Anda di halaman 1dari 9

Sekaten Dewasa Ini

Disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Bahasa Bantu yang
diampu oleh Sri Hastuti, S.S.,M.Pd.

Disusun oleh :

1. Arlita Andriani (K1219021/A)

2. Diana Intan Sari (K1219027/A)

3. Elisa Mifta Choirunnisa’ (K1219033/A)

4. Natasya Puteri Ariska (K1219057/A)

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

PENDIDIKAN BAHASA INDONESIA

2019/2020
ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana perkembangan tradisi


sekaten dewasa ini di kalangan masyarakat Indonesia.

Sekaten merupakan tradisi yang harus dilestarikan, kemudian maka dari itu
masyarakat melestarikan kegiatan sekaten ini dengan cara yang lebih ringkas dan
mengemas segala alur kegiatan dengan semenarik dan sebaik mungkin agar dapat
diterima oleh para masyarakat masa kini dalam tengah perkembangan zaman dan
budaya dengan penyesuaian serta tidak menghilangkan esensi, makna dan nilai
dari budaya itu sendiri. Jika hal ini dilihat dari sisi agama islam maka hal ini kita
sebagai umat harus bisa menyesuaikan untuk apa tradisi tersebut dibentuk.

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif sehingga data yang


diperoleh adalah data deskriptif dalam bentuk tulisan. Instrumen pengambilan
data menggunakan studi pustaka.

Kata kunci: Perkembangan, Tradisi Sekaten, Dewasa Ini.

2
I. PENDAHULUAN

Perkembangan merupakan salah satu usaha yang pasti terjadi oleh setiap
individu yang bersifat kualitatif dan progresif serta sistematis. Sementara itu,
sekaten merupakan salah satu kegiatan tahunan yang sudah menjadi tradisi di
kalangan masyarakat Jawa sebagai bentuk peringatan Maulid Nabi
Muhammad yang diadakan oleh keraton Surakarta dan Yogyakarta, biasanya
dilaksanakan mulai dari tanggal 5 dan berakhir pada 12 Mulud penanggalan
Jawa. Tradisi sekaten bukan hanya tentang persoalan kegiatan hiburan tahunan
saja, namun sebuah tradisi yang di dalamnya terdapat nilai-nilai ingin
disampaikan kepada masyarakat. Tetapi tradisi sekaten saat ini
mengalami pergeseran fungsi dan makna. Oleh karena itu, penulis mengangkat
judul “Sekaten Dewasa Ini” agar para pembaca dapat mengetahui dari tradisi
sekaten seiring berkembangnya zaman.
II. METODE PENELITIAN
A. Proses
Metode penulisan ini bersifat studi pustaka. Studi pustaka adalah sebuah
usaha yang dilakukan oleh peneliti guna menghimpun seluruh informasi yang
relevan dengan topik yang akan dibahas. Teknik pengumpulan data dengan
mengadakan penelaahan terhadap buku-buku atau literatur- literatur yang
berhubungan dengan masalah yang akan diangkat.
B. Prosedur Kerja
1. Mengumpulkan sumber-sumber seperti literatur, jurnal yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan diteliti.
2. Membaca keseluruhan isi jurnal ataupun literatur hasil penelitian.
3. Membuat kesimpulan dari berbagai sumber dan membandingkannya
dengan judul.
4. Menganalisis seluruh sumber yang dipilih untuk dijadikan analisis
pustaka.
5. Membuat artikel dari sumber-sumber penelitian.

3
III. PEMBAHASAN
Kegiatan sekaten merupakan salah satu kegiatan tahunan yang sudah
menjadi tradisi di kalangan masyarakat Jawa sebagai bentuk peringatan
Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh keraton Surakarta dan
Yogyakarta, biasanya dilaksanakan mulai dari tanggal 5 dan berakhir pada 12
Mulud penanggalan Jawa. Tradisi sekaten bukan hanya tentang persoalan
kegiatan hiburan tahunan saja, namun di dalamnya terdapat nilai-nilai yang
ingin disampaikan kepada masyarakat, sekaten dipercaya sebagai perpaduan
antara kesenian dan dakwah. Pada masa awal kemunculannya, sekaten
digunakan sebagai media dakwah agama, khususnya agama Islam kepada
masyarakat. Cara yang sederhana dan unik. “Sunan Bonang yang
menyebarkan agama melalui budaya, di mana pada saat itu masyarakat
menyukai kesenian terutama gamelan. Sunan Bonang memperingati
kelahiran Nabi atau biasa disebut dengan maulud dengan membunyikan
gamelan agar masyarakat tertarik. Dari bunyi gamelan tersebut, masyarakat
berkumpul dan diantara sesi pembunyian gamelan itu di masukanlah
pengetahuan-pengetahuan agama,” tutur Sambodo, Bagian Program dan
Informasi Dinas Kebudayaan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Sekaten berasal dari bahasa Arab, yaitu syahadatain yaitu dua kalimat
syahadat yang merupakan suatu kalimat yang harus dibaca oleh seseorang
untuk masuk Islam, yang mempunyai arti: Tiada Tuhan selain Allah dan
Nabi Muhammad adalah utusan Allah. Sekaten selain berasal dari kata
syahadatain juga berasal dari kata: (1) Sahutain: menghentikan atau
menghindari perkara dua, yakni sifat lacur dan menyeleweng; (2) Sakhatain:
menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat setan, karena watak
tersebut sumber kerusakan; (3) Sakhotain: menanamkan perkara dua, yaitu
selalu memelihara budi suci atau budi luhur dan selalu meng-hambakan diri
pada Tuhan; (4) Sekati: setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau
menilai hal-hal yang baik dan buruk; (5) Sekat: batas, orang hidup harus
membatasi diri untuk tidak berbuat jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan
kejahatan (Handipaningrat, 2002 : 3).

4
Setiap kebudayaan selalu memiliki nilai atau norma di dalamnya yang
dapat dijadikan sebagai pedoman bagi masyarakat. Nilai diwariskan melalui
proses pendidikan. Hal ini sesuai dengan makna pendidikan sebagai proses
pewarisan nilai-nilai budaya oleh generasi tua kepada generasi muda. Oleh
karena itupendidikan nilai dikembangkan dengan tujuan agar pembelajaran
berbasis budaya dan kearifan lokal berjalan lebih produktif dan bermakna.
Salah satu tradisi yang dapat menjadi pendidikan nilai adalah ritual Sekaten
yang sarat akan makna nilai-nilai kehidupan orang Jawa. Fungsi utama
Sekaten sebagai syiar agama Islam melalui sarana kebudayaan.
Prosesi tradisi adat sekaten ini diawali dengan keluarnya dua gamelan
milik Keraton Surakarta. Dua gamelan itu ialah gamelan Kyai Guntur
Madu dan gamelan Kyai Guntur Sari. Kedua gamelan tersebut dibawa
menuju Masjid Agung Surakarta dengan rute Kori Kamandungan-jalan
Sapit Urang Barat – menuju Masjid Agung Surakarta. Pembukaan sekaten
ditandai dengan upacara ungeling gangsa atau tabuhan gamelan. Pada
puncak sekaten diadakan Grebeg Maulud Nabi atau kirab gunungan dari
Keraton Surakarta. Ada dua gunungan pada Grebeg Maulud di Keraton
Surakarta, yaitu gunungan jaler (laki-laki) dan gunungan estri (perempuan).
Tradisi sekaten pada saat ini masyarakat kurang memperhatikan nilai yang
terkandung dalam tradisi sekaten ini.
Menurut Bijou dan Baer (dalam Sunarto dan B. Agung Hartono, 2002 :
39) mengemukakan perkembangan adalah perubahan progresif yang
menemukan cara organisme bertingkah laku. Jadi, Perkembangan merupakan
salah satu usaha yang pasti terjadi oleh setiap individu yang bersifat
kualitatif dan progresif serta sistematis.
Adanya perubahan jaman, dengan adanya arus globalisasi dan
modernisasi, pengaruh dari budaya luar masuk dan menpengaruhi budaya
tradisi “Sekaten”, pendidikan nilai dari budaya Sekaten mulai luntur karena
lebih menonjolkan fungsi baru dilihat dari sisi komersil, ekonomi dan
hiburan (aneka permainan, tontonan dangdutan). Banyak di antara
pengunjung Sekaten yang datang ke ritual tersebut hanya untuk jalan-jalan

5
dan belanja tanpa mengetahui nilai dan dari budaya Sekaten. Berdasarkan
pengamatan, sejauh ini ritual budaya Sekaten hanya sebuah ritual perayaan
Maulid Nabi tanpa proses refleksi.
Pelaksanaan sekaten saat ini memang sudah sangat berbeda jauh dengan
perayaan sekaten pada masanya. Nilai religi yang terkandung di dalamnya
seakan terkikis oleh dahsyatnya roda ekonomi yang kian berputar. Ironisnya
banyak masyarakat yang justru tidak mengetahui makna dari perayaan
sekaten itu sendiri. Banyak dari mereka yang hanya mengetahui sekaten
karena pasar malamnya saja. Tidak jarang isu mengenai komersialisasi
budaya lekat pada acara ini.
“Sekarang sekaten sudah murni sebagai event bisnis untuk kepentingan
banyak pihak, bukan lagi sebuah acara sakral yang mempunyai nilai religi.
Dahulu para wali juga menggunakan media hiburan, namun berisi nilai dan
nafas religi. Dengan gending Jawa dan gamelannya. Namun, sekarang hanya
pasar malam yang tidak lebih hanya menjadikan masyarakat semakin
konsumtif,” ungkap Dimas Syibli Muhammad Haikal, Mahasiswa Sastra
Asia Barat, Universitas Gadjah Mada (UGM).
Hal tersebut disepakati oleh Sambodo saat mengomentari pelaksanaan
sekaten masa kini. “Karena kredo orang sekarang cenderung ke material,
sehingga esensi yang sebenarnya tidak di dapat. Seperti halnya fungsi
dari handphone yang sebenarnya adalah untuk telepon dan sms namun yang
sekarang dicari masyarakat adalah modelnya. Dan masyarakat sekarang
cenderung seperti itu,” imbuh Sambodo.
Lanjut Sambodo, bahwa misi sekaten saat ini masih seperti dahulu yaitu
untuk penyebaran agama Islam. Yang sangat disayangkan adalah bahwa
perayaan sekaten sekarang telah kalah dengan kegiatan ekonomi yang
menjadi rangkaian acara sekaten tersebut.
Dibalik itu semua, perayaan sekaten yang kini menjadi satu rangkaian
dengan pasar malam selama satu bulan penuh tersebut juga sangat membantu
perekonomian masyarakat. Semua hadir membawa nilai positif maupun
negatifnya. Keberadaan pasar malam dalam rangkaian perayaan sekaten ini

6
telah membuka jalan bagi siapa saja yang ingin mengais rejeki. Sebut saja
para petugas parkir di area pasar malam tersebut. Petugas parkir tersebut
adalah masyarakat sekitar alun-alun yang mencoba memanfaatkan
momentum yang ada.
Tsabit Nur Fadli, warga Kauman, yang setiap tahunnya turut membantu
menjaga dan mengamankan kendaraan pengunjung mengaku banyak
mendapat manfaat dari adanya pasar malam dan sekaten tersebut. “Manfaat
yang saya dapat ya bisa memberi pemasukan tambahan. Selain itu kami para
petugas parkir yang mayoritas adalah warga sekitar alun-alun juga
membantu dalam pengisian kas untuk pembangunan kampung,” kata Tsabit.
Manfaat-manfaat seperti itu tentu tidak hanya dirasakan oleh petugas
parkir saja. Pasar malam yang justru lebih dikenal dari pada sekaten itu
sendiri kini dimanfaatkan oleh instansi pemerintahan maupun masyarakat
untuk memamerkan dan memberikan informasi terkait hasil kerajinan lokal
masyarakat dan berbagai informasi penting lainnya. Perayaan pasar malam
yang menjadi rangkaian acara sekaten bisa jadi justru menjadi faktor
pendorong pertama masyarakat ingin tahu lebih jauh tentang sekaten yang
sudah ada turun-temurun sejak zaman dahulu.
Perubahan kebudayaan atau pengikisan nilai-nilai kebudayaan tidak lagi
dapat dipungkiri seiring dengan kemajuan dan perkembangan zaman.
Keberadaan budaya tentu menjadi tanggung jawab kita bersama untuk
melestarikannya. Budaya lokal yang semakin ditinggalkan karena adanya
gempuran budaya perlu dikemas semenarik mungkin. Bagaimana mengemas
dan menampilkan semenarik mungkin ke masyarakat tentu dengan berbagai
penyesuaian perubahan zaman masih dirasa wajar dengan catatan tidak
menghilangkan esensi, makna dan nilai dari budaya itu sendiri.
IV. SIMPULAN
A. Simpulan
Tradisi Sekaten merupakan upacara adat yang dinamai dari asal kata
yang sarat makna seperti syahadatain, sahutain, sakhatain, sakhotain, sekati,
dan sekat ini sudah menjadi tradisi di kalangan masyarakat Jawa sebagai

7
bentuk peringatan Maulid Nabi Muhammad yang diadakan oleh keraton
Surakarta dan Yogyakarta, biasanya dilaksanakan mulai dari tanggal 5 dan
berakhir pada 12 Mulud penanggalan Jawa. Didalam sekaten terdapat
pembelajaran berbasis budaya dan kearifan lokal yang produktif dan
bermakna. Salah satu tradisi yang dapat menjadi pendidikan nilai adalah
ritual Sekaten yang sarat akan makna nilai-nilai kehidupan orang Jawa.
Fungsi utama Sekaten sebagai syiar agama Islam melalui sarana
kebudayaan.Dalam pelaksaan sekaten tidak akan lepas akan keberadaan
pasar malam dimana dalam pasar ini terdapat berbagai wahana hiburan dan
pedagang.Dalam pelaksaan sekaten dahulu dilakukan sangat sakral dan
paling ditunggu tunggu oleh masyarakat karena hanya terjadi satu kali saja
dalam satu tahun, namun seiring perkembangan zaman dan perubahan pola
pikir masyarakat kini sekaten mengalami Perubahan kebudayaan atau
pengikisan nilai-nilai kebudayaan yang berbeda dari yang dahulu, namun
dengan adanya kreativitas dan inovasi para masyarakat melestarikan
kegiatan sekaten ini dengan cara yang lebih ringkas dan mengemas segala
alur kegiatan dengan semenarik dan sebaik mungkin agar dapat diterima oleh
para masyarakat masa kini dalam tengah perkembangan zaman dan budaya
dengan penyesuaian serta tidak menghilangkan esensi, makna dan nilai dari
budaya itu sendiri. Jika hal ini dilihat dari sisi agama islam maka hal ini kita
sebagai umat harus bisa menyesuaikan untuk apa tradisi tersebut dibentuk.
B. Saran

Kita sebagai generasi muda tidak boleh melupakan sejarah sekaten ini,
jangan menghabiskan waktu hanya untuk bermain-main. Boleh sesekali
main di pasar malamnya, tapi jangan lupakan esensi dari tradisi sekaten itu
sendiri kita harus dapat memahami makna dan mengetahui apa arti dari
diadakannya sekaten ini.apalahi jika kita sebagai umat islam maka pasti akan
ada sangkut paut nya denga sejarah islam di dalamnya, Kalau bukan kita
generasi muda yang melestarikan, lantas siapa lagi?

8
DAFTAR PUSTAKA

Sosodoro, Bambang. 2018. Interaksi dan Komunikasi Musikal dalam Garap


Sekaten. isi-ska.ac.id. Diakses pada tanggal 27 Desember 2019. Pukul 12.00
Utami, Hadawiyah Endah. 2011. Kidung Sekaten Antara Religi dan Ritus Sosial
Budaya. journal.unnes.ac.id. Diakses pada tanggal 27 Desember 2019. Pukul
12.00
Ardianto, E.S. 2008. Sekaten Merupakan Upacara Adat yang Bernuansa Religius.
adoc.tips. Diakses pada 27 Desember 2019. Pukul 12.46
Hadiningrum, Lila Pangestu. 2018. Reaktualisasi Pendidikan Nilai Berbasis

Kearifan Lokal (Studi Budaya Langgam Syahadat Kures pada Tradisi


Sekaten di Surakarta). Blasemarang.kemenag.go.id/journal/index. Diakses
Pada Tanggal 27 Desember 2019 Pukul 13.35.

Widodo, Bambang, dan Mite Detiansah. 2014. Strategi Pencitaan Kota (City
Branding) Berbasis Kearfan Lokal KEARIFAN LOKAL (Studi Kasus di
Kota Solo, Jawa Tengah dan Kabupaten Badung, Bali). Purwokerto : Jurnal
Komunikasi Profetik. Diakses pada 28 Desember 2019 Pukul 15.22.

Sukodjo, dkk. 2015. Ritual Adat Sekaten di Kraton Surakarta Sebagai Upaya
Peningkatan Aspirasi dan Budaya Masyarakat di Solo. Yogyakarta : UPT
Perpustakaan ISI Yogyakarta. Diakses pada 28 Desember 2019 Pukul 15.37.

Anda mungkin juga menyukai