Anda di halaman 1dari 6

Executive Summary

TOLERANSI YANG TERNODAI: PENOLAKAN PEMBANGUNAN MUSHOLA AS SYAFIIYAH DI


KOTA DENPASAR BALI

Fenomena kehidupan ke- agamaan dimasyarakat sampai saat ini masih menunjukkan adanya
kesenjangan antara lain meliputi nilai-nilai ajaran agama, sikap dan perilaku penganut masing-masing
agama dalam mengekpresikan ajaran agamanya. Munculnya berbagai kasus keagamaan telah menim-
bulkan kekhawatiran di masya- rakat. Berbagai tindakan yang mengatas namakan agama dengan dalih
kebebasan bereks- presi sebagaimana tertuang dalam Undang-undang Dasar Tahun 1945 yang menjamin
setiap kebebasan berekspresi bagi seluruh rakyat Indonesia namun di sisi lain, kebebasan dalam
mengekspresikan kebebasan ber- agama tersebut seringkali menim- bulkan keresahan masyarakat dan
dapat mengganggu kerukunan umat beragama.

Dalam catatan Komnas HAM korban kekerasan terhadap kebebasan beragama juga dialami oleh
jamaah masjid dan musholah. Imdaduddin Rahmat Komisioner Komnas HAM mengatakan jumlah
pengaduan pelanggaran hak kebebasan beragama sebanyak 87 pengaduan selama tahun 2015,
dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 74 kasus, diantarannya pelarangan pembangunan masjid
Batuplat, dimana warga menolak pendiri- an rumah ibadah Masjid Nur Musafir karena tidak mengetahui
asal usul pembangunannya, pembangunan masjid di Manokwari dan Kasus Pela- rangan Musholah As
Syafiiyah di kota Denpasar Bali. Kasus Mushollah As Syafiiyah adalah kasus sejak tahun 2008, namun
sampai saat ini belum dapat diselesaikan juga, dimana pemerintah daerah dianggap belum maksimal
dalam merespon terkait pengusiran dan penyegelan Musholah As Syafiiyah tersebut. Menurut Eko (Ketua
pengurus Musholah) mereka hanya ingin beribadah, sudah sembilan tahun belum ada titik terangnya
(Nasional Kompas.com, Jumat. 17 maret 2017). Bahkan Komnas HAM sudah turun ke lokasi kejadian,
dan sampai hari ini belum ada penyelesaiannya. Untuk itulah perlu dilakukan penelusuran lebih lanjut
terha- dap kasus tersebut. Sehingga duduk persoalnnya dapat diuraikan dan dapat dicarikan solusinya
yang terbaik. Oleh karena itu Puslitbang Bimas Agama dan Layanan Keagama- an, Badan Litbang dan
Diklat, Kementerian Agama RI, perlu menugaskan peneliti untuk mengumpulkan data dan fakta lapangan
terkait dengan pelarangan terhadap musholah As Syafiiyah tersebut pada tahun 2018 ini.

Kronologis Kejadian

Sejak berdirinya musholah As Syafiiyah pada tahun 1998 masyarakat muslim di jalan Belimbing
Gang G/2c Banjar Kaliungu melakukan aktifitasnya dengan tenang, nyaman dan damai sampai tahun
2008, itu artimya sudah selama 10 tahun. Pada Tahun 2008, tepatnya hari Jumat, sebanyak 10 orang
menggeruduk orang-orang yang bersiap-siap akan melaksanakan sholat jumat di dalam musholah. Mereka
membawa pentungan dan alat-alat lainnya. Jamaah yang akan sholat pada saat itu sekitar 60 orang
digiring keluar musholah dan dilarang untuk sholat jumat disana. Akhirnya jamaah bubar, ada yang pergi
sholat ke masjid dekat Polda yang jaraknya sekitar 1.5 km dari musholah dan ada yang pulang tidak jadi
sholat jumatan. Setelah sholat jumat Abdulah Masri, Eko dan Budi selaku pengurus musholah di panggil
polisi dimintai keterangannya.
Alasan Penolakan

Masyarakat non muslim yang ada dilingkungan jalan Belimbing merasa keberatan akan
dibangunnya mushollah menjadi masjid dilahan tersebut. lahan kosong tersebut akan dibangun musholah,
selama ini lahan kosong tersebut dijadikan tempat parkir motor, sepeda, karena lahan tersebut lebih luas
dibandingkan musholah selama ini. Sedangkan mushola tersebut akan dialih fungsikan jadi lahan parkiran
motor dan sepeda artinya itu hanya tukar tempat saja. Alasan lainnya adalah dengan makin seringnya dan
banyaknya msayarakat muslim sholat jumat di musholah tersebut, maka mengganggu aktifitas masyarakat
dijalan belimbig tersebut yang akan lalu lalang karena jalannya sempit sementara motor, sepeda yang
parkir disana sangat banyak. Umat muslim dilarang melakukan sholat jumat di musholah, karena
musholah hanya untuk tempat ibadah keluarga. Jika ingin sholat jumat silahkan pergi ke masjid dekat
Polda. Penolak dilakukan oleh masyarakat jalan Belimbing berjumlah 10 orang mengatas namakan
masyarakat jalan belimbing, termasuk Kelian adatnya sebagai tokoh masya- rakat Hindu. Pihak yang
ditolak adalah Masyarakat muslim yang dari pasar burung yang menum- pang sholat di Musholah serta
kegiatan sholat jumat dan pembangunan gedung yang merupakan pergeseran gedung lama ke tempat yang
baru. Sedangkan Pengurus Musholah yaitu Abdul Masri, Eko dan Budi karena berdomisili disana tidak
ditolak masyarakat. Dengan kejadian tersebut, hingga kini mushollah tidak dapat difungsikan sama sekali,
bahkan sudah tidak terurus lagi.

Penanganan Yang dilakukan Pemerintah dan FKUB

Sejak terjadi pengerudukan oleh orang-orang yang mengatas namakan masyarakat Jalan
Belimbing yang 10 orang tersebut menolak Pembangunan Musholah dan aktifitasnya itu sejak tahun
2008, pemerintah (pemda, Kemenag, dan berbagai unsur muspida, walikota, Dirjen Bimas Agama Hindu,
Dirjen Bimas Agama Islam, MUI, Komnas HAM, Ombudsman RI perwakilan Prov. Bali, FKUB, sudah
melakukan beberapa kali rapat koordinasi dengan Kelian Pengurus Musholah), namun Kelian Adat dan
Kelian Dinas tidak pernah hadir saat diundang. Padahal Kelian adat dan Kelian dinas ini sangat
menentukan dalam pengambilan keputusan tersebut karena dalam rapat banjar pada 16 Februari 2008,
memutuskan tidak mengakui keberadaan musholah As Syafiiyah, dengan alasan pihak pengurus tidak
pernah mensosialisasikan pendirian musholah dihadapan forum banjar sesuai dengan SKB Menteri
Agama dan Mendagri Tahun 2006 dan SK Gubernur Bali No. 33 Tahun 2003. Sesungguhnya pihak
Banjar tidak melarang aktifitas keaga- maan asal prosedur pendirian musholah dilaksanakan.

Pihak Pemerintah, FKUB, dll sudah melaksanakan koor- dinasi, namun pelaksanaan dilapangan
tergantung dengan Kelian adat dan Kelian dinas, karna terkait dengan keputusan adat di rapat pleno
banjar untuk memutuskan dan melaksanakan hasil keputusan pada rapat koordinasi ditingkat pemerintah.
Karena masyarakat Bali terikat dengan aturan-aturan adat Bali. Ada beberapa kesepakatan yang
diputuskan dalam rapat koor- dinasi seluruh unsur yang terkait dalam penyelesaian kasus tersebut.
Adapun rapat terakhir yang dilakukan Komnas HAM bersama semua pihak, kecuali Kelian Adat dan
Kelian Dinas yang tidak hadir, pada tanggal 28 Juli 2017 dalam menyelesai- kan masalah Musholah As
Syafii diputuskan sbb:

1. Pihak-pihak yang hadir sepakat mengupayakan untuk mempertahankan Mushollah As Syafiiyah


sebagaimana fungsinya sebagai rumah ibadat keluarga
2. Pihak Kanwil Kemenag Prov. Bali akan menindaklanjuti hasil pertemuan konsultasi dengan
menemui dan berko- munikasi intensif dengan kelian Adat dan kelian Dinas banjar Kaliungu
Kaja.
3. Pihak kantor Kanwil Kemenag bersama-sama FKUB Kota denpasar akan segera turun ke
lapangan untuk berko- munikasi langsung dengan kelian Adat dan kelian Dinas dalam rangka
mempersiap- kan pertemuan antara Komnas HAM dan/atau kementerian/Lembaga terkait dengan
warga Banjar kaliungu guna mencari solusi perma- salahan dalam waktu dekat.
4. Kepala Bidang Bimas Islam Kanwil Kemenag Pprov. Bali akan menugaskan Kepala KUA Kota
Denpasar untuk menjembatani komu- nikasi dengan Kelian Adat dan Kelian Dinas Banjar
Kaliungu Kaja.

Berdasarkan hasil pertemu- an tersebut diatas, komnas HAM merekomendasikan Kepala Kanwil
Kemenag Prov. Bali untuk segera menempuh langkah- langkah yang diperlu-kan agar point 2. 3 dan 4
diatas dapat dilaksanakan dengan baik dan lancar. Utnutk selanjutnya Komnas HAM meminta Kepala
Kanwil Kemenag Prov. Bali menyampaikan perkembangan pelaksanaannya kepada kepada Komnas
HAM sebelum minggu ke-2 September 2017.

Hasil Pertemuan Peneliti dengan FKUB, Linmas Kesbangpol, Kanwil Kemenag (Kasi PKUB
sekaligus Keua MUI Kota Denpasar) Mengembalikan pada pu- tusan rapat terakhir pada tahun 2016 di
Kesbangpol, yaitu mengembalikan fungsi musholah seperti semula yaitu tempat belajar TPA dan ngaji,
sholat 5 waktu untuk masyarakat yang tinggal di jalan Belimbing sebagai rumah ibadah keluarga, dan
dilarang orang luar sholat jumat disana. Sholat jumat harus ke masjid dekat Polda, melaksanakan
perayaan keaga- maan seperti potong kurban, tahlil, syukuran akikah, maulid nabi.

Hasil Pertemuan Peneliti, Kepala Kemenag Kota Denpasar, Sekretaris FKUB dan Kelian Adat di
Banjar Kaliungu Kaja

1. Pengurus Musholah diberi kesempatan yang terakhir kalinya untuk berbicara di rapat Pleno
Banjar Kaliungu yang diadakan 6 bulan sekali, dan jatuhnya pada bulan Desember 2018.
2. Pengurus Musholah didam- pingi seorang tokoh saat pleno banjar, fungsinya untuk membantu
menjelas- kan apa yang disampaikan Abdul Masri jika Abdul Masri kesulitan dalam melakukan
komunikasi di forum banjar.
3. Pengurus Musholah menyam- paikan permohonan maaf dan maksudnya untuk pemungsian
musholah sesuai dengan pemungsian semula mushola tersebut awal berdirinya

Dari pertemuan antara peneliti dan kesbangpol, MUI/ kemenag, FKUB di kantor Kesbangpol
tersebut yang ingin mengembalikan pada fungsi awalnya musholah As Syafiiyah tersebut berbeda dengan
yang dimaksud mengembalikan ke fungsi awalnya musholah menurut Kelian adat dan Kelian Dinas.
Kalau menurut pertemuan dengan kesbangpol, MUI, Kemenag dan FKUB yang dimaksud pengembalian
fungsi awal musholah adalah pengurus musholah diminta hanya mem- fungsikan mushollah hanya untuk
sholat 5 waktu, mengada- kan hari keagamaan seperti maulid, kurban, ngaji, tahlilan dan ceramah agama.
Sedangkan menurut kelian adat dan kelian dinas mengembalian fungsi awal musholah adalah
mengembali- kan fungsi awal sesuai pembelian peruntukan tanah itu dibeli sebelum diwakafkan, yaitu
diperuntukan untuk bangunan rumah. Inilah titik pangkal tidak ketemunya kesepakatan selama ini yang
berlarut-larut sudah 10 tahun tidak dapat diselesaikan juga, walaupun berbagai pihak telah turun tangan
untuk menyelesai-kan permasalahan ini. Padahal dalam akta yang disampaikan pengurus mushollah
kepihak Banjar dan akta wakaf dijelaskan bahwa setelah tanah dibeli, diwakafkan pada KUA Denpasar
Timur untuk peruntukan kegiatan keagamaan umat islam.

Dari keadaan seperti itu, pengurus mushollah merasa dipingpong dan dipermainkan oleh pihak-
pihak yang turut ingin menyelesaikan persoalan tersebut, karena mereka menyampaikan pada pihak
pemerintah, malah pemerintah mengembalikannya pada kewe- nangan kelian adat dan Kelian Dinas yang
jelas-jelas tidak menginginkan mushollah dan aktifitasnya berada disana lagi.

Analisis Kasus

Dalam analisis peneliti, sikap penolakan warga jalan belimbing untuk melakukan penggerudukan
tidaklah sepan- tasnya dilakukan, apalagi saat jamaah masjid ingin melaksa- nakan sholat jumat.
Seharusnya hal ini dapat ditanyakan dan diselesaikan secara baik-baik. Dan inipun dapat mencoreng nama
Bali yang terkenal masyarakatnya sangat toleran dalam kehidupan bermasyarakat hingga maca negara.
Namun faktanya kejadian ini telah membuat kita jengah, bahwa seperti tak diduga itu dapat dilakukan
oleh masyarakat Bali yang tidak hanya terkenal toleran, tapi masyarakat yang religius. Toleransi
masyarakat bali dalam menjaga kerukunan hidup berdampingan antara agama, ternodai karena adanya
selisi paham dalam persoalan penolakan pembangunan mushollah As Syafiiyah tersebut. penolakan dan
pelarangan pemungsian musholah ini, dalam kacamata Komnas HAM dianggap melanggar kebebasan
tiap orang untuk melakukan ibadah di rumah ibadatnya masing-masing. Selain itu, atas nama kebebasan
berekspresi, lalu menggeruduk tidak dapat dibenarkan. Oleh karena itulah KOMNAS HAM menganggap
kasus ini belum selesai sampai umat Islam dapat melakukan ibadahnya di rumah ibadah mereka.

Disisi lain peneliti menga- nalisa bahwa pihak musholah juga telah melakukan kesalahan dengan
ingin memindahkan bangunan mus-hollah pada lahan yang baru dan ingin dibangun. Pembangunan yang
tanpa izin pendirian rumah ibadat pada lahan baru, sekalipun berse- belahan dengan musholah, tapi
sertifikat tanah-nya berbeda. Sehingga harus mengurus dahulu perizinan ke pemda. Seharusnya pihak
mushollah juga mensosialisasi-kan terlebih dahulu kepada masyarakat sekitar akan ada pembagunan
mushollah baru, dengan alasan kenapa musholah dibangun dan dipindahkan kesebelahnya, walaupun
dikata-kan menggeser tempat musholah lama ke lahan kosong baru. Selain itu, musholah bukanlah tempat
melakukan sholat jumat, ia hanya tempat ibadah keluarga saja. Sosialisasi ini penting, dalam rangka
selain menyampai- kan informasi pada masyarakat, juga agar tidak terjadinya kesalah pahaman diantara
kedua belah pihak yang berbeda keyakinan. Jika hal ini tidak dilakukan, justru menimbulkan kecurigaan-
kecurigaan pada pihak lain yang berbeda agama dengan asumsi-asumsi yang berbeda pula, misalnya akan
ada Islamisasi pada masyarakat sekitar. Apalagi kedudukan mushollah yang berada dilingkungan
mayoritas masyarakat yang beragama Hindu.

Atas kejadian tersebut, seyogyanya masyarakat belim- bing menyelesaikan masalah ini secara
baik, agar tidak ada yang merasa dirugikan. Baik dari pihak yang diamanahkan untuk mengelola dan
mengurus musholah dan juga masyarakay jalan belimbing juga tidak terganggu. Hal ini tidak boleh
berlarut-larut, apalagi selama 10 tahun sebelumnya sejak tahun 1998 hingga 2008 sampai pengerudukan
itu, masyarakat tidak mempermasalahkan pe- mungsian mushollah seperti yang pernah mereka pengurus
musholah lakukan.

Dalam pandangan peneliti, sikap pemerintah yang mengem- balikan permasalahan ini ke Kelian
adat dan Kelian dinas, sekan-akan pemerintah tidak dapat mengintervensi untuk menyelsaikan persoalan
ini, bahkan terkesan hukum adat lebih tinggi dari kewenangan atau hukum pemerintah setem- pat.
Walaupun kita ketahui di Bali hukum adat sangat kental dan masih berjalan, tapi tidak seharusnya
pemerintah setempat tidak dapat melakukan intervensi pada hukum adat setempat. Apapun namanya
perintah seharusnya tidak boleh dikalah kan oleh hukum adat setempat, karena jika hal ini terjadi, seolah-
olah negara kalah oleh hukum adat, dan seolah-olah ada negara dalam negara, karena kekuasaan Kelian
Adat dan Kelian Dinas melebihi kekuasa- an pemerintah. Dan ini tidak dibenarkan dalam negara hukum
kita. Dimana antar hukum adat dan hukum negara seharusnya sejalan, saling mendukung dan dapat
menjadi solusi bersama, dan tidak ada masyarakat yang dirugikan.

Selain itu, wajar saja jika Komnas HAM tetap memper- masalahkan persoalan ini sampai
sekarang, karena win win solution mengalami jalan buntu. Bahkan menurut peneliti, negara
menghabiskan waktu, anggaran saja, karena bertahun-tahun kasus ini sampai sekarang belum dapat
diselesaikan.

Kesimpulan

1. Yang melatar belakangi ter- jadinya penolakan karena masyarakat merasa tergang- gu dengan
keberadaan mushola disana yang didirikan diang- gap tidak disosialisasikan terlebih dahulu pada
warga setempat plus mushollah digunakan untuk sholat jumat.
2. Adapun yang merasa terganggu adalah 10 orang melakukan penggerudukan atas nama
masyarakat jalan belimbing yang berimbas pada beberapa masyarakat di jalan belimbing tersebut,
juga Kelian adat setempat.
3. Pemindahan untuk pembangunan gedung musholah yang baru dilokasi sebelah musholah lama
tanpa izin bangunan, penggunaan musholah untuk sholat jumat yang berakibat banyaknya
kendaraan roda dua yang dianggap menggangu masyarakat yang lalu lalang disana.
4. Diawal terjadi pengerudukan sangat suasana jadi tidak kondusif pada masyarakat jalan belimbing,
secara psikologis pengurus mushollah jadi kurang nyaman berada disana. Seiring waktu suasana
menjadi normal kembali dan pengurus musholah sudah beraktifitas seperti semula di masyarakat,
walaupun musholah sejak tahun 2008 sampai 2018 belum beraktifitas kembali
5. Pemerintah, FKUB, MUI, Komnas HAM, Ombudsman setempat, sudah melakukan rapat-rapat
koordinasi yang memutuskan beberapa point penting diantaranya mengem- balikan pada fungsi
awal musholah, memberikan kesempatan terakhir kalinya pada pengurus musholah untuk
menyampaikan kem- bali maskdunnya tentang musholah pada rapat pleno banjar pada bulan
Desember 2018
6. Faktor yang mendukung penyelesaian kasus tersebut adalah semua pihak mem- bantu dalam
menyelesaikan permasalahan tersebut dan mencarikan solusinya. Sedangkan faktor
penghambatnya adalah pada Kelian adat yang tidak dapat dikomunikasikan se- hingga
permasalahan ini jadi stagnan atau jalan ditempat, hal ini juga dipicu oleh kepercayaan
masyarakat hilang kepada pengurus musholah yang berubah- ubah keputusannya.

Rekomendasi:

1. Kementerian Agama, Pemda dan pihak-pihak terkait setempat harus tetap membantu
penyelesaian musholah As Syafiiyah dalam mengembalikan fungsinya sesuai dengan fungsi
awalnya yang tertuang dalam surat wakaf.
2. Pihak Pemerintah dan pihak-pihak terkait lainnya harus membantu terus menerus
mengkomunikasikan kembali dengan Kelian adat dan Kelian Dinas setempat agar permasalahan
ini selesai sesuai dengan kese- pakatan bersama, sehingga kedua belah pihak yaitu masyarakat
setempat dan pengurus musholah tidak ada yang merasa dirugikan lagi dengan situasi tersebut.
3. Pemerintah dan pihak terkait terus mendorong tecapainya kesepakatan diantara kedua belah
pihak dengan keputusan win win solution pada pertemuan rapat pleno Banjar kaliungu yang akan
di gelar 6 bulan sekali dan akan dilaksana- kan pada bulan Desember 2018 ini.

Anda mungkin juga menyukai