Anda di halaman 1dari 11

PEMBANTAIAN DI INDONESIA 1965-1966

( G30S/PKI )

KELOMPOK 1
SALWA NAZMAH NAJIBAH
KRISTIN NUR HAIMAH
R. SITI FATIMAH MUTIA
NABILA MUTIA AZAHRA
YOGA SETIA
FAISAL FARHAN

SMK IKA KARTIKA


TAHUN PELAJARAAN 2023/2024
Jl. Abdurahman No.40 Tanggulun Kadungora Garut Jawa Barat 44153
e-mail : smkikakartika@gmail.com
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan rahmat serta karunianya,sehingga kami dapat menyelesaikan
Makalah ini.Shalawat serta salam tak lupa kami tunjukan pada nabi besar kita
Muhammad SAW.kepada para sahabat dan tabi’inya hingga kepada kita selaku
umat nya.
Pada kesempatan ini kami mengucapkan terimakasih sebanyak banyaknya
kepada ibu Suciani Ayu Sholihat s.pd selaku guru PPKN yang telah memberikan
tugas kepada kami.Kami juga berterimakasih sebanyak banyak nya kepada pihak
pihak yang terlibat dalam pembuatan makalah ini.
Penyusun dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam
penyusunan makalah ini,oleh karena itu penyusun akan sangat menghargai
kritikan dan saran untuk membangun makalah ini lebih baik lagi.Semoga
makakah ini dapat memberikan mamfaat bagi kita semua.

Garut,18 Juli 2023

Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.......................................................................................................................i
Daftar Isi..................................................................................................................................ii
BAB I: PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.......................................................................................................
1.2 Rumusan Masalah.................................................................................................
1.3 Tujuan Penulisan makalah...................................................................................

BAB II : PEMBAHASAN
2.1 Pembantaian Di Indonesia..........................................................................................
2.2 Pembersihan Politik....................................................................................................
2.3 Jumblah Korban..........................................................................................................
2.4 Penahanan....................................................................................................................
2.5 Perkembangan Kontemporer.....................................................................................
2.6 Dampak Yang terjadi...................................................................................................
BAB III :PENUTUP...............................................................................................................
3.1 Kesimpulan................................................................................................................
3.2 Saran...........................................................................................................................
3.3 Daftar pustaka...........................................................................................................
BAB IV : LAMPIRAN FOTO...............................................................................................
BAB V : DAFTAR PUSTAKA..............................................................................................
BAB I
PENDAHULUAN
Pembantaian di Indonesia pada tahun 1965-1966 merupakan periode gelap dalam sejarah
bangsa ini. Peristiwa ini terjadi setelah kudeta G30S/PKI pada 30 September 1965 yang gagal.
Setelah kegagalan itu, terjadi gelombang pembunuhan massal terhadap anggota Partai Komunis
Indonesia (PKI) dan simpatisannya. Makalah ini akan membahas latar belakang, penyebab,
serta dampak dari pembantaian tersebut.
1.1. Latar Belakang
Pembantaian di Indonesia 1965–1966 adalah peristiwa pembantaian terhadap orang-
orang yang dituduh sebagai pendukung komunisme di Indonesia setelah kegagalan usaha
kudeta Gerakan 30 September (G30S/PKI).Sebagian besar sejarawan sepakat bahwa
setidaknya setengah juta orang dibantai.Suatu komando keamanan angkatan bersenjata
memperkirakan antara 450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai. Pada masa itu, Indonesia
dipimpin oleh Presiden Soekarno, yang memiliki kebijakan Nasakom (Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme) yang berupaya untuk menyatukan berbagai golongan politik. Nasakom
adalah konsep politik yang dicetuskan oleh Presiden Soekarno di Indonesia, serta
merupakan ciri khas dariDemokrasi Terpimpin.
Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam Jendral (tiga di antaranya dalam proses penjemputan
paksa pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari)
dibunuh oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi namun Soeharto
menamai gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta
sejarahnya aksi penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 1 Oktober 1965,
untuk mendekatkan penyebutan Gestapu dengan sebutanGestapo (Polisi Rahasia Nazi Jerman
yang dikenal bengis dan kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas
atau hilang, sehingga Soeharto mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan
atas inisiatif sendiri tanpa berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan
Panglima Tertinggi menurut Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI). Pada 2
Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal.
Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut Pada tanggal 5 Oktober,
jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan
menyerukan pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang
Indonesia dan pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah
PKI Penyangkalan PKI sama sekali tidak berpengaruh Maka ketegangan dan kebencian yang
terpendam selama bertahun-tahun pun meledak
1.2.Rumusan Masalah
a.Apa yang mrnyebabkan terjadinya pembantaian G30S/PKI
b.Bagaimana peran militer dalam peristiwa pembantaian G30S/PKI
c.Bagaimana pemerintah mengatasi dan menanggapi peristiwa pembantaian G30S/PKI
d.Bagaiman dampak pembantaian G30S/PKI Terhadap masyarakat dan politik indonesia
1.3 .Tujuan Penulisan Makalah
a.Mendokumentasikan sejarah dan kronologi peristiwa G30S/PKI secara akurat dan faktual.
b.Menganalisis penyebab terjadinya peristiwa G30S/PKI,baik secara politik,sosial,maupun
ekonomi.
c.Menjelaskan sejarah dan kronologi peristiwa G30/PKI secara obyektif.
d.Memahami dampak pembantaian G30S/PKI terhadap Masyarakat, politik,dan ekonomi
Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Pembantaian di Indoneia
Pembersihan dimulai pada Oktober 1965 di Jakarta, yang selanjutnya menyebar ke Jawa
Tengah dan Timur, dan Bali. Pembantaian dalam skala kecil dilancarkan di sebagian daerah di
pulau-pulau lainnya,terutama Sumatra. Pembantaian terburuk meletus di Jawa Tengah dan
Timur. Korban jiwa juga dilaporkan berjatuhan di Sumatra utara dan Bali. Petinggi-petinggi
PKI diburu dan ditangkap: petinggi PKI, Njoto, ditembak pada tanggal 6 November, ketua PKI
Dipa Nusantara Aidit pada 22 November, dan Wakil Ketua PKI M.H. Lukman segera
sesudahnya. Kebencian terhadap komunis dikobarkan oleh angkatan darat, sehingga banyak
penduduk Indonesia yang ikut serta dalam pembantaian ini. Peran angkatan darat dalam
peristiwa ini tidak pernah diterangkan secara jelas. Di beberapa tempat, angkatan bersenjata
melatih dan menyediakan senjata kepada milisi-milisi lokal. Di tempat lain, para vigilante
mendahului angkatan bersenjata, meskipun pada umumnya pembantaian tidak berlangsung
sebelum tentara mengenakan sanksi kekerasan. Di beberapa tempat, milisi tahu tempat
bermukimnya komunis dan simpatisannya, sementara di tempat lain tentara meminta daftar
tokoh komunis dari kepala desa. Keanggotaan PKI tidak disembunyikan dan mereka mudah
ditemukan dalam masyarakat. Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta menyediakan daftar
5.000 orang yang diduga komunis kepada angkatan bersenjata Indonesia. Beberapa cabang PKI
melancarkan perlawanan dan pembunuhan balasan, tetapi sebagian besar sama sekali tidak
mampu melawan. Tidak semua korban merupakan anggota PKI. Seringkali cap "PKI"
diterapkan pada tokoh-tokoh Partai Nasional Indonesia (PNI) yang beraliran kiri. Dalam kasus-
kasus lainnya, para korban merupakan orang-orang yang hanya dituduh atau diduga komunis.
Warga keturunan Tionghoa juga turut menjadi korban. Beberapa dari mereka dibunuh, dan
harta benda mereka dijarah. Di Kalimantan Barat, sekitar delapan belas bulan setelah
pembantaian di Jawa, orang-orang Dayak mengusir 45.000 warga keturunan Tionghoa dari
wilayah pedesaan. Ratusan hingga ribuan di antara mereka tewas dibantai. Metode
pembantaian meliputi penembakan atau pemenggalan dengan menggunakan pedang Jepang.
Mayat-mayat dilempar ke sungai, hingga pejabat-pejabat mengeluh karena sungai yang
mengalir ke Surabaya tersumbat oleh jenazah. Di wilayah seperti Kediri, Gerakan Pemuda
Ansor Nahdlatul Ulama menyuruh orang-orang komunis berbaris. Mereka lalu menggorok
leher orang-orang tersebut, lalu jenazah korban dibuang ke sungai. Pembantaian ini
mengosongkan beberapa bagian desa, dan rumah-rumah korban dijarah atau diserahkan ke
angkatan bersenjata. Pembantaian telah mereda pada Maret 1966, meskipun beberapa
pembersihan kecil masih berlangsung hingga tahun 1969. Penduduk Solo menyatakan bahwa
meluapnya sungai Bengawan Solo yang tidak biasa pada Maret 1966 menandai berakhirnya
pembantaian. Jawa Di Jawa, banyak pembunuhan dilakukan oleh simpatisan aliran. Militer
mendorong para santri Jawa untuk mencari anggota PKI di antara orang-orang abangan Jawa.
Pembunuhan meluas sampai pada orang-orang yang bukan anggota PKI. Di Jawa, contohnya,
banyak orang yang dianggap "PNI kiri" dibunuh. Yang lainnya hanya dituduh atau merupakan
korban fitnah dengan sedikit atau tanpa motif politik. Pada pertengahan Oktober, Soeharto
mengirim sejumlah pasukan komando kepercayaannya ke Jawa tengah, daerah yang memiliki
banyak orang komunis, sedangkan pasukan yang kesetiaannya tak jelas diperintahkan pergi
dari sana. Pembantaian terhadap orang komunis kemudian dilakukan oleh para pemuda, dengan
dipandu oleh angkatan bersenjata, memburu orang-orang komunis.
2.2 Pembersihan politik
Pemimpin-pemimpin militer yang diduga sebagai simpatisan PKI dicabut jabatannya. Majelis
Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Kabinet 100 Menteri dibersihkan dari pendukung-
pendukung Soekarno. Pemimpin-pemimpin PKI segera ditangkap, bahkan beberapa dibunuh
pada saat penangkapan, sisanya dihukum mati melalui proses persidangan pura-pura untuk
konsumsi HAM Internasional. Petinggi angkatan bersenjata menyelenggarakan demonstrasi di
Jakarta. Pada tanggal 8 Oktober, markas PKI Jakarta dibakar. Kelompok pemuda anti-komunis
dibentuk, contohnya Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), Kesatuan Aksi Pelajar
Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), dan Kesatuan Aksi
Sarjana Indonesia (KASI). Di Jakarta dan Jawa Barat, lebih dari 10.000 aktivis dan petinggi
PKI ditangkap, salah satunya Pramoedya Ananta Toer.
2.3 Jumblah korban
Meskipun garis besar peristiwa diketahui, namun tidak banyak yang diketahui mengenai
pembantaiannya, dan jumlah pasti korban meninggal hampir tak mungkin diketahui. Hanya ada
sedikit wartawan dan akademisi Barat di Indonesia pada saat itu. Angkatan bersenjata
merupakan satu dari sedikit sumber informasi, sementara rezim yang melakukan pembantaian
berkuasa sampai tiga dasawarsa. Media di Indonesia ketika itu dibatasi oleh larangan-larangan
di bawah "Demokrasi Terpimpin" dan oleh "Orde Baru" yang mengambil alih pada Oktober
1966. Karena pembantaian terjadi di puncak Perang Dingin, hanya sedikit penyelidikan
internasional yang dilakukan, karena berisiko memperkusut prarasa Barat terhadap Soeharto
dan "Orde Baru" atas PKI dan "Orde Lama".
Dalam waktu 20 tahun pertama setelah pembantaian, muncul tiga puluh sembilan perkiraan
serius mengenai jumlah korban. Sebelum pembantaian selesai, angkatan bersenjata
memperkirakan sekitar 78.500 telah meninggal sedangkan menurut orang-orang komunis yang
trauma, perkiraan awalnya mencapai 2 juta korban jiwa. Di kemudian hari, angkatan bersenjata
memperkirakan jumlah yang dibantai dapat mencapai sekitar 1 juta orang. Pada 1966, Benedict
Anderson memperkirakan jumlah korban meninggal sekitar 200.000 orang dan pada 1985
mengajukan perkiraan mulai dari 500,000 sampai 1 juta orang. Sebagian besar sejarawan
sepakat bahwa setidaknya setengah juta orang dibantai, lebih banyak dari peristiwa manapun
dalam sejarah Indonesia. Suatu komando keamanan angkatan bersenjata memperkirakan antara
450.000 sampai 500.000 jiwa dibantai.
Para korban dibunuh dengan cara ditembak, dipenggal, dicekik, atau digorok oleh angkatan
bersenjata dan kelompok Islam. Pembantaian dilakukan dengan cara "tatap muka", tidak seperti
proses pembantaian massal oleh Khmer Merah di Kamboja atau oleh Jerman Nazi di Eropa

2.4 Penahanan
Penangkapan dan penahanan berlanjut sampai sepuluh tahun setelah pembantaian. Pada 1977,
laporan Amnesty International menyatakan "sekitar satu juta" kader PKI dan orang-orang yang
dituduh terlibat dalam PKI ditahan. Antara 1981 dan 1990, pemerintah Indonesia
memperkirakan antara 1.6 sampai 1.8 juta mantan tahanan ada di masyarakat. Ada
kemungkinan bahwa pada pertengahan tahun 1970-an, 100.000 masih ditahan tanpa adanya
proses peradilan. Diperkirakan sebanyak 1.5 juta orang ditahan pada satu waktu atau lainnya.
Orang-orang PKI yang tidak dibantai atau ditahan berusaha bersembunyi sedangkan yang
lainnya mencoba menyembunyikan masa lalu mereka. Mereka yang ditahan termasuk pula
politisi, artis dan penulis misalnya Pramoedya Ananta Toer, serta petani dan tentara. Banyak
yang tidak mampu bertahan pada periode pertama masa penahanan dan akhirnya meninggal
akibat kekurangan gizi dan penganiayaan. Ketika orang-orang mulai mengungkapkan nama-
nama orang komunis bawah tanah, kadang kala di bawah siksaan, jumlah orang yang ditahan
semakin meninggi pada 1966–68. Mereka yang dibebaskan sering kali masih harus menjalani
tahanan rumah dan secara rutin mesti melapor ke militer. Mereka juga sering dilarang menjadi
pegawai pemerintah, termasuk juga anak-anak mereka.
2.5 Perkembangan Kontemporer
Setelah Soeharto mundur berkat adanya reformasi 1998, Parlemen membentuk Komisi
Kebenaran dan Rekonsiliasi untuk menganalisis pembunuhan massal, tetapi itu ditangguhkan
oleh Pengadilan Tinggi. Sebuah konferensi akademis mengenai pembantaian diadakan di
Singapura pada tahun 2009. Pada bulan Mei 2009, pada waktu yang berdekatan dengan
Konferensi Singapura, penerbit di Britania Raya, Spokesman Books, menerbitkan buku yang
ditulis oleh Nathaniel Mehr, berjudul Pertumpahan Darah Konstruktif di Indonesia: Amerika
Serikat, Britania Raya dan Pembunuhan Massal di Indonesia 1965-1966, sebuah survei tingkat-
pengantar mengenai pembantaian dan dukungan Barat untuk Soeharto. Pada 23 Juli 2012,
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyatakan pembantaian orang-orang
yang dituduh komunis itu merupakan pelanggaran HAM yang berat. Setelah melakukan
penyelidikan selama empat tahun, bukti dan hasil pemeriksaan saksi menunjukkan adanya
sembilan kejahatan yang masuk kategori kejahatan terhadap kemanusiaan. Kesembilan
pelanggaran HAM itu adalah pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau
pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau kebebasan fisik lainnya
secara sewenang-wenang, penyiksaan, pemerkosaan dan kejahatan seksual lainnya,
penganiayaan, dan penghilangan orang secara paksa. Hasil penyelidikan Komnas HAM ini
diserahkan ke Kejaksaan Agung dan Dewan Perwakilan Rakyat. Kewenangan untuk membuka
pengadilan Ad Hoc untuk pelanggaran HAM berat pada masa lalu ada di tangan Dewan
Perwakilan Rakyat. Pada tahun 2012 dan 2014, dua film yang mengungkap bagaimana
pembantaian massal dilakukan di kota Medan dan sekitarnya, Sumatra Utara, diluncurkan.
Film tersebut berjudul Jagal (judul versi Inggris: The Act of Killing) dan Senyap (judul versi
Inggris: The Look of Silence) masing-masing dengan fokus yang berbeda, Jagal menelusuri
bayangan, pandangan, dan pendapat para pelaku pembantaian massal mengenai diri dan
sejarah, sementara Senyap memotret pandangan keluarga korban mengenai beban sejarah yang
mereka tanggung, serta bagaimana satu orang dari mereka meminta pertanggungjawaban para
pelaku. Pembantaian ini telah banyak dihilangkan dari buku pelajaran sejarah Indonesia. Dalam
buku pelajaran sejarah, disebutkan bahwa pembantaian ini adalah "kampanye patriotik" yang
menghasilkan kurang dari 80.000 korban jiwa. Pada tahun 2004, buku-buku pelajaran diubah
dan mencantumkan kejadian tersebut, tetapi kurikulum baru ini ditinggalkan pada tahun 2006
karena adanya protes dari kelompok militer dan Islam. Buku-buku pelajaran yang
menyebutkan pembunuhan massal itu kemudian dibakar, atas perintah Jaksa Agung. Pada
2015, Presiden Joko Widodo dikabarkan berencana memberikan ucapan minta maaf terhadap
PKI atas terjadinya pembantaian 1965. Kabar ini lantas ditentang oleh FPI dan lembaga
Kristen. Jokowi kemudian menegaskan bahwa ia tidak berpikiran untuk meminta maaf kepada
PKI melainkan untuk korban pelanggaran HAM.
2.6 Dampak yang terjadi
Peristiwa pembantaian 1965-1966 memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks pada
berbagai aspek kehidupan di Indonesia. Beberapa dampak utama termasuk:
Banyaknya Korban Jiwa: Peristiwa tersebut mengakibatkan korban jiwa dalam jumlah besar,
dengan perkiraan yang bervariasi dari puluhan ribu hingga ratusan ribu orang tewas. Korban
meliputi anggota Partai Komunis Indonesia (PKI), simpatisan, serta anggota keluarga mereka.
Pembubaran PKI: Peristiwa ini menyebabkan pembubaran resmi PKI oleh pemerintah
Indonesia. PKI, yang sebelumnya merupakan partai politik terbesar di negara itu, dilarang dan
menjadi ilegal. Konsolidasi Kekuasaan Orde Baru: Peristiwa G30S/PKI menjadi katalis bagi
Jenderal Soeharto untuk mengambil alih kekuasaan dari Presiden Sukarno. Ia mendirikan rezim
militer yang dikenal sebagai Orde Baru dan berkuasa selama lebih dari tiga dekade hingga
1998. Pembatasan Kebebasan Politik dan Kemerdekaan Berbicara: Selama masa Orde Baru,
kebebasan berbicara dan kebebasan politik dibatasi secara ketat. Aktivis politik dan intelektual
yang dianggap mengancam rezim seringkali ditangkap dan ditahan. Pengaruh Politik dan
Ekonomi: Peristiwa ini mengubah dinamika politik dan ekonomi Indonesia. Orde Baru
menerapkan kebijakan ekonomi yang otoriter dan pusat kekuasaan politik yang kuat di tangan
militer. Ketidakstabilan Sosial dan Trauma: Peristiwa pembantaian menyebabkan
ketidakstabilan sosial yang serius dan meninggalkan bekas trauma bagi keluarga korban dan
masyarakat yang terkena dampaknya. Peningkatan Anti-Komunisme: Peristiwa G30S/PKI
meningkatkan sentimen anti-komunis di Indonesia dan juga mempengaruhi persepsi tentang
komunisme di masa depan. Pengaruh Hubungan Internasional: Peristiwa ini juga
mempengaruhi hubungan Indonesia dengan negara-negara lain, termasuk perubahan dalam
aliansi dan pandangan internasional terhadap Indonesia. Dampak peristiwa pembantaian 1965-
1966 masih terasa hingga hari ini, dan peristiwa ini tetap menjadi topik kontroversial dan
sensitif dalam sejarah Indonesia. Studi lebih lanjut tentang peristiwa tersebut terus berlanjut
untuk memahami dampaknya secara menyeluruh dan mencegah terulangnya kekerasan di masa
depan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Kesimpulan dari Pembantaian di Indonesia 1965-1966 adalah peristiwa tersebut merupakan
sebuah tragedi bersejarah yang memiliki dampak yang sangat luas dan kompleks pada
masyarakat dan negara Indonesia. Berikut beberapa poin kesimpulan yang dapat diambil:
Kekerasan dan Pembunuhan Massal: Peristiwa pembantaian tersebut menyebabkan korban jiwa
dalam jumlah besar, dengan puluhan ribu hingga ratusan ribu orang tewas. Anggota Partai
Komunis Indonesia (PKI), simpatisan, dan keluarga mereka menjadi korban dari pembalasan
yang keras setelah kudeta yang gagal pada 30 September 1965.Perubahan Politik: Peristiwa ini
menjadi titik balik dalam sejarah politik Indonesia. Kudeta yang gagal memicu berdirinya
rezim militer Orde Baru yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, yang berkuasa selama lebih
dari tiga dekade dan mengubah lanskap politik dan sosial di negara tersebut. Pembubaran PKI:
PKI, yang sebelumnya merupakan partai politik terbesar di Indonesia, dibubarkan secara resmi
dan dilarang. Partai ini kehilangan pengaruh politiknya dan menjadi ilegal setelah peristiwa
tersebut. Pembatasan Kebebasan Politik: Selama masa Orde Baru, kebebasan berbicara dan
kebebasan politik dibatasi secara ketat. Aktivis politik dan intelektual yang dianggap
mengancam rezim seringkali ditangkap dan ditahan. Pengaruh Jangka Panjang: Dampak dari
peristiwa tersebut masih terasa hingga hari ini dalam sejarah, politik, dan sosial masyarakat
Indonesia. Peristiwa ini tetap menjadi topik kontroversial dan sensitif, dan pengaruhnya terlihat
dalam persepsi tentang komunisme dan politik di Indonesia. Pentingnya Pembelajaran Sejarah:
Peristiwa pembantaian 1965-1966 menjadi pengingat tentang pentingnya memahami sejarah
dengan akurat dan objektif. Studi dan diskusi terus berlanjut untuk mencari kebenaran tentang
peristiwa ini dan menghormati korban serta keluarga mereka. Penting bagi generasi saat ini dan
mendatang untuk terus mempelajari dan menghargai sejarah, sehingga kekerasan dan
pembantaian semacam ini tidak terulang di masa depan.
3.2 Saran
Penting untuk menyadari bahwa pembantaian di Indonesia 1965-1966 adalah bagian dari
sejarah yang sangat sensitif. Oleh karena itu, sebagai masyarakat, penting bagi kita untuk:
Menghormati korban dan keluarga mereka dengan menunjukkan empati dan penghormatan
terhadap pengalaman mereka. Mendorong dialog terbuka dan jujur tentang sejarah tersebut,
dengan menghindari penyebaran informasi yang tidak benar atau tendensius. Mendukung
upaya perdamaian dan rekonsiliasi antar kelompok masyarakat. Mendorong lembaga
pemerintahan dan masyarakat sipil untuk melakukan penelitian dan investigasi yang
independen guna mengungkap kebenaran tentang peristiwa tersebut. Memastikan bahwa hak
asasi manusia dihormati, dan menghindari tindakan kekerasan serta diskriminasi berdasarkan
latar belakang politik, etnis, atau agama. Sebagai sebuah bangsa, penting untuk belajar dari
sejarah agar kesalahan di masa lalu tidak terulang di masa depan. Melalui upaya bersama, kita
dapat membangun masyarakat yang lebih inklusif, menghormati kebebasan berekspresi, dan
menghargai keragaman di Indonesia.
BAB IV
LAMPIRAN FOTO
BAB V
DAFTAR PUSTAKA
Kedutaan Besar Republik Indonesia, (2008). Daftar Duta Besar Indonesia Untuk
Inggris. Tersedia http://indonesianembassy.org.uk/about-us/ambassadors [4
Januari 2017]
Rasyid, Fauzan Ali.(2012).Gerakan Politik dan Pembaharuan Islam di Jawa
Barat.[Online].Tersedia www.kompasiana.com/fauzan.ali/gerakan-politik-
dan-pembaharuan-islam-di-jawa-barat
Aly, Rum. (2012). Kisah Jenderal Sarwo Edhie Wibowo dan RPKAD 1965-1966.
[Online]. Tersedia : http://socio-politica.com/2012/10/05/kisah-jenderal-
sarwo-edhie-wibowo-dan-rpkad-1965-1966-1/ [19 Agustus 2016].
Syafari,(2012). Peta Politik Bandung 1953-1955 Awal Munculnya Gerakan
Kedaerahan dan Konflik Masyumi-PKI. Tersedia :
http://www.kompasiana.com/jurnalgemini/peta-politik-bandung-1953-
1955awal-munculnya-gerakan-kedaerahan-dan-konflik-masyumi-pki-
pni_551b107fa33311b023b6 5b89 Bandung : 8 Agustus 2016
Abdullah, Taufik. (2012). Malam Bencana 1965 Dalam Belitan Krisis Nasional
Bagian II Konflik Lokal. Jakarta : Yayasan Pustaka Obor
Abdurahman, D. (2007). Metodologi Penelitian Sejarah. Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media. Adi, Robert Tjahyono. (2007). Mengenal 192 Negara di Dunia. Yogyakarta : Pustaka
Widyatama
Aly, Rum. (2006). Titik Silang Jalan Kekuasaan Tahun 1965. Jakarta : Kata Hasta
Pustaka
Bambang Riyanto.(2006).Dasar-Dasar Pembelanjaan Perusahaan, Edisi keempat,
Yogyakarta: BPFE
Chaedar,A. (1999). Pengantar Pemikiran Politik Proklamator Negara Islam
Indonesia S.M. Kartosuwiryo. Jakarta: Darul Falah.
Cribb, Robert. (2000). Pembantaian PKI di Jawa dan Bali 1965-1966. Yogyakarta :
Mata Bangsa Dewanto . (2011). Kartosuwiryo: Mimpi Negara Islam. Jakarta: Gramedia

Anda mungkin juga menyukai