Anda di halaman 1dari 8

Gerakan 30 September PKI

Oleh NAJWA TRI MULYANI

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur ke hadirat Allah SWT karena atas taufik dan rahmat-Nya kami dapat
menyelesaikan makalah ini. Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita,
Nabi Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan semoga kita termasuk
dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.

Dalam kesempatan ini, kami ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah berkenan
membantu pada tahap penyusunan hingga selesainya makalah ini. Harapan kami semoga makalah yang
telah tersusun ini dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya saya dapat memperbaiki bentuk ataupun isi
makalah ini menjadi lebih baik lagi.

Kami sadar bahwa kami ini tentunya tidak lepas dari banyaknya kekurangan, baik dari aspek kualitas
maupun kuantitas dari bahan penelitian yang dipaparkan. Semua ini murni didasari oleh keterbatasan
yang dimiliki kami. Oleh sebab itu, kami membutuhkan kritik dan saran kepada segenap pembaca yang
bersifat membangun untuk lebih meningkatkan kualitas di kemudian hari.

Indonesia, Mei 2021

Penyusun

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR

DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah
BAB II PEMBAHASAN

A. Peristiwa G30-S/PKI

B. Korban G30-S/PKI

C. Penangkapan dan Pembantaian PKI

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan

B. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Download Contoh Makalah Gerakan 30 September PKI.docx

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Partai Komunis Indonesia (PKI) merupakan partai komunis yang terbesar di seluruh dunia, di luar
Tiongkok dan Uni Soviet. Sampai pada tahun 1965 anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3
juta dari pergerakan pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5
juta anggota dan pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk
pergerakan wanita (Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai
lebih dari 20 juta anggota dan pendukung.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret
presiden sekali lagi dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata
dengan mengangkat para jenderal militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem
“Demokrasi Terpimpin“. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan
bahwa dia mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama, dan
Komunis yang dinamakan NASAKOM.

B. Rumusan Masalah

Bagaimana peristiwa G30-S/PKI?

Siapa saja yang menjadi korban G30-S/PKI?


Bagaimana penangkapan dan pembantaian PKI?

BAB II

PEMBAHASAN

A. Peristiwa G30-S/PKI

Gerakan 30 September (dahulu juga disingkat G 30 S PKI, G-30S/PKI), Gestapu (Gerakan September Tiga
Puluh), Gestok (Gerakan Satu Oktober) adalah sebuah peristiwa yang terjadi selewat malam tanggal 30
September sampai di awal 1 Oktober 1965 di mana enam perwira tinggi militer Indonesia beserta
beberapa orang lainnya dibunuh dalam suatu usaha percobaan kudeta yang kemudian dituduhkan
kepada anggota partai komunis. PKI merupakan partai Stalinis yang terbesar di seluruh dunia, di luar
Tiongkok dan Uni Soviet. Anggotanya berjumlah sekitar 3,5 juta, ditambah 3 juta dari pergerakan
pemudanya. PKI juga mengontrol pergerakan serikat buruh yang mempunyai 3,5 juta anggota dan
pergerakan petani Barisan Tani Indonesia yang mempunyai 9 juta anggota. Termasuk pergerakan wanita
(Gerwani), organisasi penulis dan artis dan pergerakan sarjananya, PKI mempunyai lebih dari 20 juta
anggota dan pendukung serta tersebar di seluruh daerah yang luas.

Pada bulan Juli 1959 parlemen dibubarkan dan Sukarno menetapkan konstitusi di bawah dekret
presiden dengan dukungan penuh dari PKI. Ia memperkuat tangan angkatan bersenjata dengan
mengangkat para jendral militer ke posisi-posisi yang penting. Sukarno menjalankan sistem “Demokrasi
Terpimpin”. PKI menyambut “Demokrasi Terpimpin” Sukarno dengan hangat dan anggapan bahwa dia
mempunyai mandat untuk persekutuan Konsepsi yaitu antara Nasionalis, Agama dan Komunis yang
dinamakan NASAKOM. Pada era “Demokrasi Terpimpin”, kolaborasi antara kepemimpinan PKI dan kaum
borjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan independen kaum buruh dan petani, gagal
memecahkan masalah-masalah politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun,
foreign reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer menjadi wabah.

PKI telah menguasai banyak dari organisasi massa yang dibentuk Soekarno untuk memperkuat
dukungan untuk rezim Demokrasi Terpimpin dan dengan persetujuan dari Soekarno, memulai kampanye
untuk membentuk “Angkatan Kelima” dengan mempersenjatai pendukungnya. Para petinggi militer
menentang hal ini. Dari tahun 1963, kepemimpinan PKI makin lama makin berusaha menghindari
bentrokan-bentrokan antara aktivis massanya dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI
mementingkan “kepentingan bersama” polisi dan “rakyat”. Pemimpin PKI D.N. Aidit mengilhami slogan
“Untuk Ketenteraman Umum Bantu Polisi”. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota
PKI membersihkan diri dari “sikap-sikap sektarian” kepada angkatan bersenjata, mengimbau semua
pengarang dan seniman sayap-kiri untuk membuat “massa tentara” subyek karya-karya mereka.
Di akhir 1964 dan permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para tuan tanah
besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan polisi dan para pemilik tanah. Untuk
mencegah berkembangnya konfrontasi revolusioner itu, PKI mengimbau semua pendukungnya untuk
mencegah pertentangan menggunakan kekerasan terhadap para pemilik tanah dan untuk meningkatkan
kerja sama dengan unsur-unsur lain, termasuk angkatan bersenjata. Pada permulaan 1965, para buruh
mulai menyita perusahaan-perusahaan karet dan minyak milik AS. Kepemimpinan PKI menjawab ini
dengan memasuki pemerintahan dengan resmi. Pada waktu yang sama, jendral-jendral militer tingkat
tinggi juga menjadi anggota kabinet. Menteri-menteri PKI tidak hanya duduk di sebelah para petinggi
militer di dalam kabinet Sukarno ini, tetapi mereka terus mendorong ilusi yang sangat berbahaya bahwa
angkatan bersenjata adalah merupakan bagian dari revolusi demokratis “rakyat”.

Aidit memberikan ceramah kepada siswa-siswa sekolah angkatan bersenjata di mana ia berbicara
tentang “perasaan kebersamaan dan persatuan yang bertambah kuat setiap hari antara tentara
Republik Indonesia dan unsur-unsur masyarakat Indonesia, termasuk para komunis”. Rejim Sukarno
mengambil langkah terhadap para pekerja dengan melarang aksi-aksi mogok di industri. Kepemimpinan
PKI tidak berkeberatan karena industri menurut mereka adalah milik pemerintahan NASAKOM. Tidak
lama PKI mengetahui dengan jelas persiapan-persiapan untuk pembentukan rejim militer, menyatakan
keperluan untuk pendirian “angkatan kelima” di dalam angkatan bersenjata, yang terdiri dari pekerja
dan petani yang bersenjata. Bukannya memperjuangkan mobilisasi massa yang berdiri sendiri untuk
melawan ancaman militer yang sedang berkembang itu, kepemimpinan PKI malah berusaha untuk
membatasi pergerakan massa yang makin mendalam ini dalam batas-batas hukum kapitalis negara.

Mereka, depan jendral-jendral militer, berusaha menenangkan bahwa usul PKI akan memperkuat
negara. Aidit menyatakan dalam laporan ke Komite Sentral PKI bahwa “NASAKOMisasi” angkatan
bersenjata dapat dicapai dan mereka akan bekerja sama untuk menciptakan “angkatan kelima”.
Kepemimpinan PKI tetap berusaha menekan aspirasi revolusioner kaum buruh di Indonesia. Di bulan
Mei 1965, Politbiro PKI masih mendorong ilusi bahwa aparatur militer dan negara sedang diubah untuk
memencilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat negara. Menjelang dilancarkannya G 30 S/PKI, banyak
sekali kegiatan-kegiatan yang dilaksanakannya oleh Biro Khusus PKI yang telah dibentuk pada tahun
1964 dengan mengadakan beberapa kali rapat rahasia yang diikuti oleh beberapa orang oknum ABRI.
Rapat pertama 6 September 1965 yang dilaksanakan rumah Kapten Wahjudi Jl. Sindanglaya 5, Jakarta,
diikuti oleh:

1. Sjam Kamaruzaman.

2. Pono (Soepono).

3. Letnan Kolonel Untung Sutopo (Komandan Batalion I Kawal Kehormatan Resimen Cakrabirawa).
4. Kolonel A. Latief (Komandan Brigade Infantri I Kodam V/Jaya).

5. Mayor Udara Suyono (Komandan Pasukan Pengawal Pangkalan (P3) PAU Halim).

6. Mayor A. Sigit (Komandan Batalion 203 Brigade Infantri I Kodam V/Jaya).

7. Kapten Wahjudi (Komandan Kompi Artileri sasaran Udara).

Rapat ini membicarakan tentang situasi umum sebelum gerakan dan isu sakitnya Bung Karno.
Selanjutnya Sjam melontarkan isu adanya Dewan Jendral yaitu yang mengungkapkan adanya beberapa
petinggi Angkatan Darat yang tidak puas terhadap Soekarno dan berniat untuk menggulingkannya.
Menanggapi isu ini, Soekarno disebut-sebut memerintahkan pasukan Cakrabirawa untuk menangkap
dan membawa mereka untuk diadili oleh Soekarno, dan dari ABRI pun terhasut dan ikut dalam gerakan
yaitu Letnan Kolonel Untung, Komandan Batalion 1 Resimen Cakrabirawa (pasukan pengawal Presiden).
Sjam kemudian menyampaikan instruksi Aidit untuk mengadakan gerakan mendahului kudeta Dewan
Jendral. Setelah rapat pertama kemudian banyak diadakan lagi rapat-rapat selanjutnya guna membahas
persiapan serangan gerakan. Di antaranya rapat ke-2 pada tanggal 9 September 1965, rapat ke-3 tanggal
13 September 1965, rapat ke-4 tanggal 15 September 1965, rapat ke-5 tanggal 17 September 1965,
rapat ke-6 19 September 1965, dan rapat ke-7 tanggal 22 September 1965, ke-8 24 September 1965, ke-
9 tanggal 29 September 1965.

Pada rapat-rapat setelah rapat ke -6 membahas tentang penetapan sasaran gerakan bagi masing-masing
pasukan yang akan bergerak menculik atau membunuh para jendral Angkatan Darat yang diberi nama
Pasukan Pasopati. Pasukan teritorial dengan tugas menduduki gedung RRI dan gedung Telekomunikasi
di beri nama Pasukan Bimasakti kemudian pasukan yang mengkoordinasi lubang Buaya di beri nama
Pasukan Gatotkaca. Setelah persiapan terakhir selesai, rapat terakhir di adakan tanggal 29 September
1965 yang dilaksanakan di rumah Sjam, gerakan itu dinamakan “Gerakan 30 September” (G 30 S/PKI
atau Gestapu/PKI). Secara fisik-militer gerakan di pimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan
Batalion 1 Resimen Cakrabirawa (Pasukan Pengawal Presiden) selaku pimpinan formal seluruh gerakan.

Pelaksanaan G30S/PKI 1965 Pada 1 Oktober 1965 dini hari, enam jenderal senior dan beberapa orang
lainnya dibunuh dalam upaya kudeta yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang
dianggap loyal kepada PKI dan pada saat itu dipimpin oleh Letkol Untung. Panglima Komando Strategi
Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan
tersebut. Tahunya Aidit akan jenis sakitnya Sukarno membuktikan bahwa hal tersebut sengaja
dihembuskan PKI untuk memicu ketidakpastian di masyarakat. Pada tahun 1960 keluarlah Undang-
Undang Pokok Agraria (UU Pokok Agraria) dan Undang-Undang Pokok Bagi Hasil (UU Bagi Hasil) yang
sebenarnya merupakan kelanjutan dari Panitia Agraria yang dibentuk pada tahun 1948. Panitia Agraria
yang menghasilkan UUPA terdiri dari wakil pemerintah dan wakil berbagai ormas tani yang
mencerminkan 10 kekuatan partai politik pada masa itu.
B. Korban G30-S/PKI

Pada 30 September 1965, enam jendral senior dan beberapa orang lainnya dibunuh dalam upaya kudeta
yang disalahkan kepada para pengawal istana (Cakrabirawa) yang loyal kepada PKI dan pada saat itu
dipimpin oleh Letkol Untung. Panglima Komando Strategi Angkatan Darat saat itu, Mayjen Soeharto
kemudian mengadakan penumpasan terhadap gerakan tersebut. Korban keenam pejabat tinggi yang
dibunuh tersebut adalah:

1. Panglima Angkatan Darat Letjen TNI Ahmad Yani

2. Mayjen TNI R. Suprapto

3. Mayjen TNI M.T. Haryono

4. Mayjen TNI Siswondo Parman

5. Brigjen TNI D.I. Panjaitan

6. Brigjen TNI Sutoyo Siswomiharjo

Jenderal TNI A.H. Nasution juga disebut sebagai salah seorang target namun dia selamat dari upaya
pembunuhan tersebut. Sebaliknya, putrinya Ade Irma Suryani Nasution dan ajudan A.H. Nasution, Lettu
Pierre Tandean tewas dalam usaha pembunuhan tersebut. Selain itu beberapa orang lainnya juga turut
menjadi korban:

1. Lettu Pierre Tandean

2. AIP Karel Satsuit Tubun

3. Kolonel Katamso Darmokusumo

4. Kolonel Sugiono

Para korban tersebut kemudian dibuang ke suatu lokasi di Pondok Gede, Jakarta yang dikenal sebagai
Lubang Buaya. Mayat mereka ditemukan pada 3 Oktober.

C. Penangkapan dan Pembantaian PKI

Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan pendukung PKI, atau mereka yang dianggap
sebagai anggota dan simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu pekerja
dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-kamp tahanan untuk disiksa dan
diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan
November) dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak diketahui dengan
persis, perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000 orang, sementara perkiraan lain menyebut dua
sampai tiga juta orang. Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam bencana
enam bulan yang mengikuti kudeta itu.

Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari organisasi-organisasi muslim sayap-
kanan seperti Barisan Ansor NU dan Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan
massal, terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa Sungai Brantas di dekat
Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung
mayat”. Pada akhir 1965, antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung PKI
telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi,
tanpa adanya perlawanan sama sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi
semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan pembantaian keji terhadap mereka,
majalah “Time” memberitakan:

“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian sehingga pembuangan mayat
menyebabkan persoalan sanitasi yang serius di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa
bau mayat membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita tentang sungai-sungai
kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara
serius.”

Di pulau Bali, yang sebelum itu dianggap sebagai kubu PKI, paling sedikit 35.000 orang menjadi korban di
permulaan 1966. Di sana para Tamin, pasukan komando elite Partai Nasional Indonesia, adalah pelaku
pembunuhan-pembunuhan ini. Koresponden khusus dari Frankfurter Allgemeine Zeitung bercerita
tentang mayat-mayat di pinggir jalan atau dibuang ke dalam galian-galian dan tentang desa-desa yang
separuh dibakar di mana para petani tidak berani meninggalkan kerangka-kerangka rumah mereka yang
sudah hangus. Di daerah-daerah lain, para terdakwa dipaksa untuk membunuh teman-teman mereka
untuk membuktikan kesetiaan mereka. Di kota-kota besar pemburuan-pemburuan rasialis “anti-
Tionghoa” terjadi. Pekerja-pekerja dan pegawai-pegawai pemerintah yang mengadakan aksi mogok
sebagai protes atas kejadian-kejadian kontra-revolusioner ini dipecat.

Paling sedikit 250,000 orang pekerja dan petani dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi. Diperkirakan
sekitar 110.000 orang masih dipenjarakan sebagai tahanan politik pada akhir 1969. Eksekusi-eksekusi
masih dilakukan sampai sekarang, termasuk belasan orang sejak tahun 1980-an. Empat tahanan politik,
Johannes Surono Hadiwiyino, Safar Suryanto, Simon Petrus Sulaeman, dan Nobertus Rohayan, dihukum
mati hampir 25 tahun sejak kudeta itu.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Peristiwa G 30S/PKI yang lebih dikenal dengan peristiwa pemberontakan yang dilakukan PKI, yang
bertujuan untuk menyebarkan paham komunis di Indonesia. Pemberontakan ini menimbulkan banyak
korban, dan banyak korban berasal dari para Jendral Angkatan Darat Indonesia. Gerakan PKI ini menjadi
isu politik untuk menolak laporan pertanggung jawaban Presiden Soekarno kepada MPRS. Dengan
ditolaknya laporan Presiden Soekarno ini, maka Indonesia kembali ke pemerintahan yang berasaskan
kepada Pancasila dan UUD 1945.

Peristiwa G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia telah memberi dampak negatif dalam kehidupan
sosial dan politik masyarakat Indonesia yaitu dampak politik dan dampak ekonomi. Setelah Supersemar
diumumkan, perjalanan politik di Indonesia mengalami masa transisi. Kepemimpinan Soekarno
kehilangan supremasinya. MPRS kemudian meminta Presiden Soekarno untuk
mempertanggungjawabkan hasil pemerintahannya, terutama berkaitan dengan G30S/PKI. Dalam Sidang
Umum MPRS tahun 1966, Presiden Soekarno memberikan pertanggung jawaban pemerintahannya,
khususnya mengenai masalah yang menyangkut peristiwa G30S/PKI.

B. Saran

Jangan sekali-kali meninggalkan sejarah. Bangsa yang melupakan sejarah, akan dengan mudah
tercerabut dari akar sejarah itu sendiri, dan menjadi bangsa antah berantah.

DAFTAR PUSTAKA

https://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September

https://id.wikipedia.org/wiki/Pahlawan_Revolusi_Indonesia

http://materiku86.blogspot.co.id/2016/03/peristiwa-lengkap-gerakan-30-september-1965.html

Anda mungkin juga menyukai