Anda di halaman 1dari 32

DAMPAK PERISTIWA G30S 1965 TERHADAP WARGA NEGARA

DALAM NOVEL KALATIDHA KARYA SENO GUMIRA AJIDARMA


(KAJIAN SOSIOLOGI SASTRA)

Proposal Skripsi:
Diajukan sebagai salah satu syarat guna memperoleh gelar Sarjana Sastra
(S.S)

Oleh :
DIMAS JULIAN ANGGADA
2016070117

PROGRAM STUDI SASTRA INDONESIA


FAKULTAS SASTRA
UNIVERSITAS PAMULANG TANGERANG
SELATAN
2019

1
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamiin, puji syukur penulis haturkan kehadirat Allah SWT


atas rahmat dan hidayah-Nya maka penulis dapat menyelesaikan proposal
penelitian yang berjudul Dampak Peristiwa G30S 1965 Terhadap Warga Sipil
dalam Novel Kalatidha Karya Seno Gumira Ajidarma.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa proposal penelitian ini dapat diselesaikan
berkat dorongan, bimbingan, dan bantuan dari berbagai pihak. Oleh karena itu,
penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. Dr (H.C) Drs. H. Darsono, selaku katua yayasan Sasmita Jaya.
2. Dr. H. Dayat Hidayat, M.M, selaku rektor Universitas Pamulang.
3. Hj. Djasminar Anwar, B.A.Pg., Dipl, M.A, selaku dekan Universitas
Pamulang.
4. Misbah Priagung Nursalim, S.S., M.Pd selaku kaprodi Universitas
Pamulang.
5. Varatisha Anjani Abdullah, S.S., M.A selaku dosen pengampu.
6. Seluruh dosen Sastra Indonesia atas semua ilmu yang diberikan.
7. Orangtua, dan saudara-saudara atas doa dan dukungannya yang tiada henti
sehingga saya dapat menyelesaikan pendidikan sampai sekarang ini.
8. Febriansyah Hamidan, Fachmi Aldiansyah, Muhamad Akbar, Hanif Abdul
Fattah, Muhammad Pandu Suvi, Ainun Najib, Dimas Julian Anggada,
Mohammad Arril Alfasya, Eko Evi Sulastri, Nabila Mayang Sari, Novika
Ayu Ninda, Ayul Yuliah, Amandha Aura Jaya, Marcelina Raharjo, Ansani
Intan Oktavia, Winda Saputri, yang telah menjadi teman sekelas dan
seperjuangan selama ini.
9. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penyusunan skripsi ini.
Dalam penulisan proposal ini penulis merasa masih banyak kekurangan baik pada
teknis penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang dimiliki
penulis. Untuk itu kritik dan saran dari semua pihak sangat penulis harapkan demi
penyempurnaan proposal ini. Semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Jakarta, 24 Maret 2020

DAFTAR ISI

2
Kata Pengantar i
Daftar Isi ii
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 4
1.3 Rumusan Penelitian 4
1.4 Tujuan Penulisan 4
1.5 Manfaat Penulisan 4
1.6 Sistematika Penulisan 4
BAB II KAJIAN TEORI 6
2.1 Penelitian Sejenis 6
2.2 Hak Asasi Manusia 6
2.3 Kekerasan 9
2.4 Sosiologi Sastra 13
BAB III METODE PENELITIAN 17
3.1 Tempat dan Waktu Penelitian 17
3.2 Pendekatan Penelitian 17
3.3 Sumber Data 17
3.4 Teknik Pengumpulan Data 18
3.5 Validitas Data 18
3.6 Teknik Pengolahan Data 19
3.7 Teknik Analisis Data 19
3.8 Prosedur Penelitian 21
DAFTAR PUSTAKA 22

BAB I

PENDAHULUAN

3
1.1 Latar Belakang

Indonesia pasca 30 september 1965 adalah kegelapan dan malapetaka.


Waktu di mana perpolitikan Indonesia mengalami luka yang begitu parah.
Gerakan yang mengatasnamakan G30S (gerakan 30 september) menorehkan luka:
pembunuhan tujuh jenderal. Akibat yang ditimbulkan meluas ke penjuru negeri;
menghasilkan pembantaian, penghilangan, dan penyiksaan orang-orang yang
dituduh dan tertuduh. Pembalasan dendam akibat G30S ini melahirkan kekerasan
massal yang meliputi seluruh masyarakat, dari kelas masyarakat bawah hingga
kelas masyarakat atas, dan secara tidak langsung mendapat restu oleh penguasa.

Pembalasan dendam yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak terima


atas G30S ini menjadi permasalahan yang serius dan berkepanjangan hingga
bertahun-tahun kemudian. Orde baru melanggengkan narasi sebagai pemenang
dengan tidak diberi kesempatannya pihak PKI membela diri. Atas nama stabilitas
nasional, gerakan “anti-komunis”, atau gerakan pembalasan oleh angkatan darat
berakibat buruk pada masa depan orang-orang yang tertuduh, tahanan politik, dan
keturunan keluarga PKI. Sebuah permasalahan sosial yang akan sulit diatasi,
sebab sudah mengakar hingga puluhan tahun.

Pasca G30S, situasi politik mengalami huru-hara. Angkatan darat


mengambil alih pers—mereka menyiarkan berita tujuh jenderal yang dibunuh
serta kebiadaban yang membunuh. PKI dituduh melakukan kudeta, dituduh dan
tidak diberi hak untuk membela diri, dan itu berimbas pada pembunuhan anggota
dan simpatisan PKI. Setelah aksi kudeta terjadi, angkatan darat membentuk
gerakan anti-komunisme dan membentuk jaringan dengan kelompok ormas-ormas
di daerah yang anti komunis, khususnya di daerah dengan massa simpatisan PKI
terbanyak, yaitu, Jawa tengah, Jawa timur dan Bali, Aceh, dan Sumatera utara.

Angkatan darat berperan penting dalam pembunuhan, pencidukan, dan


penahanan seseorang yang dituduh dan tertuduh PKI. melalui jaringannya dengan
ormas, masyarakat juga diikutsertakan. Angkatan darat juga melancarkan
propaganda, bahwa konfrontasi rakyat dengan PKI adalah akibat dari ekonomi dan
ideologi. Faktanya hal tersebut hanya sebagian kecil untuk menutupi siasat yang
sebenarnya bahwa angkatan darat ingin melenyapkan PKI.

4
Pembunuhan, pencidukan, dan penahanan yang dilakukan angakatan darat
dalam bulan-bulan pasca kudeta begitu terorganisir. Ormas dan masyarakat di
daerah mendapat komando langsung oleh angkatan darat yang berada di daerah.
Mereka melakukan razia-razia, dan penjarahan—melakukan penahanan,
pencidukan, dan pembunuhan tanpa alasan. Sangat berbahaya bagi seseorang yang
tidak tahu menahu dekat dengan anggota PKI, sehingga akan hal buruk akan
berimbas kepada dirinya.

Kekerasan pasca G30S menimbulkan ketakutan. Penyebab ketakutan yang


terjadi bisa dilihat dari cara massa melakukan pembantaian terhadap yang tertuduh
dan dituduh. Kekerasan fisik berupa pemotongan leher, digantung, ditembak, dll.
Mereka yang ditangkap disuruh menggali lubang di tanah, setelah digali seseorang
tersebut ditembak hingga jatuh ke tanah bekas galiannya. Adapula yang disiksa
dahulu (dan ini menghasilkan kuburan massal). Orang-orang yang tertangkap
dikumpulkan serta dibariskan dengan tangan dan leher terikat dengan orang di
belakangnya; mereka ditusuk, dipukul, dilecehkan, dsb dengan kengerian yang
beragam. Yang tewas dikumpulkan di truk, untuk dikubur massal, dibuang di
sungai, atau dimasukkan kedalam sumur. Yang dikubur ditanami pohon pisang
sebagai penanda.

Kekerasan tersebut tidak bisa kita terima dengan pemakluman bahwa PKI
harus menanggung akibat dari kudeta. Pembalasan dendam yang berupa kekerasan
atau apapun itu tidak bisa dibenarkan. Tidak adanya hak membela diri bagi korban
adalah tanda bahwa Indonesia waktu itu mengalami kemunduran dalam hal hak
asasi manusia. Korban yang ditangkap tidak diadili, dirampas haknya sebagai
manusia, lalu mendapat hukum sosial di masyarakat juga.

Permasalahan yang sudah diuraikan di atas disinggung oleh Seno Gumira


Ajidarma, dalam novelnya Kalatidha, novel yang menggambarkan huru-hara
sebelum dan setelah terjadinya kudeta, dan gambaran mengenai pencidukan,
pembunuhan, dan penghilangan mereka yang tertuduh dan dituduh. Penggambaran
peristiwa yang terjadi persis pada waktu terjadinya menjadi refleksi bagi pembaca
untuk memahami problematika masa lalu.

5
Kalatidha, sebuah novel Seno Gumira Ajidarma yang menceritakan
seseorang yang mengalami pengalaman metafisika di kurun waktu peristiwa
kudeta dan pascaperistiwa. Sudah menjadi rahasia umum, tahun 1965 akhir
september adalah sejarah kelam dengan kegelapannya yang pekat. Narasi yang
berkembang adalah pemberontakan PKI atau dikenal G30S, yang selanjutnya
menjadi peristiwa berdarah yang buram: pembantaian bagi yang dituduh dan
tertuduh.

Seno Gumira Ajidarma (selanjutnya SGA), di dalam Kalatidha ingin


menyampaikan peristiwa yang hilang. Peristiwa pembantaian yang ditutup-tutupi.
Melalui seorang tokoh “Aku” yang memiliki pengalaman, atau saksi bisu
pembantaian pasca kudeta. Dengan penceritaan yang penuh metafora, SGA
menceritakan peristiwa berbalut fakta. “Dunia kabut”, dan “hutan bambu” adalah
salah satu analogi yang ingin disampaikan soal masa lalu dan pembantaian.

Novel ini menggambarkan suasana sosial politik sesudah peristiwa. Di


mana ada ketakutan dan was-was dicurigai, segala gerak-gerik diperhatikan.
Setelah peristiwa kudeta, Indonesia memasuki fase orde baru yang bisa disebut
juga fase fasis yang panjang. Fase dimana hidup adalah saling mencurigai, tidak
ada kebebasan berbicara, demokrasi lumpuh, dan penguasa bebas bertindak
sesukanya. SGA ingin menyampaikan peristiwa itu, dengan metaforanya bahwa
kekejaman tidak dapat tergambarkan. Kekejaman hanyalah “dunia kabut”. Novel
ini mengambil sudut pandang seorang anak-anak yang hidup saat peristiwa dan
setelah peristiwa 65. Seorang anak yang belum tahu-menahu sosial politik
lingkungan sekelilingnya. Ia adalah saksi atas pencidukan dan pembantaian. Ia tak
tahu namun bisa merasakan kekejaman yang dilakukan orang-orang kepada yang
dituduh dan tertuduh PKI.

Dalam novel ini tokoh utama selalu bertanya-tanya, mengapa pembantaian


tersebut mengarah pada orang-orang yang tidak terlibat, orang-orang yang tak
tahu apa-apa hanya karena berteman dengan kelompok kiri itu. Narasi yang
dikembangkan makin lama, makin berpenyakit, sehingga polarisasi semakin
memprihatinkan, dan membentuk asumsi: kiri jahat.

6
Kekerasan selalu nampak dan hadir dalam keseharian tokoh “Aku”.
Pecahnya huru-hara pasca pembunuhan tujuh jenderal membuat lingkungan
sosialnya berubah: penuh kecemasan, kecurigaan, dan kemarahan. Kekerasan yang
pertama kali tokoh “Aku” lihat ketika seseorang tertuduh PKI dikejar warga dan
masuk ke ruangan kelasnya. Si tertuduh tersebut menjadi bahan amarah warga:
dirundung, dipukul, dan hal-hal mengerikan lainnya hingga diangkut menuju truk
yang penuh mayat para tertuduh PKI.

Dampak G30S membuat masyarakat secara spontan—juga dengan


propaganda militer—mencari terduga PKI. Jam malam diberlakukan, anggota
keluarga kader PKI dikucilkan, diculik, disiksa, hingga dibunuh. Tokoh “Aku”
hidup bersama kecemasan masyarakat, dan histeria menjadi santapannya
seharihari. Kakak tokoh “Aku” menjadi korban dampak peristiwa G30S.
Kakaknya diculik, hilang entah di mana akibat ia dekat dengan orang-orang PKI.
Namun tidak menjadi anggota, tetapi menjadi teman diskusi dan lawan debatnya.
Pasca peristiwa G30S, masyarakat memandang semua orang PKI, dekat, bahkan
kenal harus dimusnahkan. Itu adalah sebuah polarisasi terstruktur yang dibuat oleh
militer untuk memusnahkan PKI dengan dalih keamanan nasional.

SGA dalam Kalatidha mengkritik orde baru yang sewenang-wenang


terhadap nyawa manusia. Militer, pasca peristiwa berada di garis depan untuk
membentuk asumsi bahwa PKI adalah tersangka utama tanpa mendengarkan
kesaksian dari pihak PKI sendiri. Hal itu yang menyebabkan polarisasi di
masyarakan. Akibat yang ditimbulkan berupa histeria massa. Segala yang berbau
komunis, orang-orang kiri, mereka yang memperjuangkan tanah untuk petani tak
bertanah, termasuk istri, anak cucu mereka, tak peduli apakah mereka bisa
membaca atau masih dalam keadaan buta aksara dicap sebagai Komunis yang
diklaim sebagai orang yang terlibat dalam peristiwa G30S yang menurut
kekuasaan harus dilenyapkan, serta dilecehkan hak-haknya sebagai manusia.

Demi stabilitas dan keamanan negara, penguasa dan militer menumbalkan


orang-orang kiri yang tidak tahu apa-apa, dan tidak diberinya hak untuk membela
diri. SGA melalui Kalatidha mencoba melakukan pengungkapan sejarah yang
buram, juga membeberkan sejarah yang dihilangkan penguasa.

7
Pada penilitian ini, peneliti akan meneliti dampak peristiwa G30S 1965
dalam kehidupan masyarakat, khususnya tokoh “Aku” yang merasakan dampak
dan juga menjadi saksi mata kekerasan pasca peristiwa G30S. Keadaan sosial
masyarakat pasca peristiwa menjadi sorotan, sebab begitu beringasnya amarah
masyarakat terhadap terduga PKI. Kekerasan menjadi pemakluman sebagai dalih
pembalasan dendam terhadap tujuh jenderal yang dibunuh. Peneliti akan fosus
pada tataran sosiologi sastra dengan mengaitkan pasca peristiwa G30S dengan
pengalaman kekerasan tokoh “Aku”.

1.2 Batasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, penulisan hanya membatasi masalah


yang akan dibahas dalam penelitian ini, yaitu sebagai berikut:

1.2.1 Mendeskripsikan dampak yang terjadi pasca peristiwa G30S 1965 terhadap
warga sipil dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma.

1.2.2 Mendeskripsikan kekerasan dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira


Ajidarma.

1.3 Rumusan Masalah

Dari uraian latar belakang di atas maka permasalahan yang dapat


diidentifikasikan adalah sebagai beriku:

1.3.1 Apa saja dampak yang terjadi pasca peristiwa G30S 1965 terhadap warga
sipil dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma?

1.3.2 Apa penyebab kekerasan dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira
Ajidarma?

1.4 Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah


mendeskripsikan:

1.4.1 Untuk mengetahui dampak yang terjadi pasca peristiwa G30S 1965 terhadap
warga sipil dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma.

8
1.4.2 Untuk mengetahui kekerasan dalam novel Kalatidha karya Seno Gumira
Ajidarma.

1.5 Manfaat Penulisan

Manfaat yang didapat dari penelitian ini adalah:

151. Menambah pengetahuan terhadap analisis karya sastra Indonesia, terutama


dalam bidang penelitian novel Indonesia yang memanfaatkan teori
Sosiologi Sastra.

1.6 Sistematika Penulisan

Dalam penelitian ini, tulisan terdiri dari 3 bab. Bab 1 sebagai bab
pendahuluan. Mencakup latar belakang, batasan masalah, rumusan masalah,
tujuan penulisan, manfaat penulisan, dan sistematika penulisan. Dalam bab 2, ada
tinjauan pustaka yang mencakup penelitian sejenis dan juga landasan teori. Dan di
bab 3 ada metodologi penelitian yang mencakup metode penilitian, data dan
sumber data, teknik pengumpulan data, juga teknik analisis data.

9
BAB II

KAJIAN TEORI

2.1 Penelitian Terdahulu

Tinjauan pustaka pada penelitian berfungsi sebagai tolak ukur sebuah


penelitian. Tinjauan pustaka ini juga dapat digunakan sebagai perbandingan yang
melihat persamaan serta perbedaan yang terdapat pada penelitian sebelumnya.
Adapun fungsi lain pada tinjauan pustaka untuk menjadikan referensi dalam
penelitian. berikut merupakan tinjauan pustaka yang digunakan pada penelitian
ini.

Pertama, Ade Revi Yanna Harahap (2020) Universitas Andalas, berjudul


Dampak Perang Saudara Antara PRRI dengan Tentara Pusat terhadap
Kehidupan
Masyarakat dalam Novel Bergolak Karya Armini Arbain dan Rondin (Tinjauan
Sosiologi Sastra). Penelitian ini dianalisis dengan menggunakan pendekatan
sosiologi sastra, yakni sosiologi karya. Teori yang digunakan adalah teori
Laurenson dan Swingewood yang menyatakan karya sastra sebagai manifestasi
peristiwa sejarah dan keadaan sosial budaya. Adapun metode yang digunakan
adalah metode kualitatif yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata
tertulis mengenai dampak perang saudara antara PRRI dengan tentara pusat dalam
novel Bergolak. Teknik yang digunakan untuk menyimpulkan data adalah teknik
pengumpulan data dilakukan dengan cara membaca novel Bergolak karya Armini
Arbain dan Ronidin untuk memahami karya dan memahami data, Teknik
pengklasifikasikan data yang berkaitan antara peristiwa PRRI tersebut dan apa
dampaknya terhadap kehidupan masyarakat yang ada dalam novel Bergolak,
teknik analisis data yang dilakukan dengan menggunakan kajian sosiologi sastra
untuk melihat bagaiman dampak yang terjadi dalam novel Bergolak karya Armini
Arbain dan Ronidin, dan teknik penyajian hasil analisis data yang dijelaskan
secara deskriptif dalam bentuk kata-kata tertulis, serta menarik kesimpulan dari
analisis yang dilakukan.

Kedua, Risky Arbangi Nopi (2020) Universidah Muhammadiyah


Purwokerto, berjudul Praktik Hegemoni Orde Baru dalam Novel Laut Bercerita

10
Karya Leila S. Chudori. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan wujud
hegemoni dan dampak hegemoni terhadap pelanggaran hak asasi manusia yang
terdapat dalam novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Jenis penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu deskriptif kualitatif. Sumber data dalam
penelitian ini yaitu novel Laut Bercerita karya Leila S. Chudori. Sedangkan data
dalam penelitian ini ialah kata, frasa, dan kalimat dalam novel Laut Bercerita
karya Leila S. Chudori yang memuat wujud hegemoni dan dampak hegemoni
terhadap pelanggaran hak asasi manusia. Pendekatan yang digunakan dalam
penelitian ini yaitu pendekatan sosiologi sastra. Teknik pengumpulan data
menggunakan Teknik baca dan catat. Sedangkan validitasi data menggunakan
triangulasi teori. Teknik analisis data yang digunakan yaitu analisis wacana kritis.
Hasil penelitiannya, yaitu (1) wujud hegemoni yang terdapat dalam novel Laut
Bercerita karya Leila S. Chudori meliputi: (a) Aparatur Negara Represif, alat
represi ini digunakan oleh kekuasaan Orde Baru dan para oknum untuk
memberikan penekanan kepada masyarakat kelas bawah, dengan menggunakan
hakim, polisi, dan tantara. (b) Aparatur Negara Ideologis, digunakan oleh
kekuasaan Orde Baru untuk mempertahankan kekuasaan dan eksistensi melalui
sistem politik, kampanye, dan media masa. (2) dampak hegemoni terhadap
pelanggaran hak asasi manusia meliputi (a) pembunuhan, (b) perampasan
kemedekaan, (c) penyiksaan, (d) penghilangan orang secara paksa.

Ketiga, Fadillah, Sumiman Udu, dan Irianto Ibrahim (2020) Jurnal


Pendidikan Bahasa No.1 Vol 9, berjudul Kekerasan Budaya dalam Novel Kutukan
Tanah Buton Karya Safarudin (Sosiologi Sastra). Penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan: Bentuk-bentuk kekerasan Budaya yang terjadi dalam novel
Kutukan Tanah Buton Karya Safarudin, Penelitian ini merupakan penelitian
kepustakaan dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif. Sumber data
dalam penelitian ini adalah novel Kutukan Tanah Buton karya Safarudin, analisis
teks dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra. Gambaran masyarak
Buton dalam novel Kutukan Tanah Buton berupa: Kondisi Sosial yang terjadi
yaitu perekonomian dan disorganisasi keluarga, Tradisi masyarakat Buton yaitu
Haroa, Sitem Religi dalam novel Kutukan Tanah Buton yaitu Pamali/Pantanngan
dan Kepercayaan Akan Ilmu Hitam dan Perdukunan.

11
Keempat, Junita Putri (2019) Universitas Andalas, berjudul Gambaran
Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Novel Mei Merah 1998: Kala Arwah
Berkisah Karya Naning Pranoto: Pendekatan Sosiologi Sastra. Penelitian ini
dianalisis dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra, yakni sosiologi
karya. Teori yang digunakan adalah teori Ian Watt yang menyatakan bahwa karya
sastra sebagai cerminan masyarakat. Ada pun metode yang digunakan adalah
metode kualitatif yang menghasilkan kata-kata tertulis mengenai kekerasan
terhadap perempuan dalam novel Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya
Naning Pranoto. Teknik yang digunakan untuk menyimpulkan data adalah teknik
pengumpulan data dengan cara membaca novel Mei Merah 1998: Kala Arwah
Berkisah karya Naning Pranoto untuk memahami karya serta data , teknik
pengklasifikasian data yang berkaitan dengan kekerasan terhadap perempuan
dalam Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto, teknik
analisis data dengan menggunakan pendekatan sosiologi sastra untuk melihat
bagaimana bentuk dan penyebab terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam
Mei Merah 1998: Kala Arwah Berkisah karya Naning Pranoto, dan teknik
penyajian hasil analisis data yang akan dijabarkan menggunakan katakata tertulis.

Kelima, Ully Ladzati (2019) Jurnal Sapala Vol. 6 No. 1, berjudul Dominasi
Negara atas Rakyat dalam Novel Mangun Karya Sergius Sutanto (Kajian
Dominasi Karl Marx). Karya sastra merupakan cerminan dari dunia nyata, seperti
halnya novel Mangun karya Sergius Sutanto yang mengangkat isu mengenai
penindasan yang dilakukan oleh negara terhadap masyarakat yang tinggal di
Kedung Ombo dan Kali Code. Penindasan tersebut tidak hanya berupa gertakan
atau ancaman, tetapi juga berupa kekerasan yang melibatkan polisi dan tentara.
Sehingga teori yang tepat untuk membedah novel Mangun karya Sergius Sutanto
adalah Teori Dominasi Karl Marx. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan
bentuk dan juga dampak dominasi yang dilakukan oleh negara atas rakyat dalam
novel Mangun karya Sergius Sutanto melalui ekonomi, budaya, sosial, politik,
agama, dan seni. Menurut Marx materi merupakan pusat utama dalam kehidupan
manusia. Faktor ekonomi yang merupakan infrastruktur (lapisan atas) menjadi
motor penggerak yang mempengaruhi superstruktur (lapisan bawah).
Superstruktur meliputi bidang budaya, sosial, agama, dan seni. yang melahirkan

12
kesadaran sosial dan mempengaruhi perilaku sosial manusia hingga terbentuklah
kelas sosial. Marx membagi dua kelas sosial yakni kelas borjuis dan proletar.
Hasil penelitian ini menemukan bahwa adanya perlakuan dominasi yang
dilakukan negara atas rakyat melalui ekonomi, budaya, sosial, politik, agama, dan
seni. Perlakuan dominasi negara atas rakyat tersebut juga terjadi dalam dunia
nyata. Selain itu, dominasi tersebut juga berdampak pada ekonomi, budaya, sosial,
politik, agama, dan seni dalam novel Mangun karya Sergius Sutanto.

2.2 Hak Asasi Manusia

UUD 1945 telah menjamin pelaksanaan hak asasi setiap orang. Pada
kenyataannya masih banyak terjadi kasus pelanggaran HAM. Pelanggaran HAM
di Indonesia dapat dikategorikan menjadi dua kelompok, yaitu pelanggaran HAM
masa lalu dan pelanggaran HAM setelah diundangkan Undang-Undang Nomor 26
Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. Pelanggaran HAM masa lalu
umumnya terjadi sebelum tahun 2000. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi
pelanggaran HAM di Indonesia.

a. Penyebab Pelanggaran HAM

Pelanggaran merupakan perbuatan atau tindakan yang melanggar ketentuan yang


berlaku, sifatnya lebih ringan daripada kejahatan. Akan tetapi, UndangUndang
Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia menyatakan bahwa
pelanggaran HAM adalah setiap perbuatan seseorang atau kelempok orang
termasuk apparat negara baik disengaja maupun tidak disengaja atau kelalaian
yang secara melawan hukum mengurangi, menghalangi, membatasi, dan atau
mencabut hak asasi manusia seseorang atau kelompok orang yang dijamin oleh
undangundang ini, dan tidak mendapatkan, atau dikhawatirkan tidak akan
memperoleh penyelesaian hukum yang adil dan benar berdasarkan mekanisme
hukum yang berlaku. Pelanggaran HAM dapat disebabkan dua faktor, yaitu faktor
internal dan eksternal.

1. Faktor Internal

Faktor Internal merupakan pendorong yang dating dari dalam diri


seseorang untuk melakukan pelanggaran HAM. Menurut Plaituka dalam

13
jurnalnya yang berjudul “Penanganan pelanggaran HAM oleh kantor wilayah
kementerian hukum dan HAM Nusa Tenggara Timur melalui pelayanan
komunikasi masyarakat”, faktor internal yang mempengaruhi pelanggaran
HAM sebagai berikut:

1) Sikap Egoisme

Sikap egoisme merupakan tingkah laku yang didasarkan atas


dorongan untuk mengutamakan kepentingan pribadi daripada kelompok.
Sikap egoism individu sering menyebabkan seseorang memiliki hasrat
yang besar untuk mencapai sesuatu yang diinginkan sehingga
menghalalkan segala cara agar haknya terpenuhi walaupun harus
menempuh cara yang melanggar hak orang lain.

2) Tingkat kesadaran

Tingkat kesadaran HAM yang masih rendah akan menyebabkan


seseorang tidak menghargai dan justru mengabaikan keberadaan HAM.
Kesadaran HAM yang rendah akan menyebabkan seseorang tidak mau
tahu bahwa orang lain mempunyai hak asasi yang harus dihormati.

3) Sikap Tidak Toleran

Sikap tidak toleran akan mengakibatkan munculnya rasa saling


tidak menghormati dan menghargai keberadaan orang lain. Seakan-akan
kedudukan seseorang direndahkan dan dilecehkan. Pada akhirnya sikap ini
akan menjerumuskan seseorang untuk melakukan diskriminasi terhadap
orang lain.

2. Faktor Eksternal

Faktor eksternal merupakan faktor dari luar yang mendorong seseorang


melakukan pelanggaran HAM. Berikut ini beberapa faktor eksternal
pelanggaran HAM.

1) Ketidaktegasan Aparat Penegak Hukum


Ketidaktegasan apparat penegak hukum akan mengakibatkan
banyaknya pelanggaran HAM. Kasus pelanggaran HAM terdahulu yang

14
tidak diselesaikan secara tuntas akan menjadi pemicu aksi pelanggaran
HAM. Aparat penegak hukum yang semena-mena dalam mengambil
keputusan juga menjadi salah satu pemicu pelanggaran HAM.

2) Penyalahgunaan Kekuasaan

Penyalahgunaan kekuasaan dapat terjadi di lingkungan keluarga,


masyarakat, maupun bangsa dan negara. Kekuasaan sering digunakan
untuk memperoleh kemudahan dalam menyelesaikan urusan atau untuk
memaksakan kehendak kepada orang lain. Sebagai contoh, dalam sebuah
perlombaan antarprovinsi, terdapat guru A yang berasal dari provinsi X
menjadi seorang juri. Ia menyalahgunakan wewenangnya dengan
memberikan juara satu kepada peserta yang berasal dari provinsi X.
Artinya, penyalahgunaan kekuasaan dapat menguntungkan pihak tertentu
serta merugikan pihak lain.

3) Kesenjangan Sosial dan Ekonomi

Ketidakseimbangan dan ketidakmerataan menimbulkan sekat


antara masyarakat yang mampu dan kurang mampu. Perbedaan tingkat
kekayaan atau jabatan yang dimiliki seseorang menjadi pemicu
kesenjangan sosial dan ekonomi. Kesenjangan sosial dan ekonomi dapat
menyebabkan pelanggaran HAM seperti perampokan, perbudakan,
pelecehan, bahkan pembunuhan.

Faktor penyebab terjadinya pelanggaran HAM dapat kita cegah


dengan kesadaran HAM yang tinggi. Seseorang dengan kesadaran HAM
yang tinggi akan mampu menghormati, menghargai, dan tidak
semenamena terhadap hak asasi orang lain.

b. Kasus Pelanggaran HAM

HAM sebagai hak yang bersifat sangat mendasar mengandung


konsekuensi tidak dapat dicabut (inalienable), tidak boleh dikesampingkan
(inderogable), dan tidak boleh dilanggar (inviolable) oleh siapa pun. Kasus
pelanggaran HAM dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pelanggaran HAM ringan
dan pelanggaran HAM berat. Pelanggaran HAM ringan dapat diartikan sebagai

15
pelanggaran HAM yang tidak membahayakan kesehatan atau keselamatan orang
lain. Pelanggaran HAM ringan dapat dijumpai di lingkungan sekitar, seperti di
lingkungan keluarga, sekolah, maupun masyarakat. Pelanggaran HAM ringan
sebagai berikut.

a) Memaksakan kehendak kepada orang lain.


b) Meminta orang lain sependapat dengan dirinya.
c) Melarang orang beribadah.
d) Melarang seseorang mendapatkan informasi atau pengajaran.
e) Melarang orang lain berpendapat.

Selain pelanggaran HAM ringan, pencabutan dan pelanggaran secara


sengaja dan melawan hukum terhadap hak-hak dasar kemanusiaan merupakan
"kejahatan berat terhadap HAM”. Pelanggaran hak asasi manusia yang berat
sebagai berikut.

1. Kejahatan Genosida

Kejahatan genosida adalah setiap perbuatan yang dilakukan dengan


maksud untuk menghancurkan atau memusnahkan seluruh atau sebagian
kelompok bangsa, ras, kelompok etnik, dan kelompok agama dengan cara
sebagai berikut

a. Membunuh anggota kelompok.


b. Mengakibatkan penderitaan fisik atau mental yang berat terhadap
anggota-anggota kelompok.
c. Menciptakan kondisi kehidupan kelompok yang akan
mengakibatkan kemusnahan secara fisik, baik seluruh atau
sebagiannya.
d. Memaksakan tindakan-tindakan yang bertujuan mencegah
kelahiran di dalam kelompok.
e. Memindahkan secara paksa anak-anak dari kelompok tertentu ke
kelompok lain.

2. Kejahatan terhadap Kemanusiaan

16
Kejahatan terhadap kemanusiaan adalah salah satu perbuatan yang
dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik yang
diketahuinya bahwa serangan tersebut ditujukan secara langsung terhadap
penduduk sipil berupa tindakan-tindakan berikut.

a. Pembunuhan
b. Pemusnahan
c. Perbudakan
d. Pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa
e. Perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain
secara sewenang-wenang yang melanggar (asas-asas) ketentuan
pokok hukum internasional
f. Penyiksaan
g. Penganiayaan terhadap kelompok tertentu
h. Penghilangan orang secara paksa
i. Kejahatan apartheid

Pelanggaran HAM berat yang terjadi tersebut dapat diselesaikan


berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 yang menyatakan
bahwa peristiwa pelanggaran HAM berat diperiksa dan diputuskan oleh
pengadilan HAM Ad Hoc. Pengadilan HAM Ad Hoc dibentuk melalui
keputusan presiden berdasarkan usul Dewan Perwakilan Rakyat setelah
mendapat hasil penyelidikan dan penyidikan dari Komnas HAM dan
Kejaksaan Agung.

Apa pun sifatnya, pelanggaran terhadap hak orang lain merupakan


perbuatan yang harus dihindari. Perbuatan yang merugikan orang lain
hendaknya tidak dilakukan. Kita harus mengakui dan menghormati hak
dan kewajiban seseorang. Setiap orang harus mampu menyeimbangkan
antara hak dan kewajiban. Menurut Philipus M. Hudjon, keseimbangan
hak dan kewajiban merupakan elemen penting negara hukum (Muhsi,
2015: 14).

c. Akibat Pelanggaran HAM

17
Perbuatan yang dilakukan setiap orang pasti akan berdampak bagi diri
sendiri maupun orang lain, baik dampak negatif maupun positif. Begitu juga
dengan pelanggaran HAM yang dapat merugikan dan memberi dampak negatif
bagi diri sendiri dan orang lain. Berikut akibat dari perbuatan pelanggaran HAM.

a) Menciptakan diskriminasi dan ketidakadilan.


b) Adanya rasa dendam dan kebencian antarsesama.
c) Merendahkan harkat, derajat, dan martabat kemanusiaan.
d) Menciptakan kekerasan dan konflik antarsesama.
e) Menimbulkan penderitaan serta tersiksa lahir dan batin pada diri korban.

Pelanggaran HAM berat akan menimbulkan akibat yang lebih besar.


Pelaku pelanggaran HAM berat akan mendapatkan vonis hukuman berdasarkan
putusan pengadilan HAM Ad Hoc sebelum adanya pengadian HAM.

2.3 Kekerasan

Galtung menyatakan bahwa level potensial untuk merealisasikan


kekerasan adalah pengetahuan dan sumber daya. Apabila pengetahuan dan/atau
sumber daya dimonopoli oleh kelompok atau kelas atau digunakan untuk tujuan
lainnya, maka tingkat yang aktual akan turun di bawah yang potensial, dan
kekerasan hadir dalam sebuah sistem. Sebagai tambahan atas konsep kekerasan
yang tidak langsung ini, Galtung juga menjelaskan bentuk kekerasan langsung,
yaitu ketika tujuan untuk melakukan realisasi seperti integritas fisik/psikologis
seperti paramedis, infrastruktur fisik seperti rumah sakit, sekolah) tidak dilakukan
namun dirusak. Namun dimungkinkan pula terjadi kekerasan tidak langsung,
ketika pengetahuan dan sumber daya disalurkan jauh dari upaya konstruktif untuk
mendekatkan yang aktual kepada yang potensial.

Selanjutnya, Galtung membagi kekerasan dalam tiga kategori, yaitu


Kekerasan Langsung (antara Pelaku-korban), Kekerasan Struktural (yang
bersumber dari struktur sosial: antar orang, masyarakat, kumpulan masyarakat
(aliansi, daerah), dan (di balik keduanya) Kekerasan Kultural (simbolis dalam
agama, ideologi, bahasa, seni, pengetahuan, hukum, media, pendidikan; gunanya
melegitimasi Kekerasan Langsung dan kekerasan Struktural), Kekerasan Kultural

18
dan Kekerasan Struktural menyebabkan kekerasan Langsung. Kekerasan
Langsung juga menguatkan atau memperburuk Kekerasan Struktural dan
Kekerasan Kultural. Kekerasan Langsung berupa fisik atau verbal tampil sebagai
prilaku yang tidak berubah, karena akarnya adalah struktur dan budaya.

a. Bentuk-bentuk Kekerasan

Berdasarkan pemaknaan dan pengertian di atas, penulis selanjutnya


membagi kekerasan dalam tiga kategori, yaitu kekerasan struktural, kekerasan
horizontal, dan Kekerasan sebagai "reaksi normal dalam situasi tidak normal".

1) Kekerasan Struktural

Kekerasan struktural dikenali dari dua ciri: 1). Bersifat vertikal atas
kebawah (yang kuat kepada yang lemah, yang berkuasa kepada yang
dikuasai, yang besar kepada yang kecil); dan 2). Mengandung represi
(dominasi, hegemoni, eksploitasi). Kekerasan semacam ini terjadi
dalam konteks makro, dengan aktor-aktor besar (Negara, militer/aparat
keamanan, non-negara, perusahaan trans-nasional, sindikasi,
organisasi). Motivasi dasar dari kekerasan ini adalah dominasi
(penundukan yang lain), penguasaan (sumberdaya dalam berbagai
bentuk), serta penegasian (yang benar adalah yang berkuasa, karenanya
semua yang di luar yang berkuasa tidak benar = tidak boleh ada)
domain dasar kekerasan ini adalah kepentingan dalam berbagai
dimensi (politik, ekonomi, ideologi, agama, sosial, budaya, alam,
wilayah, dst.).

2) Kekerasan Horizontal

Kekerasan Horizontal terjadi pada aktor yang relatif setara dan


tidak berdimensi vertikal, baik yang terjadi antar-individu (kerabat atau
asing) antar-kelompok (keluarga atau bukan keluarga). Sebagaimana
konflik struktural, motivasi dasar dari konflik ini adalah kepentingan
untuk melakukan dominasi (penundukan), penguasaan (sumber daya),
serta penegasian. Termasuk didalamnya adalah motivasi pengakuan
eksistensi dalam lingkungan atau pada bidang tertentu.

19
Kekerasan ini terjadi dalam bentuk serangan' individual/kelompok,
umumnya dengan dasar perbedaan relasi (laki-laki-perempuan, orang
tua-anak, atasan-bawahan, benar-salah), identitas (ideologi, agama,
suku, ras, afiliasi), atau keduanya. Pembedaan relasi dan identitas di
samping menjadi alasan pembenar juga dipandang efektif untuk
menjadi sarana mobilisasi, peningkatan militansi, materi doktrinasi
maupun pemicu aksi. Domain kekerasan horizontal adalah kepentingan
pengakuan eksistensi, kepemilikan, 'penegakan' hukum/nilai (adat,
agama, negara) atau konsensus, di luar dari apa yang secara resmi
mengikat dan sah (beberapa argumentasi 'alasan agama tidak bisa
menjadi pembenar 'kekerasan' dalam satu Negara yang sistem
politiknya sekuler misalnya).

3) Kekerasan sebagai "reaksi normal dalam situasi tidak normal"

Kekerasan semacam ini merupakan peristiwa yang tidak mendapat


tempat khusus dan eksplisit dalam kajian-kajian di atas, padahal
persoalan yang terjadi nyata dan massif. Pengalaman kekerasan di
wilayah konflik ataupun kekerasan dengan konteks tertentu
(pembunuhan dukun santet, pengadilan jalanan) sebagai contoh
negatif, dan pembelaan diri dalam kasus perampasan aset atau
perjuangan kemerdekaan adalah contoh positif.

Dalam konteks ini, 'situasi tidak normal' yang dimaksud adalah


situasi-situasi yang dianggap 'bukan seharusnya' seperti konflik,
kemiskinan, keterasingan, dan ketertindasan. Kekerasan yang
kemudian terjadi bisa sebagai reaksi pelaku atas sistem (dinas polisi
rahasia yang harus menjalankan tugas eksekusi lawan politik
pemerintah, anak yang 'dipaksa' berperang) atau reaksi korban
(serangan terhadap pelaku atau simbol-simbol represi, pemberontakan,
atau kegilaan). Motivasi utama dari kekerasan ini adalah: 1). survival
(bertahan hidup); 2). well-being (kesejahteraan); 3). identity (identitas);
dan 4). freedom (kemerdekaan/kebebasan). Biasanya ini berbentuk aksi
'serangan' sebagai reaksi atau perlawanan (atas ancaman aktual/laten

20
atau prediksi ancaman) pada empat aspek di atas. Ini merupakan reaksi
normal', sementara ancaman merupakan situasi tidak normal'.
Karenanya solusi untuk kekerasan semacam ini harus ditekankan pada
rehabilitasi (penghilangan pemulihan dari empat aspek ancaman di
atas) serta rekognisi atas apa yang dianggap sebagai 'kepentingan'
Individu/Komunitas (material), negara, agama, ideologi, dan
pandangan (non-material).

2.4 Sosiologi Sastra

Sosiologi sastra, yang memahami fenomena sastra dalam hubungannya


dengan aspek sosial, merupakan pendekatan atau cara membaca dan memahami
sastra yang bersifat interdisipliner. Oleh karena itu, sebelum menjelaskan hakikat
sosiologi sastra, seorang ilmuwan sastra seperti Swingewood dalam The Sociology
of Literature (1972) terlebih dulu menjelaskan batasan sosiologi sebagai sebuah
ilmu, batasan sastra, baru kemudian menguraikan perbedaan dan persamaan antara
sosiologi dengan sastra. Swingewood (1972) menguraikan bahwa sosiologi
merupakan studi yang ilmiah dan objektif mengenai manusia dalam masyarakat,
studi mengenai lembaga-lembaga dan proses sosial. Sosiologi berusaha menjawab
pertanyaan mengenai bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana cara
kerjanya, dan mengapa masyarakat itu bertahan hidup.

Apa yang diuraikan oleh Swingewood tersebut tidak jauh berbeda dengan
definisi mengenai sosiologi yang dikemukakan oleh Soerjono Sukanto (1970),
bahwa sosiologi adalah ilmu yang memusatkan perhatian pada segi-segi
kemasyarakatan yang bersifat umum dan berusaha untuk mendapatkan pola-pola
umum kehidupan masyarakat. Demikian juga yang dikemukakan oleh Pitirim
Sorokin (Soerjono Sukanto, 1969:24), sosiologi adalah ilmu yang mempelajari
hubungan dan pengaruh timbal balik antara aneka macam gejala sosial (misalnya
gejala ekonomi, gejala keluarga, dan gejala moral), sosiologi adalah ilmu yang
mempelajari hubungan dan pengaruh timbal balik antara gejala sosial dengan
gejala nonsosial, dan yang terakhir, sosiologi adalah ilmu yang mempelajari ciri-
ciri umum semua jenis gejala-gejala sosial lain.

21
Baik sosiologi maupun sastra memiliki objek kajian yang sama, yaitu
manusia dalam masyarakat, memahami hubungan-hubungan antarmanusia dan
proses yang timbul dari hubungan-hubungan tersebut di dalam masyarakat.
Bedanya, kalau sosiologi melakukan telaah objektif dan ilmiah tentang manusia
dan masyarakat, telaah tentang lembaga dan proses sosial, mencari tahu
bagaimana masyarakat dimungkinkan, bagaimana ia berlangsung, dan bagaimana
ia tetap ada; maka sastra menyusup, menembus permukaan kehidupan sosial dan
menunjukkan cara-cara manusia menghayati masyarakat dengan perasaannya,
melakukan telaah secara subjektif dan personal (Damono, 1979).

Swingewood (1972) memandang adanya dua corak penyelidikan sosiologi


yang mengunakan data sastra. Yang pertama, penyelidikan yang bermula dari
lingkungan sosial untuk masuk kepada hubungan sastra dengan faktor di luar
sastra yang terbayang dalam karya sastra. Oleh Swingewood, cara seperti ini
disebut sociology of literature (sosiologi sastra). Penyelidikan ini melihat faktor-
faktor sosial yang menghasilkan karya sastra pada masa dan masyarakat tertentu.
Kedua, penyelidikan yang menghubungkan struktur karya sastra kepada genre dan
masyarakat tertentu. Cara kedua ini dinamakan literary of sociology (sosiologi
sastra).

Dalam paradigma studi sastra, sosiologi sastra, terutama sosiologi karya


sastra, dianggap sebagai perkembangan dari pendekatan mimetik, yang
dikemukakan Plato, yang memahami karya sastra dalam hubungannya dengan
realitas dan aspek sosial kemasyarakatan. Pandangan tersebut dilatarbelakangi
oleh fakta bahwa keberadaan karya sastra tidak dapat terlepas dari realitas sosial
yang terjadi dalam masyarakat. Seperti yang pernah dikemukakan oleh Sapardi
Djoko Damono (1979), salah seorang ilmuwan yang mengembangkan pendekatan
sosiologi sastra di Indonesia, bahwa karya sastra tidak jatuh begitu saja dari langit,
tetapi selalu ada hubungan antara sastrawan, sastra, dan masyarakat. Oleh karena
itu, pemahaman terhadap karya sastra pun harus selalu menempatkannya dalam
bingkai yang tak terpisahkan dengan berbagai variabel tersebut: pengarang sebagai
anggota masyarakat, kondisi sosial budaya, politik, ekonomi yang ikut berperan
dalam melahirkan karya sastra, serta pembaca yang akan membaca, menikmati,
serta memanfaatkan karya sastra tersebut.

22
Dipicu oleh kesadaran bahwa karya sastra harus difungsikan sama dengan
aspek-aspek kebudayaan lain maka dilakukan pengembalian karya sastra di
tengahtengah masyarakat, sebagai bagian yang tak terpisahkan dengan sistem
komunikasi secara keseluruhan. Ratna (2006: 332-333) mengemukakan bahwa
sastra memiliki kaitan erat dengan masyarakat sebagai berikut:

a. Karya sastra ditulis oleh pengarang, diceritakan oleh tukang cerita, disalin
oleh penyalin, sedangkan ketiga subjek tersebut adalah anggota
masyarakat.
b. Karya sastra hidup dalam masyarakat, menyerap aspek-aspek kehidupan
yang terjadi dalam masyarakat, yang pada gilirannya juga difungsikan oleh
masyarakat.
c. Medium karya sastra, baik lisan maupun tulisan dipinjam melalui
kompetensi masyarakat, yang dengan sendirinya telah mengandung
masalah-masalah kemasyarakatan.
d. Berbeda dengan ilmu pengetahuan, agama, adat istiadat dan tradisi yang
lain, dalam karya sastra terkandung estetika, etik, bahkan logika.
Masyarakat jelas sangat berkepentingan terhadap ketiga aspek tersebut.
e. Sama dengan masyarakat, karya sastra adalah hakikat intersubjektivitas,
masyarakat menemukan citra dirinya dalam suatu karya.

Tujuan dari sosiologi sastra adalah meningkatkan pemahaman terhadap


sastra dalam kaitannya dengan masyarakat, menjelaskan rekaan tidak berlawanan
dengan kenyataan. Karya sastra jelas dikonstruksikan secara imajinatif, tetapi
kerangka imajinatifnya tidak bisa dipahami di luar kerangka empirisnya. Karya
sastra bukan semata- mata gejala individual tetapi gejala sosial (Ratna, 2003: 11).

Fungsi sosial sastra menurut Watt (Endraswara, 2003: 81) akan berkaitan
dengan pertanyaan: seberapa jauh nilai sastra berkaitan dengan nilai sosial dan
sampai seberapa jauh nilai sastra dipengaruhi oleh nilai sosial. Dalam hal ini ada
tiga hal yang perlu diungkap: (a) sudut pandang kaum romantik yang menganggap
sastra sama derajatnya dengan karya pendeta atau nabi, dalam pandangan ini
tercakup wawasan agar sastra berfungsi sebagai pembaharu atau perombak; (b)
sudut pandang bahwa karya sastra bertugas sebagai penghibur belaka; (c)

23
semacam kompromi dapat dicapai dengan meminjam slogan klasik sastra harus
mengajarkan ke suatu dengan jalan menghibur.

Wilayah sosiologi sastra cukup luas. Wellek dan Warren (dalam Faruk,
1999: 4) menemukan setidaknya tiga jenis pendekatan yang berbeda dalam
sosiologi sastra, yaitu:

a. Sosiologi pengarang yang memasalahkan tentang status sosial, ideologi


sosial, dan lain-lain yang menyangkut pengarang sebagai penghasil karya
sastra.
b. Sosiologi karya sastra yang memasalahkan karya sastra itu sendiri.
c. Sosiologi sastra yang memasalahkan pembaca dan pengaruh sosial karya
sastra.

Dari Ian Watt, Sapardi (dalam Faruk, 1999: 4) juga menemukan tiga
macam perbedaan yang berbeda, yaitu sebagai berikut:

a. Konteks sosial pengarang, yakni yang menyangkut posisi sosial


masyarakat dan kaitannya dengan masyarakat pembaca, termasuk di
dalamnya faktorfaktor sosial yang bisa mempengaruhi diri pengarang
sebagai perseorangan di samping mempengaruhi isi karya sastranya.
b. Sastra sebagai cermin masyarakat, yang ditelaah adalah sampai sejauh
mana sastra dianggap sebagai pencerminan keadaan masyarakat.
c. Fungsi sosial sastra, dalam hal ini ditelaah sampai berapa jauh nilai sastra
berkaitan dengan nilai sosial, dan sampai seberapa jauh pula sastra dapat
berfungsi sebagai alat penghibur dan sekaligus sebagai pendidikan
masyarakat bagi pembaca.

Dari berbagai pandangan di atas dapat disimpulkan bahwa dalam


penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi karya sastra yang memasalahkan
karya sastra itu sendiri. Adapun tujuan analisis sosiologi sastra yaitu untuk
memaparkan dengan cermat fungsi dan keterkaitan antarunsur yang membangun
sebuah karya sastra dari aspek kemasyarakatan pengarang, pembaca dan gejala
sosial yang ada.

24
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Tempat dan waktu penelitian ini bersifat kualitatif yang tidak terikat oleh
tempat, waktu, dan suatu lembaga tertentu. Objek penelitian ini adalah novel
Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma yang berjumlah 240 halaman yang
diterbitkan PT. Gramedia Pustaka Utama pada tahun 2019. Dalam penelitian ini
peneliti menggunakan kajian pustaka.

3.2 Pendekatan Penelitian

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kualitatif. Peneliti dalam hal
ini mendeskripsikan secara sistematis, faktual, dan akurat mengenai fakta-fakta
dan hubungan kausal fenomena yang diteliti. Data yang ada berupa pencatatan
dokumen, hasil wawancara terhadap pengarang dengan pewawancara sebelumnya
yang terdapat dalam buku ataupun internet. Data yang terurai dalam bentuk kata-
kata dan bukan dalam bentuk angka.

Strategi yang digunakan adalah kajian sosiologi sastra berupa kritik atas
tragedi G30SPKI tahun 1965. Model penelitian ini adalah mimetik, yaitu karya
sastra dipandang sebagai mimesio/ tiruan terhadap kenyataan sosial yang
melingkupi penciptaan karya sastra itu yang dianggap ikut menentukan makna
karya sastra tersebut. (Herman J. Waluyo, 2002: 56).

3.3 Sumber Data

Data merupakan suatu hal pokok dalam penelitian. Pada penelitian ini sumber
data yang digunakan adalah dokumen, yaitu novel Kalatidha yang diterbitkan oleh
PT. Gramedia Pustaka Utama. Unsur- unsur yang dikaji adalah berupa unsur
struktural dan kritik sosial, yaitu bagaimana Negara bisa melakukan pelanggaran
HAM berat pasca tragedi G30S. Peneliti dapat mengambil data berupa hasil
wawancara mengenai latar belakang pengarang menciptakan novel Kalatidha
karya Seno Gumira Ajidarma. Data dilengkapi dengan mengutip hasil wawancara

25
pengarang dengan pewawancara sebelumnya yang terdapat dalam buku atau
internet.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik yang digunakan dalam pengumpulan data adalah studi


kepustakaan (library research), yaitu dengan mencatat dokumen atau arsip yang
berkaitan erat dengan tujuan penelitian. Jenis atau metode ini disebut analisis isi
(content analisys).
Adapun langkah-langkah yang ditempuh adalah sebagai berikut:

1. Membaca berulang-ulang secara keseluruhan novel tersebut untuk


memahami isinya secara utuh.
2. Mencatat kata, kalimat, atau data-data yang penting yang berkaitan
dengan permasalahan yang diteliti.
3. Mencatat serta mengumpulkan teori-teori yang relevan yang
berhubungan dengan penelitian.
4. Melakukan penelitian berdasarkan teori yang sudah ada.
5. Menarik kesimpulan.

3.5 Validitas Data

Guna menjamin validitas data yang akan diperoleh dalam penelitian ini,
maka peningkatan validitas akan dilakukan dengan cara menggunakan teknik
triangulasi, trianggulasi adalah teknik pemeriksaan keabsahan data yang berfungsi
sebagai pembanding atau pengecek terhadap data dengan memanfaatkan sesuatu
yang lain di dalam data (Moleong L.J, 2002: 178).

Moleong menambahkan (2002: 178) ada empat macam triangulasi sebagai


teknik pemeriksaan, yaitu: 1) pemanfaatan penggunaan sumber; 2) metode; 3)
penyidik; dan 4) teori.

Dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah triangulasi teori.


Triangulasi teori artinya pembahasan masalah dengan menggunakan beberapa data
untuk mendapatkan data yang sama karena data dirasa belum cukup valid jika
diperoleh dari satu jenis data saja.

26
3.6 Teknik Pengolahan Data

Langkah-langkah yang hatus ditempuh dalam menganalisis data dengan


analisis isi meliputi :

1. Tahap deskripsi data


Pada tahap ini setelah peneliti membaca novel Kalatidha karya Seno
Gumira Ajidarma kemudian diuraikan guna mengetahui masalah yang
akan diangkat, teori dan metodologi penelitian yang akan digunakan .
2. Tahap klasifikasi data
Pada tahap ini peneliti mengelompokan masalah yang harus diselesaikan,
teori yang harus dipakai dan metode yang harus digunakan dalam
menganalisis novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma.
3. Tahap analisis data
Pada tahap ini peneliti menganalisis novel novel Kalatidha karya Seno
Gumira Ajidarma sesuai dengan apa yang telah ditentukan pada tahap
klasifikasi data
4. Tahap penafsiran
Tahap ini merupakan pemahaman dan penafsiran analisis data. Tahap ini
membuat kejelasan maupun pemahaman tentang sejarah peristiwa G30S
dan unsur-unsur intrinsik yang diangkat dalam novel Kalatidha karya
Seno Gumira Ajidarma.
5. Tahap evaluasi
Pada tahap ini semua parmasalahan yang telah ditemukan hasilnya pada
tahap-tahap diatas kemudian diberi penilaian untuk mendapat penyelesaian
yang tepat dan sesuai dengan permasalahan yang dirumuskan dan obyek
yang diteliti.

3.7 Teknik Analisis Data

Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis mengalir. Analisis mengalir
ini terdiri dari tiga alur kegiatan yang terjadi secara bersamaan, yaitu reduksi data,
penyajian data, dan penarikan kesimpulan. Tiga kegiatan ini terjadi secara

27
bersamaan dan saling menjalin baik sebelum, selama, dan sesudah pengumpulan
data secara paralel (Milles and Huberman, 1992: 13)

1. Reduksi Data
Reduksi data adalah bagian dari analisis, suatu bentuk analisis yang
memperjelas, memperpendek, membuat fokus, membuang hal-hal yang
tidak penting dan mengatur data sedemikian rupa sehingga kesimpulan
akhir dapat dilakukan. Dapat berupa proses seleksi, pemfokusan,
penyederhanaan, dan abstraksi data yang berupa data kasar dan
konsepkonsep yang umum dan terpisah yang muncul dari catatan-catatan
di lapangan. Proses ini merupakan bagian dari analisis yang sudah dimulai
sejak peneliti mengambil keputusan (walaupun tidak disadari sepenuhnya)
tentang kerangka kerja konseptual, pemilihan kasus, pernyataan yang akan
diajukan, dan tentang cara pemilihan kasus, pernyataan yang akan
diajukan dan tentang cara pengumpulan data yang dipakai. Proses ini
berlangsung hingga laporan akhir penelitian selesai ditulis.
2. Penyajian data
Penyajian data adalah suatu rakitan organisasi informasi yang
memungkinkan kesimpulan riset dilakukan. Dengan melihat sajian data,
peneliti akan mengerti apa yang terjadi dan memungkinkan untuk
mengerjakan sesuatu pada analisis atau tindakan lain berdasarkan
penelitian tersebut. Penyajian data yang baik dan jelas sistematikanya akan
banyak menolong peneliti. Pengelompokan atau pengklasifikasian data
yang sudah ada berarti sudah memasuki analisis data.
Kegiatan analisis data ini dilakukan dengan langkah sebagai berikut :
a) Menganalisis data dari sumber data yaitu novel Kalatidha karya
Seno Gumira Ajidarma
b) Data yang diperoleh dari sumber data yang mendukung akan
dikaitkan dengan data dari sumber data novel Kalatidha karya
Seno
Gumira Ajidarma
c) Berdasarkan langkah (b) tersebut akan diperoleh deskripsi tentang
struktur novel Kalatidha karya Seno Gumira Ajidarma

28
3. Penarikan Kesimpulan
Proses ini memasuki penarikan kesimpulan dari data yang sudah
diperoleh dari awal penelitian. Karena kesimpulan masih bersifat
sementara, artinya penelitian masih bersifat terbuka dan skeptis, tidak
tertutup kemungkinan adanya kesimpulan-kesimpulan berikutnya secara
eksplisit dan berlandasan kuat. Kesimpulan akhir tidak akan tercapai
sampai proses pengumpulan data berakhir.
Ketiga komponen pokok tersebut merupakan tiga komponen
analisis yang aktivitasnya berbentuk interaksi, di mana peneliti tetap
bergerak di antara tiga komponen selama proses pengumpulan data
berlangsung.
Penelitian ini menggunakan proses penelitian mengalir.

3.8 Prosedur Penelitian

Prosedur peneliti merupakan proses yang melukiskan kegiatan sejak awal


persiapan sampai penyusunan laporan penelitian. Adapun prosedur penelitian
yang dilakukan meliputi tahap-tahap sebagai berikut :

1. Pengumpulan sumber data yang diperlukan


2. Membaca dan memahami sumber data
3. Menganalisis sumber data yang berupa novel Kalatidha karya Seno
Gumira Ajidarma
4. Penarikan kesimpulan
5. Menyusun laporan penelitian

29
DAFTAR PUSTAKA

Sumber buku

Subroto. 1992. Penelitian Kwalitatif. Jakarta: Raja Grafindo Persada

Ratna. Nyoman Kutha.2013. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra.


Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Ratna, Nyoman Kutha. 2003. Paradigma Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Endraswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Pelajar

Faruk, Faruk. 1999. Pengantar Sosiologi Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Ajidarma, Seno Gumira. 2007. Kalatidha. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

Damono, Sapardi Djoko. 2002. Pedoman Penelitian Sosiologi Sastra. Jakarta:


Pusat Bahasa.

Nuridha, Sigit Dwi. 2019. Penegakan HAM. Cempaka Putih PT

Nurgiyantoro, Burhan. 2018. Teori Pengkajian Fiksi. Yogyakarta: Gadjah Mada


University Press.

30
Robinsion, B. Geoffrey. 2018. Musim Menjagal: Sejarah Pembunuhan Massal di
Indonesia 1965-1966. Depok: Komunitas Bambu.

Stanton, Robert. 2012. Teori Fiksi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Wiyatmi. 2013. Sosiologi Sastra. Kanwa Publisher.

Taylor, Dena dan Margaret Procter. 2010. “The Literature Review: A Few Tips on
Conducting It” dimuat dalam laman University Toronto Writing Center.
ctl.utsc.utoronto.ca/twc/sites/default/files/LitReview.pdf

Kosasih. 2012. Dasar-Dasar Keterampilan Bersastra. Bandung: Yrama Widya.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 2014. Teori Kesusastraan. Jakarta: Gramedia.

Wiyatmi. 2012. Kritik Sastra Feminisme Teori dan Aplikasinya dalam Sastra
Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Ombak.

Teeuw, A. 2015. Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori Sastra. Jakarta:


Pustaka Jaya.

Wellek, Rene dan Austin Warren. 1989. Teori Kesusastraan. Terjemahan Melani
Budianta. Jakarta: Gramedia.

Sumber Skripsi dan Jurnal

Makarim, Mufti. 2017. Memaknai “Kekerasan”. Pusat Dokumentasi ELSAM.


referensi.elsam.or.id. 12 Maret 2020 *10:50 WIB

Harahap, Ade Revi Yanna. 2020. “Dampak Perang Saudara Antara PRRI dengan
Tentara Pusat terhadap Kehidupan Masyarakat dalam Novel Bergolak
Karya Armini Arbain dan Rondin” Skripsi. Padang. Universitas Andalas.

Nopi, Risky Arbangi. 2020. “Praktik Hegemoni Orde Baru dalam Novel Laut
Bercerita Karya Leila S. Chudori” Skripsi. Purwokerto. Universitas
Muhammadiyah Purwokerto.

31
Fadillah, Sumiman Udu, Irianto Ibrahim. 2020. “Kekerasan Budaya dalam Novel
Kutukan Tanah Buton Karya Safarudin”. Jurnal. Fakultas Pendidikan
Bahasa dan Sastra. Universitas Halu Oleo.

Putri, Junita. 2019. “Gambaran Kekerasan Terhadap Perempuan dalam Novel Mei
Merah 1998: Kala Arwah Berkisah Karya Naning Pranoto”. Skripsi.
Padang. Universitas Andalas.

Ladzati, Ully. 2020. “Dominasi Negara atas Rakyat dalam Novel Mangun Karya
Sergius Sutanto”. Jurnal. Fakultas Bahasa dan Seni. Universitas Negeri
Surabaya

Prasetyo, Yudi, dan Haryadi. 2017. “Kekerasan terhadap Tokoh Perempuan dalam
Novel Seperti Dendam Rindu Harus Dibayar Tuntas dan Lelaki Harimau
Karya Eka Kurniawan”. Jurnal. Prodi Pendidikan Bahasa Indonesia.
Universitas Negeri Semarang.

Sumber Internet

https://www.kompasiana.com/atonimeto/5ac19838bde5754359363e82/faktor-
penyebab-terjadinya-kekerasan?page=all diakses pada tanggal 12/07/20

32

Anda mungkin juga menyukai