakan sarjana agama lain.
Ketika ia menyampaikan akan memeluk agama Islam, dia
mengucapkan selamat. Ketika ditanyakan, "apakah ia bermaksud
mengislamkan seluruh anggota keluarganya," ia menjawab,
"tergantung hidayah Allah kepadanya".
Melihat keikhlasan hati Imanullah masuk Islam, Ketua DDII
Perwakilan Sumatera Barat, H. Mas’oed Abidin dan Ketua BAZIS
PT. Semen Padang, Ir. Khairul Nasri meneteskan air mata. "Orang
tua renta masih ingin masuk Islam, kita yang sudah masuk Islam
sejak kecil suka mengabaikannya," kata Mas’oed.

DA’I JUGA HARUS BISA MENGEMUDI DI AIR


DAN DARAT

Dakwah tidak bisa diartikan dengan ceramah saja. Kata


da'wah yang berasal dari bahasa Arab, mempunyai makna yang
luas. Banyak pakar yang mendefinisikan da'wah dengan berbagai
arti seperti : kegiatan menyeru, mengajak dan mengarahkan
manusia ke jalan yang diridhai Allah SWT dan meninggalkan
perbuatan yang tidak diridhai-Nya. Artinya segala tingkah laku
seseorang yang bisa merangsang orang lain untuk berbuat baik, bisa
dinamakan dengan da'wah. Orang yang melakukan da'wah disebut
dengan da’i, sedangkan orang yang diberi da'wah disebut dengan
mad’u.
“Menghadapi manusia yang berakal merupakan hal yang
sulit, karena manusia terdiri dari berbagai macam karakter,
pengetahuan dan status sosial. Dalam hal inilah seorang da’i harus
bisa meletakkan dirinya di atas segala karakter manusia yang

325
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

beraneka ragam tadi," demikian kata Mas’oed Abidin selaku Ketua


DDII Perwakilan Padang dalam acara Pekan Muhtadin IV di Sipora
Kepulauan Mentawai. Da’i yang bertugas di Kepulauan Mentawai
ini, mempunyai tanggung jawab yang berat. Dilihat dari kondisi
geografisnya, yang berada di tengah lautan dimana untuk
menjangkau satu tempat ke tempat lainnya harus melalui jalan laut
sebagai sarana perhubungan satu-satunya.
Kita ambil contoh di pulau Sipora yang pusat kecamatannya
berada di Sioban ini. Di sini kondisi masyarakatnya sudah sedikit
maju. Antara pendatang dengan penduduk asli sulit untuk
dibedakan. Di daerah ini penduduk non-muslim merupakan
mayoritas. Untuk menghubungkan Sioban dengan daerah lainnya
seperti Matobek, Tuapejat, Mara dan Sagitci” yang letaknya sangat
berjauhan, dan harus ditempuh melalui jalan laut. Perjalanan laut
ini membutuhkan waktu antara dua sampai empat jam perjalanan
dengan menggunakan boat. Dan bila ditempuh dengan perahu,
bisa lebih lama lagi. Belum lagi resiko yang harus dihadapi, karena
ombak di Samudera Indonesia yang kurang bersahabat.
Dengan medan seperti itulah DDII Perwakilan Padang
melaksanakan tugas suci, menyampaikan kebenaran dan membina
ummat agar tetap dalam ajaran agama Allah. "Bagi seorang da’i di
Sipora, harus bisa mengemudi di air dan di darat," kata Zulkifli
mengisahkan pengalamannya. Zulkifli merupakan koordinator
dari seluruh da’i di pulau Sipora. "Salah satu tugas da’i, ia harus
bisa membantu mad’unya di segala bidang, dan dia harus bisa
menjadi panutan." lanjutnya. "Di Kepulauan Mentawai da’i sebagai
contoh, harus berani dan harus bisa mencari ikan di laut. Kalau da’i
tidak mempunyai kemampuan, maka akan membuat kaumnya
menjadi kurang percaya. Akibatnya apa yang disarankan da’i
untuk kebaikan, akan diabaikan oleh ummat. Apalagi para muallaf,
tentu akan lebih fatal, dan bisa-bisa akan membuat mereka murtad.
Hal ini karena imannya masih belum mantap," kata Zulkifli, da’i
putra asli Sipora ini.

326
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Tidak salah kalau DDII bersusah payah mencarikan dana


dari para donatur, guna kelancaran da'wah di Kepulauan Mentawai
ini. Dana yang terkumpul dari para dermawan digunakan juga
untuk keperluan ummat islam di sana. Da’i yang hanya diberi
santunan Rp 60.000,-per bulan, tentu masih jauh dari mencukupi
untuk menutupi kebutuhan sehari-hari mereka. Kadangkala dana
ini pun masih digunakan untuk menyantuni ummat islam di
daerah dimana da’i bertugas.
Dalam kesempatan itu. H. Mas’oed Abidin, selaku Ketua
DDII Padang yang membina para da’i di kepulauan ini, bersyukur
kepada Allah, karena PT. Semen Padang lewat BAZIS-nya yang
dipimpin Ir. Khairul Nasri sudah banyak membantu kesejahteraan
da’i dan ummat islam di Kepulauan Mentawai.
Namun demikian, perhatian kaum muslimin baik yang
tergabung dalam badan usaha maupun instansi lainnya, sangat
diharapkan sekali. Apalagi untuk memperhatikan ummat islam di
Kepulauan Mentawai, yang sama-sama kita ketahui masih
tertinggal di segala aspek kehidupan. Selama ini, kami hanya
mendengar cerita tentang da'wah di Mentawai dari H. Mas’oed
Abidin. Setelah kami terjun langsung, ternyata memang suatu
pekerjaan yang menantang. Apalagi untuk berperahu di ombak
besar dalam menuju desa binaan. Dan kalau hanya DDII yang
bergerak, maka akan sia-sia. Untuk itu kita perlu kerja sama,"
demikian dikisahkan oleh Ir. Khairul Nasri.

“TAMAT MTsN BISA BEKERJA DI PT. SEMEN,


PAK?”

SEORANG anak kecil naik ke atas mimbar seraya membaca


salam. Orang yang hadir hanya tertegun menatapnya. Kemudian

327
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

dari mulut anak yang berumur sekitar 13 tahun itu, keluar sebuah
petuah, "Ada dua 17 yang perlu dihayati, yaitu 17 Agustus dan 17
rakaat. Dimana 17 Agustus adalah hari kemerdekaan kita,
sedangkan 17 rakaat kewajiban kita sehari-hari. Kaitannya untuk
mencapai 17 Agustus diperlukan 17 rakaat. Dan pada 17 rakaat
banyak manfaat yang bisa diambil diantaranya nilai disiplin dan
nilai kebersamaan".
Anak laki-laki itu, kemudian dikenal dengan nama Muarif,
dia berasal dari Tuapejat, kecamatan Sipora, Kabupaten Padang
Pariaman. Untuk ke desanya dapat ditempuh selama tiga jam
dengan boat.
Muarif, pagi itu tampil mewakili teman-temannya
memberikan kultum (kuliah tujuh menit) di Masjid Nurul Iman,
Sioban seusai shalat subuh berjama'ah. Menurut Sumardi, suasana
seperti itu, sudah berlangsung sejak tiga tahun yang lalu (1993).
Dimana setiap subuh diadakan kultum yang penceramahnya
adalah anak-anak secara bergiliran.
Anak-anak itu, berasal dari desa-desa yang jauh di
pedalaman. Mereka di Sioban dalam rangka menuntut ilmu di
MTsn yang didirikan dengan swadaya masyarakat setempat. Di
pusat kecamatan itu, mereka dipondokkan dan setiap waktu shalat
dianjurkan berjemaah.
Siswa MTsN Padusunan Filial Sioban di Pulau Sipora itu
berjumlah 75 orang, sedangkan yang aktif hanya 55 orang. Diajar
oleh delapan orang guru, Empat orang diantaranya pegawai negeri
sipil, sedangkan dua guru bantuan tenaga dari KUA dan dua orang
lagi guru sukarela.
Menurut Sumardi, Kepala MTsN tersebut, pada siswa
dibebankan SPP Rp. 1250. Namun setiap bulannya tidak semua
siswa yang membayar. Karena sebahagian dari mereka adalah
muallaf. Sekolah yang tiga lokal ini memiliki kantor yang sangat
sederhana dan hanya beratap rumbia. Sementara di sampingnya

328
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

berdiri sebuah bangunan permanen milik Depdikbud yang


digunakan untuk asrama murid-murid SMP.
"Asrama siswa MTsN, tidaklah semegah milik SMP itu."
kata Muarif kepada tamu dari BAZIS PT. Semen Padang saat
berkunjung ke MTsN itu. "Bila hujandatang kerap kali kami
mengungsi ke rumah-rumah penduduk, dan kalau badai maka atap
pondokan putra dan putri milik MTsN akan bisa terbang,"
lanjutnya.
Sebenarnya asrama SMP itu masih banyak yang kosong,
kata Sumardi, namun untuk dimanfaatkan siswa MTsN mumpung
dekat dari MTsN, tidak diizinkan pihak Depdikbud. "Untuk itulah
kami mohon bantuan para dermawan untuk pembangunan sarana
pendidikan agama di Sioban ini," ujar Sumardi.
Saat rombongan Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia
Perwakilan Sumatera Barat dipimpin H. Mas’oed Abidin dan
BAZIS PT. Semen Padang yang dipimpin Ir. Khairul Nasri ke
MTsN itu salah seorang siswanya bertanya, "Apakah kami setamat
MTsN ini bisa bekerja di PT. Semen Padang, Pak?"
Saat pertanyaan tersebut terluncur dari mulut Samira, siswa
kelas III itu, semua hadirin tertawa campur bangga. Pasalnya dia
mengutarakan dengan keluguan, dan tidak terbayangan
pertanyaan itu yang akan diungkapkannya.
Sedangkan siswa lain meminta bantuan sarana olahraga.
"Dari hari ke hari olahraga kami voli ke voli saja. Padahal kami juga
ingin badminton, takraw, tenis meja. Selama ini kami kenal hanya
lewat teori, praktek belum," ujarnya.
Menjawab, seluruh pertanyaan itu, Khairul mengatakan,
untuk seumur mereka tidak usah memikirkan masalah kerja(dulu.
Karena masih panjang waktu untuk menuntut ilmu. Nanti kalau
sekolah sudah tinggi dan ilmu sudah banyak maka pekerjaan yang
lebih baik akan mudah diperoleh. Mengapa harus bekerja,
semestinya anak-anak harus rajin-rajin belajar.

329
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Masalah biaya yang kurang, masih banyak saudara-saudara


yang seakidah akan membantu. Sedangkan masalah sarana
olahraga, insya Allah akan dibantu BAZIS PT. Semen Padang.
Saat itu juga diberikan bantuan berupa uang untuk
pembangunan MTsN tersebut. Rombongan tersebut juga
meninggalkan pakaian untuk beribadah dan makanan berupa mie
untuk dikonsumsi siswa-siswa MTsN tersebut.

Dari Swadaya
Untuk membangun sebuah sekolah di Mentawai, tidak
semudah membangun sekolah di tanah tepi (pulau Sumatera),
yang penduduknya sudah mempunyai latar belakang pendidikan
yang relatif maju. Taraf pendidikan masyarakat tersebut, warna dari
pembangunan yang dilakukannya.
Kalau di Sipora Mentawai, penduduk di tanah Sikerei masih
jauh tertinggal dari taraf kehidupan orang tepi. Jadi untuk
membangun dirinya sendiri belum bisa selayak yang dilakukan
orang Tanah Tepi yang didukung sarana dan prasarana yang
memadai.
Seperti membangun sebuah gedung sekolah misalnya, tidak
bisa dilakukan masyarakat asli Mentawai. Namun harus
didatangkan orang Tanah Tepi untuk menjadi komando
pembangunan tersebut. Seperti yang yang dilakukan Sumardi,
alumni IAIN Imam Bonjol Padang ini. Dengan tekad yang bulat dia
ingin memajukan masyarakat Sipora. Langkah itu didasari dengan
niat ibadah. Berbekal ilmu pendidikan yang ditimba di Fakultas
Tarbiyah IAIN Imam Bonjol Padang, dia mulai mencari anak
Mentawai yang mungkin punya minat untuk menjadi muridnya.
Tahun 1990 berhasillah ia dengan gebrakannya itu, hingga kini
mempunyai murid 75 orang dari kelas I sampai III.
Semula gedung sekolah MTsN tersebut yang masih filial
MTsN Padusunan Padang Pariaman, hanya beratap rumbia dan

330
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

dibangun atas swadaya masyarakat di pulau tersebut. Kemudian


dengan berangsur, akhirnya bisa juga beratap seng dan dinding
permanen. Sumber dana tentu saja dari donatur yang dicari
Mawardi di Tanah Tepi.
Namun sekarang, sekolah tersebut masih sederhana dan
belum mempunyai prasarana yang memadai. Namun dengan
kesederhanaan tersebut dalam ujian cawu, siswa MTsN tersebut
sudah bisa mengalahkan nilai-nilai dari siswa yang sekolah di tanah
tepi seperti Padang Pariaman dan mungkin saja di Sumatera Barat.
"Anak-anak di sekolah tersebut memang pintar-pintar.
Hampir semuanya baru masuk Islam. Namun dalam belajar agama
Islam dan Bahasa Arab mereka dapat menguasai dengan baik.
Bahkan lebih baik dari Muslim yang belajar dari kecil. Hal ini
dibuktikan ketika mereka tampil memberikan pengajian, meski
masih kelas I, tapi sudah fasih berbicara dan muatan ceramahnya
cukup berbobot" kata H. Mas’oed Abidin Ketua DDII Sumatera
Barat ketika berkunjung ke sekolah tersebut bersama KMS Agustus
lalu.

BAZIS PT SEMEN PADANG ADAKAN BHAKTI


SOSIAL DI KEPULAUAN MENTAWAI21)

Tim Badan Amil Zakat Infak dan Sedekah (BAZIS) PT


Semen Padang, selama empat hari melaksanakan bhakti sosial di
Kepulauan Mentawai. Tim yang dipimpin oleh Ketua BAZIS, Ir.
Khairul Nasri, telah melakukan berbagai kegiatan sosial di
kepulauan dalam kabupaten Padang Pariaman itu, seperti khitanan
massal, ceramah agama serta survey ke masjid dan mushalla yang

21 )
Harian Umum Singgalang, 22 Agustus 1996

331
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

ada guna menentukan bantuan apa yang sesuai untuk diberikan


kepada ummat islam di daerah ini.
Humas PT Semen Padang, Desri Ayunda, SE, menjelaskan,
tim yang disertai dr. Subandji selaku wakil ketua, mengkhitan
anak-anak Mentawai secara cuma-cuma. Tim yang beranggotakan
sekitar 20 orang ini, dilepas Kepala Departemen Umum, Ir.
Mustamir Darwis dan selanjutnya bertolak ke pelabuhan Muara
Padang untuk meneruskan perjalanan dengan KM. Kuda Laut.
Rombongan yang terdiri dari berbagai keahlian itu, berada
di gugusan kepulauan bagian barat Sumatera itu selama 8 hari.
Selain melakukan khitanan massal, juga menyerahkan sumbangan
langsung berupa pakaian, makanan dan obat-obatan. Khusus untuk
masjid belum diberikan langsung, karena Tim BAZIS baru
melakukan survey untuk mengetahui apa yang diperlukan oleh
ummat islam berkenaan dengan rumah ibadah di Mentawai. "Kita
tidak memberikan uang, tetapi kita lihat sendiri apa yang paling
dibutuhkan," demikian kata Ir. Mustamir Darwis. Kegiatan sosial
BAZIS PT. Semen Padang dilaksanakan setiap tahun. Tetapi untuk
Kepulauan Mentawai baru kali ini, dan ini sangat berbeda dengan
yang lain karena Mentawai sangat spesifik dibanding dengan
daerah lain. 

332
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

MENYOKONG KIPRAH DDII22)

Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) sudah lama


berkiprah di Sumatera Barat. Hasil usaha dari kerja keras DDII juga
telah dirasakan oleh masyarakat daerah ini. Mereka yang mengabdi
di DDII rata-rata punya pengalaman banyak. Mereka adalah
manusia kerja, pemikir sekaligus memiliki pengetahuan agama dan
umum yang dalam. Mereka tidak mudah diombang-ambing
gelombang peredaran zaman yang kadang-kadang sulit diterka.
Saat ini yang cukup menonjol pengabdian DDII di Sumatera
Barat adalah pembinaan ummat islam di daerah terpencil. Di
antaranya di Kepulauan Mentawai, daerah transmigrasi Sitiung,
Kinali Pasaman Barat dan daerah lainnya yang tergolong rawan
keadaan sosial keagamaannya 23). Karena pengabdian mereka yang
tanpa pamrih, menyebabkan gerak organisasi ini semakin mapan.
Semakin dipercaya masyarakat. Itulah sebabnya, semakin hari
semakin banyak saja kalangan dermawan dan hartawan yang
menyalurkan bantuannya kepada masyarakat miskin melalui DDII.
22 )
Tajuk Rencana, Harian Umum Singgalang, 30 Agustus 1996
23)
Termasuk juga Lunang Silaut dan daerah Solok Selatan

333
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Apa yang telah dilakukan DDII dalam membina ummat


islam, terutama yang tergolong rawan ekonominya, jelas perlu
disokong bersama. Sebab kita juga mengetahui bahwa dana yang
dimanfaatkan DDII untuk melakukan kegiatan, juga merupakan
sumbangan kalangan dermawan dan hartawan. Sudah pada
tempatnya pula support yang terus-menerus diberikan kepada
DDII demi meningkatkan kesejahteraan ummat islam, terutama di
pedesaan yang masih membutuhkan perhatian berbagai pihak.
Sebut saja ummat islam di Kepulauan Mentawai, terutama
penduduk aslinya yang umumnya masih belum begitu
menggembirakan keadaannya, jelas peranan DDII sangat
menentukan sekali. Untuk itu, mereka yang mengabdi di DDII ini
jangan sampai merasa bosan meningkatkan pengabdiannya. Jangan
sampai merasa jenuh, terutama para tenaga di lapangan.
Apa yang dilakukan DDII di Sumatera Barat maupun
daerah lainnya, jelas membutuhkan semangat juang yang terus-
menerus perlu ditingkatkan. Untuk itu kepada semua pihak, baik
aparat pemerintah maupun kalangan swasta, sudah selayaknya
lebih bergairah lagi mendorong DDII dengan memberikan
sumbangan sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Sementara itu, kepada DDII sangat diharapkan untuk lebih
terbuka dalam meningkatkan partisipasinya. Sebab dengan semakin
terbukanya gerak DDII, maka sokongan dari berbagai pihak akan
semakin besar. Oleh sebab itu, mengikutsertakan kalangan
wartawan dalam setiap kegiatan yang dilakukan DDII, jelas suatu
langkah yang tepat. Sebab kalangan Pers akan mengekspose
kegiatan DDII, seperti yang telah sering dilakukan, terutama kiprah
DDII di berbagai lokasi pembinaan di Kepulauan Mentawai.
Kita juga mengetahui di berbagai kantor pemerintah
maupun swasta di daerah ini, termasuk kalangan Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) punya dana khusus untuk pembinaan sosial
kehidupan masyarakat. Oleh sebab itu, kepercayaan yang sudah
diberikan kepada DDII tentu saja sudah sepantasnya lebih
ditingkatkan lagi. Kerja sama yang baik antara pemberi dan

334
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

penyalur, dalam hal ini DDII semakin mempertebal kepercayaan


masyarakat kepada organisasi ke-Islaman ini. Sekaligus dengan
semakin berkiprahnya DDII di Sumatera Barat akan membawa
dampak yang lebih positif untuk perkembagan Islam di daerah ini.

335
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

NASIB GURU MEMPRIHATINKAN24)

Banyak orang menanyakan, "Apa beda Sipora dengan


Tanah Tepi?" Dan jawabannya akan diperoleh ketika kita
berkunjung langsung ke sana. Pulau yang terdapat di tengah
Samudera Indonesia ini, merupakan bagian dari Kepulauan
Mentawai dan masuk dalam wilayah administrasi propinsi
Sumatera Barat. Sudah seharusnyalah, tidak ada perbedan antara
pembangunan di Tanah Tepi dengan Kepulauan Mentawai.
Meskipun demikian, barangkali karena letak geografisnya yang di
tengah lautan, menyebabkan pembangunan di pulau Sipora dan
umumnya Kepulauan Mentawai, menjadi nomor kesekian dalam
segi apapun
Untuk membangun Kepulauan Mentawai memang
diperlukan keberanian dan keikhlasan yang tinggi dari para aparat
pemerintah. Karena pejabat/aparat yang ditugaskan di sana akan
menempuh tantangan ombak dan medan yang bisa merengut
nyawa. Salah satu yang menjadi fenomena di sana adalah masalah

24 )
Maifil Eka Putra, Harian Umum Singgalang, 30 Agustus 1996

336
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

pembangunan sumber daya manusia yang justru akan menjadi


ujung tombak bagi kemajuan di kepulauan ini. Meski kekayaan
yang melimpah, tanpa didukung oleh SDM yang handal,
tampaknya akan tidak banyak berguna bagi masyarakat setempat.
Harapan satu-satunya adalah dengan mencetak SDM yang berasal
dari kepulauan itu sendiri, karena kalau didatangkan para tenaga
handal dari luar, akan sulit untuk beradaptasi dengan alam dan
lingkungan.
Pada saat ini, justru masalah itu yang kurang mendapat
perhatian. Sekolah-sekolah yang berada di pinggir pantai barat
Sipora sangat memprihatinkan. Dari sekolah yang diharapkan akan
muncul para tenaga muda yang siap aktif membangun kampung
halamannya, tampaknya kurang diperhatikan. Hal ini dapat kita
lihat dari nasib guru yang mengajar di sekolah. Di antaranya ada
yang telah mengajar selama 6-8 tahun, namun golongannya masih
II/A, meski bahan dan permohonan untuk kenaikan golongan telah
disampaikan berulang kali. Akibatnya, motivasi guru untuk
mengajar menjadi kurang. Sangat ironis memang.
Sebagai contoh, Ilsyam Suprianto, 36 tahun salah seorang
guru SD di pantai barat Sipora, mengaku sudah 6 tahun mengajar,
namun belum pernah naik pangkat. Guru SD tamatan SPG ini,
sejak diangkat mejadi guru SD pada tahun 1990 sampai sekarang
golongannya masih II/A. Walaupun sudah berulang kali diajukan
permohonan naik pangkat, yang seharusnya kenaikan pangkat
secara otomatis tidak ada permohonan, namun sampai Agustus
1996 belum ada tanda-tanda untuk dikabulkan. Nasib yang sama
juga dialami oleh beberapa orang rekan seprofesinya.
Sementara itu, untuk mengajar 68 murid di SD tempat dia
mengajar, dia harus menempuh jalan darat/kaki selama 8 jam dari
desa Metobek. Dengan penghidupan yang demikian, dia masih bisa
menghidupi dua orang anak dan seorang istri. Selain itu, di sekolah
tersebut juga tidak ada kepala sekolah yang menetap. Kalaupun
ada, hanya kepala sekolah yang dinotakan, itu pun tidak datang
setiap hari, sehingga para guru tidak terkontrol.

337
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Ilsyam juga mengaku, karena tidak ada perhatian dari


pemerintah/pejabat terkait, tentang nasib guru di Kepulauan
Mentawai, sudah satu bulan ia tidak mengajar. Sebenarnya ia
merasa rugi, karena pendidikan masyarakat Mentawai yang
merupakan anak negerinya terabaikan karena kurang perhatian
pemerintah.
"Kepada pejabat Depdikbud saya berharap, agar lebih
memperhatikan nasib kami di Mentawai. Jangan bedakan kami
dengan masyarakat Tanah Tepi. Kami juga punya cita-cita untuk
memajukan Kepulauan Mentawai negeri kami yang juga bagian
dari Republik Indonesia," demikian harapan Ilsyam. Selain keluhan
kenaikan pangkat dan kepala sekolah, Ilsyam juga berharap
pembangunan rumah guru di sekolah-sekolah yang berada di tepi
pantai barat ini. 

338
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

PONDOK PESANTREN HAMKA


MANINJAU TAMPUNG 15 ANAK ASAL
MENTAWAI25)

Lima belas orang anak Kepulauan Mentawai sekarang


mendapat kesempatan belajar di Pondok Pesantren Prof. Dr.
HAMKA Maninjau. Mereka diserahkan secara resmi oleh Ketua
Yayasan Pembinaan Masyarakat Mentawai (YPMM), M. Bakri di
panti asuhan Anak Mentawai Gurun Laweh, Padang kepada
pengurus Yayasan yang akan menampungnya, Bashir Gany,
Kamis (5/9/96).
Menurut Bashir, semua anak tamatan SD tersebut,
selanjutnya akan dibina sebagai santri, untuk menjawab kebutuhan
ulama di Kepulauan Mentawai. Diakuinya, selama ini memang
sudah banyak da’i di sana, namun yang berkualitas ulama dalam
pengertian lebih mantap dari sekedar juru da'wah, masih perlu
ditambah.

25 )
Edi Suardi, Harian Umum Singgalang, 7 September 1996

339
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

Dengan masuknya 15 santri hari ini, menurut Bashir berarti


sudah 65 orang santri di pondok pesantren ini. Mereka dibina
delapan orang tokoh agama kawakan. Diantaranya Drs. Muchlis
dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Ustadz Ahmad
Tamin dan Imam Tarmizi dari Pondok Pesantren Tinggi Bangil
Jawa Timur, Nurwanto dari Pondok Pesantren Gontor, Arniati dan
Yunita dari Raudhatul Hasanah Medan, Pesantren Tinggi Akabah
Bukittinggi dan M.St. Rajo Ameh dari IKIP Ibnu Chaldun Jakarta.
Dalam naskah serah terima 15 orang anak Mentawai
tersebut, antara lain dibunyikan selanjutnya mereka menjadi
tanggungjawab Pondok Pesantren Prof. Dr. HAMKA Maninjau,
baik mengenai biaya pendidikan maupun konsumsinya.
Namun jika ditemui masalah akan dibicarakan lebih lanjut
antara pengurus YPMM Sumbar dan pengurus pondok pesantren
tersebut. Andaikata diantara mereka ada yang terpaksa
dikembalikan ke Panti Asuhan Anak Mentawai itu, tidak perlu
penggantian biaya yang sudah dikeluarkan pesantren dimaksud.
Dengan dilepasnya, 15 warga panti Gurun Laweh itu,
menurut M.Bakri berarti tinggal 125 orang lagi anak asuhannya.
Namun tidak tertutup kemungkinan bertambah lagi, karena ia
tidak tega menolak kalau masih ada yang datang minta pembinaan
ke sini.
Acara perpisahan hari itu berlangsung sederhana namun
diwarnai suasana haru. Satu persatu anak-anak yang akan
meninggalkan panti tersebut bersalaman dengan bapak dan ibu
asuhnya.
Ada diantaranya yang mencium tangan kedua orang tua
tersebut dan sebaliknya pengasuhnya ini tak jarang pula memeluk
mereka, seolah-olah berat melepaskan, namun harus dilaksanakan
demi masa depan mereka masing-masing. 

340
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

LEBARAN DI MENTAWAI26)

Perayaan Dengan Pesta Rakyat

MENTAWAI-Sama halnya dengan ummat muslim di


Tanah Tepi. Muslim di Mentawai ikut merayakan hari raya Iedul
Fithri 1417 H. Perayaaanya tidak kalah gembiranya dengan
tempat lain. Malamnya diisi dengan takbiran keliling kampung,
paginya diawali dengan pembagian zakat fitrah dan pembagian
baju lebaran, yang dikirim khusus Dewan Dakwah Islamiyah
Indonesia (DDII) perwakilan Sumatra Barat.
Menurut Abdul Hadi Aroni, B.A., Koordinator Da'i di
Mentawai yang tinggal di Siberut Selatan yang diwawancarai
Singgalang per telepon, Senin (10/2/97), di Muara Siberut, pawai
takbiran keliling kampung berlangsung dua kali. Selain malam,
juga pagi menjelang shalat Id diadakan. Kegiatan tersebut juga
diisi dengan pembagian zakat fitrah dan paket lebaran kepada

26 )
Meifil Eka Putra, Harian Umum Singgalang, 12 Pebruari 1997

341
Mentawai Menggapai Cahaya Iman

muallaf. Selain takbiran keliling, kata Abdul Hadi Aroni, di


dermaga Muara Siberut pada malamnya dibuat pentas terbuka
yang diisi dengan acara kesenian yang bernafaskan Islam. Selain
itu juga ditampilkan ustadz dari Pekan Baru yang memberikan
ceramah menyambut Iedul Fithri.
Setelah shalat Iedul Fithri yang diadakan di Mesjid Al
Wahiddin, ummat muslim berbondong kelapangan, selain
bersalaman, mereka menyaksikan pesta rakyat. Diantaranya pacu
karung, pacu kerupuk dan mengambil uang logam dengan gigi
yang ditempel di jeruk bali. Acara terkesan meriah. Masyarakat
bergembira dengan pesta rakyat tersebut. Dan pesta tersebut
hanya diadakan setiap hari raya saja.
Pesta rakyat itu, kata Abdul Hadi Aroni, hampir di
seluruh pelosok Mentawai diadakan. Begitu juga dengan takbiran
keliling kampung. Meski ummat islam di Mentawai banyak yang
mualaf, namum pawai takbiran berlangsung dengan aman.
Bahkan dengan takbiran tersebut, serasa alam Mentawai
terkesima dan ikut bergembira menyambut datangnya Iedul
Fithri.
Yang lebih mengejutkan kata Abdul Hadi Aroni,
partisipasi ummat islam di Mentawai cukup tinggi. Mereka bisa
pula membangun diri sendiri. Ini terbukti ketika infak terkumpul
dimana untuk anak yatim dan kaum dhu’afa banyak jumlahnya.
Setelah dihitung selama Ramadhan dan Iedul Fithri terkumpul
infak sabanyak Rp 1.300.000.
"Ini artinya mereka tidak mengandalkan bantuan dari luar
saja. Melainkan mereka juga bisa mewujudkan bahwa mereka
juga bisa membangun diri mereka sendiri." Kata H. Mas'oed
Abidin, Ketua DDII, yang ikut berbicara bersama Singgalang dan
koordinator Da'i di Mentawai.

342
Perjalanan Jurnalistik Dalam Safari Da’wah Ke Mentawai

Khatib di Mentawai
Kelancaran lebaran di Mentawai, Dewan Dakwah
Islamiyah Indonesia (DDII) tidak mendatangkan khatib dari luar
kawasan tersbut. Melainkan menyerahkan sepenuhnya kepada 70
Da'i yang bertugas di Mentawai tersebut. Umumnya khatib itu
merupakan putra asli Mentawai dan ada yang telah menempuh
jenjang pendidikan sampai tingkat sarjana.
Untuk menjadi khatib di Mentawai, Da'i harus siap
menempuh aliran sungai yang menuju perkampungan itu dengan
boat atau perahu dayung. Namun demi tugas suci dan ummat
islam dijalani dengan penuh keikhlasan lillahi ta alaa, tinggal para
dermawan yang akan membantunya secara moril dan materil
demi kelancaran tugas da'i tersebut.
Di Muara Siberut bertindak sebagai khatib H.M. Idris
Batubara dan Imam H.Abdul Hadi Aroni. Di Taileleu, Khatib dan
Imam Lukman. Di Sarasau Imam dan Khatib Mukhsinin. Di
Saliguma (Salim Parangin-rangin). Di Saibi Sumokop (M. Rafit).
Di Madobak (Afdhal). Di Rokdok, (Abdullah). Di Matotonan
(Jhon Effendi).
Sedangkan untuk wilayah Sioban Sipora, di langsungkan
di Masjid Nurul Iman. Iman dan Khatib Zulkifli Tamali Saogo.
Di Sagitsi (Hiram Henok S.H.). Di Bosua dan Bariauleu (Masihol
dan Gerti Amran). Di Tua Pejat (Jamar Tamali Saogo). Di Mara
dan Nem - Nem (Mohammad Fadli). Sedangkan di Pantai Barat
Berimanua dan Taraet, Batumoga diadakan di Batumoga dengan
Imam dan Khatib Mislih. 

343

Anda mungkin juga menyukai