Anda di halaman 1dari 3

Sejarah Berdirinya Mathla'ul Anwar

Mathla'ul Anwar sebagai lembaga pendidikan didirikan pada 10 Juli 1916 melalui
musyawarah ulama di Menes. Lembaga ini kini memiliki cabang di seluruh Indonesia.
Mathla'ul Anwar pertama kali muncul dari usulan K.H. Entol Mohamad Yasin kepada
K.H. Tubagus Mohamad Sholeh untuk membentuk lembaga pendidikan Islam di Menes.
Ada tiga tokoh yang berperan besar dalam mendirikan organisasi Islam besar
Mathla’ul Anwar (MA) di Menes, Pandeglang, yaitu KH Entol Muhammad Yasin, KH
Tubagus Muhammad Sholeh dan KH Mas Abdurrahman. MA kini tumbuh besar dengan
jumlah cabang yang tersebar di beberapa daerah di Indonesia.

Adapun tujuan didirikannya Mathla’ul Anwar ini adalah agar ajaran Islam menjadi
dasar kehidupan bagi individu dan masyarakat.  Untuk mencapai tujuan tersebut, maka
disepakati untuk menghumpun tenaga-tenaga pengajar agama Islam, mendirikan
madrasah, memelihara pondok pesantren dan menyelenggarakan tablig ke berbagai
penjuru tanah air yang pada saat itu masih dikuasai oleh pemerintah jajahan Belanda.  
Pemerintah kolonial telah membiarkan rakyat bumi putra hidup dalam kebodohan dan
kemiskinan.

Profil Pendiri

1. KH Entol Muhammad Yasin


KH. Mohammad Entol Yasin bin Demang Darwis lahir tahun 1860 di
Simanying-Menes, Yasin merupakan salah satu keluarga ningrat yang cukup kaya,
ayahnya Demang Darwis menjabat sebagai kepala Desa di Menes. Pendidikan
dasar tentang agama, Yasin memperoleh dari beberapa orang guru agama yang
diundang langsung kerumahnya. Selain itu, dia melanjutkan pendidikan agama di
dua pesantren, yakni di Karamulya dan Soreang tahun 1875-1884. Sedangkan
pendidikan formal atau umum pada sekolah Pemerintah Belanda di Menes.
Yasin selain dikenal sebagai intelektual juga aktivis Sarekat Dagang Islam
(SDI) yang cukup terkenal dimasyarakat karena kedermawanannya, karena telah
membantu penderitaan rakyat, sehingga dengan kebaikannya itu masyarakat
menyebutnya dengan kiyai. Ketika pada umur 17 tahun, ia bahkan membiayai
pendidikan dan memberikan pakaian untuk fakir miskin sebanyak 20 anak di
Tegalwangi. Kemudian pada umur 24 tahun, ia mampu mengubah perilaku para
jawara yang terkenal sebagai pembuat onar di Menes menjadi orang baik, yaitu
dengan cara memberikan mereka sebidang tanah untuk tempat tinggal. Dengan
latar belakang pendidikan agama dan formal, Yasin telah memberikan kontribusi
yang cukup besar baik diawal maupun setelah pendirian organisasi Mathla’ul Anwar.
Mohammad Entol Yasin wafat sekitar tahun 1937-1938 pada usia 77 tahun.

2. KH. Tubagus Muhammad Soleh


Dari ketiga tokoh pendiri MA tersebut, KH Tubagus Muhammad Sholeh
adalah yang paling senior dan figur kharismatis (Rosidin, 2007: 27). Tubagus Sholeh
lahir pada tahun 1853.
Ayahnya, Tubagus Yusuf, merupakan seorang guru agama di Kananga.
Dilihat dari gelar “tubagus” yang ada di namanya, ayah Tubagus Sholeh merupakan
orang yang mempunyai kekerabatan dengan kesultanan Banten.
Tubagus Sholeh mendapatkan pendidikan dasar agama dan bahasa Arab
dari gemblengan ayahnya. Setelah itu, ia meneruskan pendidikannya dengan
“mondok” di berbagai pesantren. Ia jalani masa “mondok”-nya selama kurang lebih
17 tahun dari tahun 1874 hingga 1891.
Sepulangnya dari pesantren, Tubagus Sholeh menikah dengan seorang
perempuan bernama Safrah. Dari pernikahannya ini, ia dikaruniai 8 orang anak, 7
laki-laki dan 1 perempuan.
Pada pernikahannya yang kedua dengan Artafia dari Kampung Baru,
Tubagus Sholeh memiliki 5 orang anak, 3 laki-laki dan 2 perempuan. Dari ketiga
belas anaknya ini, Tubagus Ahmad Suhaemi menikahi adiknya KH Entol
Muhammad Yasin, Siti Zainab. Sementara putrinya yang bernama Enong, dinikahi
oleh KH Mas Abdurrahman.
Dengan demikian, ketiga pendiri MA ini pada akhirnya diikat menjadi
keluarga besar baik ikatan besan maupun menantu. Jaringan pernikahan seperti ini
memang umum terjadi juga di kyai-kyai besar di Jawa Tengah dan Jawa Timur.
Pada tahun 1902, Tubagus Sholeh berangkat ke Mekkah untuk
menunaikan ibadah haji. Di Mekkah ia tinggal selama kurang lebih 2 tahun.
Sekembalinya dari Mekkah, ia mendirikan pondok pesantren.
Ketika Pemberontakan Komunis pada tanggal 13 November 1926 yang
melibatkan banyak kyai, Tubagus Sholeh tidak luput dari kecurigaan kolonial
Belanda. Pada tanggal 17 November, ia ditangkap saat sedang shalat di masjid
tempat tinggalnya (Williams, 1990: 241).
Usianya yang sudah senja, saat itu usianya 73 tahun, ia terluka saat
terjadinya penangkapan. Lukanya itu menyebabkan ia mengalami kelumpuhan. Ia
ditahan selama kurang lebih 2 bulan.
Ia baru dibebaskan setelah J.W. Meyer Ranneft, seorang anggota Komisi
Penyelidikan, menemuinya di dalam penjara. Akan tetapi, beberapa hari setelah ia
diizinkan pulang ke rumah, Tubagus Sholeh meninggal dunia.

3. KH Mas Abdurahman
Kyai Haji Mas Abdurrahman adalah putra dari Kyai Haji Mas Jamal, lahir di
Kampung Janaka, Kawedanan Caringin, Pandeglang, pada tahun 1875 M, sekarang
Kecamatan Jiput, Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. KH Mas Abdurrahman
meninggal pada 16 Agustus 1944 M (27 Sya'ban 1363 H), dan dimakamkan di
Komplek Perguruan Mathla'ul Anwar Cikaliung, Kecamatan Saketi, Kabupaten
Pandeglang.
KH Mas Abdurrahman adalah putra bungsu dari tiga bersaudara, orangtua
KH Mas Abdurrahman, KH Mas Jamal Al-Janakawi adalah salah satu tokoh agama
dan pimpinan pondok pesantren yang sangat dihormati dan disegani di Janaka.
KH Mas Abdurrahman adalah pendiri organisasi massa Islam dan lembaga
pendidikan Islam salah satu yang tertua dan terbesar di Indonesia, Mathla'ul Anwar.

Anda mungkin juga menyukai