Anda di halaman 1dari 8

KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji bagi Allah SWT yang telah memberikan kami kemudahan sehingga
kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan tepat waktu. Tanpa
pertolongan-Nya tentunya saya tidak akan sanggup untuk menyelesaikan
makalah ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga terlimpah curahkan
kepada baginda tercinta kita yaitu Nabi Muhammad SAW yang kita nanti-
natikan syafa’atnya di akhirat nanti.

Saya mengucapkan syukur kepada Allah SWT atas limpahan nikmat sehat-
Nya, baik itu berupa sehat fisik maupun akal pikiran, sehingga saya mampu
untuk menyelesaikan pembuatan makalah sebagai tugas ujian praktek dari
mata pelajaran PKN dengan judul “Peristiwa 1965-1966”.

Saya tentu menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna dan
masih banyak terdapat kesalahan serta kekurangan di dalamnya. Untuk itu,
saya mengharapkan kritik serta saran dari pembaca untuk makalah ini, supaya
makalah ini nantinya dapat menjadi makalah yang lebih baik lagi. Kemudian
apabila terdapat banyak kesalahan pada makalah ini saya mohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Saya juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak khususnya kepada
guru PKN kami yang telah membimbing dalam menulis makalah dan untuk tim
korektor makalah ini

Demikian, semoga makalah ini dapat bermanfaat. Terima kasih.

Depok, 2 Maret 2021

Aulia Mutiara Fitri


i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL…………………………………………………………………………

Identitas sekolah…………………………………………………………………………….

Identitas siswa……………………………………………………………………………….

KATA PENGANTAR……………………………………………………………………….i

DAFTAR ISI…………………………………………………………………………………ii

BAB I PENDAHULUAN……………………………………………………………………1 

1.1 Latar Belakang………………………………………………………………………….2

1.2 Identifikasi Masalah…………………………………………………………………….3

1.3 Rumusan Masalah……………………………………………………………………...4

i
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Berdasarkan arsip Komisi Nasional Hak Asai Manusia (Komnas HAM) Indonesia
pada tanggal 23 juli 2012, bentuk-bentuk pelanggaran HAM berat yang terjadi pada
peristiwa 1965/1966 antara lain: pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran
atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan
fisik lain secara sewenang-wenang, penyikasaan, perkosaan, penganiayaan (persekusi)
dan penghilangan orang secara paksa. Pelanggaran HAM berat yang terjadi pada
peristiwa 1965/1966 di Indonesia tentunya tidak dapat dipisahkan dari Gerakan 30
September yang terjadi pada masa itu.

Dalam narasi sejarah yang peneliti ketahui, gerakan tersebut dimulai dengan adanya
peristiwa penculikan yang berujung pada pembunuhan terhadap enam orang perwira
tinggi serta seorang perwira menengah Angkatan Darat yang mayatnya kemudian
ditemukan di Lubang Buaya. Aksi penculikan dan pembunuhan itu dilakukan oleh
sekelompok pasukan yang mengaku setia dan bertujuan untuk melindungi Presiden
Sukarno dari komplotan jenderal yang akan melakukan upaya kudeta. Mereka
menamakan gerakan tersebut dengan Gerakan 30 September atau dapat disingkat
dengan G-30-S. Peristiwa G-30-S kemudian menandai dimulainya rentetan proses
pelanggaran HAM berat yang terjadi pada peristiwa 1965/1966. Dalam waktu singkat,
dimulai sejak 2 Oktober 1965, Angkatan Darat yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto
melancarkan kampanye kekerasan terhadap PKI dan para pengikutnya yang
mengakibatkan ratusan ribu hingga jutaan orang dibunuh, hilang, dan ditahan.
Pembunuhan massal inilah yang pada gilirannya membawa Soeharto naik ke tampuk
kekuasaan dan sebuah kekuasaan diktator militer —yang menamakan dirinya Orde
Baru— dibentuk (Herlambang, 2013:2).

i
Adam dalam Setiawan (2016:494) mengatakan jumlah korban tewas dalam
pembantaian itu berkisar dari 78.000 orang (menurut Fact Finding Commission)
sampai 3 juta jiwa seperti diakui Komandan RPKAD Sarwo Edhie. Menurut Adam
dalam Setiawan (2016:494) sejak tahun 1965 mereka yang dituduh terlibat G30S atau
PKI dikategorikan atas golongan A (yang cukup bukti untuk diadili), golongan B
(tidak cukup bukti untuk diadili), dan C (yang terpengaruh ideologi kiri). Mereka
yang termasuk golongan B ini yang dibuang ke Pulau Buru mulai tahun 1969.
Sebanyak 10.000 orang dikirim ke sana dalam beberapa rombongan. Mereka tidak
tahu sampai kapan di sana, namun desakan lembaga HAM internasional
menyebabkan pemerintah Indonesia terpaksa membebaskan tahanan ini tahun 1979.
Peristiwa G-30-S tidak hanya berimbas ke pada mereka yang berada di Indonesia.
Adam dalam Hutabarat (2011:vi) mengatakan di luar negeri, ribuan mahasiswa
Indonesia dicabut paspornya dan kehilangan kewarganegaraan sehingga menjadi eksil
di mancanegara.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian pada latar belakang penelitian yang menghela peneliti untuk melakukan
penelitian ini, maka peneliti akan melihat

a. bagaimana komunikasi organisasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966


Sumatera Barat terkait pelanggaran HAM berat peristiwa 1965/1966 di wilayah Sumatera
Barat?

1.3 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui arus komunikasi internal Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966
Sumatera Barat.

2. Untuk mengetahui komunikasi organisasi Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965/1966


Sumatera Barat terkait pelanggaran HAM berat peristiwa 1965/1966 di wilayah Sumatera Barat

i
BAB 2
PEMBAHASAN

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis terbesar ketiga di dunia.[8] Kadernya
berjumlah sekitar 300.000, sementara anggotanya diperkirakan sebanyak dua juta orang.Selain itu
PKI juga mengatur serikat-serikat buruh.

Dukungan terhadap kepresidenan Soekarno bergantung pada koalisi "Nasakom" antara militer,
kelompok agama, dan komunis. Perkembangan pengaruh dan kemilitanan PKI, serta dukungan
Soekarno terhadap partai tersebut, menumbuhkan kekhawatiran pada kelompok Muslim dan
militer. Ketegangan mulai menyelimuti perpolitikan Indonesia pada awal dan pertengahan tahun
1960-an. Upaya PKI untuk mempercepat reformasi tanah menggusarkan tuan-tuan tanah dan
mengancam posisi sosial para kyai.

Pada tanggal 1 Oktober 1965, enam Jendral (tiga di antaranya dalam proses penjemputan paksa
pada pagi hari, sedangkan tiga sisanya dan satu orang perwira menengah pada sore hari) dibunuh
oleh kelompok yang menyebut diri mereka sebagai Dewan Revolusi --- namun Soeharto menamai
gerakan Dewan Revolusi tersebut sebagai Gerakan 30 September, walau fakta sejarahnya aksi
penjemputan paksa dilakukan pada jam empat pagi tanggal 1 Oktober 1965, untuk mendekatkan
penyebutan Gestapu dengan sebutan GESTAPO (Polisi Rahasia Nazi Jerman yang dikenal bengis dan
kejam). Maka pemimpin-pemimpin utama militer Indonesia tewas atau hilang, sehingga Soeharto
mengambil alih kekuasaan angkatan bersenjata (yang dilakukan atas inisiatif sendiri tanpa
berkoordinasi dengan Presiden Soekarno selaku pemangku jabatan Panglima Tertinggi menurut
Undang-Undang dalam struktur komando di tubuh APRI).

Pada 2 Oktober, ia mengendalikan ibu kota dan mengumumkan bahwa upaya kudeta telah gagal.
Angkatan bersenjata menuduh PKI sebagai dalang peristiwa tersebut. Pada tanggal 5 Oktober,
jenderal-jenderal yang tewas dimakamkan. Propaganda militer mulai disebarkan, dan menyerukan
pembersihan di seluruh negeri. Propaganda ini berhasil meyakinkan orang-orang Indonesia dan
pemerhati internasional bahwa dalang dari semua peristiwa ini adalah PKI. Penyangkalan PKI sama
sekali tidak berpengaruh. Maka ketegangan dan kebencian yang terpendam selama bertahun-tahun
pun meledak.

2.1 Landasan Hukum

i
1. Pasal 24C Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Mahkamah Konstitusi berwenang
mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-
undang terhadap undang-undang dasar, memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang
kewenangannya diberikan oleh undang-undang dasar, memutus pembubaran partai politik, dan
memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum”;

2. Pasal 28C ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk
memajukan dirinya dalam memperjuangkan haknya secara kolektif untuk membangun masyarakat,
bangsa dan negaranya;

3. Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas
pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di
hadapan hukum”;

4. Pasal 28G Ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi: “Setiap orang berhak atas
perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormartan, martabat, dan harta benda yang di bawah
kekuasaannya; serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk
berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”;

5. Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi: “Negara berdasarkan atas Ketuhanan
Yang Maha Esa”;

6. Tap MPRS No. XXV/MPRS/Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia,
Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai
Komunis Indonesia dan 4 Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan
Paham Atau Ajaran Komunisme/Marxisme/Leninisme, Pasal 2 berbunyi: “Setiap kegiatan di
Indonesia untuk menyebarkan atau mengembangkan paham atau ajaran
Komunisme/Marxisme/Leninisme dalam segala bentuk dan manifestasinya, dan penggunaan segala
macam aparatur serta media bagi penyebaran atau pengembangan paham atau ajaran tersebut,
dilarang”;

7. Pasal 107b Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara, yang berbunyi: “ Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,
tulisan dan atau melalui media apa pun, menyatakan keinginan untuk meniadakan atau mengganti
Pancasila sebagai dasar negara yang berakibat timbulnya kerusuhan dalam masyarakat, atau
menimbulkan korban jiwa atau kerugian harta benda dipidana dengan pidana penjara paling lama 20
(dua puluh) tahun”;

8. Pasal 107d Undang-Undang Nomor 27 Tahun 1999 tentang Kejahatan Terhadap Keamanan
Negara, yang berbunyi: “Barang siapa yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan,
tulisan dan atau melalui media apa pun,menyevbarkan atau mengembangkan ajaran
Komunisme/Marxisme-Leninisme dengan maksud mengubah atau mengganti Pancasila sebagai
dasar negara, dipidana dengan pidana.

9. Pasal 43 Aayat (1) Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia,
yang berbunyi: “Pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang terjadi sebelum diundangkannya
undang-undang ini, diperiksa dan diputus oleh Pengadilan HAM Ad Hoc”;

BAB 3

i
PENUTUP
3.1 Kesimpulan

Kesimpulan Penelitian yang melacak kehadiran wacana tentang peristiwa G30S 1965 di film pendek
yang lahir di era pasca Orde Baru ini, dibedah menggunakan metode analisis wacana kritis model
Norman Fairclough. Analisis wacana kritis model Norman Fairclough menggunakan 3 unsur analisis
yaitu teks, yang dibaca lewat dokumentasi dari potongan scene film. Praktik diskursif yang dianalisis
lewat pernyataan dari produsen wacana, dan mengaitkan dengan konteks sosiokultural di sekitar
teks dan produsen wacana. Dalam penelitian ini, peneliti mengurai tentang kehadiran peristiwa
G30S 1965 di film pendek Indonesia yang diproduksi pasca Orde Baru. Peneliti menemukan empat
elemen penting tentang peristiwa G30S 1965 yang dipublikasikan lewat film pendek. Yang pertama
adalah narasi resistensi. Berdasarkan tiga film yaitu Mass Grave, Kami Hanya Menjalankan Perintah
Jendral dan On The Origin of Fear narasi yang ditawarkan mengenai peristiwa G30S 1965 selalu
bersebrangan dengan versi Negara seperti yang dipaparkan dalam film Pengkhianatan G30S/PKI.
Menurut Foucault, narasi resistensi selalu hadir diluar narasi dominan. Hal tersebut mengacu pada
saat masa Orde Baru, narasi dominan tentang peristiwa G30S 1965 berada di tangan Negara.
Sementara, pasca keruntuhan rezim pimpinan Soeharto, masyarakat memiliki kebebasan untuk
melahirkan narasi resistensi tentang peristiwa yang sama—peristiwa G30S 1965—dengan perspektif
dan kesaksian yang berbeda. membuka jalan kebenaran dan kesaksian yang mulanya dibungkan
untuk hadir di permukaan dan melahirkan wacana tandingan. Salah satu narasi dominan yang
diruntuhkan oleh wacana resistensi dari masyarakat adalah narasi heroisme dari militer. Pada zaman
Orde Baru, militer dicitrakan sebagai instansi yang heroik, atau ‘juru selamat’ Negara lewat beberapa
film yang diproduksi negara seperi Pengkhianatan G30S 1965, Djanur Kuning, Enam Jam di Jogja, dan
sebagainya. Sementara, dalam film pendek Indonesia yang dirilis pasca Orde Baru, wajah militer
ditampilkan sebagai instansi kejam, yang kerap melakukan represi terhadap korban sekaligus dalang
dari peristiwa G30S 1965 yang kemudian mengkambinghitamkan Partai Komunis Indonesia (PKI).

untuk melanggengkan legitimasinya atas peristiwa G30S 1965, pemerintah Orde Baru melakukan
memonopoli kebenaran tentang peristiwa G30S 1965 sekaligus melekatkan stigma negatif terhadap
simpatisan komunisme atau korban peristiwa G30S 1965 lewat kampanye kebudayaan. Sehingga,
mereka yang tidak terlibat dan memiliki kendali penuh terhadap peristiwa G30S 1965 turut menjadi
korban dan mengalami rasa trauma. Menurutu peneliti, hal ini adalah temuan baru dari penelitain
tentang perisitwa G30S 1965, khususnya dengan medium film pendek Indonesia yang dirilis pasca
Orde Baru.

3.2 Saran dan Kritik

Peristiwa tentang G30S 1965 mayoritas selalu berkitar seputar kronologi dan konfirmasi sejarah.
Namun, penelitian yang menyoroti perkara propaganda budaya dan dan kekerasan terhadap hal-hal
yang ideologis masih minim. Peneliti berharap bahwa di masa yang akan datang penelian tentang
peristiwa G30S 1965 lebih kaya akan perspektif dan semakin berkembang. Karena, penelitian seperti
ini diharapkan dapat menjadi sarana advokasi bagi para korban, dan menguak kebenaran baru
tentang peristiwa yang selama ini terkesan masih dipunggungi oleh Negara. Sekaligus, kritik
terhadap penelitian tentang perisitwa G30S 1965, adalah absennya pembacaan tentang unsur
ekonomi-politik yang dapat dipertimbangkan untuk membaca logika pasar, dan komoditas isu
peristiwa G30S 1965. Penelitian sejenis juga dapat teliti.

i
3.3 Daftar Pustaka

Latar belakang peristiwa


: https://id.wikipedia.org/wiki/pembantaian_di_Indonedia_
Rumusan Masalah dan Tujuan Penelitian
: https://Kontras.org
Pembahasan
: https://www.dw.com/id/peristiwa-1965-1966-dan-kita/a-18741913

Anda mungkin juga menyukai