Anda di halaman 1dari 12

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami yang
berjudul “Sistem Dan Struktur Politik Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru”Pada makalah ini
kami banyak mengambil dari berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai
pihak .oleh sebab itu, dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih sebesar-
sebesarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Penyusunan menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini sangat jauh dari sempurna,
untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
kesempurnaan laporan ini.
Akhir kata penyusun mengucapkan terima kasih dan semoga makalah ini dapat
bermanfaat untuk semua pihak yang membaca…

Penyusun
DAFTAR ISI

Kata Pengantar............................................................................................................. i

Daftar Isi...................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN............................................................................................. 1

A. Latar Belakang.................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah............................................................................................. 2

C. Tujuan................................................................................................................ 2

BAB II PEMBAHASAN.............................................................................................. 3

A. Masa Transisi 1966-1967.................................................................................. 3

B. Aksi-Aksi Tritura.............................................................................................. 3

C. Surat Perintah Sebelas Maret............................................................................ 5

D. Dualisme Kepemimpinan Nasional.................................................................. 7

BAB III PENUTUP.................................................................................................... 10

A. Kesimpulan..................................................................................................... 10

B. Saran................................................................................................................ 10

DAFTARPUSTAKA.................................................................................................. 11
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Orde baru merupakan sebuah istilah yang digunakan untuk memisahkan antara
kekuasaanmasa Sukarno (Orde Lama) dengan masa Suharto. Sebagai masa yang menandai
sebuah masa baru setelah pemberontakan Gerakan 30 September tahun 1965. Orde baru lahir
sebagai upayauntuk: mengoreksi total penyimpangan yang dilakukan pada masa Orde Lama,
penataan kembali seluruh aspek kehidupan rakyat, bangsa, dan negara
Indonesia,melaksanakan Pancasila dan UUD1945 secara murni dan konsekuen dan menyusun
kembali kekuatan bangsa untuk menumbuhkan stabilitas nasional guna mempercepat proses
pembangunan bangsa.
Setelah Orde Baru memegang talpuk kekuasaan dan mengendalikan pemerintahan,
muncul suatu keinginan untuk terus-menerus mempertahankan status quo. Hal ini
menimbulkan ekses-ekses negative, yaitu semakin jauh dari tekad awal Orde Baru tersebut.
Akhirnya berbagai macam penyelewengan dan penyimpangan dari nilai-nilai Pancasila dan
ketentuan-ketentuan yang terdapat pada UUD 1945, banyak dilakukan oleh pemerintah Orde
Baru. Penyelewengan dan penyimpangan yang dilakukannya itu direkayasa untuk melindungi
kepentingan penguasa, sehingga hal tersebut selalu dianggap sah dan benar, walaupun
merugikan rakyat.

A. Rumusan Masalah
1. Bagaimana masa transisi 1966-1967?
2. Bagaimana aksi-aksi tritura?
3. Apa isi surat perintah sebelas maret?
4. Bagaimana dualisme kepemimpinan nasional?

B. Tujuan Makalah
5. Untuk mengetahui masa transisi 1966-1967?
6. Untuk mengetahui aksi-aksi tritura?
7. Untuk mengetahui surat perintah sebelas maret?
8. Untuk mengetahui dualisme kepemimpinan nasional?
BAB II
PEEMBAHASAN

A. Masa Transisi 1966-1967


Lahirnya pemeritahan Orde Baru tidak bisa dilepaskan dari kondisi sosial politik di
masa itu. Pasca penumpasan G 30 S PKI, pemerintah ternyata belum sepenuhnya berhasil
melakukan penyelesaian politik terhadap peristiwa tersebut. Kondisi ini membuat situasi
politik tidak stabil. Kepercayaan masyarakat terhadap Presiden Soekarno semakin menurun.
Tanggal 25 Oktober 1965 para mahasiswa di Jakarta membentuk organisasi federasi yang
dinamakan KAMI dengan anggota antara lain terdiri dari HMI, PMKRI, PMII, dan GMNI.
Pimpinan KAMI berbentuk Presidium dengan ketua umum Zamroni (PMII). Pemuda dan
mahasiswa memiliki peran penting dalam transisi pemerintahan yang terjadi pada masa ini.
Tokoh-tokoh seperti Abdul Ghafur, Cosmas Batubara, Subhan ZE, Hari Tjan Silalahi
dan Sulastomo menjadi penggerak aksi-aksi yang menuntut Soekarno agar segera
menyelesaikan kemelut politik yang terjadi.

B. Aksi-Aksi Tritura
Naiknya Letnan Jenderal Soeharto ke kursi kepresidenan tidak dapat dilepaskan dari
peristiwa Gerakan 30 September 1965 atau G 30 S PKI. Ini merupakan peristiwa yang
menjadi titik awal berakhirnya kekuasaan Presiden Soekarno dan hilangnya kekuatan politik
PKI dari percaturan politik Indonesia. Peristiwa tersebut telah menimbulkan kemarahan
rakyat. Keadaan politik dan keamanan negara menjadi kacau, keadaan perekonomian makin
memburuk dimana inflasi mencapai 600% sedangkan upaya pemerintah melakukan devaluasi
rupiah dan kenaikan menyebabkan timbulnya keresahan masyarakat.
Memahami Teks RESIMEN CAKRABIRAWA Resimen Cakrabirawa merupakan
kesatuan pasukan gabungan dari TNI Angkatan Darat, Angkatan Laut, Angkatan Udara dan
Kepolisian yang bertugas khusus menjaga keamanan Presiden RI pada zaman pemerintahan
Soekarno. Sayangnya, sebagian anggota resimen ini kemudian berhasil dipengaruhi PKI dan
ikut terlibat dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965. Diantara mereka yang terlibat,
adalah Letkol Untung Syamsuri, salah seorang komandan Cakrabirawa yang justru menjadi
pemimpin G30S/PKI saat melakukan penculikan terhadap para perwira tinggi AD pada dini
hari tanggal 1 Oktober 1965. Pada zaman pemerintahan Soeharto, resimen ini dibubarkan.
Untuk mengawal Presiden, dibentuk kemudian kesatuan baru Paspampres (Pasukan
Pengaman Presiden) Aksi-aksi tuntutan penyelesaian yang seadil-adilnya terhadap pelaku
G30 S PKI semakin meningkat. Gerakan tersebut dipelopori oleh kesatuan aksi pemuda-
pemuda, mahasiswa dan pelajar (KAPPI, KAMI, KAPI), kemudian muncul pula KABI
(buruh), KASI (sarjana), KAWI (wanita), KAGI (guru) dan lain-lain. Kesatuan-kesatuan aksi
tersebut dengan gigih menuntut penyelesaian politis yang terlibat G-30S/PKI, dan kemudian
pada tanggal 26 Oktober 1965 membulatkan barisan mereka dalam satu front, yaitu Front
Pancasila.
Tuntutan rakyat banyak agar Presiden Soekarno membubarkan PKI ternyata tidak
dipenuhi Presiden. Untuk menenangkan rakyat Presiden Soekarno mengadakan perubahan
Kabinet Dwikora menjadi Kabinet 100 Menteri, yang ternyata belum juga memuaskan hati
rakyat karena di dalamnya masih bercokol tokoh-tokoh yang terlibat dalam peristiwa G30S
PKI. Pada saat pelantikan Kabinet 100 Menteri pada tgl 24 Pebruari 1966, para mahasiswa,
pelajar dan pemuda memenuhi jalan-jalan menuju Istana Merdeka.
Aksi itu dihadang oleh pasukan Cakrabirawa sehingga menyebabkan bentrok antara
pasukan Cakrabirawa dengan para demonstran yang menyebabkan gugurnya mahasiswa
Universitas Indonesia bernama Arief Rachman Hakim. Sebagai akibat dari aksi itu keesokan
harinya yaitu pada tanggal 25 Februari 1966 berdasarkan keputusan Panglima Komando
Ganyang Malaysia (Kogam) yaitu Presiden Soekarno sendiri, KAMI dibubarkan. Insiden
berdarah yang terjadi ternyata menyebabkan makin parahnya krisis kepemimpinan nasional.
Keputusan membubarkan KAMI dibalas oleh mahasiswa Bandung dengan mengeluarkan
“Ikrar Keadilan dan Kebenaran” yang memprotes pembubaran KAMI dan mengajak rakyat
untuk meneruskan perjuangan. Perjuangan KAMI kemudian dilanjutkan dengan munculnya
masa Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), krisis nasional makin tidak terkendalikan.
Dalam pada itu mahasiswa membentuk Resimen Arief Rachman Hakim. Melanjutkan aksi
KAMI.
Protes terhadap pembubaran KAMI juga dilakukan oleh Front Pancasila, dan meminta
kepada pemerintah agar meninjau kembali pembubaran KAMI. Dalam suasana yang
demikian, pada 8 Maret 1966 para pelajar dan mahasiswa yang melakukan demonstrasi
menyerbu dan mengobrak–abrik gedung Departemen Luar Negeri, selain itu mereka juga
membakar kantor berita Republik Rakyat Cina (RRC), Hsin Hua. Aksi para demonstran
tersebut menimbulkan kemarahan Presiden Soekarno. Pada hari itu juga Presiden
mengeluarkan perintah harian supaya agar seluruh komponen bangsa waspada terhadap
usaha-usaha “membelokkan jalannya revolusi kita ke kanan”, dan supaya siap sedia untuk
menghancurkan setiap usaha yang langsung maupun tidak langsung bertujuan merongrong
kepemimpinan, kewibawaan, atau kebijakan Presiden, serta memperhebat “pengganyangan
terhadap Nekolim serta proyek “British Malaysia”
C. Surat Perintah Sebelas Maret
Untuk mengatasi krisis politik yang memuncak, pada tanggal 11 Maret 1966
Soekarno mengadakan sidang kabinet. Sidang ini ternyata diboikot oleh para demonstran
yang tetap menuntut Presiden Soekarno agar membubarkan PKI, dengan melakukan
pengempesan ban-ban mobil pada jalan-jalan yang menuju ke Istana. Belum lama Presiden
berpidato dalam sidang, ia diberitahu oleh Brigjen Sabur, Komandan Cakrabirawa bahwa di
luar istana terdapat pasukan tanpa tanda pengenal dengan seragamnya. Meskipun ada jaminan
dari Pangdam V/Jaya Amir Machmud, yang hadir waktu itu, bahwa keadaan tetap aman,
Presiden Soekarno tetap merasa khawatir dan segera meninggalkan sidang. Tindakan itu
diikuti oleh Waperdam I Dr.Subandrio dan Waperdam III Dr.Chaerul Saleh yang bersama-
sama dengan Presiden segera menuju Bogor dengan helikopter. Sidang kemudian ditutup
oleh Waperdam II Dr.J. Leimena, yang kemudian menyusul ke Bogor dengan mobil.
Dipenuhi dan rasa ketakutan rakyat dihilangkan dengan jalan membubarkan PKI yang
telah melakukan pemberontakan. Sebaliknya Presiden Soekarno menyatakan bahwa ia tidak
mungkin membubarkan PKI karena hal itu bertentangan dengan doktrin Nasakom yang telah
dicanangkan ke seluruh dunia. Dalam pertemuan-pertemuan selanjutnya perbedaan paham itu
tetap muncul. Pada suatu ketika Soeharto menyediakan diri untuk membubarkan PKI asal
mendapat kebebasan bertindak dari Presiden. Pesan Soeharto yang disampaikan kepada
ketiga orang perwira tinggi yang akan berangkat ke Bogor mengacu kepada kesanggupan
tersebut. Di Istana Bogor ketiga perwira tinggi mengadakan pembicaraan dengan Presiden
yang didampingi oleh Dr. Subandrio, Dr. J Leimena dan Dr. Chaerul Saleh.
Tindakan pertama yang dilakukan oleh Soeharto keesokan harinya setelah menerima
Surat Perintah tersebut adalah membubarkan dan melarang PKI beserta organisasi massanya
yang bernaung dan berlindung ataupun seasas dengannya di seluruh Indonesia, terhitung
sejak tanggal 12 Maret 1966. Pembubaran itu mendapat dukungan dari rakyat, karena dengan
demikian salah satu diantara Tritura telah dilaksanan.
Selain itu Letjen. Soeharto juga menyerukan kepada pelajar dan mahasiswa untuk
kembali ke sekolah. Tindakan berikutnya berdasarkan Supersemar adalah dikeluarkannya
Keputusan Presiden No. 5 tanggal 18 Maret 1966 tentang penahanan 15 orang menteri yang
diduga terkait dengan pemberontakan G-30-S PKI ataupun dianggap memperlihatkan iktikad
tidak baik dalam penyelesaian masalah itu. Demi lancarnya tugas pemerintah, Letjen.
Soeharto mengangkat lima orang menteri koordinator ad interim yang menjadi Presidium
Kabinet. Kelima orang tersebut ialah Sultan Hamengkubuwono IX, Adam Malik. Dr Roeslan
Abdulgani, Dr. K.H. Idham Chalid dan Dr. J. Leimena.
Ada beberapa faktor yang melatar belakangi lahirnya Supersemar, diantaranya:
1. Situasi negara secara umum dalam keadaan kacau dan genting
2. Untuk mengatasi situasi yang tak menentu akibat pemberontakan G 30 S/PKI
3. Menyelamatkan Negara Kesatuan Republik Indonesia
4. Untuk memulihkan keadaan dan wibawa pemerintah.

D. Dualisme Kepemimpinan Nasional


Memasuki tahun 1966 terlihat gejala krisis kepemimpinan nasional yang mengarah
pada dualisme kepemimpinan. Disatu pihak Presiden Soekarno masih menjabat presiden,
namun pamornya telah kian merosot. Soekarno dianggap tidak aspiratif terhadap tuntutan
masyarakat yang mendesak agar PKI dibubarkan. Hal ini ditambah lagi dengan ditolaknya
pidato pertanggungjawabannya hingga dua kali oleh MPRS. Sementara itu Soeharto setelah
mendapat Surat Perintah Sebelas Maret dari Presiden Soekarno dan sehari sesudahnya
membubarkan PKI, namanya semakin populer. Dalam pemerintahan yang masih dipimpin
oleh Soekarno, Soeharto sebagai pengemban Supersemar, diberi mandat oleh MPRS untuk
membentuk kabinet, yang diberi nama Kabinet Ampera. Meskipun Soekarno masih
memimpin sebagai pemimpin kabinet, tetapi pelaksanaan pimpinan dan tugas harian
dipegang oleh Soeharto.
Kondisi seperti ini berakibat pada munculnya “dualisme kepemimpinan nasional”,
yaitu Soekarno sebagai pimpinan pemerintahan sedangkan Soeharto sebagai pelaksana
pemerintahan. Presiden Soekarno sudah tidak banyak melakukan tindakan-tindakan
pemerintahan, sedangkan sebaliknya Letjen. Soeharto banyak menjalankan tugas-tugas harian
pemerintahan. Adanya “Dualisme kepemimpinan nasional” ini akhirnya menimbulkan
pertentangan politik dalam masyarakat, yaitu mengarah pada munculnya pendukung
Soekarno dan pendukung Soeharto. Hal ini jelas membahayakan persatuan dan kesatuan
bangsa.
Dalam Sidang MPRS yang digelar sejak akhir bulan Juni sampai awal Juli 1966
memutuskan menjadikan Supersemar sebagai Ketetapan (Tap) MPRS. Dengan dijadikannya
Supersemar sebagai Tap MPRS secara hukum Supersemar tidak lagi bisa dicabut sewaktu-
waktu oleh Presiden Soekarno. Bahkan sebaliknya secara hukum Soeharto mempunyai
kedudukan yang sama dengan Soekarno, yaitu Mandataris MPRS. Dalam Sidang MPRS itu
juga, majelis mulai membatasi hak prerogatif Soekarno selaku Presiden. Secara eksplisit
dinyatakan bahwa gelar “Pemimpin Besar Revolusi” tidak lagi mengandung kekuatan
hukum.
Presiden sendiri masih diizinkan untuk membacakan pidato pertanggungjawabannya
yang diberi judul “Nawaksara”. Pada tanggal 22 Juni 1966, presiden Soekarno
menyampaikan pidato “Nawaksara” dalam persidangan MPRS. “Nawa” berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti sembilan, dan “Aksara” berarti huruf atau istilah. Pidato itu memang
berisi sembilan pokok persoalan yang dianggap penting oleh presiden Soekarno selaku
mandataris MPR. Isi pidato tersebut hanya sedikit menyinggung sebab-sebab meletusnya
peristiwa berdarah yang terjadi pada tanggal 30 September 1965.
Pengabaian peristiwa yang mengakibatkan gugurnya sejumlah jenderal angkatan darat
itu tidak memuaskan anggota MPRS. Melalui Keputusan Nomor 5/MPRS/1966, MPRS
memutuskan untuk minta kepada presiden agar melengkapi laporan pertanggung jawabannya,
khususnya mengenai sebab-sebab terjadinya peristiwa Gerakan 30 September beserta
epilognya dan masalah kemunduran ekonomi serta akhlak. Pada tanggal 10 Januari 1967
Presiden menyampaikan surat kepada pimpinan MPRS yang berisi Pelengkap Nawaksara.
Dalam Pelnawaksara itu presiden mengemukakan bahwa mandataris MPRS hanya
mempertanggungjawabkan pelaksanaan Garis-garis Besar Haluan Negara dan bukan hal-hal
yang lain.
Nawaksara baginya hanya sebagai progress report yang ia sampaikan secara sukarela.
Ia juga menolak untuk seorang diri mempertanggungjawabkan terjadinya peristiwa Gerakan
30 September, kemerosotan ekonomi, dan akhlak. Sementara itu, sebuah kabinet baru telah
terbentuk dan diberi nama Kabinet Ampera (Amanat Penderitaan Rakyat). Kabinet tersebut
diresmikan pada 28 Juli 1966. Kabinet ini mempunyai tugas pokok untuk menciptakan
stabilitas politik dan ekonomi. Program kabinet tersebut antara lain adalah memperbaiki
kehidupan rakyat, terutama di bidang sandang dan pangan, dan melaksanakan pemilihan
umum sesuai dengan Ketetapan MPR RI No. XI/MPRS/1966. Sesuai dengan UUD 1945,
Presiden Soekarno adalah pemimpin Kabinet. Akan tetapi pelaksanaan pimpinan
pemerintahan dan tugas harian dilakukan oleh Presidium Kabinet yang diketuai oleh Letnan
Jenderal Soeharto.
Sehubungan dengan permasalahan yang ditimbulkan oleh “Pelengkap Nawaksara”
dan bertambah gawatnya keadaan politik pada 9 Februari 1967 DPRGR mengajukan resolusi
dan memorandum kepada MPRS agar mengadakan Sidang Istimewa. Sementara itu usaha-
usaha untuk menenangkan keadaan berjalan terus. Untuk itu pimpinan ABRI mengadakan
pendekatan pribadi kepada Presiden Soekarno agar ia menyerahkan kekuasaan kepada
pengemban ketetapan MPRS RI No. IX/MPRS/1966, yaitu Jenderal Soeharto sebelum Sidang
Umum MPRS. Hal ini untuk mencegah perpecahan di kalangan rakyat dan untuk
menyelamatkan lembaga kepresidenan dan pribadi Presiden Soekarno.
Kemudian, Presiden menulis nota pribadi kepada Jenderal Soeharto. Pada 7 Februari
1967, Mr. Hardi menemui Jenderal Soeharto dan menyerahkan konsep tersebut. Pada 8
Februari 1967, Soeharto membahas surat Presiden bersama keempat Panglima Angkatan.
Para panglima berkesimpulan bahwa draft surat tersebut tidak dapat diterima karena bentuk
surat penugasan tersebut tidak membantu menyelesaikan situasi konflik. Kesimpulan itu
disampaikan Soeharto kepada presiden Soekarno pada 10 februari 1967.
Presidenmenanyakan kemungkinan mana yang terbaik. Soeharto mengajukan draft berisi
pernyataan bahwa Presiden berhalangan, atau menyerahkan kekuasaan kepada Pengemban
Surat Perintah 11 Maret 1966.
Pada awalnya Presiden Soekarno tidak berkenan dengan usulan draft tersebut, namun
kemudian sikap Presiden Soekarno melunak, ia memerintahkan agar Soeharto beserta
Panglima Angkatan berkumpul di Bogor pada hari Minggu tanggal 19 Februari 1967,
Presiden menyetujui draft yang dibuat, dan pada tanggal 20 Februari draft surat itu telah
ditandatangani oleh Presiden. Ia meminta agar diumumkan pada hari Rabu tanggal 22
Februari 1967. Tepat pada pukul 19.30, Presiden Soekarno membacakan pengumuman resmi
pengunduran dirinya.
Pada tanggal 12 Maret 1967 Jenderal Soeharto dilantik menjadi pejabat Presiden
Republik Indonesia oleh Ketua MPRS Jenderal Abdul Haris Nasution. Setelah setahun
menjadi pejabat presiden, Soeharto dilantik menjadi Presiden Republik Indonesia pada
tanggal 27 Maret 1968 dalam Sidang Umum V MPRS. Melalui Tap No. XLIV/MPRS/1968,
Jenderal Soeharto dikukuhkan sebagai Presiden Republik Indonesia hingga terpilih presiden
oleh MPR hasil pemilu. Pengukuhan tersebut menandai berakhirnya dualisme kepemimpinan
nasional dan dimulainya pemerintahan Orde Baru.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Sejalan dengan dasar empirik sebelumnya, masa awal orde baru ditandai oleh
terjadinya perubahan besar dalam pegimbangan politik di dalam Negara dan
masyarakat, sebelumya pada era Orde Lama kita tahu bahwa pusat kekuasaan ada di
tangan presiden, militer dan PKI. Namun pada Orde Baru terjadi pergeseran pusat
kekuasaan dimana dibagi dalam militer, teknokrat, dan kemudian birokrasi. Namun
harapan itu akhirnya menemui ajalnya ketika pada pemilu 1971, golkar secara
mengejutkan memenangi pemilu lebih dari separuh suara dalam pemilu.
Itulah beberapa sekelumit cerita tentang dan Orde Baru, tentang bagaimana
kehidupan sosial, politik dan ekonomi di masa itu. Yang kemudian pada orde baru
akhirnya tumbang bersamaan dengan tumbangnya Pak Harto atas desakan para
mahasiswa di depan gendung DPR yang akhrinya pada saat itu titik tolak era
Reformasi lahir. Dan pasca reformasilah demokrasi yang bisa dikatakan demokrasi
yang di Inginkan pada saat itu perlahan-lahan mulai tumbuh hingga sekarang ini.

B. Saran
Sejak orde lama hingga reformasi, birokrasi selalu menjadi alat politik yang
efisien dalam melanggengkan kekuasaan. Bahkan masa orde baru, birokrasi sipil
maupun militer secara terang-terangan mendukung pemerintah dalam mobilisai
dukungan dan finansial. Hal serupa juga masih terjadi pada masa reformasi, namun
hanya di beberapa daerah. Beberapa kasus dalam Pilkada yang sempat terekam oleh
media menjadi salah satu bukti nyata masih adanya penggunaan birokrasi untuk
suksesi.
Mungkin dalam hal ini, kita sebagai penerus bangsa harus mampu dan terus
bersaing dalam mewujudkan Indonesia yang lebih baik dari sebelumnya , harga diri
bangsa Indonesia adalah mencintai dan menjaga aset Negara untuk dijadikan
simpanan buat anak cucu kelak. Dalam proses pembangunan bangsa ini harus bisa
menyatukan pendapat demi kesejahteraan masyarakat umumnya.
DAFTAR PUSTAKA

Budiardjo, Miriam. 2006. Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
http://saiyanadia.wordpress.com/2010/11/20/pengertian-sistem-politik-indonesia/
http://alfiyanfaqih.blogspot.com/2011/10/kelebihan-dan-kekurangan-
sistem.html#ixzz29d3VP3jN
http://isjd.pdii.lipi.go.id/admin/jurnal/15308323331.pdf
http://hengkikomarudin.wordpress.com/2010/07/14/sistem-politik-indonesia-di-era-orde-
baru/
MAKALAH
Sistim Dan Struktur Ekonomi Indonesia Masa Orde Baru

Oleh :

Kelompok 1
Nurmadina
Nila
Wahyuni
Sucinuraziza

SMAN 1 TINAMBUNG
Tahun Pelajaran 2019/2020

Anda mungkin juga menyukai