Anda di halaman 1dari 11

FENOMENA TRADISI MEGENGAN DALAM RANGKA MENYAMBUT

BULAN RAMADHAN DI DESA BOYOLANGU KECAMATAN


BOYOLANGU KABUPATEN TULUNGAGUNG

Indah Nur Ramadina


Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
Institut Agama Islam Negeri Tulungagung
nadina123indahnurramadina@gmail.com

Abstrak
Belakangan ini muncul berbagai perdebatan mengenai hukum melaksanakan
warisan tradisi budaya islam. Namun, kenyataannya tidak sedikit dari tradisi
budaya yang ada masih tetap dilakukan oleh masyarakat. Salah satu tradisi budaya
yang masih hidup ditengah-tengah masyarakat islam jawa di desa Boyolangu
Tulungagung Jawa Timur saat ini adalah tradisi megengan. Penelitian ini
bertujuan untuk mendeskripsikan dan menjelaskan mengenai fenomena tradisi
megengan dalam masyarakat di desa boyolangu kecamatan boyolangu kabupaten
tulungagung. Sumber data berupa hasil wawancara. Proses pengambilan data
dengan observasi dan wawancara mendalam. Dari hasil penelitian ditemukan
bahwa masyarakat desa Boyolangu melaksanakan tradisi megengan dengan
beberapa acara di dalamnya secara rutin dan hikmat menjelang datangnya bulan
Ramadhan. Seiring berkembangnya zaman ditemukan beberapa perbedaan
pelaksanaan tradisi megengan di desa Boyolangu Tulungagung.
Kata Kunci: tradisi budaya islam jawa, fenomena tradisi megengan

Abstract
Lately, various debates have arisen regarding the law of implementing Islamic
cultural traditions. However, in reality not a few of the existing cultural traditions
are still carried out by the community. One of the cultural traditions that still lives
in the midst of the Javanese Islamic community in the Boyolangu village of
Tulungagung, East Java today is the megengan tradition. This study aims to
describe and explain the phenomenon of the tradition of megengan in the
community in Boyolangu Village Boyolangu District, Tulungagung Regency.
Data sources in the form of interviews. The process of collecting data by
observation and in-depth interviews. From the results of the study it was found
that the Boyolangu village community carried out the tradition of megengan with
several events in it routinely and wisely before the coming of Ramadan. Along
with the development of the times found several differences in the implementation
of the tradition of megengan in Boyolangu Tulungagung village.
Keywords: Javanese Islamic cultural traditions, the phenomenon of the megengan
tradition
1. Pendahuluan
Masyarakat Jawa sangat terkenal dengan berbagai bentuk tradisi
budayanya. Tradisi budaya tersebut merupakan wujud akulturasi niai-nilai
islam dengan budaya jawa yang dirintis oleh wali songo sebagai penyebar
islam ditanah jawa.
Menurut Ali Ridho (2019:27), dalam proses peneyebaran agama,
islam melahirkan suatu sikap kearifan terhadap tradisi dan budaya yang
telah ada dengan melakukan dekonstruksi terhadap nilai-nilai yang
terkandung di dalamnya, tanpa harus menghilangkan wujud dari tradisi-
budaya. Sehingga dengan ini, ajaran-ajaran agama islam dapat diterima
dengan baik oleh masyarakat tanpa menghilangkan tradisi budaya yang
sudah melekat dalam masyarakat. Muhammad Sholikhin (2010: 14)
menyatakan tradisi dan budaya adalah darah daging dalam tubuh
masyarakat di manapun berada. Sehingga ketika tradisi dan budaya
tersebut terakomodasi dalam suatu agama, akhirnya ajaran agama itu
sendiri muncul juga sebagai hal yang mendarah daging dalam suatu
komunitas masyarakat. Akan tetapi, seiring perkembangan zaman ini,
muncul berbagai polemik yang dapat mengikis keberadaan tradisi budaya
islam. Menurut Muhamad Tawab (2014:32), wujud akulturasi antara nilai-
nilai islam dan budaya Jawa, ormas-ormas dan kaum puritan cenderung
memusuhi masyarakat muslim jawa bahkan berusaha mengikis dan
mencabut tradisi dari tengah-tengah mereka.
Di era perkembangan zaman ini sering dijumpai perdebatan
mengenai hukum melaksanakan kegiatan tradisi-budaya islam seperti
perdebatan hukum barzanji, ziarah kubur maupun maulid nabi.
Menariknya, di tengah pro-kontra tersebut tidak sedikit masyarakat islam
jawa pada khususnya, tetap melestarikan tradisi-budayanya. Megengan
merupakan salah satu warisan budaya yang masih bertahan di tengah-
tengah hingga sekarang. Menurut Ali Ridho (2019:26) dalam sejarahnya,
sebelum kedatangan Wali Songo di Jawa, tradisi megengan sudah ada
pada pemerintahan Majapahit yakni Ruwahan yang berasal dari kata
Ruwah yakni bulan urutan ketujuh yang bersamaan dengan bulan Sya’ban
tahun Hijriyah. Kata ruwah memiliki makna kata arwah yang berarti roh
para leluhur dan nenek moyang. Setelah kedatangan Wali Songo ke pulau
Jawa, tradisi tersebut pelan-pelan diubah dengan pelaksanaan dan nama
yang berbeda.
Dikabupaten Tulungagung, tradisi tersebut dikenal dengan tradisi
Megengan. Tradisi megengan adalah tradisi masyarakat islam jawa pada
khususnya dalam rangka menyambut datangnya bulan suci Ramadhan.
Kegiatan megengan ini dapat dilihat pada kebanyakan masyarakat di
kabupaten Tulungagung, khususnya di desa Boyolangu. Mereka
melakukan tradisi megengan pada akhir bulan Sya’ban (Ruah) atau
menjelang bulan Ramadhan (poso). Muhammad Sholikhin (2010: 14)
Megengan berasal dari kata megeng berarti menahan (ngempet) dan yang
berarti sebenarnya, mengingatkan bahwa sebentar lagi akan memasuki
bulan puasa. Tradisi megengan masyarakat desa Boyolangu Tulungagung
dilakukan dengan berbagai macam kegiatan, mulai dari ziarah ke makam
sesepuh sekitar daerah tersebut disambung dengan pembacaan Khataman
Juz 30 dan malam harinya masyarakat masyarakat berkumpul dimasjid
atau mushola terdekat untuk mengirimkan shodaqoh berupa makanan serta
dilanjut pembacaan ahli kubur bagi masyarakat sekitar, yang di sebut juga
dengan syukuran sebagai ungkapkan dengan rasa syukur.
Sebelum diadakan Megengan secara bersama-sama dalam satu
tempat, beberapa tahun yang lalu, masing-masing rumah di desa
Boyolangu Tulungagung melaksanakan tradisi megengan dengan cara
mengundang tetangga untuk datang kerumah merayakan tradisi megengan.
Fenomena tradisi budaya megengan yang masih hidup dalam
kebanyakan masyarakat ini menjadi menarik untuk diteliti. Atas dasar
tersebut, maka terdapat beberapa persoalan yang ditelaah dalam penelitian
ini, antara lain yaitu tentang pelaksanaan tradisi megengan, serta
perubahan atau pergeseran yang terjadi di dalam pelaksanaan megengan di
desa Boyolangu Tulungagung.
2. Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif. Penelitian
kualitatif adalah penulisan yang ditunjukkan untuk mendeskripsikan dan
menganalis fenomena, peristiwa, aktivitas sosial, sikap kepercayaan,
presepsi, pemikiran orang secara individual maupun kelompok kelompok
(Syaodih, 2007 : 60). Dalam penelitian ini, alasan peneliti menggunakan
pendekatan kualitatif karena pendekatan kualitatif cocok digunakan dalam
penelitian mengenai tradisi dan presepsi masyarakat mengenai fenomena,
pengetahuan sosialnya dan juga kawasan daerahnya dimana peneliti dalam
penelitianya menyangkut tentang kebudayaan dan fenomenologis.
Sedangkan tujuan dari pendekatan ini adalah untuk mendapatkan data
yang mendalam, suatu data yang mengandung makna. Makna adalah data
yang sebenarnya, data yang pasti yang merupakan suatu nilai di balik data
yang tampak.
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif
deskriptif. Menurut Whitney yang dikutip Moh. Nazir (1988: 63),
deskriptif merupakan pencarian fakta dengan interpretasi yang tepat. Jenis
penelitianya menggunakan penelitian deskripsi yang dilakukan dengan
memberikan gambaran yang lebih detail mengenai suatu gejala atau
fenomena.

3. Hasil dan Pembahasan


3.1. Proses Pelaksanaan Megengan
Dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa, slametan megengan
dilakukan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadhan. Tradisi ini
dilakukan oleh masyarakat Islam Jawa dengan penuh ketaatan, khususnya
oleh masyarakat desa Boyolangu Tulungagung Jawa Timur. Tradisi
megengan ini dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah, yaitu sekitar
tanggal 20 sampai 29 Sya’ban (Ruwah) sebelum bulan Ramadhan. Dalam
pelaksanaannya, tradisi megengan ini umumnya diikuti oleh semua
masyarakat daerah setempat. Dalam pandangan mereka, tradisi megengan
ini merupakan bentuk dan wujud ketaatan terhadap agama yang
diyakininya. Seperti pada kenyataannya, tradisi megengan ini merupakan
salah satu bentuk tradisi dan ritual yang dilaksanakan untuk memohon
kepada Allah agar diberi kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi dan
melaksanakan puasa di bulan Ramadhan, serta untuk mengirim doa atau
mendoakan para leluhur yang telah meninggal dunia. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh bapak Sugiyanto bahwa tradisi megengan ini merupakan
tradisi Islam di tanah jawa, tradisi ini dilakukan dalam rangka menyambut
datangnya bulan suci Ramadhan. Megengan ini dilakukan untuk
mengharap kepada Allah agar diberi kekuatan lahir dan batin dalam
melaksanakan puasa Ramadhan.
Dalam pelaksanaannya megengan terdiri dari beberapa acara,
diantaranya yaitu, khataman 30 jus di mushola atau masjid-masjid di desa
boyolangu oleh beberapa warga masyarakat dan para tokoh agama
setempat. Sesuai keterangan bapak Sugiyanto, diantara acaranaya yakni
acara kirim dunga (mengirim doa) kepada leluhur yang telah meninggal
dunia setelah shalat maghrib pada hari ke-15 bulan tersebut (15
Ruwah/nisfu sya’ban). Dengan dipimpin oleh pemuka agama setempat,
satu persatu leluhur warga yang sudah meninggal disebutkan dan
dibacakan surah al fatihah bersama-sama, kemudian secara bersama-sama
masyarakat membaca surah Yasin tiga kali dilanjutkan dengan tahlil.
Tradisi megengan di masyarakat Boyolangu Tulungagung dilakukan di
mushola atau masjid terdekat rumah masing-masing warga. Dalam tradisi
megengan ini terdapat sedekahan berupa nasi lengkap beserta lauk
pauknya antara lain, ada apem, kacang, tahu tempe, telur, ayam lodho, dan
serundeng dalam satu wadah kecil (orang jawa menyebutnya dengan
marangan).
Dalam pandangan warga Boyolangu pada khususnya, sebenarnya
tidak ada persoalan atau hal-hal yang negatif yang akan terjadi jika mereka
tidak melakukan tradisi megengan ini. Bagi orang yang tidak melakukan
megengan tidak akan terkena bencana atau musibah, berdosa atau lainnya.
Tetapi karena tradisi megengan ini sudah merupakan tradisi yang turun
temurun dan dipandang baik serta tidak bertentangan dengan ajaran Islam,
maka tradisi ini tetap dipegang teguh dan tetap dilaksanakan setiap
tahunnya. Menurut Koentjoroningrat (1984: 310) masyarakat muslim
seperti itu, yang masih bertingkah laku seperti tradisi jawa kuno atau
tradisi Hindu-Budha dianggap sebagai masyarakat yang masih setia pada
The Javanese Religion (agama Jawa). Sedangkan menurut Cliffort Geertz
(1986: 103) disebut abangan yang dihubungkan dengan sinkritisme.
Tradisi megengan ini pada kenyataannya tidak hanya dilaksanakan di desa
Boyolangu, tetapi banyak desa lainnya yang berada di kabupaten
Tulungagung juga masih tetap melaksanakan tradisi megengan. Dan
umumnya mereka yang melakukan tradisi megengan ini adalah kaum
Nahdatul Ulama.
Diantara rentetan acara dalam tradisi megengan yang selanjutnya
adalah ruwahan, ruwahan adalah sebuah sebuah acara yang dilakukan
dengan berziarah ke makam para leluhur secara individual maupun
bersama-sama dengan dipimpin oleh kepala desa setempat. Ketika ziarah
kubur, mereka membaca kalimat thayyibah tahlil, membaca surat Yasin
dan diakhiri dengan doa. Tujuannya tidak lain adalah untuk mendoakan
orang tua dan para leluhurnya yang telah meninggal agar diampuni segala
dosa-dosanya, diterima semua amal kebaikannya dan mendapatkan tempat
yang layak sesuai dengan amal perbuatannya.
Ritual ini sudah berjalan bertahun-tahun bahkan bisa jadi ratusan
tahun yang kemudian menjadi tradisi, dan mereka merasa tidak memiliki
alasan untuk mengubah atau menghilangkan tradisi ini karena tidak ada
salahnya. Muhaimin (2010: 195) mengatakan bahwa pemilihan
pertengahan Ruwah untuk berziarah bersumber dari berbagai tradisi Nabi.
Salah satu tradisi ini didasarkan pada kisah yang menceritakan bahwa pada
nisfu sya’ban Nabi dengan diam-diam pergi ke Baqi (kompleks makam di
Madinah) dan berdoa di sana hingga meneteskan air mata. Ali, sahabat
sekaligus menantunya, yang mengikuti secara diam-diam melihat dari jauh
apa yang diperbuat Nabi. Melihat Nabi menangis, shahabat Ali lalu
menghampiri dan bertanya apa sebabnya. Nabi menjelaskan bahwa hari ini
adalah malam pengampunan dosa (lailah al-bara’ah) dan beliau berdoa
untuk pengampunan Allah bagi nenek moyangnya dan atas dosa kaum
mukmin.

3.2. Pergeseran Pelaksanaan Megengan


Kutbuddin Aibak (2010: 73) megengan adalah salah satu bentuk
tradisi yang dilaksanakan dalam rangka untuk menghormati datangnya
bulan Ramadhan. Tradisi megengan ini ada kemungkinan tidak hanya
terdapat pada masyarakat Jawa, tetapi juga terdapat pada masyarakat luar
Jawa, walaupun mungkin dalam sebutan dan bentuk yang berbeda.
Menurut Rachmat Subagya (1981: 196), tradisi penghormatan para
leluhurnya walaupun Islam telah dipeluk sebagai agamanya, namun
mereka masih tetap memelihara tradisi penghormatan para leluhurnya atau
nenek moyangnya.
Megengan merupakan bagian dari acara selamatan (slametan).
Clifford Geertz (1992: 11) menyatakan selamatan juga sebuah simbol
mistik sosial yang dalam pelaksanaannya biasanya dilakukan di rumah
dengan dihadiri oleh anggota keluarga, teman-teman kerja, kerabat-kerabat
yang tinggal di kota (tetangga-tetangga sekitar) yang dipimpin oleh
seorang pemuka agama.
Pada waktu dulu, pelaksanaan megengan ini dilaksanakan di setiap
rumah warga. Setiap rumah mengundang tetangga-tetangga terdekat untuk
datang melaksanakan tradisi megengan. Megengan ini biasanya dipimpin
oleh pemuka agama setempat. Dalam pelaksanaannya, acara megengan di
buka oleh pembicara atau pembawa acara. Kata-kata pertama yang
diucapkan pembicara adalah salam berbahasa Arab yang diarahkan kepada
para tamu, kemudian dilanjutkan dengan bahasa Jawa halus (krama).
Pembicara kemudian memberitahukan peranannya sendiri sebagai wakil
dari tuan rumah untuk kemudian menyampaikan niat atau hajat tuan rumah
sebagai penyelenggaraan acara tersebut. Biasanya sebelum kalimat
thayyibah diucapkan, tokoh yang memimpin ritual tradisi ini
menyampaikan pembukaan atau muqaddimah yang mengantarkan atas
hajat yang akan dilaksanakan (dalam jawa dikenal dengan sebutan
ngajatna).
Pelaksanaan megengan di setiap rumah ini dilakukan secara
bergantian hingga selesai. Sehingga warga atau tetangga yang diundang
dalam acara megengan ini berbondong-bondong melaksanakan tradisi
megengan atau membacakan doa dari satu rumah ke rumah warga yang
lain, dari sore sampai larut malam dan dilanjutkan pada hari-hari
berikutnya hingga selesai. Maka, jika dalam satu lingkungan ada 20 kepala
keluarga, maka masyarakat juga melaksanakan megengan sebanyak 20
rumah itu secara bergantian. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan Bapak
Sofiyan Hadi bahwa pada waktu dulu pelaksanaan megengan tidak seperti
sekarang. Dahulu megengan dilaksanakan di masing-masing rumah warga
secara berurutan, dimana semua warga/tetangga yang diundang saling
bertandang dari rumah yang satu ke rumah lainnya, sehingga tidak jarang
kalau kemudian makanan (berkat) yang didapat setelah acara megengean
itu dijemur atau diberikan kepada ayam atau unggas lainnya.
Sekarang tradisi ini sedikit bergeser, kalau sebelumnya dilakukan
di setiap rumah dan seolah-olah wajib bagi setiap rumah, sekarang sudah
mulai dilaksanakan secara bersama-sama dengan berkumpul menjadi satu
dalam satu tempat. Pelaksanaan tradisi secara berkelompok ini dilakukan
di salah satu masjid atau mushala terdekat. Salah satu tujuan pelaksanaan
tradisi megengan secara kolektif ini agar ada warga dapat melaksanakan
megengan secara serempak dan hanya satu hari saja. berkat atau makanan
dalam tradisi megengan tidak menjadi mubadzir. Karena sebagaimana
tradisi sebelumnya, megengan secara individual setiap rumah,
menyebabkan banyak makanan yang tidak bisa dimanfaatkan sebagaimana
mestinya, dan kebanyakan hanya dibuang atau diberikan unggas atau
dijemur, sehingga menjadi mubadzir. Dengan demikian, maka pelaksanaan
tradisi megengan akan lebih terkoordinir, termasuk berkat (makanan) yang
dibawa ke masjid atau mushala juga dibatasi agar tidak mubadzir.
Demikian juga, perberdaan itu terjadi pada berkat (makanannya),
jika sebelumnya berkat (makanan yang akan dibagikan) itu masih harus
menata dan membagi sendiri nasi dan lauk pauknya, maka sekarang sudah
lebih praktis, yaitu diletakkan dalam satu wadah yang sudah lengkap
dengan nasi dan lauknya, dan jama’ah yang diundang tinggal mengambil
satu per satu tanpa harus membagi-bagi terlebih dahulu.

4. Simpulan
Tradisi megengan ini merupakan salah satu bentuk tradisi dan
ritual yang dilaksanakan untuk memohon kepada Allah agar diberi
kekuatan lahir dan batin dalam menghadapi dan melaksanakan puasa di
bulan Ramadhan, serta untuk mengirim doa atau mendoakan para leluhur
yang telah meninggal dunia. Slametan megengan ini sudah berjalan
berpuluh-puluh tahun bahkan bisa jadi ratusan tahun yang kemudian
menjadi tradisi, dan umat Islam Jawa merasa tidak memiliki alasan untuk
mengubah atau menghilangkan tradisi ini karena tidak ada salahnya.
Dalam tradisi masyarakat Islam di Jawa, slametan megengan dilakukan
untuk menyambut datangnya bulan Ramadhan. Tradisi ini dilakukan oleh
masyarakat Islam Jawa dengan penuh ketaatan. Tradisi megengan ini
dilakukan pada bulan Sya’ban atau Ruwah, yaitu sekitar tanggal 20 sampai
29 Sya’ban/Ruwah sebelum bulan Ramadhan. Dalam pelaksanaannya,
tradisi megengan ini pada umumnya diikuti oleh semua masyarakat daerah
setempat. Dalam pandangan mereka, tradisi megengan ini merupakan
bentuk dan wujud ketaatan terhadap agama yang diyakininya.
Dalam pelaksanaan megengan ini terjadi beberapa perubahan.
Seperti perubahan tempat pelaksanaan tradisi megengan, dari rumah-
rumah menjadi ke mushalla/masjid. Juga pergeseran bentuk/ jenis berkat
dari bentuk ambeng yang harus dibagi-bagi sendiri menjadi praktis dalam
satu wadah.
Daftar Pustaka
Ainur Rofiq. 2019. “Tradisi Slamtean Jawa Dalam Prespektif Pendidikan Islam”
dalam jurnal Ilmu Pendidikan Islam Volume 15 Nomor 2 September 2019;
p-ISSN: 1693-0649; e-ISSN: 2620-3901; 93-107.
Ali Ridho. 2019. “Tradisi Megengan Dalam Menyambut Ramadhan”. Jurnal
Literasiologi VOLUME 1, NO. 2 Juli – Desember 2019.
Anisa Eka Oktavia. “Tradisi Bulan Ramadhan Masyarakat Desa Malawili,
Kecamatan Aimas, Kabupaten Sorong” dalam jurnal.
Geertz, Clifford. 1986. Mojokuto. Jakarta: Grafitipress.
Geertz, Clifford. 1992. Kebudayaan dan Agama. Yogyakarta: Kanisius.
Koentjoroningrat. 1984. Kebudayaan Jawa. Jakarta: P.N. Balai Pustaka.
Kutbuddin Aibak. 2010. “Fenomena Tradisi Megengan Di Tulungagung” dalam
jurnal Millah Vol. X, No. 1, Agustus.
Muhaimin. 2001. Islam dalam Bingkai Budaya Lokal Potret dari Cirebon. Jakarta:
PT. Logos Wacana Ilmu.
Muhammad Sholikhin. 2010. “Ritual & Tradisi Islam Jawa”. Yogyakarta:
Narasi.
Rachmat Subagya. 1981. “Agama Asli Indonesia”. Jakarta: Sinar Harapan dan
Yayasan Cipta Loka Caraka.
Tabloid Nusa Ma’arif NU. 1995. “Mengorek Akar Sejarah Tradisi Megengan
Jelang Ramadhan”. Tuban.

Anda mungkin juga menyukai