Anda di halaman 1dari 26

MAKALAH SEJARAH INDONESIA

“G30-S/PKI”

OLEH

KELOMPOK 3:

PRATISA SEPTIANA ARDIMAN (206065)

SISKA AYURIANTI (206115)

RESKY AULIAH (206086)

MUHAMMAD AIDIL (206020)

KELAS XII MIPA 5


SMA NEGERI 6 BULUKUMBA
2022/2023
LEMBAR PENGESAHAN

Makalah Sejarah Indonesia dengan judul “G30-S/PKI”, disusun oleh:

Nama Kelompok : Pratisa Septiana Ardiman

: Siska Ayurianti

: Resky Auliah

: Muhammad Aidil

Kelas : XII Mipa 5

Telah diperiksa dengan teliti dan dinyatakan diterima oleh guru bidang
studi, dengan nilai

Tanuntung, September 2022


Ketua Kelompok Guru Pembimbing

(Pratisa Septiana Ardiman) (Syahrul Hidayat, S.Pd.)


KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Allah Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya,
sehingga penulisan makalah ini dapat diselesaikan dengan baik dan lancar.
Shalawat serta salam senantiasa kita sanjungkan kepada junjungan kita, Nabi
Muhammad SAW, keluarga, sahabat, serta semua umatnya hingga kini. Dan
semoga kita termasuk dari golongan yang kelak mendapatkan syafaatnya.
Adapun maksud penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu tugas
mata pelajaran sejarah. Harapan kami semoga makalah yang telah tersusun ini
dapat bermanfaat sebagai salah satu rujukan maupun pedoman bagi para pembaca,
menambah wawasan serta pengalaman, sehingga nantinya kami dapat
memperbaiki bentuk ataupun isi makalah ini menjadi lebih baik lagi.
Saya menyadari sepenuhnya bahwa dalam penulisan makalah ini masih
banyak kekurangan, baik mengenai materi, mutu, penggunaan bahasa maupun
cara penyajiannya. Maka saya mohon saran dan kritik yang sifatnya membangun
dari para pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Akhir kata saya berharap semoga penulisan makalah ini dapat bermanfaat
bagi kita semua dan apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan di hati saya
mohon maaf yang sebesar-besarnya.

Tanuntung, 04 September 2022

Penyusun
DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN.......................................................................................

KATA PENGANTAR...............................................................................................

DAFTAR ISI..............................................................................................................

BAB I.......................................................................................................................1

A. Latar Belakang.....................................................................................................1

B. Rumusan Masalah................................................................................................4

C. Tujuan...................................................................................................................4

BAB II......................................................................................................................5

A. Peristiwa G30-S/PKI...........................................................................................5

B. Penumpasan G30-S/PKI...................................................................................12

C. Dampak Pasca Peristiwa G30-S/PKI...............................................................13

BAB III..................................................................................................................18

A. Kesimpulan.....................................................................................................18

B. Saran...............................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA............................................Error! Bookmark not defined.

LAMPIRAN...........................................................................................................22
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peristiwa Gerakan 30 September atau yang sering disebut dengan
G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia banyak menimbulkan dampak
negatif bagi kehidupan sosial serta polemik di masyarakat Indonesia,
sebagaimana kita ketahui bahwa Gerakan 30 September atau G30S /PKI
1965 ingin melakukan kudeta terhadap pemerintah. Indonesia dan
merubah ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila dengan ideologi
komunis.
Pada tahun 1962 yaitu perebutan militer Irian Barat oleh Indonesia
mendapat dukungan penuh dari kepemimpinan PKI, mereka juga
mendukung penekanan perlawanan penduduk Irian Jaya terhadap
pendudukan itu. Di Indonesia sendiri, ketegangan ekonomi dan kelas yang
mendasar, yang diakibatkan oleh berlanjutnya pemerasan rakyat oleh
perusahaan-perusahaan imperialis dan kelas burjuis nasional, muncul
kembali. Era Demokrasi Terpimpin, yaitu kolaborasi antara kepemimpinan
PKI dan kaum burjuis nasional dalam menekan pergerakan-pergerakan
independen kaum buruh dan petani, gagal memecahkan masalah-masalah
politis dan ekonomi yang mendesak. Pendapatan ekspor menurun, foreign
reserves menurun, inflasi terus menaik dan korupsi birokrat dan militer
menjadi wabah. Dari tahun 1963 terus, kepemimpinan PKI makin lama
makin berusaha menghindari bentrokan-bentrokan antara aktivis masanya
dan polisi dan militer. Pemimpin-pemimpin PKI mementingkan
kepentingan bersama polisi dan rakyat. Pemimpin PKI D N Aidit
mengilhami slogan “Untuk Ketentraman Umum Bantu Polisi” (A.Prakoso,
2015).
Pengaruh dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan
pengaruh revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia. Tidak
akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi asing memihak

1
2

para kapitalis. Dan bila kita berhasil menyelesaikan tahap ini dalam
revolusi demokratik nasional kita, kemungkinan satu kekuatan asing
bercampur-tangan dalam urusan nasional Indonesia akan menjadi sangat
kecil. Di bulan Agustus 1964, Aidit menganjurkan semua anggota PKI
membersihkan diri dari "sikap-sikap sektarian" kepada angkatan
bersenjata, mengimbau semua pengarang dan seniman sayap-kiri untuk
membuat tentara subyek karya-karya mereka. Di akhir 1964 dan
permulaan 1965 ratusan ribu petani bergerak merampas tanah dari para
tuan tanah besar. Bentrokan-bentrokan besar terjadi antara mereka dan
polisi dan para pemilik tanah.
PKI masih mendorong ilusi bahwa aparat militer dan negara
sedang dirubah untuk memecilkan aspek anti-rakyat dalam alat-alat
negara. Kekuatan dari aspek-aspek pro-rakyat (dalam aparat negara) sudah
bertambah kuat dan mempunyai inisiatif dan ofensif, dan aspek anti-
rakyat, walaupun masih cukup kuat, sedang terpojok. PKI berjuang supaya
aspek pro-rakyat akan menjadi bertambah kuat dan akan berkuasa dan
aspek anti-rakyat akan dikeluarkan dari kekuasaan negara. Kaum buruh
Indonesia dan seluruh dunia membayar mahal untuk pengkhianatan
Stalinis ini waktu Suharto dan jendral-jendral militer bergerak pada
tanggal 30 September 1965.
Pendirian Sukarno telah menjadi duri dalam daging dalam politik
Indonesia dan dari waktu ke waktu telah meluaskan persaingan kuasa
antara kelompok khususnya dalam kalangan pihak tentera. Konflik ini
kemudiannya diakhiri oleh tindakan Regimen Tjakrabirawa yaitu Regimen
Pengawal Istana yang diketuai oleh Leftenan Kolonel Untung Surropati,
Ketua Komander Pengawal Presiden yang nekad bertindak melawan Istana
Presiden. Selanjutnya, satu pengumuman telah dibuat pada pagi 1 Oktober
1965 oleh Radio Indonesia. Mengikut Menteri Luar Indonesia pada masa
itu yaitu Dr. Subandrio, rampasan kuasa itu bertujuan untuk menghalang
sebarang percubaan untuk menjatuhkan Presiden Sukarno.
3

Pada malam pemberontakan dilancarkan, enam orang pemimpin


tentera Indonesia telah diculik dan kemudiannya dibunuh di Sumur
Lubang Buaya. Mereka ialah: i) Leftenan-Jeneral Ahmad Yani yang
merupakan Menteri dan Komander Angkatan Tentera Indonesia; ii) Mejer-
Jeneral R. Soeprapto, Timbalan II (Pentadbiran) Ibu Pejabat Tentera
Indonesia; iii) Mejer-Jeneral M. T. Hartono, Timbalan III Inspektor-
Jeneral, Ibu Pejabat Tentera Indonesia, iv) Mejer-Jeneral Siswondo
Parman, Penolong I (Perisikan) Ibu Pejabat Indonesia; v) Mejer-Jeneral D.
I. Pandjaitan, Penolong IV (Logistik) Ibu Pejabat Tentera Indonesia; dan
vi) Brigediar-Jeneral Soetojo Siswarninhardjo, Inspektor Hal Ehwal
Undang-Undang/Pengacara Keadilan Ibu Pejabat Tentera Indonesia.
Mayat-mayat mereka kemudiannya dibawa ke Pangkalan Udara Halim dan
telah ditemui tiga hari kemudiannya di satu tempat yang dikenali sebagai
Lubang Buaya.
Sukarno telah muncul dan mengetuai mesyuarat Kabinet Perang
iaitu KOTI (Komando Tertinggi) di Bogor. Antara mereka yang hadir
ialah Nasution dari Kementerian Pertahanan, Martadinata (Angkatan
Tentera Laut), Omar Dhani (Angkatan Tentera Udara), Sudjipto
(Komander Polis), dan Leimena (Timbalan Perdana Menteri Kedua). Pada
tengah malam, Brigedier Saour yang merupakan pegawai atasan Untung
tetapi tidak bekerjasama dengannya membaca pernyataan berikut:
1. Masyarat KOTI telah diadakan.
2. Presiden mengawal angkatan tentera.
3. Presiden mengeluarkan arahan untuk mengadakan pecarian politik
pada 30 September.
4. Mengesahkan perlantikan Jeneral Pranoto Reksosanodra secara hari ke
hari dalam mengendalikan urusan ketenteraan.
5. Mengesahkan semua kuasa Suharto secara perundang-undangan.
6. Suharto dilantik untuk memulihkan undang-undang dan peraturan.
4

Setelah pengumuman tersebut, Sukarno telah membuat pidato


pendek ketika mengulas perkara di atas dan menyeru rakyat agar berdiri
teguh di belakang Kabinet Dwikora dan menentang NEKOLIM. Beliau
juga mengucapkan terima kasih kepada Suharto di atas segala tindakan
beliau dalam menumpaskan masalah perampasan kekuasaan.
Setelah memasuki zaman Kabinet Bersatu pimpinan Susilo
Bambang Yudhoyono timbul pula kabar angin bahwa pembunuhan tujuh
pegawai tinggi tentera itu didalangi oleh Suharto sendiri untuk
menjatuhkan Sukarno yang difitnah mendukung komunis.

B. Rumusan Masalah
Dari penjelasan latar belakang diatas adapun rumusan masalah
dalam makalah ini antara lain:
1. Bagaimana peristiwa G30-S/PKI?
2. Bagaimanai Penumpasan G30-S/PKI.
3. Bagaimana Dampak Pasca Peristiwa G30-S/PKI?

C. Tujuan
Dari uraian rumusan masalah diatas adapun tujuan dari makalah ini
antara lain:
1. Mengetahui peristiwa G30-S/PKI.
2. Mengetahui Penumpasan G30-S/PKI.
3. Mengetahui Dampak Pasca Peristiwa G30-S/PKI.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Peristiwa Terjadinya G30-S/PKI

Didahului perebutan kekuasaan adalah pembunuhan enam jenderal


dan perwira tertinggi Tentara Nasional Indonesia (TNI) di tempat yang
dikenal sebagai Lubuk Buaya dan peristiwa ini dikenal sebagai Tragedi
Lubang Buaya. Tragedi yang telah berlangsung selama lebih dari lima
dekade ini selalu menjadi polemik dari sudut pandang politik, akademik,
dan kemanusiaan. Sejarah peristiwa itu sendiri selama pecahnya insiden
berdasarkan catatan resmi Inggris. Dari satu sisi ke sisi lain, ada argumen
dari pihak pemerintah mengenai kejadian ini yang bertujuan untuk
melanggengkan kepentingan nasional Indonesia. Selain itu, tulisan ini juga
memuat pandangan dan interpretasi dari mereka yang terlibat dalam
rangkaian peristiwa, kritikus dan analis masyarakat Indonesia
kontemporer. Bagian diskusi ini berisi tulisan-tulisan kontemporer dalam
bentuk retro-perspektif berdasarkan memoar dan biografi mereka yang
terlibat serta wawancara dengan surat kabar lokal Indonesia (Tajuddin,
2017).

Ditempatkan pada posisi yang tinggi di masyarakat bukan berarti


perempuan bisa sewenang-wenang dalam kehidupan sosial. Di sisi lain,
perempuan juga dikucilkan, karena harus cerdas dan memahami posisinya.
Seperti halnya hak pilih dalam urusan keluarga dan masyarakat, dalam hal
ini kedudukan perempuan tetap berada di bawah laki-laki. Mereka hanya
diperbolehkan memberikan nasihat, bukan keputusan. Sistem ini sejalan
dengan apa yang diajarkan oleh Islam. Perempuan Minangkabau memiliki
peran yang sangat penting dan tidak bisa diabaikan. Peran perempuan di
Mingkabau tidak hanya dalam hal mengurus rumah tangga, tetapi juga
menjadi bagian dari masyarakat yang berkontribusi bagi kemajuan nagari.

5
6

Hal ini menjadi salah satu faktor pendukung berkembangnya organisasi


perempuan di Sumatera Barat salah satunya adalah Gerakan Perempuan
Indonesia (Gerwani) (Fatimah, 2020).

Berbagai penolakan menunjukkan bahwa doktrin yang diberikan


pada masa Orde Baru cukup berhasil, dimana masyarakat saat itu diajarkan
untuk takut, waspada dan membenci apapun yang berhubungan dengan
PKI.

Pada masa Orde Baru, kesunyian atas peristiwa G30S sangat


terasa, hingga pada tahun 1998, ketika era Orde Baru runtuh, hingga saat
ini keluarga-keluarga PKI sudah mulai mengutarakan pendapatnya karena
dulu mereka lebih suka berdiam diri, menyadari bahwa mereka adalah
minoritas (Asvi, 2009).

Latar belakang terjadinya G30S/PKI perlu ditelusuri sejak


masuknya komunisme/Marxisme-Leninisme ke Indonesia pada awal abad
ke-20, infiltrasinya ke dalam organisasi lain, dan hubungannya dengan
gerakan komunis internasional. Pada pokoknya, politik PKI di Indonesia
terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari para pemimpin gerakan
komunis internasional.
Persiapan PKI:
1. Membentuk biro khusus di bawah pimpinan Syam Kamaruzman.
Tugas biro khusus adalah merancang dan mempersiapkan perebutan
kekuasaan.
2. Menuntut pembentukan angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan tani
bersenjata.
3. Melakukan sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror. Sabotase angkutan
kereta api dilakukan oleh pekerja kereta api (Januari-Oktober 1964)
yang mengakibatkan serangkaian kecelakaan kereta api seperti di
Purwokerto, Kroya, Tasikmalaya, Bandung, dan Tanah Abang.
Tindakan sepihak, seperti peristiwa Jengkol, Bandar Betsy, dan
7

peristiwa Indramayu. Aksi teror, misalnya peristiwa Kanigoro Kediri.


Ini dilakukan dalam persiapan untuk kudeta.
4. Melakukan aksi fitnah terhadap ABRI khususnya TNI-AD yang
dianggap menghambat pelaksanaan programnya yaitu dengan
meluncurkan isu dewan umum.
5. Melakukan latihan militer di lubang buaya, Pondok Gede, Jakarta.
Latihan militer di lubang buaya, Pondok Gede, Jakarta. Latihan militer
ini merupakan sarana persiapan untuk melakukan pemberontakan.

Setelah persiapan dianggap matang oleh pimpinan PKI, mereka


memutuskan pada 30 September. Gerakan merebut kekuasaan dari
pemerintah Indonesia yang sah didahului dengan penculikan dan
pembunuhan jenderal TNI-AD yang dianggap anti-PKI. Gerakan 30
September 1965 dipimpin oleh Letnan Kolonel Untung, Komandan
Batalyon I Resimen Cakrabirawa, pengawal presiden. Gerakan dimulai
pada dini hari tanggal 1 Oktober dengan penculikan dan pembunuhan 6
perwira tinggi dan seorang perwira muda angkatan darat. Mereka yang
diculik dibunuh di desa Lubang Buaya selatan Lanud Halim Perdana
Kusuma oleh anggota pemuda Gerwani dan organisasi PKI lainnya.
Keenam jenderal yang tewas itu adalah Letjen Ahmad Yani, Mayjen R.
Suprapto, Mayjen M.T. Haryono, Mayjen S. Parman, Brigadir DI
Panjaitan, Brigjen Soetoyo Siswomiharjo. kantor telekomunikasi RRI dan
PN (Suparjan, 2016).
Dalam situasi yang tidak menentu, pimpinan tentara diambil alih
oleh Panglima Kostrad, Mayjen Suharto. Dia mengkonsolidasikan pasukan
TNI yang masih setia kepada pemerintah. Dengan kekuatan tersebut,
Mayjen Suharto melakukan serangkaian operasi untuk menumpas
G30S/PKI. Usai merebut kembali stasiun telekomunikasi RRI, Mayjen
Soeharrto menjelaskan melalui siaran radio bahwa telah terjadi
pengkhianatan oleh Gerakan 30 September/PKI. Mereka telah menculik
beberapa perwira TNI AD. Lebih lanjut Mayjen Suharto menyampaikan
8

bahwa Presiden Soekarno dan Jenderal A.H. Nasution dalam keadaan


sehat dan situasi di Jakarta telah terkendali (Harsono, 2004).
Langkah selanjutnya adalah merebut Bandara Halim Perdana
Kusuma yang diduga menjadi pusat Gerakan 30 September/PKI. Dalam
waktu singkat tempat ini sudah dikuasai oleh pasukan RPKAD.
Dari bukti-bukti yang telah dikumpulkan oleh ABRI dan
masyarakat, disimpulkan bahwa di balik Gerakan 30 September/PKI ada
keterlibatan PKI. Maka dimulailah pengejaran terhadap anggota PKI ini.
a. Pada 1 Oktober 1965, beberapa tempat penting seperti RRI dan
Telkom diambil alih oleh pasukan RPKAD tanpa pertumpahan darah.
b. Pada hari yang sama, Mayjen Suharto mengumumkan hal-hal penting
berikut melalui RRI.
1) Penindasan G 30 S/PKI oleh kekuatan militer.
2) Dewan Revolusi Indonesia dibubarkan.
3) Anjurkan masyarakat untuk tetap tenang dan waspada.
c. Pada tanggal 2 Oktober 1965, pasukan RPKAD berhasil menguasai
kembali Bandar Udara Halim Perdana Kusuma.
d. Pada tanggal 3 Oktober 1965, atas instruksi seorang perwira polisi
bernama Sukitman, ditemukan sebuah sumur tua yang digunakan
untuk menguburkan jenazah perwira tentara.
e. Pada tanggal 5 Oktober 1965, Jenazah Jendral Angkatan Darat
dimakamkan dan diberikan penghargaan sebagai Pahlawan Revolusi.

Pada tanggal 30 September dan 1 Oktober enam jenderal dibunuh


oleh kelompok yang menamakan diri Gerakan 30 September. Pertemuan
di Lubang Buaya dimulai pukul 02.00 WIB, persiapan logistik selesai
sekitar pukul 03.00 WIB, kemudian satu persatu masuk ke dalam
kendaraan yang sudah dipesan. Sekitar pukul 15.15 sekitar belasan bus dan
truk yang membawa seluruh pasukan berangkat dari Halim Perdana
Kusumah dan tiba 45 menit kemudian, di kawasan Menteng, sebuah
9

perumahan elit di Jakarta. Mereka tiba di lokasi yang ditargetkan sekitar


pukul 04.00 WIB (Huda, 2020).
Penculikan beberapa jenderal antara lain: Jenderal Yani, Jenderal
Soeprapto, Jenderal Parman, Jenderal Sutoyo Siswomiharjo, Jenderal
Pandjaitan, Jenderal Haryono, dan Jenderal Nasution tetapi Jenderal
Nasution berhasil lolos dari penculikan dan merasa aman untuk
mengungkapkan dirinya dari persembunyian. Di balik semua peristiwa
tersebut ABRI menuduh PKI sebagai dalangnya, propaganda militer mulai
menyebar ke seluruh pelosok tanah air, termasuk di Jawa Tengah yang
dianggap sebagai basis PKI. Propaganda ini berhasil meyakinkan
masyarakat Jawa Tengah bahwa dalang dari semua ini adalah PKI,
sehingga terjadi pemberontakan anggota PKI di Jawa Tengah yang
dipimpin oleh angkatan bersenjata.
Pada tanggal 4 Agustus 1965 kondisi Presiden Soekarno sangat
mengkhawatirkan, saat itu beliau sakit muntah-muntah dan pingsan, dan
menurut tim dokter dari China yang memeriksanya ada dua kemungkinan
dengan kondisi presiden tersebut yaitu meninggal dunia atau lumpuh. .
Diagnosis tim dokter asal China ini membuat para pimpinan PKI segera
mengambil sikap untuk segera melakukan gerakan sebelum presiden
meninggal.
Berawal dari desa Lubang Buaya, pada tanggal 1 Oktober 1965
pukul 03.00 WIB pagi mereka melakukan gerakan penculikan terhadap
perwira tinggi TNI, yaitu:
1. Kepala Staf Angkatan Darat, Jenderal Abdul Haris Nasution.
2. Menteri Panglima Angkatan Darat (MenPangad), Letjen Ahmadyani.
3. Wakil II Panglima Angkatan Darat, Mayjen Soeprapto.
4. Wakil III Panglima Angkatan Darat, Mayjen Haryono MasTirtodarmo.
5. Asisten I Panglima TNI Mayjen Soewondo Parman.
6. Asisten IV Panglima TNI Brigjen Donald Icasus Panjaitan.
7. Inspektur Kehakiman/Adipoljen TNI Mayjen Sutoyo Siswomihardjo.
10

Dalam peristiwa penculikan tersebut, tujuh petinggi TNI


mengalami nasib yang berbeda:
1. Jenderal Abdul Haris Nasution berhasil lolos dari penculikan dengan
cara melompati pagar rumah Wakil Perdana Menteri III Dr. J.
Leimena. Namun putrinya yang berusia 5 tahun terpaksa menjadi
korban kekerasan G 30 S/PKI: Ade Irma Suryani Nasution terkena
peluru yang ditembakkan oleh PKI. Dia kemudian bersembunyi di
tempat yang dirahasiakan, dengan kedua kakinya terluka.
2. Letnan Jenderal Ahmad Yani dan Brigadir Jenderal D.I. Panjaitan
dibawa mati setelah ditembak di rumahnya masing-masing.
3. Haryono M.T., Sutoyo Siswomihardjo, S. Parman dan Soeprapto
dibawa hidup-hidup ke desa Lubang Buaya.

Selain perwira tinggi tersebut dan Ade Irma Suryani, ada korban
lain dari kekerasan geng ini, yaitu:
1. Brigadir Polisi Karel Sasuit Tubun (ajudan Waperdam III Dr. J.
Leimena) yang tertembak mati, saat massa sesat masuk ke rumah Dr. J.
Leimena yang dikira rumah A.H. Nasution.
2. Letnan Satu Pierre Tendean (ajudan Jenderal AH Nasution) yang
ditangkap hidup-hidup karena diduga Nasution.
3. Polisi Sukatman yang tertangkap secara tidak sengaja saat berpatroli di
sekitar Lubang Buaya. Namun berhasil lolos dari maut.

Sementara itu, pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 terjadi


penculikan dan pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel
Katamso dan wakilnya, Letnan Kolonel Sugiono (Tajuddin, 2017).
Pada tanggal 1 Oktober 1965, Mayor Jenderal Suharto
(Pangkostrad) mengambil alih kepemimpinan Angkatan Darat, karena
nasib para pemimpin Angkatan Darat tidak diketahui. Pada hari yang sama
Mayor Jenderal. Suharto mengangkat Kolonel Sarwo Edhie Wibowo
(Panglima RPKAD) sebagai Panglima Penumpasan Gerakan 30
September di Jakarta, sedangkan di Jawa Tengah penumpasan dipimpin
11

oleh Pangdam VII Diponegoro Brigjen. Suryo Sumpeno. Sebagai


komandan penumpasan G 30 S, tugas pertama Kolonel Sarwo Edhie
Wibowo adalah merebut kembali Stasiun Pusat RRI Jakarta yang telah
berhasil dikuasai komplotan.
Pada tanggal 2 Oktober 1965 pasukan Kolonel Sarwo Edhie
melakukan penggeledahan di sekitar Bandara Halim Perdana Kusuma,
karena dari daerah ini (Lubang Buaya) pada tanggal 1 Oktober terdengar
suara dan tembakan. Kedatangan pasukan tersebut membuat kelompok
yang masih berada di Lubang Buaya panik dan kabur meninggalkan
Brigadir Polisi Sukitman yang masih terikat di pohon. Berdasarkan
instruksi Briptu Sukitman yang berhasil kabur dari kejaran massa, jenazah
perwira TNI AD itu ditemukan pada 3 Oktober 1965 dan dimakamkan di
TMP Kalibata pada 5 Oktober 1965. Pada tanggal ini pula Ade Irma
Suryani Nasution meninggal di rumah sakit setelah koma sejak 1 Oktober
1965 (Yanti, 2017).
Selain Jakarta dan Jawa Tengah, operasi penumpasan juga
dikembangkan untuk memburu gembong penculikan ke wilayah Blitar
Selatan. Operasi Militer di Blitar Selatan bernama Operasi Trisula,
sedangkan perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur bernama
Operasi Kikis. Operasi ini berhasil menangkap dan menembak tokoh G 30
S/PKI. Dalang utama G 30 S/PKI, D.N., Aiditter ditembak mati pada
tanggal 24 November 1965. Pada tanggal 1 Desember 1965 dibentuk
Komando Merapi yang dipimpin oleh Kolonel Sarwo Edhie Wibowo
untuk memburu pemimpin pemberontak yang melarikan diri ke Jawa
Tengah. Dalam operasi ini, pemimpin pemberontak ditembak mati,
seperti: Kolonel Sahirman, Kolonel Maryono, Letkol Usman, Mayor
Samadi, Mayor RW Sakirno dan Kapten Sukarno. Sedangkan tokoh yang
ditangkap hidup-hidup, seperti Letnan Kolonel Untung Sutopo, diadili di
Pengadilan Militer Luar Biasa (Mahmilub) pada 14 Februari 1966
(Sjamsudin, 2007).
12

B. Penumpasan G30-S/PKI

Dalam situasi yang tidak menentu pimpinan angkatan darat diambil


alih oleh Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto. Ia melakukan
konsolidasi pasukan TNI yang masih setia kepada pemerintahan. Dengan
kekuatan ini, Mayor Jendral Soeharto melakukan serangkaian operasi
penumpasan G30S/PKI. Setelah merebut kembali stasiun telekomunikasi
RRI, Mayor Jendral Soeharrto menjelaskan melalui siaran radio bahwa
telah terjadi penghianatan yang dilakukan Gerakan 30 September/PKI.
Mereka telah menculik beberapa perwira TNI AD. Lebih lanjut Mayjen
soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno dan Jendral A. H.
Nasution dalam keadaan sehat dan situasi Jakarta telah dikendalikan
(Ghofur, 2010).

Langkah selanjutnya adalah merebut Bandara Halim Perdana


Kusuma yang diduga sebagai pusat Gerakan 30 September/PKI. Dalam
waktu singkat tempat ini dapat dikuasai pasukan RPKAD.

Untuk menumpas G 30 S/PKI di Jawa Tengah, diadakan operasi


militer yang dipimpin oleh Pangdam VII, Brigadir Suryo Sumpeno.
Penumpasan di Jawa Tengah memakan waktu yang lama karena daerah ini
merupakan basis PKI yang cukup kuat dan sulit mengidentifikasi antara
lawan dan kawan. Untuk mengikis sisa-sisa G 30 S/PKI di beberapa
daerah dilakukan operasi-operasi militer berikut.

a. Operasi Merapi di Jawa Tengah oleh RPKAD di bawah pimpinan


Kolonel Sarwo Edhie Wibowo.

b. Operasi Trisula di Blitar Selatan dipimpin Kolonel Muh. Yasin dan


Kolonel Wetermin.
13

Akhirnya dengan berbagai operasi militer, pimpinan PKI D.N Aidit


dapat ditembak mati di Boyolali dan Letkol Untung Sutopo ditangkap di
Tegal.
Dalam bulan-bulan setelah peristiwa ini, semua anggota dan
pendukung PKI, atau mereka yang dianggap sebagai anggota dan
simpatisan PKI, semua partai kelas buruh yang diketahui dan ratusan ribu
pekerja dan petani Indonesia yang lain dibunuh atau dimasukkan ke kamp-
kamp tahanan untuk disiksa dan diinterogasi. Pembunuhan-pembunuhan
ini terjadi di Jawa Tengah (bulan Oktober), Jawa Timur (bulan November)
dan Bali (bulan Desember). Berapa jumlah orang yang dibantai tidak
diketahui dengan persis, perkiraan yang konservatif menyebutkan 500.000
orang, sementara perkiraan lain menyebut dua sampai tiga juta orang.
Namun diduga setidak-tidaknya satu juta orang menjadi korban dalam
bencana enam bulan yang mengikuti kudeta itu.
Dihasut dan dibantu oleh tentara, kelompok-kelompok pemuda dari
organisasi-organisasi muslim sayap-kanan seperti Barisan Ansor NU dan
Tameng Marhaenis PNI melakukan pembunuhan-pembunuhan massal,
terutama di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Ada laporan-laporan bahwa
Sungai Brantas di dekat Surabaya menjadi penuh mayat-mayat sampai di
tempat-tempat tertentu sungai itu “terbendung mayat”. Pada akhir 1965,
antara 500.000 dan satu juta anggota-anggota dan pendukung-pendukung
PKI telah menjadi korban pembunuhan dan ratusan ribu lainnya
dipenjarakan di kamp-kamp konsentrasi, tanpa adanya perlawanan sama
sekali. Sewaktu regu-regu militer yang didukung dana CIA menangkapi
semua anggota dan pendukung PKI yang terketahui dan melakukan
pembantaian keji terhadap mereka, majalah “Time” memberitakan:
“Pembunuhan-pembunuhan itu dilakukan dalam skala yang sedemikian
sehingga pembuangan mayat menyebabkan persoalan sanitasi yang serius
di Sumatera Utara, di mana udara yang lembap membawa bau mayat
14

membusuk. Orang-orang dari daerah-daerah ini bercerita kepada kita


tentang sungai-sungai kecil yang benar-benar terbendung oleh mayat-
mayat. Transportasi sungai menjadi terhambat secara serius.”

C. Dampak Pasca Peristiwa G30-S/PKI

Peristiwa Gerakan 30 September atau yang sering disebut dengan


G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia banyak menimbulkan dampak
negatif bagi kehidupan sosial serta polemik di masyarakat Indonesia,
sebagaimana kita ketahui bahwa Gerakan 30 September atau G30S /PKI
1965 ingin melakukan kudeta terhadap pemerintah. Indonesia dan
merubah ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila dengan ideologi
komunis (Fatimah, 2020). Berikut beberapa dampak sosial politik dan
dampak ekonomi yang dialami Indonesia pasca peristiwa G30-S/PKI:
1. Dampak Politik
Salah satu dampak dari gerakan 30 September adalah dampak
politik, yaitu sebagai berikut:
 Presiden Soekarno yang kehilangan wibawanya di mata seluruh
rakyat Indonesia.
 Kondisi politik Indonesia semakin tidak stabil akibat munculnya
konflik-konflik di dalam lembaga-lembaga tinggi negara.
 Sikap pemerintah yang belum mampu mengambil keputusan untuk
membubarkan PKI yang kemudian menimbulkan kemarahan
rakyat.
 Demonstrasi massal dilakukan oleh masyarakat dan juga
mahasiswa yang tergabung dalam WE, KAPPI, dan juga KAPI
menuntut agar PKI dibubarkan beserta ormas-ormasnya. Atau yang
sering disebut dengan Tritura atau sering disebut dengan Tiga
Tuntutan Rakyat. Tuntutannya adalah pembubaran PKI,
pembersihan kabinet Dwikora dan unsur-unsur PKI, dan penurunan
harga barang.
15

 Pemerintah merombak atau memperbaharui kabinet Dwikora


menjadi kabinet Dwikora yang telah disempurnakan dan ditujukan
pada kabinet dengan seratus menteri atau sering dikenal dengan
kabinet seratus menteri. Kabinet yang sudah terbentuk banyak
mengalami kontradiksi, ditentang oleh AS dan juga rakyat karena
di dalam kabinet itu sering ada menteri-menteri yang pro-PKI atau
memberikan dukungan kepada PKI sehingga mereka turun ke jalan
dan turun ke jalan. kempes ban mobil calon menteri yang akan
dilantik dan pada aksi tersebut akhirnya menewaskan seorang
mahasiswa bernama Arif Rahman Hakim. Kejadian itu membunuh
Arif Rahman Hakim yang pada akhirnya menyebabkan
demonstrasi yang lebih besar dibandingkan demonstrasi
sebelumnya oleh mahasiswa dan pemuda Indonesia di Jakarta dan
daerah lainnya.
 Pada tanggal 25 Februari 1966, Soekarno membubarkan AS karena
dianggap sebagai pemicu demonstrasi dan juga turun ke jalan oleh
pemuda Indonesia dan mahasiswa Indonesia.
 Pada tanggal 11 Maret 1966 diadakan rapat kabinet untuk
membahas krisis politik nasional namun sidang ini tidak dapat
diselesaikan dengan baik, karena adanya pasukan yang tidak
dikenal di luar gedung yang kemudian menimbulkan anggapan
yang dapat membahayakan keselamatan Presiden Soekarno.
 Pada tanggal 11 Maret 1966, Presiden Soekarno mengeluarkan
perintah pada tanggal 11 Maret atau lebih dikenal dengan
Supersemar yang isinya Presiden Soekarno memberikan perintah
kepada Letnan Jenderal Suharto untuk melakukan tindakan yang
menurutnya penting dan perlu guna menjamin keamanan dan
ketertiban di jalannya revolusi dan juga untuk menjamin keamanan
pribadi dan wewenang Presiden.

Berikut beberapa dampak sosial politik G 30 S/PKI:


16

a. Secara politik, peta kekuatan politik baru telah lahir, yaitu tentara
AD.
b. Pada bulan Desember 1965 PKI telah bubar sebagai kekuatan
politik di Indonesia.
c. Kekuatan politik dan prestise Presiden Soekarno memudar.
d. Secara sosial, telah terjadi penangkapan dan pembunuhan orang-
orang PKI atau "dianggap PKI", yang tidak semuanya melalui
proses pengadilan dalam jumlah yang relatif banyak.

Dampak sosial politik yang dirasakan masyarakat Indonesia


dengan terjadinya G30S/PKI 1965 antara lain semakin tidak stabilnya
kondisi politik di Indonesia akibat konflik di lembaga-lembaga tinggi
negara, ketidakmampuan pemerintah mengambil keputusan untuk
membubarkan PKI, munculnya -skala demonstrasi. menuntut agar PKI
dan ormas-ormasnya dibubarkan. Atau yang sering disebut dengan
Tritura atau sering disebut dengan Tiga Tuntutan Rakyat. Dampak
yang dirasakan oleh G30S/PKI 1965 antara lain memudarnya wibawa
Presiden Soekarno di mata masyarakat, renggangnya hubungan
pemerintah Indonesia dengan China, PKI sebagai kekuatan politik
telah hancur karena tidak percaya lagi. dalam masyarakat.
Situasi politik menjadi semakin tegang dan bahkan tegang karena
tuntutan pemerintah untuk membubarkan PKI belum terpenuhi. Situasi
ekonomi semakin memburuk, masyarakat mulai sulit mendapatkan
kebutuhan pokok. Pada tanggal 13 Januari 1966 harga bahan bakar
minyak naik yang mengakibatkan naiknya harga barang dan jasa di
segala bidang. Kemudian terjadi devaluasi uang lama (1000) menjadi
(1) baru (A.Prakoso, 2015).
Pasca tragedi nasional peristiwa G30S 1965 sebagai akibat dari
perjuangan politik baik dalam skala nasional maupun internasional,
semua ini memberikan konsekuensi serius bagi kehidupan sosial di
Jawa Timur. Karena diyakini dalang G30S adalah PKI, maka PKI
17

harus bertanggung jawab, maka peristiwa itu dinamakan G30S PKI,


maka penguasa khususnya militer menyatakan penumpasan anggota
dan simpatisan PKI, di Jawa Timur kondisi kehidupan sosial
masyarakat berubah menjadi aksi teror bersama. Pembakaran dan
pembunuhan terjadi dimana-mana. Buronan politik nasional yaitu
anggota dan simpatisan PKI di Jawa Timur, seperti; Banyuwangi,
Bondowoso, Blitar, Jember, Kediri, Kertosono, Malang, Madura,
Surabaya, Situbondo, dan lain-lain ditangkap semua, pendukung PKI
di berbagai wilayah Jawa Timur kebanyakan tidak paham apa yang
sebenarnya terjadi, mereka ikut G30S Peristiwa yang menewaskan
enam jenderal tersebut, karena banyaknya tahanan politik, akhirnya
dibuatlah kamp interniran di Pulau Buru (Alfian, 1990).

2. Dampak Ekonomi
Dampak ekonomi pada peristiwa G30SPKI mengakibatkan inflasi
yang tinggi diikuti dengan kenaikan harga barang, hingga lebih dari 60
persen per tahun untuk mengatasi masalah ini, dan akhirnya
pemerintah mengeluarkan dua kebijakan ekonomi, yaitu:
 Pemerintah mendevaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu
Rp. 1000 sampai Rp. 100.
 Menaikkan harga barang BBM hingga empat kali lipat sehingga
kebijakan ini membuat kenaikan harga barang sulit dikendalikan.

Pada tahun 1978, di bawah tekanan internasional dari PBB dan


WHO, rezim Suharto membebaskan tahanan politik di Pulau Buru.
Namun, setelah meninggalkan Pulau Buru dengan syarat
menandatangani sumpah yang berisi 1001-harus dan 1001-terlarang
bukannya merdeka sepenuhnya, para tapol, termasuk masyarakat Jawa
Timur, merasa hanya merdeka secara fisik tetapi terdiskriminasi secara
mental melawan secara nasional.
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pada hakikatnya, peristiwa ini merupakan puncak kepada
pergolakan politik yang berlaku di Indonesia yang bermula di tahun-tahun
terakhir 1950-an dan awal tahun 1960-an. Ia juga sebenarnya lebih
memperlihatkan persaingan antara pihak PKI dan tentera dalam
mengambil alih politik Indonesia berikutnya dengan keadaan kesehatan
Presiden Sukarno yang dikatakan semakin merosot. Pada saat itu keadaan
ekonomi Indonesia berada dalam keadaan yang sangat meruncing.
Latar belakang terjadinya G30S/PKI perlu ditelusuri sejak
masuknya komunisme/Marxisme-Leninisme ke Indonesia pada awal abad
ke-20, infiltrasinya ke dalam organisasi lain, dan hubungannya dengan
gerakan komunis internasional. Pada pokoknya, politik PKI di Indonesia
terbukti merupakan pelaksanaan perintah dari para pemimpin gerakan
komunis internasional.
Peristiwa Gerakan 30 September atau yang sering disebut dengan
G30S/PKI 1965 yang terjadi di Indonesia banyak menimbulkan dampak
negatif bagi kehidupan sosial serta polemik di masyarakat Indonesia,
sebagaimana kita ketahui bahwa Gerakan 30 September atau G30S /PKI
1965 ingin melakukan kudeta terhadap pemerintah. Indonesia dan
merubah ideologi negara Indonesia yaitu Pancasila dengan ideologi
komunis.
Pengaruh dari tahap sekarang dari revolusi ini akan menetapkan
pengaruh revolusioner atas kapitalis-kapitalis nasional Indonesia. Tidak
akan ada perjuangan bersenjata kecuali bila ada intervensi asing memihak
para kapitalis.
Persiapan PKI:
1. Membentuk biro khusus di bawah pimpinan Syam Kamaruzman.

18
2. Menuntut pembentukan angkatan ke-5 yang terdiri dari buruh dan tani
bersenjata.
3. Melakukan sabotase, aksi sepihak, dan aksi teror.
4. Melakukan aksi fitnah terhadap ABRI khususnya TNI-AD yang
dianggap menghambat pelaksanaan programnya yaitu dengan
meluncurkan isu dewan umum.
5. Melakukan latihan militer di lubang buaya, Pondok Gede, Jakarta.
Latihan militer ini merupakan sarana persiapan untuk melakukan
pemberontakan.

Sementara itu, pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965 terjadi


penculikan dan pembunuhan terhadap Komandan Korem O72, Kolonel
Katamso dan wakilnya, Letnan Kolonel Sugiono.

Dalam situasi yang tidak menentu pimpinan angkatan darat diambil


alih oleh Panglima Kostrad Mayor Jendral Soeharto. Ia melakukan
konsolidasi pasukan TNI yang masih setia kepada pemerintahan. Dengan
kekuatan ini, Mayor Jendral Soeharto melakukan serangkaian operasi
penumpasan G30S/PKI. Setelah merebut kembali stasiun telekomunikasi
RRI, Mayor Jendral Soeharrto menjelaskan melalui siaran radio bahwa
telah terjadi penghianatan yang dilakukan Gerakan 30 September/PKI.
Mereka telah menculik beberapa perwira TNI AD. Lebih lanjut Mayjen
soeharto menyampaikan bahwa Presiden Soekarno dan Jendral A. H.
Nasution dalam keadaan sehat dan situasi Jakarta telah dikendalikan.

Langkah selanjutnya adalah merebut Bandara Halim Perdana


Kusuma yang diduga sebagai pusat Gerakan 30 September/PKI. Dalam
waktu singkat tempat ini dapat dikuasai pasukan RPKAD.

Dampak sosial politik yang dirasakan masyarakat Indonesia


dengan terjadinya G30S/PKI 1965 antara lain semakin tidak stabilnya
kondisi politik di Indonesia akibat konflik di lembaga-lembaga tinggi
negara, ketidakmampuan pemerintah mengambil keputusan untuk

19
membubarkan PKI, munculnya -skala demonstrasi. menuntut agar PKI dan
ormas-ormasnya dibubarkan. Dampak yang dirasakan oleh G30S/PKI
1965 antara lain memudarnya wibawa Presiden Soekarno di mata
masyarakat, renggangnya hubungan pemerintah Indonesia dengan China,
PKI sebagai kekuatan politik telah hancur karena tidak percaya lagi. dalam
masyarakat.

Dampak ekonomi pada peristiwa G30SPKI mengakibatkan inflasi


yang tinggi diikuti dengan kenaikan harga barang, hingga lebih dari 60
persen per tahun untuk mengatasi masalah ini, dan akhirnya pemerintah
mengeluarkan dua kebijakan ekonomi, yaitu:
 Pemerintah mendevaluasi rupiah lama menjadi rupiah baru yaitu Rp.
1000 sampai Rp. 100.
 Menaikkan harga barang BBM hingga empat kali lipat sehingga
kebijakan ini membuat kenaikan harga barang sulit dikendalikan.

B. Saran
Jelas sekali bahawa sejarah peristiwa G30S/PKI tidak terhenti
dengan kemunculan pentadbiran baru di Indonesia setelah tahun 1965.
Walaupun beberapa dekade, peristiwa tersebut lebih serupa propaganda
kerajaan dalam membasmi fahaman komunis di Indonesia, namun setelah
berakhirnya kepemimpinan Presiden Suharto pada tahun 1998,
perbincangan, perdebatan dan tulisan-tulisan mengenai pro dan kontra,
benar dan salah tentang peristiwa ini kembali diperkatakan secara umum
oleh berbagai pihak di Indonesia.
Inilah yang menjadi inti pembahasan dari makalah ini yaitu
memaparkan isu-isu, peristiwa yang terlibat pada sejarah peristiwa G30-
S/PKI serta dampak sosial, politik dan ekonomi yang dialami oleh
Indonesia.

20
DAFTAR PUSTAKA

A.Prakoso, D. A. (2015). Dampak Pemberontakan PKI di Jawa Tengah pada


Tahun 19-65. Jurnal Universitas PGRI Yogyakarta, 20(2).

Asvi, W. A. (2009). Orang-orang Di Balik Tragedi. Galangpress.

Fatimah, S. A. (2020). Perempuan Gerwani Minangkabau dalam Belitan Konflik


G30S/PKI 1965. Kronologi, 2(1), 25-32.

Ghofur, A. (2010). Peran Soeharto dalam Peristiwa G30S/PKI. Skripsi, 43.

Harsono, S. G. (2004). Gerakan 30 September 1965 : Kesaksian Letkol (Pnb)


Heru Atmodjo. PEC.

Huda, Y. H. (2020). Sejarah Kontraversial G30-S/PKI. UNIPMA Press.

Sjamsudin, H. (2007). Metodologi Sejarah. Ombak, 89.

Suparjan, E. (2016). Peristiwa G30 S sebagai Isu Kontroversional pada Mata


Pelajaran Sejarah di SMA Kota Bima. Jurnal Pendidikan Sejarah, 5(1),
38-48.

Tajuddin, R. H. (2017). G30S/PKI 1965 dan Tragedi Lubang Buaya: Sebuah


Trilogi. Journal of Nusantara Studies (JONUS), 2(2), 295-305.

Yanti, F. (2017). G-30-S/PKI di Balik Penetapan Hari Kesaktian Pancasila Tahun


1965. Historia: Jurnal Program Studi Pendidikan Sejarah, 2(2), 33-40.

21
LAMPIRAN

22

Anda mungkin juga menyukai