Anda di halaman 1dari 16

TUGAS MAKALAH

GERAKAN 30 SEPTEMBER
PARTAI KOMUNIS INDONESIA
(G30-S/PKI)

Oleh:
Muhammad Ghiyast Fadhlullah
Kelas
IX D
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan
rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam
senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi Muhammad SAW,
keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang telah berkenan membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya
makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini dapat
bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan,
baik dari aspek kualitas maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan.
Semua ini murni didasari oleh keterbatasan yang dimiliki kami. Oleh sebab itu,
kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang bersifat
membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Penyusun

Muhammad Ghiyast Fadhlullah

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR........................................................................................ i
DAFTAR ISI....................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang....................................................................................... 1
B. Rumusan Masalah.................................................................................. 1
BAB II PEMBAHASAN
A. Peristiwa G30-S/PKI............................................................................. 2
B. Korban G30-S/PKI................................................................................ 6
C. Penangkapan dan Pembantaian PKI...................................................... 9
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................................ 12
B. Saran...................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang
terbesar di seluruh dunia, di luar Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun
1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai
3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang
mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita (Gerwani),
organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih
dari 20 juta anggota dan pendukung.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekret presiden - sekali lagi dengan dukungan penuh dari
PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para
jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana peristiwa G30-S/PKI?
2. Siapa saja yang menjadi korban G30-S/PKI?
3. Bagaimana penangkapan dan pembantaian PKI?

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Peristiwa G30-S/PKI
Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI),
Gestapu (Gerakan September Tiga Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober)
adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30 September
sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia
beserta beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta
yang kemudian dituduhkan kepada anggota partai komunis.
PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar
Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3
juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat
buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani
Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI
mempunyai lebih dari 20 juta anggota dan pendukung serta tersebar di seluruh
daerah yang luas.
Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan
konstitusi di bawah dekret presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Ia
memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan mengangkat para jendral
militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
"Demokrasi Terpimpin". PKI menyambut "Demokrasi Terpimpin" Sukarno
dengan hangat dan anggapan bahwa dia mempunyai mandat untuk
persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM.
Pada era "Demokrasi Terpimpin", kolaborasi antara kepemimpinan PKI
dan kaum borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen
kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah politis dan
ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign reserves
menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

2
3

PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk


Soekarno untuk memperkuat dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin
dan dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye untuk membentuk
"Angkatan Kelima" dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi
militer menentang hal ini.
Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha
menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan
militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan "kepentingan bersama"
polisi dan "rakyat". Pemimpin PKI D.N. Aidit mengilhami slogan "Untuk
Ketenteraman Umum Bantu Polisi". Di bulan Agustus 1964, Aidit
menganjurkan semua anggota PKI membersihkan diri dari "sikap-sikap
sektarian" kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua pengarang dan
seniman sayap-kiri untuk membuat "massa tentara" subyek karya-karya
mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak
merampas tanah dari para tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi
antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk mencegah
berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua
pendukungnya untuk mencegah pertentangan menggunakan kekerasan
terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan kerja sama dengan
unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata.
Pada permulaan 1965, para buruh mulai menyita perusahaan-perusahaan
karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini dengan
memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral
militer tingkat tinggi juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI tidak
hanya duduk di sebelah para petinggi militer di dalam kabinet Sukarno ini,
tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa angkatan
bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis "rakyat".
Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan
bersenjata di mana ia berbicara tentang "perasaan kebersamaan dan persatuan
yang bertambah kuat setiap hari antara tentara Republik Indonesia dan unsur-
unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis". Rejim Sukarno
4

mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok


di industri. Kepemimpinan PKI tidak berkeberatan karena industri menurut
mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM.
Tidak lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk
pembentukan rejim militer, menyatakan keperluan untuk pendirian "angkatan
kelima" di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja dan petani
yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri
sendiri untuk melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu,
kepemimpinan PKI malah berusaha untuk membatasi pergerakan massa yang
makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara. Mereka,
depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan
memperkuat negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI
bahwa "NASAKOMisasi" angkatan bersenjata dapat dicapai dan mereka akan
bekerja sama untuk menciptakan "angkatan kelima". Kepemimpinan PKI tetap
berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan
negara sedang diubah untuk memencilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat
negara.
Menjelang dilancarkannya G 30 S/PKI, banyak sekali kegiatan-kegiatan
yang dilaksanakannya oleh Biro Khusus PKI yang telah di bentuk pada tahun
1964 dengan mengadakan beberapa kali rapat rahasia yang di ikuti oleh
beberapa orang oknum ABRI. Rapat pertama 6 September 1965 yang di
laksanakan rumah Kapten Wahjudi Jl. Sindanglaya 5, Jakarta, diikuti oleh:
1. Sjam Kamaruzaman.
2. Pono (Soepono).
3. Letnan Kolonel Untung Sutopo (Komandan Batalion I Kawal Kehormatan
Resimen Cakrabirawa).
4. Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya).
5. Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU
Halim).
6. Mayor A. Sigit (Komandan Batalion 203 Brigade Infantri I Kodam
V/Jaya).
5

7. Kapten Wahjudi (Komandan Kompi Artileri sasaran Udara).


Rapat ini membicarakan tentang situasi umum sebelum gerakan dan isu
sakitnya Bung Karno. Selanjutnya Sjam melontarkan isu adanya Dewan
jendral yaitu yang mengungkapkan adanya beberapa petinggi Angkatan Darat
yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan
Cakrabirawa untuk menangkap dan membawa mereka untuk diadili oleh
Soekarno, dan dari ABRI pun terhasut dan ikut dalam gerakan yaitu Letnan
Kolonel Untung, Komandan Batalion 1 Resimen Cakrabirawa (pasukan
pengawal Presiden). Sjam kemudian menyampaikan instruksi Aidit untuk
mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan Jendral. Setelah rapat
pertama kemudian banyak diadakan lagi rapat-rapat selanjutnya guna
membahas persiapan serangan gerakan. Di antaranya rapat ke-2 pada tanggal 9
September 1965, rapat ke-3 tanggal 13 September 1965, rapat ke-4 tanggal 15
September 1965, rapat ke-5 tanggal 17 September 1965, rapat ke-6 19
September 1965, dan rapat ke-7 tanggal 22 September 1965, ke-8 24
September 1965, ke-9 tanggal 29 September 1965.
Pada rapat-rapat setelah rapat ke -6 membahas tentang penetapan sasaran
gerakan bagi masing-masing pasukan yang akan bergerak menculik atau
membunuh para jendral Angkatan Darat yang di beri nama pasukan Pasopati.
Pasukan teritorial dengan tugas menduduki gedung RRI dan gedung
Telekomunikasi di beri nama Pasukan Bimasakti kemudian pasukan yang
mengkoordinasi lubang Buaya di beri nama Pasukan Gatotkaca. Setelah
persiapan terakhir selesai, rapat terakhir di adakan tanggal 29 September 1965
yang dilaksanakan di rumah Sjam, gerakan itu dinamakan “Gerakan 30
September” (G 30 S/PKI atau Gestapu/PKI). Secara fisik-militer gerakan di
pimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion 1 Resimen
Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh
gerakan.
Pelaksanaan G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam
jenderal senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang
disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang dianggap loyal
6

kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung. Panglima
Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian
mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Tahunya Aidit akan jenis
sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja dihembuskan PKI
untuk memicu ketidakpastian di masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah
Undang-Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang
Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang sebenarnya merupakan kelanjutan
dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria yang
menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas
tani yang mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.

B. Korban G30-S/PKI
Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal
istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh
Letkol Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen
Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut.
Korban keenam pejabat tinggi yang dibunuh tersebut adalah:
1. Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani

2. Mayjen TNI R. Suprapto


7

3. Mayjen TNI M.T. Haryono

4. Mayjen TNI Siswondo Parman

5. Brigjen TNI DI Panjaitan


8

6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target
namun dia selamat dari upaya pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade
Irma Suryani Nasution dan ajudan AH Nasution, Lettu Pierre Tandean tewas
dalam usaha pembunuhan tersebut.
Selain itu beberapa orang lainnya juga turut menjadi korban:
1. Lettu Pierre Tandean
9

2. AIP Karel Satsuit Tubun

3. Brigjen Katamso Darmokusumo

4. Kolonel Sugiono
10

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede,


Jakarta yang dikenal sebagai Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3
Oktober setelah

C. Penangkapan dan Pembantaian PKI


Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung
PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua
partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja dan petani
Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk
disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah
(bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November) dan Bali (bulan Desember).
Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan persis - perkiraan
yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain
menyebut dua sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu
juta orang menjadi korban dalam bencana enam bulan yang mengikuti kudeta
itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti barisan Ansor NU dan
Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai
Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-
tempat tertentu sungai itu "terbendung mayat".
Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan
pendukung-pendukung PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan
11

ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya


perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA
[1] menangkapi semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan
melakukan pembantaian keji terhadap mereka, majalah "Time" memberitakan:
"Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian
sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di
Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat membusuk.
Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-
sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi
sungai menjadi terhambat secara serius."
Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling
sedikit 35.000 orang menjadi korban di permulaan 1966. Di sana para Tamin,
pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku pembunuhan-
pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung
bercerita tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-
galian dan tentang desa-desa yang separuh dibakar di mana para petani tidak
berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang sudah hangus.
Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-
teman mereka untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar
pemburuan-pemburuan rasialis "anti-Tionghoa" terjadi. Pekerja-pekerja dan
pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok sebagai protes
atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.
Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-
kamp konsentrasi. Diperkirakan sekitar 110,000 orang masih dipenjarakan
sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi masih dilakukan
sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tapol,
Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman dan
Nobertus Rohayan, dihukum mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa
pemberontakan yang dilakukan PKI, yang bertujuan untuk menyebarkan
paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini menimbulkan banyak
korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral Angkatan Darat
Indonesia. Gerakan PKI ini menjadi isu politik untuk menolak laporan
pertanggung jawaban Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan ditolaknya
laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang
berasaskan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi
dampak negatif dalam kehidupan sosial dan politik masyarakat Indonesia
yaitu Dampak politik dan Dampak Ekonomi. Setelah Supersemar diumumkan,
perjalanan politik di Indonesia mengalami masa transisi. Kepemimpinan
Soekarno kehilangan supremasinya. MPRS kemudian meminta Presiden
Soekarno untuk mempertanggungjawabkan hasil pemerintahannya, terutama
berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang Umum MPRS tahun 1966,
Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya,
khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI.

B. Saran
Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bangsa yang melupakan
sejarah, akan dengan mudah tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan
menjadi bangsa antah berantah.

12
DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September

https://id.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Revolusi_Indonesia

http://materiku86.blogspot.co.id/2016/03/peristiwa-lengkap-gerakan-30-
september-1965.html

Anda mungkin juga menyukai