Anda di halaman 1dari 14

TELAAH KASUS PKI DI INDONESIA

Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata kuliah Pendidikan Demokrasi dan HAM
Program Studi Ilmu Sosial dan Humaniora

Dosen Pengampu Mata Kuliah :


Dr. Yayuk Chayatun Machsunah, M.Pd.
M. Saunan Al Faruq, M.Pd.

Oleh:
1. Muhammad Luqman Afandi 215650016
2. Nanda Dwi Novita 215650026
3. Salwa Syafira Shofiyinah 215650003

UNIVERSITAS PGRI ADI BUANA KAMPUS LAMONGAN


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN HUMANIORA
PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAAN
2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang melimpahkan rahmat, hidayah dan inayah-Nya sehingga
kami mampu menyelesaikan makalah ini dengan segenap keterbatasan kemampuan yang kami
miliki. Shalawat serta salam kami haturkan kepada Rasullah SAW sebagai suri tauladan dan
pembimbing ke era pencerahan intelektual dan spriritual. Penulisan makalah dengan judul
“Telaah Kasus PKI di Indonesia” ini adalah bentuk rangkaian tugas mata kuliah Pendidikan
Demokrasi dan HAM.
Sebagai manusia biasa yang sering melakukan kesalahan dan memiliki berbagai
kekurangan, penulis sadar bahwa penulisan makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh
karena itu, dengan berlaapang dada penulis akan senantiasa terbuaka untuk menerima segenap
saran dan kritik yang membangun untuk perbaikan pada pembuatan makalah berikutnya.
Terakhir, dengan segala keterbatasannya penulis berharap makalah ini dapat memberikan
manfaat bagi penulis dan para pembaca. Mudah-mudahan penulisan makalah ini juga dicatat
oleh Allah SWT sebagai sauatu amal kebaikan. Aamiin….

Lamongan, 06 Desember 2021


Penulis

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... 1


DAFTAR ISI .......................................................................................................................... 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang ............................................................................................................ 3
1.2.Rumusan Masalah ....................................................................................................... 5
1.3.Tujuan Penulisan......................................................................................................... 5
BAB II PEMBAHASAN
2.1. Pemberontakan PKI di Indonesia .............................................................................. 6
2.1.1 Pemberontakan PKI Masa Kolonial Hindia Belanda (1926-1927) .................. 6
2.1.2 Pemberontakan PKI di Madiun (1948) ............................................................. 7
2.1.3 Peristiwa Gerakan 30 September PKI (G30S/PKI) .......................................... 8
2.2. Pelanggaran HAM Pada Gerakan 30 September ....................................................... 10
BAB III PENUTUP
3.1 Simpulan ..................................................................................................................... 11
3.2 Saran ........................................................................................................................... 12
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................. 13

2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Paham komunis masuk ke lndonesia pada tahun 1913 yang di perkenalkan oleh
Hendricus Josephus Fransiscus Maria Sneevliet. la adalah mantan ketua gerakan buruh nasional
di Belanda. Datang ke lndonesia awalnya bekerja di perusahaan gula di Jawa Timur. Pada tahun
1914 mendirikan lndische Social Demokratische Vereniging (ISDV). Dua tahun kemudian ISDV
berkembang sangat pesat dan dapat mempengaruhi rakyat khususnya kaum buruh di lndonesia,
dengan mudahnya ia dapat mempengaruhi Sarikat Dagang lslam (SDI) dan akhirnya SDI
berubah menjadi Sarikat lslam (SI) di bawah pimpinan Tjokroaminoto sehingga SI terpecah
menjadi dua, yaitu : SI Merah dan SI Putih. Di lain pihak Tokoh-tokoh pemuda lndonesia cepat
terpengaruh sehingga mereka bergabung dengan ISDV seperti Tan Malaka, Sernaun, Darsono,
dan Alimin Prawirodirjo. Pada tahun 1920 anggota sudah berjumlah 269 orang dan pada tahun
1920 ISDV di putuskan berubah menjadi Perserikatan Komunis di Hindia (PKl) dengan
ketuanya Semaun wakilnya Darsono dan pengurus lainnya seperti Bregsma, Dekker, dan Baars.
Akan tetapi pada tahun 1926 terjadi gejolak di masyarakat, dimana PKI berhasil memanfaatkan
Defresi ekonomi dan gejolak politik yang terjadi di lndonesia. Karena anggotanya semakin
banyak, akibatnya aksi-aksi anarkis dilakukan oleh anggota PKI baikdidesa maupun di daerah-
daerah lain. Dengan hancurnya PKI pada tahun '1927 sejak itu rakyat Jawa khususnya tidak lagi
aktif berpolitik. (Hasan, 2014)
Berdirinya sebuah negara pastinya memiliki sejarah yang panjang, Indonesia bukan
pengecualian. Setelah akhirnya merdeka pada 17 Agustus 1945, butuh perjuangan bagi Indonesia
untuk berdaulat seutuhnya. Indonesia bahkan harus menghadapi beragam pergolakan paska
kemerdekaan. Salah satunya adalah Gerakan 30 September yang dilancarkan oleh Partai
Komunis Indonesia pada tahun 1965. Atau lebih dikenal dengan G30S/PKI.
Bisa dibilang, Gerakan 30 September 1965/PKI atau G30S/PKI ini merupakan sebuah
pengkhianatan terbesar yang dialami bangsa Indonesia. Peristiwa ini terjadi pada malam hari,
tepatnya saat pergantian dari tanggal 30 September (Kamis) ke 1 Oktober (Jumat), dengan
melibatkan Pasukan Cakrabirawa dan Partai Komunis Indonesia (PKI).
Tujuan utama G30S PKI adalah menggulingkan pemerintahan era Soekarno dan
mengganti negara Indonesia menjadi negara komunis. Seperti diketahui, PKI disebut memiliki
lebih dari 3 juta anggota dan membuatnya menjadi partai komunis terbesar ketiga di dunia,
setelah RRC dan Uni Soviet.

3
Selain itu, dikutip dari buku Sejarah untuk SMK Kelas IX, beberapa tujuan G30S PKI
adalah sebagai berikut:
1. Menghancurkan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) dan menjadikannya
sebagai negara komunis.
2. Menyingkirkan TNI Angkatan Darat dan merebut kekuasaan pemerintahan.
3. Mewujudkan cita-cita PKI, yakni menjadikan ideologi komunis dalam membentuk sistem
pemerintahan yang digunakan sebagai alat untuk mewujudkan masyarakat komunis.
4. Mengganti ideologi Pancasila menjadi ideologi komunis.
5. Kudeta yang dilakukan kepada Presiden Soekarno tak lepas dari rangkaian kegiatan
komunisme internasional.
Tokoh sentral PKI, DN. Aidit menurut pakar sejarah pada masa rezim Presiden Soeharto,
merupakan dalang utama gerakan 30S/PKI. Dalam melaksanakan makarnya, gerakan ini
bergerak atas satu komando yang dipimpin oleh Komandan Batalyon I Cakrabirawa, Letnan
Kolonel Untung Syamsuri.
Gerakan ini dimulai dari Jakarta dan Yogyakarta, dengan mengincar Dewan Jenderal dan
Perwira Tinggi. Awal mula gerakan ini hanya bermaksud menculik dan membawa para Jenderal
dan perwira tinggi ke Lubang Buaya. Namun, ada beberapa prajurit Cakrabirawa yang
memutuskan untuk membunuh Dewan Jenderal dan perwira tinggi tersebut.
Jenderal yang dibantai oleh PKI diantaranya Jenderal Ahmad Yani dan Karel Satsuit
Tubun. Sisa Jenderal dan perwira tinggi meninggal dunia secara perlahan karena luka penyiksaan
di Lubang Buaya.
Para Pahlawan Dewan Jenderal dan Perwira Tinggi yang meninggal dunia atas
kekejaman Gerakan 30S/PKI ini ditemukan di sumur Lubang Buaya. Terdiri dari:
1. Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani (Meninggal Dunia di rumahnya, Jakarta Pusat.
Rumahnya sekarang menjadi Museum Sasmita Loka Ahmad Yani)
2. Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono
3. Mayor Jenderal Raden Soeprapto
4. Brigadir Jenderal Donald Isaac Panjaitan
5. Mayor Jenderal Siswondo Parman
6. Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit Tubun (Meninggal dunia di rumahnya)
7. Brigadir Jenderal Sutoyo Siswodiharjo
8. Kolonel Katamso Darmokusumo (Korban G30S/PKI di Yogyakarta)
9. Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto (Korban G30S/PKI di Yogyakarta)
10. Ade Irma Suryani Nasution (Putri Abdul Haris Nasution, meninggal di kejadian ini)
11. Kapten Lettu Pierre Andreas Tendean (Meninggal di kediaman Jendral Abdul Haris
Nasution)

4
Atas kejadian yang membuat luka bangsa Indonesia, rakyat menuntut kepada Presiden
Soekarno supaya membubarkan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dengan rasa terpaksa akhirnya
Partai PKI yang menjadi kekuatan bagi Presiden Soekarno dalam aksi “Ganyang Malaysia” di
bubarkan. Selanjutnya Presiden Soekarno memberikan mandat pembersihan semua struktur
pemerintahannya kepada Mayor Jenderal Soeharto yang terkenal dengan Surat Perintah 11 Maret
1966.
Secara umum, G30S PKI dilatarbelakangi oleh dominasi ideologi Nasionalisme, Agama,
dan Komunisme (NASAKOM) yang berlangsung sejak era Demokrasi Terpimpin diterapkan,
yakni tahun 1959-1965 di bawah kekuasaan Presiden Soekarno. Beberapa hal lain yang
menyebabkan mencuatkan gerakan yang menewaskan para Jenderal ini adalah ketidak-
harmonisan hubungan anggota TNI dan juga PKI. Pertentangan pun muncul di antara keduanya.
Selain itu, desas desus kesehatan Presiden Soekarno juga turut melatarbelakangi pemberontakan
G30S PKI. Itulah sejarah G30S PKI. Setelah gerakan tersebut berhasil ditumpas, muncul
berbagai aksi dari kalangan masyarakat untuk membubarkan PKI.
1.2. Rumusan Masalah
Makalah ini yang nantinya akan di bahas dalam mengkaji teori tersebut:
1. Apa saja Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Indonesia?
2. Bagaimana Peristiwa Terjadinya Pemberontakan PKI di Indonesia?
3. Bagaimana Penumpasan/Penyelesaian Pemberontakan PKI di Indonesia?
4. Apa saja pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PKI?

1.3. Tujuan
Dari rumusan masalah di atas dapat diketahui bahwasannya tujuan dari makalah ini adalah :
1. Guna mengetahui apa saja Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI di Indonesia.
2. Guna mengetahui peristiwa terjadinya Pemberontakan PKI di Indonesia.
3. Guna mengetahui penumpasan/penyelesaian Pemberontakan PKI di Indonesia.
4. Guna mengetahui apa saja pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PKI.

5
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. PEMBERONTAKAN OLEH PKI DI INDONESIA

Partai Komunis Indonesia merupakan partai yang ada sejak Indonesia belum
meraih kemerdekaan. Sebagai sebuah partai yang sudah berumur sangat tua di Indonesia,
Partai Komunis Indonesia tentu memiliki sejarah yang Panjang. Dari awal sebelum
kemerdekaan hingga pasca kemerdekaan, berikut adalah pemberontakan yang dilakukan
oleh PKI di Indonesia sebelum dan sesudah kemerdekaan :

2.1.1. Pemberontakan PKI Masa Kolonial Hindia Belanda (1926-1927)


Penyebar komunisme pertama di Hindia Belanda adalah Hendricus
Josephus Fransiscus Marie Sneevliet (1883-1942). Tokoh intelektual Marxis ini
menjadi ketua persatuan buruh kereta api dan term di negeri Belanda pada
tahun1909. Empat tahun kemudian menetap di Indonesia yang saat itu masih
menjadi jajahan Belanda. Di negeri jajahan ini, Sneevliet menghimpun buruh
kereta api dan trem. Pada tahun 1914 ia mendirikan Indische Sociaal
Democratische Partij (ISDV) dan banyak mempengaruhi kader-kader terbaik
Sarekat Islam di Semarang, Jawa Tengah.

Akibatnya SI pecah menjadi dua, SI Merah yang dipengaruhi Sneevliet


dan SI Putih yang menolak pengaruh Sneevliet. Pada tahun 1918 Sneevliet
Kembali ke negeri Belanda karena diusir oleh pemerintah kolonial Hindia
Belanda. Kepergian Sneevliet tidak membuat komunisme lenyap di Hindia
Belanda. Kepemimpinannya diambil alih para kader terbaiknya, Semaun dan
Dharsono. Pada tahun 1921 keduanya mendirikan Perserikatan Komunis Hindia
Timur. (Syukur, 2008)

Walaupun mengalami hambatan di dalam mengajak Kerjasama dengan SI,


namun PKI tetap bergerak secara radikal dengan tanpa perhitungan. Bahkan di
dalam perkembangan selanjutnya, PKI merencanakan suatu pemberontakan di
Jawa dan Sumatera. Rapat untuk rencana pemeberontakan itu antara lain diadakan
di Prambanan pada tahun 1925. Rencana pemberontakan itu sebenarnya telah
melahirkan perpecahan di dalam tubuh PKI sendiri. Tan Malaka dan Alimin tidak
setuju terhadap yang dilakukan pemberontakan itu, demikian juga pohak Moskow
sebagai pusat komunis insternasional dibawah Stalin.

6
Kendati demikian, rencana itu rupanya tidak dapat ditunda lagi, akhir
tahun 1926 dan awal tahun 1927 terjadilah pemberontakan di Jawa dan
Silungkang (Sumatera Barat). Sudah dapat diduga bahwa pemberontakan yang
direncanakan dengan tidak seksama atau matang itu akan gagal. Pemerintah
Kolonial tidak memerlukan waktu lama untuk menumpas pemberontakan PKI di
Kedua tempat tersebut. Akibatnya, ribuan orang PKI ditangkap oleh pemerintah
kolonial dan yang ditangkap tersebut bukanlah anggota PKI semuanya, tetapi
yang paling banyak ditangkap dan dibuang ke Digul, justru anggota SI pimpinan
HOS. Tjokroaminoto. (Masril, 2020)

Pemberontakan yang dimaksudkan untuk melawan Pemerintah Kolonial


Hindia Belanda ini dinilai terlalu dini karena pada waktu itu PKI belum memiliki
anggota yang banyak dan ditambah lagi terjadi perpecahan dalam tubuh SI yang
merupakan asal mula terbentuknya PKI. Pemberontakan ini dengan mudah di
gagalkan oleh Pemerintah Kolonial Hindia Belanda pada waktu itu, dan membuat
para tokoh terkenal dari PKI di tangkap dan dibuang ke luar negeri.

2.1.2. Pemberontakan PKI Di Madiun (1948)


Sejak tahun 1927 PKI menjadi partai terlarang. Mereka bangkit lagi
setelah kemerdekaan Republik Indonesia. Pada bulan Oktober 1945 pemerintah
Indonesia mengumumkan pemberlakuan sistem multipartai sehingga berdirilah
partai-partai politik berdasarkan ideologinya. Secara garis besar ada lima aliran
dalam pemikiran politik di Indonesia sepanjang tahun 1945-1965 yaitu Islamisme,
Komunisme, Nasionalisme Radikal, Sosialisme Demokrat, dan Tradisionalisme
Jawa. (Syukur, 2008)
Peristiwa pemberontakan PKI di Madiun diawali dari disepakatinya
perjanjian Renville oleh kabinet Amir Syarifudin yang isi dari perjanjian ini
membuat Indonesia menjadi dirugikan. Kerugian itu meliputi semakin
menyempitnya daerah kekuasaan Indonesia, kemudian lemahnya perekonomian di
Indonesia karena di blokade oleh Belanda. Kemudian konflik antara Amir
Syarifudin dan kelompok kontra hasil perjanjian Renville yang di dominasi oleh
PNI dan Masyumi. Pada akhirnya Amir Syarifudin lengser dari kepemimpinannya
pada bulan Januari 1948, tidak lama setelah perjanjian Renville.
Setelah menyerahkan mandatnya kepada presiden Republik Indonesia,
Amir Syarifudin menjadi oposisi dari pemerintahan kabinet Mohammad Hatta. Ia
Menyusun kekuatan dengan menyatukan golongan sosialis seperti Partai Sosialis
Indonesia (PSI), Partai Komunis Indonesia (PKI), Pemuda Sosialis Indonesia
(PESINDO), Partai Buruh menjadi kelompok perjuangan Frot Demokratik Rakyat
(FDR). Mereka mengadakan pengancaman ekonomi dengan cara menghasut
kaum buruh untuk melancarkan pemogokan kerja di pabrik karung Delangu pada
5 Juli 1948. Pada saat ini tampillah Musso seorang tokoh PKI yang dikirim oleh
pimpinan komunis internasional dengan tujuan untuk merebut kekuasaan
Republik Indonesia dari kaum Nasionalis. (Utami, 2018)

7
Setelah banyak pengikut PKI, maka Musso sebagai gembong utama pada
waktu itu merencanakan untuk melakukan suatu pemberontakan, maka bertepatan
dengan macetnya perundingan Indonesia dan Belanda, pada saat itulah peluang
yang baik bagi komunis untuk melakukan pemberontakan, yang akhirnya meletus
pada 18 September 1948. Bala tentara Republik yang simpati terhadap perjuangan
Musso yang waktu itu sedang menghadapi Belanda, segera bergerak ke Madiun
untuk memperkuat pasukan Musso. Melalui “Radio Gelora Pemuda” PKI
mengecam pemerintah sebagai Pengkhianat. Pemerintah dituduh telah
bekerjasama dengan Belanda untuk menjajah rakyat, dari radio akhirnya
mengumumkan bahwa : “Madiun telah bangun untuk membasmi semua musuh
revolusi”. Polisi dan tentara dilucuti senjatanya oleh rakyat. (Masril, 2020)

Pemberontakan yang dilakukan oleh PKI mendorong Pemerintah Republik


Indonesia untuk melakukan tindak tegas dengan memerintahkan Markas Besar
Angkatan Perang segera menetapkan Kolonel Sungkono Panglima Divisi IV Jawa
Timur sebagai Panglima Pertahanan Jawa Timur yang mendapat tugas
menggerakkan pasukan dari arah timur. Serta divisi yang lain dengan wilayah
penumpasannya masing-masing. Cara ini berhasil membuat pihak PKI
menyerahkan diri dan menyatakan kekalahannya pada 30 September 1948.
Kemudian tentara melakukan pengejaran terhadap tokoh PKI seperti Musso dan
Amir Syarifudin, Musso tertembak mati pada 31 Oktober 1948 dan Amir
menyerahkan diri pada 29 November setelah dikepung oleh Kesatuan TNI.

2.1.3. Pemberontakan Gerakan 30 September PKI

Tanggal 30 September dan tanggal 1 Oktober 1965 bisa dikatakan


sebagai dua hari tergelap di tahun 1965. Hanya sedikit orang yang mengetahui
peristiwa-peristiwa apa saja yang terjadi pada dua hari itu. Kedua hari itu
seperti sengaja digelapkan. Padahal, peristiwa-peristiwa yang terjadi pada
dua hari itu, dan peristiwa-peristiwa yang terkait dengan dua hari itu, telah
mengubah perjalanan bangsa ini.

Kehidupan orang-orang dan keluarga orang-orang yang terkait dengan


peristiwa-peristiwa yang terjadi pada dua hari itu berubah, terutama kehidupan
Presiden Soekarno, Panglima Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat
(Kostrad) Mayor Jenderal Soeharto, keluarga para jenderal Angkatan Darat
yang terbunuh, serta orang-orang dan keluarga orang orang tersebut yang
dituduh secara langsung atau tidak langsung bertanggung jawab atas
terbunuhnya para jenderal Angkatan Darat tersebut.

8
Sejak tanggal 1 Oktober 1965 hingga berakhirnya pemerintahan presiden
Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998, jika orang ingin mengetahui peristiwa apa
saja yang terjadi pada tanggal 30 September dan tanggal 1 Oktober 1965, maka
yang tersedia hanya versi resmi pemerintah. Mulai dari surat kabar Angkatan
Darat, yakni Harian Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, buku-buku yang
diterbitkan pemerintah, sampai film pengkhianatan G30S/PKI. (Luhulima, 2007)

Gerakan 30 September 1965 adalah sebuah gerakan yang sampai sekarang


masih bersifat kontroversi. Ada berbagai pendapat dan kesaksian tentang G30S
1965, yang kemudian memunculkan berbagai versi G30S 1965. Setiap versi
biasanya ada aktor utama yang memainkan peran sentral dalam gerakan 30
September 1965. Tiap-tiap versi memiliki aktor utama yang berbeda-beda. Seperti
contoh, dalam versi Soeharto, yang menjabat sebagai presiden pada era Orde
Baru, pemimpin utama G30S 1965 adalah Letkol Untung, yang juga adalah salah
satu komandan Resimen Cakrabirawa, yang bertugas mengawal Presiden
Soekarno. Sementara dalam versi TNI/ABRI, pemimpin utama G30S 1965 adalah
ketua umum Partai Komunis Indonesia (PKI) yaitu D.N. Aidit.

Pelaksanaan Pemberontakan G30S/PKI


Menjelang terjadinya peristiwa G.30.S/PKI, tersiar kabar bahwa kesehatan
Presiden Soekarno menurun dan kemungkinan akan lumpuh atau meninggal.
Mengetahui hal tersebut Dipa Nusantara Aidit langsung memulai gerakan.
Rencana gerakan diserahkan kepada Kamaruzaman alias Syam yang diangkat
sebagai ketua Biro Khusus Partai Komunis Indonesia (PKI) dan disetujui oleh
Dipa Nusantara Aidit. Biro khusus ini menghubungi kadernya dikalangan
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI) , seperti Brigadil Jenderal
Supardjo, Letnan Kolonel Untung dari Cakrabirawa, Kolonel Sunardi dari Tentara
Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI AL) , Marsekal Madya Omar Dani dari
Angkatan Udara (AU) dan Kolonel Anwar dari Kepolisian. Menjelang
pelaksanaan Gerakan 30 September 1965, pimpinan PKI telah beberapa kali
mengadakan pertemuan rahasia. Tempat pertemuan terus berpindah dari satu
tempat ke tempat yang lain. Kolonel Untung sebagai pemimpin dari Gerakan
G.30.S/PKI tahun 1965, memerintahkan kepada seluruh anggota gerakan untuk
siap dan mulai bergerak pada dini hari 1 Oktober 1965 untuk melakukan
serangkaian penculikan dan pembunuhan terhadap 6 perwira tinggi dan seorang
perwira pertama dari Angkatan Darat dibunuh dan diculik dari tempat kediaman
masing-masing, (Sucipto, 2013).

9
Menurut Sudirjo, tanggal 30 September 1965 lewat tengah malam, terjadi
penculikan dan pembunuhan atas beberapa orang perwira tinggi Tentara Nasional
Indonesia Angkatan Darat (TNI AD). Penculikan dan pembunuhan itu dilakukan
oleh Cakrabirawa dan satuan lainnya yang pro-PKI, yang dipimpin oleh Letnan
Kolonel Untung. Selain itu, gedung Telekomunikasi dan Radio Republik
Indonesia (RRI) Pusat diduduki. Gerakan 30 September/Partai Komunis
Indonesia merupakan sebuah pemberontakan yang mengambil alih gerakan
pengamanan Presiden atau Panglima Tinggi Angkatan Bersenjata Republik
Indonesia dari coup “Dewan Jenderal” Namun, Pancasila telah memperlihatkan
kesaktiannya. Hanya 1 hari G.30.S dan PKI sanggup bertahan di Ibu kota.
Tanggal 2 Oktober seluruh Ibu kota berikut kompleks Lapangan Udara Halim
Perdana Kusuma telah dapat dibersihkan dari satuan-satuan pemberontakan,
berkat kesigapan pimpinan dan pasukan-pasukan Tentara Nasional Indonesia
Angkatan Darat dan kerjasama antar rakyat dengan angkatan- angkatan yang setia
terhadap Pancasila. (Sucipto, 2013)

2.2. PELANGGARAN HAM PADA GERAKAN 30 SEPTEMBER PKI

Berbicara mengenai Peristiwa G30S/PKI dan tragedi korban di Sumur Lubang


Buaya pada masa kini. Dari segi kronologi sejarah di Indonesia, kedua peristiwa ini telah
berada dalam persada sejarah negara itu sebagai “black history” dan hingga kini masih
menjadi misteri. Siapakah yang sebenarnya bersalah dan siapakah yang menjadi mangsa
serta menjadi kambing hitam masih menjadi persoalan dan sentiasa diperdebatkan di
media umum Indonesia. Polemik tentang perkara ini sentiasa timbul baik oleh orang
awam, pengkritik sejarah, pengkritik sosial, para seniman dan aktivis masyarakat.
Pelbagai pihak, seperti pihak pemerintah Republik Indonesia pada zaman Orde Baru,
individu-individu yang terlibat secara langsung dalam peristiwa tersebut, anak-anak
korban serta para penganalisis, memberi kenyataan saling bertentangan. (Tajuddin, 2017)
Kendati demikian, dari kajian kasus yang kami kumpulkan dapat kami simpulkan
bahwa Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh PKI dalam pemberontakannya dapat
digolongkan ke pelanggaran HAM berat. Dalam pemberontakan di Madiun, banyak kaum
penganut agama yang di bunuh tanpa alasan yang jelas. Dalam pemberontakan
G30S/PKI, mereka membantai jenderal yang memiliki pangkat tinggi dan menguburnya
di dalam lubang buaya. Sesuai dengan bukti sejarah yang ada, Para anggota dari PKI
adalah orang yang bertanggungjawab kepada peristiwa berdarah itu. Namun peristiwa
yang terjadi setelah Tragedi G30S/PKI justru lebih mengenaskan, hal ini yang hingga
saat ini masih belum ada rekonsiliasi hukum yang nyata.

10
Pelanggaran HAM Pasca Tragedi G30S/PKI
Sebagai respon atas aksi G30S tersebut, muncul semacam aksi balasan berupa
pembantaian umat manusia (massacre) yang diduga anggota, simpatisan, maupun
mempunyai kaitan (entah yang dekat entah jauh) dengan PKI. Dilancarkan oleh unsur
Angkatan bersenjata dan massa rakyat terutama yang berafiliasi dengan organisasi
kemasyarakatan anti komunis, pembunuhan massal yang terjadi pada medio 1965-1966
dilakukan terhadap mereka di berbagai titik terutama Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali,
dan Sumatera Utara. Soekarno dalam pidatonya tertanggal 18 Desember 1965
mengatakan “Jenazah-jenazah anggota dari Pemuda Rakyat, BTI, Orang-orang PKI, atau
simpatisan PKI disembelih, dibunuh, kemudian dibiarkan saja di pinggir jalan di bawah
pohon, dihanyutkan dan tidak ada orang yang mengurusnya. (Wardaya, 2010)
Peristiwa tersebut tentu sangat memprihantinkan, bagaimana keadilan tidak di
tegakkan setegak-tegaknya sehingga menimbulkan pelanggaran Hak Asasi Manusia yang
jauh lebih massif. Bahkan dalam literatur lain juga terdapat pelanggaran berupa
perbudakan, pemerkosaan, dan penganiayaan terhadap anggota Gerakan Wanita
Indonesia (Gerwani) misalnya. Lebih ironis lagi, segala bentuk penyimpangan dan
penistaan hak asasi manusia tersebut tidak didasarkan atas suatu produk hukum sama
sekali, melainkan kepada kesewenang-wenangan dan Tindakan diskresi yang berlebihan
di tangan penguasa darurat.
Seberapa berat apapun kesalahan yang dilakukan oleh anggota, simpatisan,
ataupun warga negara dalam G30S, tidak bisa menjadi pembenaran atas perampasan dan
pengingkaran Hak Asasi Manusia terhadap mereka. Seharusnya melakukan kewajiban
rezim yang berlaku atau rezim penerusnya untuk menjamin keberlangsungan penegakan
hukum dan memberikan keadilan untuk para korban.
Penyelesaian kasus pelanggaran hak asasi manusia berupa pengakuan adanya
Tragedi 1965 harus dilakukan tidak hanya dalam fungsinya yang simbolik sebagai
ekspresi rekonsiliasi dan dihormatinya hak asasi manusia namun juga sebagai bentuk
konkret kewajiban negara untuk menghormati hak asasi manusia. Pengakuan ini harus
ditindaklanjuti dengan pemberian kompensasi dan rehabilitasi terhadap semua warga
negara yang pernah menjadi kroban berbagai pelanggaran HAM 1965. Diselesaikannya
kasus ini akan memiliki nilai strategis untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM lain
yang hingga kini belum terselesaikan.

11
BAB III
PENUTUP
3.1. SIMPULAN
Partai Komunis Indonesia terhitung dari tahun 1926 telah mengalami tiga kali
kehancuran yaitu tahun 1927, 1946, dan tahun 1965. Pada dasarnya komunis merupakan
sebuah ideologi jadi mustahil untuk lenyap dari peradaban manusia, ideologi akan selalu
hidup ditengah manusia kapanpun itu. Ketika PKI sudah dibubarkan, para penganut
ideologinya masih berusaha mencari celah untuk menyebarkan faham komunis di
Indonesia seperti pada masa Pemberontakan di Madiun, Musso muncul sebagai tokoh
dalam pemberontakan itu.
Kemudian satu lagi pemberontakan yang kita kenal sebagai G30S/PKI, ini
merupakan hasil kerja keras dari D.N. Aidit yang merupakan Ketua Partai pada waktu itu,
dia telah berhasil mengantarkan PKI menuju masa kejayaan hingga tertulis pernah
menjadi partai yang berpengaruh pada Pemilu tahun 1955. Akan tetapi karena mereka
dengan berani melakukan pemberontakan G30S pada waktu itu, PKI justru dibubarkan
dan menjadi partai yang terlarang hingga sekarang. Hal itu membuktikan bahwa ideologi
Pancasila memiliki kesaktian dan kekuatan yang luar biasa dan secara tidak langsungjuga
membuat rakyat semakin mengalami kemajuan.
Jelas sekali bahawa sejarah peristiwa G30S/PKI dan korban Lubang Buaya tidak
berhenti begitu saja, melainkan ada kemunculan kasus pelanggaran baru di Indonesia
setelah tahun 1965. Walaupun beberapa tahun, peristiwa tersebut lebih berupa
propaganda kerajaan dalam membasmi ideologi komunis di Indonesia, namun setelah
jatuhnya Presiden Suharto pada tahun 1998, perbincangan, perdebatan dan tulisan-tulisan
mengenai pro dan kontra, benar dan salah tentang peristiwa ini kembali di diskusikan
secara umum oleh berbagai pihak di Indonesia.
Tragedi yang terjadi pasca G30S bisa dikatakan sebagai pelanggaran HAM berat
yang massif di sejarah Indonesia sendiri, banyak terjadi pembunuhan, penganiayaan,
penistaan, perbudakan yang dilakukan oleh Angkatan bersenjata dan golongan anti
komunis yang ada di Indonesia.

3.2. SARAN
Hingga saat ini perdebatan masih berlangsung demi membuktikan tentang
kebenaran sejarah dari G30S/PKI, bahkan selalu menjadi perbincangan hangat bagi para
pengamat sejarah di negeri dan keluarga dari korban ataupun pelaku sejarah pada masa
itu. Mereka kerap berseteru untuk membuktikan sejarah mana yang benar, demi
memberikan penghormatan kepada para pendahulunya dan mengharumkan namanya.
Dalam kasus ini, kami menyarankan kepada pemerintah untuk melakukan
rekonsiliasi terhadap para korban atau keluarga korban, dengan maksud untuk
membersihkan sejarah Indonesia agar tidak terjadi lagi peristiwa yang kelam seperti yang
telah terjadi di masa lalu. sebagai

12
DAFTAR PUSTAKA

Hasan, Y. (2014). Indishche Social Democratische Vereniging (ISDV) Merupakan Cikal Bakal
Partai Komunis Indonesia (PKI). Jurnal Pendidikan & Sejarah
Indonesia, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (2014). Sejarah Indonesia. Jakarta:
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Luhulima, J. (2007). Menyingkap Dua Hari Tergelap Di Tahun 1965: Melihat Peristiwa G30S
Dari Perspektif Lain. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Masril. (2020). Pengaruh Komunisme di Indonesia. Guepedia.
Sucipto, H. D. (2013). Kontroversi G30S. Yogyakarta: Palapa.
Syukur, A. (2008). Kehancuran Golongan Komunis di Indonesia. Jurnal Sejarah Lontar, 8.
Tajuddin, R. H. (2017). G30S/PKI 1965 dan Tragedi Lubang Buaya : Sebuah Trilogi. Journal of
Nusantara Studies Vol. 2 , 295-305.
Utami, S. R. (2018). Revolusi Kemerdekaan Indonesia (1945-1949). Pontianak: CV. Derwati.
Wardaya, M. K. (2010). Keadilan Yang Berbeda Paham : Rekonsiliasi dan Keadilan Bagi
Korban Tragedi 1965. Mimbar Hukum Vol. 22, 96-113.

13

Anda mungkin juga menyukai