Anda di halaman 1dari 11

PRPOSAL TESIS

PERGESERAN MAKNA TRADISI TAKBIR KELILING DI DESA PASURUHAN ( 1980-


2020)

Oleh :
Mohamad
Muchsinuddin
NIM. 21180221000010

PROGRAM MAGISTER
SEJARAH DAN KEBUDAYAAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
A. Judul
Pergeseran Makna Tradisi Takbir Keliling Di Desa Pasuruhan ( 1980-2020)

B. Latar Belakang Masalah


Kabupaten Pati merupakan salah satu Kabupaten di wilayah Jawa Tengah yang ada di pantai
selatan Jawa. Luas wilayah Kabupaten Pati mencapai 1.503,68 km2 dengan total populasi
1.259.590 jiwa1. Kabupaten Pati terdiri dari 21 kecamatan, 5 kelurahan, dan 401 desa.
Desa Pasuruhan merupakan bagian dari kecamatan Kayen kabupaten Pati mempunyai luas
wilayah 900ha serta mempunyai kepadatan penduduk sebanyak 2360jiwa2 dimana sebagian
wilayahnya adalah lahan pertanian. Dengan adanya pertanian yang luas sebagain besar
penduduknya bekerja sebagai petani, namun tidak memungkiri bahwa sebagaian yang lainnya
memilih untuk bekerrja di luar Negeri sebagai TKI/TKW demi memenuhi kebutuhan rumah
tangganya. Seperti halnya yang diungkapkan oleh Kepala Desa Pasuruhan Warsito Dia
mengatakan, Desa Pasuruhan memang memiliki jumlah TKI yang begitu besar. Progam
Desmigratif dikatakannya merupakan progam dari kementerian.

....Desa Pasuruhan, Kecamatan Kayen terpilih menjadi Desa Migran Produktif


(Desmigratif). Pasalnya, desa tersebut menjadi salah satu desa penyumbang tenaga kerja
Indonesia (TKI) yang cukup besar, hal itu diungkapkan oleh Kades Pasuruhan,
Kecamatan Kayen Warsito kepada Suara Merdeka. Dia mengatakan, Desa Pasuruhan
memang memiliki jumlah TKI yang begitu besar. Progam Desmigratif dikatakannya
merupakan progam dari kementerian.3
Islam merupakan agama mayoritas di Kaupaten Pati, tidak terkecuali di Desa Pasuruhan.
dalam jumlah penduduk 1.259.590 jiwa terdapat sebanyak 1.140.559 penduduk yang beragam
Islam.4 Sebelumnya telah kita ketahui Islam masuk di pulau Jawa melalui jalur perdagangan,
dengan munculnya kerajaan-kerjaan Islam di tanah Jawa, menyebabkan terjadinya asimilasi
antara budaya Jawa dan Islam.
Salah satu proses Islamisasi di Jawa yang penting adalah lahirnya unsur tradisi keagamaan
santri dalam masyarakat sosio kultur masyarakat Jawa. Tradisi sosio kultur santri ini bersamaan
dengan kehidupan pesantren yang akan menjadi inti Tradisi Besar Islam di Jawa. Islamisasi di
Jawa melahirkan tradisi-tradisi yang kemudian dipelopori oleh para kyai/ulama dan pada
kalangan santri, tradisi tersebut meliputi hal yang berkaitan dengan ibadah maupun muamalah.

1
www.patikab.bps.go.id. Diakses tanggal 11 Juni 2020.
2
https://syifaulzulfa.wordpress.com/2014/02/25/profil-desa-pasuruhan/
3
https://www.suaramerdeka.com/ diakses tanggal 17 juli 2020
4
https://patikab.go.id. Diakses tanggal 13 Juni 2020
Tradisi menurut etimologi adalah kata yang mengacu pada adat atau kebiasaan yang turun
temurun, atau peraturan yang dijalankan masyarakat.5 Sedamgkan menurut Mursal Esten adalah
kebiasaan turun temurun sekelompok masyarakat berdasarkan nilai budaya masyarakat yang
bersangkutan dan dijalankan terus menerus.6 Soekanto Soerjono menjelaskan tradisi merupakan
perbuatan yang dilakukan berulang-ulang di dalam bentuk yang sama.7 Tradisi merupakan suatu
kegiatan atau prilaku dan gagasan yang diwariskan dari kehidupan masa lalu yang masih
dijalankan dan dijaga kelestariannya hingga saat ini (Sztompka. 2011: 69). Kamus sosiologi dan
kependudukan memaknai “tradisi” sebagai suatu kebiasaan dalam adat-istiadat yang dipelihara
secara turun-temurun mengenai kepercayaan (Hartini dan Kartasapoetra. 1992: 427).Tradisi
keagamaan di Jawa dalam hal ini sangat banyak, sebagai contohnya tradisi selametan lahiran,
tradisi selamaetan pernihanan, dan sebagainya.

Sebagai contoh hal yang berkaita dengan ibadah yaitu tradisi Takbir Mursal (keliling) yang
dirayakan malam hari sebelum Idul Fitri.Desa Pasuruhan memiliki letak geografis yang
berdekatan dengan lereng Gunung Kendeng, dimana desa ini juga dekat dengan jalur arternatif
menuju Kota Semarang. Mayoritas agama di desa Pasuruhan adalah beragama Islam, banyak
terdapat pondok pesantren yang digunakan untuk mngkaji ilmu agama hal itu membuat
masyarakatnya lekat dengan tradisi-tradsi keagamaan.

Masyarakat di desa Pasuruhan, Kecamatan Kayen, Kabupaten Pati di Provinsi Jawa Tengah,
memiliki tradisi prosesi perayaan malam terakhir ramadhan yang disebut takbiran/takbir
keliling.8 Ini adalah prosesi yang telah dilakukan selama bertahun-tahun pada akhir ramadhan,
menjelang Idul Fitri. Prosesi Takbiran ini di mana penduduk desa Pasuruhan membawa arak-
arakan yang biasanya terbuat dari kardus dimana bentuknya dapat bermacam-macam berupa
miniatur masjid, monster, wali, dan lain sebagainya. Selain itu mereka membawa miniatur
tersebut, masyarakat juga tidak lupa membawa sound sistem untuk mengumandangkan Lafadz
Takbir, untuk mengelilingi desa bersama rombongan orang-orang yang ikut arak-arakan keliling
desa. Selain orang-orang yang mengikuti takbir keliling, masyarakat setempat juga
mengumandangkan takbir disetiap mushola-mushola atau masjid yang ada di desa tersebut.

Namun, belakangan tradisi takbir keliling menjadi kehilangan makna setelah adanya
perayaan takbir keliling disertai dengan aksi pemuda desa yang munum-minuman keras dan
tawuran antar pemuda desa ataupun antar pemuda lain desa. Hal ini memunculkan reaksi
langsung dari Bupati Pati Hryanto, ia menghimbau agar perayaan takbir keliling difokuskan
tempatnya, di masjid-masjid atau mushola-mushola. Himbauan ini mengacu pada perayaan
tahun-tahun sebelumnya karena terjadi banyak kericuhan.

5
Kamus Besar Bahasa Indonesia
6
Mursal Esten. Kajian Transformasi Budaya. Percetakan Angkasa. Bandung. 1999. Hlm 21
7
Soerjono Soekanto. Sosiologi Suatu Pengantar. CV. Rajawali. Jakarta.1987. Hlm 13.
8
Takbir Keliling, tradisi merayakan atau menyambut hari raya dengan mengumandangkan Lafadz Takbir, dengan
mengelilingi desa, biasanya membawa panji atau oncor.
“Sebagaimana tahun-tahun yang lalu, tahun ini sama. Dalam rangka untuk
mengantisipasi kerusuhan, tawuran antar kampung dan sesama teman, itu untuk takbir
kita tidak boleh lah keluar daerah kotanya. Jadi takbir keliling cukup dilakukan di
desanya masing-masing,” tegas Bupati. Larangan untuk melakukan takbir keliling keluar
wilayah atau desa, karena dari pengalaman tahun-tahun sebelumnya, ada pihak-pihak
yang memanfaatkan takbir keliling, untuk hura-hura, hingga terjadinya keributan dan
tawuran antara warga, yang mengakibatkan beberapa warga terluka dan tidak dapat
merayakan Idul Fitri karena berurusan dengan Polisi.9
Pembahasan mengenai Takbir Keliling yang dilakukan oleh Nur Rokhmat pada 2016
pada Jurnal yang berjudul “Takbir Mursal Procession at Brambang Village: A review of Intra
and Extra Aesthetic of Lantern Art” menguraikan mengenai prosesi takbir keliling di Desa
Brambang yang mana penulis menyoroti pembuatan panji-panji pada saat perayan malam
sebelum Idul Fitri lentera karya seni yang dibawa dalam prosesi inidipelajari terutamanilai
estetika intra dan ekstra didalam pembuatan panji atau lentera Dalam pembahasanya ia
menjelaskan bahwa pada mulanya TakbirMursal diadakan dengan cara yang lebih sederhana.
Orang-orang yang bergabung dengan Takbir membawatorces disebut Oncor(Ini adalah lampu
tradisional yang terbuat dari tongkat bambu yang diisi dengan minyak tanah dan kain untuk
meleburdan nyalakan api).10

Pada jurnal yang ia tulis, Nur Rokhmat berfokus pada perubahan pembuatan lentera dari
masa ke masa. Ia menambahkan perubahan tersebut dapat dilihat dari lebih beragam lentera yang
digunakan dalam prosesi, danjuga lebih artistik, keberanekaragaman ini di pengaruhi oleh daya
kreatifitas serta perkembahan jaman.

Aslam Nur pada thesis yang ia tulis berjudul “Ramadan Fasting and Feasting In Lamno
Aceh” ia meneliti tentang adat masyarakat Lamno Aceh saat puasa dan lebaran dia hanya
menyinggung tentang takbir sedikit saja pada bab "hurue raya" bab ini di mulai pada halaman 74
namun dia hanya menyinggung takbir satu paragraph. Bahwa takbir pada beberapa tahun
sebelum penelitianya cuma berkumandang di rumah dan meunasah(musholla),namun beberapa
tahun belakangan mulai berkeliling kampung bahkan pakai truk. Perubahan pola takbir keliling
tersebut juga dikarenakan perkembahan jaman pula.11

Mark Woodward pada Jurnal yang berjudul “Muslim Education, Celebrating Islam and
Having Fun As Counter-Radicalization Strategies in Indonesia”melakukan kajian mengenai
perayaan takbir keliling yang mempunyai pengaruh terhadap generasi muda. Ia menekankan
bahwa ajaran islam erupakan hal yang komplek dan perayaan hari besar islam sebagai hal untuk
membentengi mereka dari pengaruh radikalisme.12
9
https://www.patikab.go.id/ diaskes tanggal 18 juli 2020-07-18
10
Nur Rokhmat, “Takbir Mursal Procession at Brambang Village: A review of Intra and Extra Aesthetic of Lantern
Art” 29 January, 2016
11
Aslam Nur, Ramadan Fasting and Feasting In Lamno Aceh, January 1996
12
Mark Woodward, “Muslim Education, Celebrating Islam and Having Fun As Counter-
Radicalization Strategies in Indonesia” hlm 42
Dalam kajian ini penulis memusatkan pada tradisi takbir keliing yang mempunyi nilai
tersendiri dan makna tersendiri di setiap waktunya khususnya desa Pasuruhan dimana dari tahun
ke tahun mulai terjadi pergeseran makna. Pada awalmulanya tradisi takbir keliling yang
dilakukan di Desa Pasuruhan, sangat sederhanya yaitu arak-arakan dengan mengumbandangkan
takbir mengelilingi desa, setelah itu takbir keliling bukan dijadikan sebagai tradisi yang
bernuansa keislaman untuk menyambut Hari Raya Idul Fitri lagi namun dijadikan ajang untuk
berpesta dan mabuk-mabukan para pemuda desa. Shils menjelaskan bahwa pada dasarnya suatu
pola perilaku disebut sebagai tradisi apabila telah berlangsung secara berkelanjutan
sekurangkurangnya sepanjang tiga generasi dengan kurang lebih menggunakan kaidah yang
sama (Sedyawati. 2014: 259).

C. Identifikasi Masalah
Dengan mengacu pada latar belakang diatas, takbir keliling sudah ada dan berlangsung sejak
lama namun perubahan pola takbir keliling ini dipengaruhi oleh faktor sosio dan kultur di
masyarakat, kali ini akan penulis kaji dalam kurun waktu selama 30 tahun yaitu pada 1980-
2020.

D. . Rumusan Masalah
Berdasarkan permasalahan ini, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai
beriklut :
1. Bagaimana sejarah terbentuknyra Takbir keliling di Desa Pasuruhan
2. Bagaimana pola perubahan takbir keliling di Desa Pasuruhan dalam kurun waktu 1980-2020.
E. Batasan Masalah

Batasan masalah yang akan dibahas yaitupola perubahan takbir keliling di Desa Pasuruhan dalam
kurun waktu 1980-2020. Kajian akan difokuskan pada proses perubahan sosial, konflik gesekan
dalam masyarakat dan keterlibatan tokoh-tokoh agama serta tokoh masyarakat. Kajian ini akan
dianalisa menggunakan pendekatan ilmu sosial da ilmu antropologi untuk mengkaji perubahan
yang terjadi di masyarakat.

F. Tujuan Penelitaian

Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut :


1. Untuk mengetahui sejarah adabya tradisi takbir keliling di Desa Pasuruhan
2. Untuk mengkaji proses pola perubahan takbir keliling di Desa Pasuruhan dalam kurun waktu
1980-2020.

G. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Menambah kajian tentang sejarah adanya Takbir Keliling di desa Pasuruhan Kayen
2. Menambah khasanah kajian tentang perubahan pola masyarakat terhadap tradisi
3. Memperkaya kajian mengenai Tradisi Takbir Keliling yang ada di Indonesia.

H. Kajian Penelitian Terdahulu atau Tinjauan Pustaka


Kajian yang membahas mengenai Takbir Keliling sejauh yang penulis ketahui masih
sedikit, diantaranya:
Pertama, Pembahasan mengenai Takbir Keliling dilakukan oleh Nur Rokhmat yang
berjudul “Takbir Mursal Procession at Brambang Village: A Review of Intra and Extra Aesthetic
of Lantern Arts” pada 2016, namun pada pembahasanya ia menyoroti tentang pembuatan panji-
panji atau lampion untuk perayaan malam takbir dimana pada pembuatan panji-panjinya terdapat
nilai estetika dan kreatifitas masyarakat Desa Brambang Kabupaten Demak.

“The communities of Brambang village have tradition of art that has been
executed for years. It is usually carried out at the end of Ramadan’s eve- a night prior to
Idul Fitri namely ‘Takbir Keliling’ (it is a roving Takbir- Calling the name of Allah
together). People at Brambang village name this Takbir as Mursal Takbir. It is a kind of
Takbir in the form of procession in the evening consisting of several groups of people
bringing large lantern artwork. This event is intended to welcome Idul Fitri and celebrate
the victory against all kinds of barriers during the fasting month. In the procession, each
group carries lanterns with lighting by proclaiming the greatness of God Almighty
“Allahu Akbar laa-ilaha-illallaahu wallaahu Akbar.- walillaahil-hamd Allahu Akbar”.
Based on the information from an informant in the village, this Takbir is held once a
year. It was initially conducted only in the village of Brambang. Then, it has become the
procession at wider area- subdistrict of Karangawen, and has been continously carried
out by the following generations.”13

Kedua, Pembahasan mengenai Takbir Mursal dilakukan oleh Aslam Nur pada Tessisnya
yang berjudul “Ramadan Fasting and Feasting In Lamno Aceh” pada 1996, dalam
pembahasanya ia hanya membahas sedikit sekali tentang Takbir Keliling yang ada di Lamno
Aceh yang terpadat pada halaman 74 dan hanya satu paragrap bahwa takbir pada beberapa tahun
sebelum penelitianya hanya berkumandang di rumah dan meunasah(musholla), namun beberapa
tahun belakangan mulai berkeliling kampung bahkan pakai truk.

On the morning of the first day of huroe raya (the first day of Syawwal)20, a special
communal prayer, called seumayang huroe raya, is performed in the mosque. The seumayang is
performed by everyone, both men and women, adults and children, in the mosque of the
kemukiman. Before going to the mosque, all people take a bath which symbolises the cleanliness
of the body after the completion of the Ramadan fasting. Additionally, it is recommended by the
13
Rokhmat, JAH (2016), Vol. 05, hal:64
Prophet Muhammad to wear new clothes and to use perfume when people go to perform the
seumayang huroe raya. The new dress and the perfume are part of the acts necessary for
fulfilment of huroe raya. According to several informants, many people in the village,
particularly poor people, change their clothes for a new set only on huroe raya. Others said that
there is a different feeling when people buy new clothes normally and when those clothes are
bought for huroe raya. Wearing new clothes on huroe raya not only makes people happy, it also
makes them feel clean. Therefore, bathing, wearing new clothes, and using perfume on huroe
raya are symbols of the joy of huroe raya, and also an expression of the freedom of the body
from sin.14

Ketiga, pembahasan mengenai Takbir keliling yang dibahas oleh Mark Woodward pada
Jurnal yang berjudul “Muslim Education, Celebrating Islam and Having Fun As Counter-
Radicalization Strategies in Indonesia” ia menyoroti tentang bangaimana perayaan hari besar
sebagai benteng bagi generasi muda untuk melawan radikalisme dalam Islam.

Celebrating Islam and Culture as Counter-Radicalism Teaching young people about the
complexities of Islamic thought is one way to immunize them against radical propaganda. It
is an arduous and demanding intellectual task. Most people have neither the inclination nor
the desire to become ulama (Muslim scholars.

Fortunately there are other vaccines against extremism that are easier to administer. The
devotional practices cultivated in pesantren are one, if for no other reason than Wahhabis
think that they are unbelief and that people who engage in them will go to Hell. People who
believe in Hell, and most Indonesian Muslims do, do not like being told that they are going
there.Celebrating Islam and Muslim cultures is also immunization because most extremists
oppose local, culturally specific Muslim celebrations and think that people who participate
in them will go to hell. Public celebrations of Islam also help to build a sense of community
and promote social ties which transcend theological differences. They are also fun. That is
important, especially for young people. Promoting these celebrations is one of the ways in
which Muhammadiyah and PPMWI have domesticated al-Wahab’s teachings and resist the
“Arabization” promoted by others who share these beliefs. Their enthusiastic participation
in Takbir Keliling celebrations at the end of Ramadan, on the eve of Id al-Fitri, or Lebaran
as it is more commonly known, is a clear example. Lebaran is the most important Muslim
holy day in Indonesia. Millions of people travel long distances to spend the holiday with
relatives in their native towns and villages. Takbir Keliling is one of the culturally specific
ways in which Indonesians celebrate Lebaran.Takbir Keliling are torch light processions
held the night before Lebaran throughout Indonesia. They are sponsored by towns, villages,
Muslim organizations, and of course pesantren. Takbir is the Arabic term for the expression
“Allah Akbar” (God is Great). This expression is used in the call to prayer and in the
performance of the obligatory five daily prayers. Informally it is often used as an expression

14
Aslam Nur,
of joy or other strong emotion. Unfortunately, in the West it is now associated with Muslim
extremism because it is often used as an Islamist battle cry. The best known Indonesian
example is that of Imam Samudera, who, when sentenced to death for his role in the Bali
bombings smiled and shouted “Allah Akbar!” [33] Extremists do not “own” the expression
“Allah Akbar!”, as much as they might like to. Muslims of every theological and political
persuasion use it all the time. “Keliling” is an Indonesia word meaning to walk around. In
Takbir Keliling processions young people walk, or ride in trucks or on motorcycles, though
the streets of villages, towns and cities, chanting “Allah Akbar!” to celebrate completion of
the fast of Ramadan. In Kebarongan it is a community affair in which Muslims of all
religious orientations participate. Groups of young people including a contingent from
PPMWI converge on the local government offices where the end of Ramadan is officially
announced. There are vendors selling snacks, drinks and fireworks. For adults, and
especially those who have returned home for the holiday, it is a chance to meet and catch up
with old friends. It is a relatively simple affair, but one which symbolizes the unity of the
Muslim community on the most important religious holiday. On this occasion, theological
differences mean almost nothing – people meet simply as friends, neighbors, relatives and
fellow Muslims. It is also fun. The next morning they also visit relatives and neighbors and
ask15

I. Metode Penelitian

Sebagai ilmu, sejarah memerlukan metode dan metodologi. Metode sejarah atau metode
penelitian sejarah dapat didefinisikan sebagai berikut:

Suatu kumpulan yang sistematis dari prinsip-prinsip dan aturan-aturan yang dimaksudkan
untuk membantu dengan secara efektif dalam pengumpulan bahan-bahan sumber dari
sejarah, dalam menilai atau menguji sumber-sumber itu secara kritis, dan menyajikan suatu
hasil “sinthese” (pada umumnya dalam bentuk tertulis) dari hasil-hasil yang dicapai
(Garraghan, 1957: 33).16

Dapat ditarik kesimpulan adanya tiga tahap dalam metode penelitian sejarah yaitu:

1. Metode Heuristik merupakan lankah pertama dalam penelitian, yaitu dengan mencari
sumber-sumber mengenai kajian yang akan dibahas.
2. Metode kedua yaitu Kritisisme Sejarah, Penilaian atau pengujian terhadap bahan-
bahan sumber tersebut dari sudut pandangan nilai kenyataan (kebenarannya).
3. Tahapan terakhir yaitu Sinthese, penyajian atau penyusaunan data-data sejarah yang
telah ditemukan serta telah dikritisi.17

15
Mark, “Muslim Education, Celebrating Islam and Having Fun As Counter-Radicalization Strategies in
Indonesia”hal 42-44
16
Wasino,Endah “Metode Penelitian Sejarah Dari Rset Hingga Penulisan” hal:11
17
Wasino,Endah “Metode Penelitian Sejarah Dari Rset Hingga Penulisan” hal:12
Menurut Kuntowijoyo, dalam melaksanakan penelitian sejarah terdapat lima tahapan
yang harus dilalui yaitu sebagai berikut:

1. Pemilihan Topik
2. Pengumpulan Sumber
3. Verifikasi
4. Interpretasi
5. Penulisan18

Berdasarkan difinisi para ahli diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa dalam
melakukanpenelitian sejarah yang harus dipersiapkan oleh penulis adalah Pemilihan Topik,
dimana pemilihan topik ini disesuaikan dengan tujuan penulis dalam melakukan penelitian, hal
apa yang ingin dicapai dengan penelitian tersebut. Kedua yaitu, pencarian sumber-sumber yang
relevan dengan topik yang dipilih, dalam hal ini sumber dapat dibagi menjadi dua yaitu
sumberprimer dan sumber sekunder. Ketiga, verifikasi atau kritik terhadap temuan dari sumber-
sumber yang telah kita dapat, serta menginterpretasikannya. Terakhir, yaitu penulisan atau
penyajian menjadi kerya tulis ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan.

Dalam penelitian ini penulis tahap pertama yang penulis lakukan adalah percarian
sumber-sumber. Sumber-sumber untuk penelitian ini penulis bagi menjadi dua yaitu sumber
primer dan sumber sekeunder, dimana sumber primernya adalah dengan melakukan wawancara
kepada tokoh-tokoh penting di Desa Pasuruhan seperti tokoh agama, tokoh sesepuh dan
perangkat desa. sedangkan sumber sekunder dari penelitian ini adalah dengan mengacu pada
literatur yang berkaitan dengan tradisi takbir keliling yang ada di Indonesia.

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan sejarah
lisan sebagai sumber primer. Kajian ini merupakan kajian penelitian lapangan (field research) dan
kepustakaan (library research).
Langkah kedua yaitu melakukan verifikasi/kritik terhadap sumber-sumber yang penulis
dapatkan. Dalam tahap ini tentunya ada diantaranya sumber-sumber yang mempunyai perbedaan
dalam hal sejarah terbentuknya takbir keliling ataupun mengenai pola pergeseraan maknanya,
oleh sebab itu penulis melakukan kritik untuk menyaring sumber yang terkait.

Terakhir adalah penulisan, setelah mengumpulkan sumber dan melakukan kritik maka
langkah selanjutnya yaitu dengan menuangkanya dalam bentuk tulisan.

J. Sistematika Penulisan

BAB I Pendahuluan, Pada bagian ini akan dibahas Latar Belakang Masalah, Rumusan
Masalah, Batasan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, Kajian Pustaka, Metode
Penelitian dan Sistematika Pembahasan Uraian.

18
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Edisi Baru. Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana, 2013
BAB II Kajian Teori, Bab ini akan membahas mengenai kajian teori takbir keliling,
serta hubungan antara masyarakat dan tokoh-tokoh penting yang berperan terhadap tradisi takbir
keliling serta konflik yang menyertainya.
BAB III, Bab ini akan membahas sejarah adanya takbir keliling yang ada di Desa
Pasureuhan Kecamatan Kayen.
BAB IV Pada bagian ini akan membahas pola pergeseran makna takbir keliling dari
tahun 1980-2020.
BAB V Penutup, bab ini berisi tentang kesimpulan dan penutup.
Daftar Pustaka

Kamus Besar Bahasa Indonesia

Nur Rokhmat, “Takbir Mursal Procession at Brambang Village: A review of Intra and
Extra Aesthetic of Lantern Art” 29 January, 2016

Aslam Nur, “Ramadan Fasting and Feasting In Lamno Aceh” January 1996

Mark Woodward, “Muslim Education, Celebrating Islam and Having Fun As Counter-
Radicalization Strategies in Indonesia”

Nur Rokhmat, “Nilai Estetis Dan Makna Simbolis Lampion Arak-Arakan Takbir Mursal”
Januari:2016

Mursal Esten,”Kajian Transformasi Budaya” Percetakan Angkasa. Bandung. 1999

Soerjono Soekanto “Sosiologi Suatu Pengantar” CV. Rajawali. Jakarta.1987

Kuntowijoyo. “Pengantar Ilmu Sejarah. Edisi Baru” Yogyakarta: Penerbit Tiara Wacana,
2013

Website
https://syifaulzulfa.wordpress.com/2014/02/25/profil-desa-pasuruhan/

https://www.suaramerdeka.com/

www.patikab.bps.go.id

https://patikab.go.id.

https://www.patikab.go.id/v2/id/2015/07/10/cegah-tawuran-warga-dihimbau-rayakan-
lebaran-takbir-keliling-desa/

Anda mungkin juga menyukai