Anda di halaman 1dari 20

MODERASI BERAGAMA DALAM KEHIDUPAN MASYARAKAT INDONESIA

YANG PLURAL DAN MULTIKULTURAL

Disusun dan Diajukan untuk memenuhi tugas Mata Kuliah


Moderasi Beragama

KELOMPOK 8 :
• Mochammad Fajrul Auliyaurrohman/2207026099
• Shoffa Hard Yana/2207026097

Progam Studi Gizi


Fakultas Psikologi dan Kesehatan
Universitas Islam Negeri Walisongo
2022

KATA PENGANTAR
Puji syukur ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga makalah dengan judul “Moderasi Beragama dalam Kehidupan Masyarakat Indonesia
yang Plural dan Multikultural” dapat selesai dengan baik dan tepat waktu. Makalah ini
disusun untuk memenuhi tugas pembelajaran mata kuliah Islam dan Moderasi Beragama.

Ucapan terima kasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah membantu dalam
penyelesaian makalah ini. Di samping itu, penulis juga menyadari bahwa masih banyak
kesalahan dalam penulisan makalah. Untuk itu, penulis mohon kritik dan saran yang
membangun guna menjadikan makalah ini dapat lebih baik nantinya.

Demikian yang dapat penulis sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dijadikan

Referensi oleh pembaca.

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ........................................................................................................... i


DAFTAR ISI .......................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................... 1
A. LATAR BELAKANG .................................................................................... 1
B. RUMUSAN MASALAH ............................................................................... 2
C. TUJUAN ........................................................................................................ 2
D. METODE ....................................................................................................... 2
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................... 3
A. ............................... 3
B. ........ 7
C. ............ 7
D. ......................................... 8
E. ................................................................................................ 16
BAB III PENUTUP ............................................................................................................... 17
A. KESIMPULAN .............................................................................................. 17
PENUTUP.............................................................................................................................. 18
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................................... 18

ii
BAB I PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Masyarakat Indonesia dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia memiliki keragaman,
mencakup beraneka ragam etnis, bahasa, agama, budaya,dan status sosial. Keragaman dapat
menjadi "integrating force" yang mengikat kemasyarakatan namun dapat menjadi penyebab
terjadinya benturan antar budaya, antar ras, etnik, agama dan antar nilai nilai hidup.
Keragaman budaya (multikultural) merupakan peristiwa alami karena bertemunya berbagai
budaya, berinteraksinya beragam individu dan kelompok dengan membawa perilaku budaya,
memiliki cara hidup berlainan dan spesifik. Keragaman seperti keragaman budaya, latar
belakang keluarga, agama, dan etnis tersebut saling berinteraksi dalam komunitas masyarakat
Indonesia. Dalam komunikasi horizontal antar masyarakat, Mulyana menyebut, benturan
antar suku masih berlangsung di berbagai wilayah, mulai dari sekedar stereotip dan prasangka
antar suku, diskriminasi, hingga ke konflik terbuka dan pembantaian antar suku yang
memakan korban jika. Persaingan antar suku tidak hanya di kalangan masyarakat tetapi juga
dikalangan elit politik bahkan akademisi untuk menempati jabatan di berbagai instansi.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Apa yang dimaksud dengan masyarakat plural dan multikultural
2. Bagaimana multikulturalisme dalam konsep moderasi beragama di Indonesia bisa
terbentuk
3. Bagaimana perspektif pluralisme dakam moderasi beragam menurut Abdurrahman
Wahid
C. TUJUAN
1. Mengetahui apa itu masyarakat plural dan multikultural
2. Mengetahui dan melakukan sikap moderasi beragama yang dapat dilakukan di
negara multikultural.
4. Mengetahui pandangan atau pola berfikir pluralisme menurut Abdurrahman
Wahid.

1
BAB II PEMBAHASAN
A. Rangkaian peristiwa terjadinya peristiwa G30SPKI
1. Sejarah munculnya Gerakan 30 September
Sejarah gerakan 30 September atau G30S PKI yang dilancarkan oleh Partai Komunis
Indonesia (PKI), diawali oleh Dekrit Presiden yang akhirnya melahirkan demokrasi
terpimpin. Tujuan awalnya yakni hendak mengatasi berbagai penyimpangan terhadap UUD
1945 dan Pancasila. Sayangnya, jauh panggang dari api. Bukan memperbaiki keadaan politik,
demokrasi terpimpin justru semakin memperlebar penyimpangan yang terjadi. Pada era ini,
atas propaganda PKI, figur Presiden Soekarno justru sangat dikultuskan melebihi UUD 1945
dan Pancasila. Presiden Soekarno menjadi sentral dari segala kebijakan, termasuk
membubarkan DPR.
Selain itu, ajaran Nasakom yang diakomodasi Presiden Soekarno menimbulkan
benihbenih pengingkaran terhadap UUD 1945 dan Pancasila. Betapa tidak, PKI yang jelas-
jelas secara ideologi sangat bertolak belakang dengan UUD 1945 dan Pancasila, malah
mendapat legalitas formal. Padahal, jika dilihat ke belakang, PKI telah terbukti melakukan
penolakan terhadap UUD 1945 dan Pancasila dengan melakukan pemberontakan di Madiun
(1948).
PKI juga merupakan salah satu partai tertua dan terbesar di Indonesia. Partai ini
mengakomodir kalangan intelektual, buruh, hingga petani. Pada pemilu tahun 1955, PKI
berhasil meraih 16,4 persen suara dan menempati posisi keempat di bawah PNI, Masyumi,
dan NU.
Sejarah berdirinya PKI tak lepas dari Indische Sociaal Democratische Vereeniging
(ISDV), partai kecil berhaluan kiri yang didirikan oleh tokoh Sosialis Belanda, Hendricus
Josephus Franciscus Marie Sneevliet atau dikenal dengan Henk Sneevliet. Dikutip dari buku
Sejarah untuk Kelas XII oleh Nana Supriatna, ISDV menyusup ke partai-partai lokal baik
besar maupun kecil, seperti Sarekat Islam (SI). Beberapa tokoh SI yang melejit pada saat itu
antara lain Semaoen dan Darsono, yang tak lain berperan penting dalam pendirian PKI. Pada
tahun 1920-an, ISDV kemudian mengilhami lahirnya PKI dengan Semaoen sebagai ketua dan
Darsono menjadi wakilnya. Dalam buku Tan Malaka: Pergulatan Menuju Republik 1897-
1925 yang ditulis oleh Harry A. Poeze, Tan Malaka sempat mengusulkan PKI sebagai Partai
Nasional Revolusioner Indonesia. Namun, nama yang diusulkannya ditolak oleh Semaoen.
2. Rangkaian peristiwa G30S PKI

2
G30SPKI adalah gerakan yang bertujuan untuk menggulingkan pemerintahan Presiden
Soekarno dan menjadikan Indonesia sebagai negara komunis. Gerakan ini dipelopori oleh
Dipa Nusantara Aidit atau biasa dikenal DN Aidit, yang saat itu menjadi pemimpin terakhir
Partai Komunis Indonesia (PKI). Di bawah kendali DN Aidit, perkembangan PKI semakin
nyata walaupun diperoleh melalui sistem parlementer. Dikutip dari buku Api Sejarah 2 oleh
Ahmad Mansur Suryanegara, menurut Arnold C. Brackman, DN Aidit mendukung konsep
Khrushchev, yakni "If everything depends on the communist, we would follow the peaceful
way (bila segalanya bergantung pada komunis, kita harus mengikuti dengan cara
perdamaian)." Pandangan itu disebut bertentangan dengan konsep Mao Ze Dong dan Stalin
yang secara terbuka menyatakan bahwa komunisme dikembangkan hanya dengan melalui
perang.
G30S PKI terjadi pada malam hingga dini hari, tepat pada akhir tanggal 30
September dan masuk 1 Oktober 1965. Letnan Kolonel Untung, seorang anggota
Cakrabirawa (Pengawal Istana), memimpin pasukan yang diyakini setia kepada PKI. Gerakan
ini ditujukan kepada perwira tinggi militer Indonesia. Tiga dari enam orang yang diserang,
tewas seketika di rumahnya. Sedangkan yang lainnya diculik dan dibawa ke lubang buaya.
Jenazah tujuh perwira TNI AD ditemukan beberapa hari kemudian. Sebelum gerakan ini
terjadi, beberapa pejabat tinggi militer berencana untuk menggulingkan Presiden Soekarno,
dan desas-desus beredar tentang keberadaan Dewan Jenderal. Menanggapi desas-desus,
Presiden Soekarno dikatakan telah memerintahkan penjaga pengadilan untuk menangkap
perwira senior militer untuk diadili. Namun sayang, sebelum operasi penangkapan dilakukan,
sudah ada unsur-unsur yang membunuh mereka di Lubang Buaya.
Korban Perwira Tinggi Negara, Keenam petinggi pasukan TNI yang tewas dalam
peristiwa tersebut adalah Letnan Jenderal Anumerta Ahmad Yani, Mayor Jendral Raden
Soeprapto, Mayor Jenderal Mas Tirtodarmo Haryono, Mayor Jenderal Siswondo Parman,
Brigadir Jendral Donald Isaac Panjaitan, dan Brigadir Jendral Sutoyo Siswodiharjo.
Sedangkan sasaran utamanya, Panglima TNI AH Nasution berhasil kabur. Namun, putrinya
Ade Irma Nasution tertembak dan ajudannya, Lettu Pierre Andreas Tendean, diculik dan
ditembak di Lubang Buaya. Keenam jenderal tersebut dan Letnan Pierre Tendean kemudian
disebut sebagai pahlawan revolusi. Sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2009,
gelar tersebut juga telah diakui sebagai pahlawan nasional. Selain itu, beberapa orang
meninggal di Jakarta dan Yogyakarta. Diantaranya : Brigadir Polisi Ketua Karel Satsuit
Tubun - Kolonel Katamso Darmokusumo - Letnan Kolonel Sugiyono Mangunwiyoto.

3
The Gilcris Papers yang berasal dari Duta Besar Inggris Andres Gilcris, diedarkan
pada waktu yang hampir bersamaan dengan edisi General Council. Beberapa mengklaim
bahwa dokumen itu dipalsukan oleh dinas rahasia Ceko di bawah pengawasan Jenderal KGB
Rusia Agayan. Dokumen tersebut menyatakan bahwa perwira militer disuap dari Barat.
Selain itu, AS dituduh memprovokasi militer Indonesia dengan memberikan daftar nama
anggota PKI yang akan dibunuh. Badan-badan intelijen AS memperoleh data campur tangan
PKI dalam insiden 30 September dari berbagai sumber. Salah satunya diambil dari buku
“Indonesia Upheaval” yang ditulis oleh John Hughes. Sampai saat ini, tidak ada bukti yang
jelas tentang keterlibatan aktif Suharto dalam penculikan para Perwira Senior Angkatan
Darat. Satu-satunya adalah adanya kerjasama dengan Kolonel Abdul Latif di rumah sakit
tentara saat pertemuan dengan Soeharto, yang sekarang menjadi Panglima Komando Strategis
Cadangan Angkatan Darat (Pankostrad). Desas-desus beredar bahwa Soeharto memang
mengetahui latihan yang dijadwalkan berlangsung pada dini hari 30 September itu, tetapi ia
merahasiakannya untuk kepentingannya sendiri.
3. Setelah peristiwa G30S PKI
PKI berhasil menguasai dua fasilitas komunikasi utama yaitu studio RRI dan stasiun
telekomunikasi. Setelah pembunuhan tragis beberapa perwira militer, PKI menyiarkan
pengumuman melalui RRI bahwa gerakan 30 September sedang merencanakan kudeta
terhadap pemerintah. PKI juga mengumumkan pembentukan "Dewan Revolusioner" yang
diketuai oleh Letnan Kolonel Untung Sutopo. Juga pada sore hari tanggal 1 Oktober 1965,
PKI menuduh Kolonel Katamso (Panglima Korem 072/Yogyakarta) dan Letnan Kolonel
Sugiyono (Kepala Staf Korem 072/Yogyakarta) karena menolak untuk menghubungi Dewan
Revolusi.
Presiden Soekarno dan Sekjen PKI, DN Aidit menanggapi pembentukan Dewan
Revolusi dan memutuskan untuk pindah ke Pangkalan Udara Halim sebagai tempat
perlindungan. Pada tanggal 6 Oktober, Presiden Soekarno mengimbau rakyat untuk
membentuk "Persatuan Nasional", yaitu persatuan antara angkatan bersenjata dan korbannya
serta diakhirinya kekerasan. Selain itu, Politik Biro Komite Sentral PKI menyerukan kepada
seluruh anggota dan ormas untuk mendukung "pemimpin revolusioner Indonesia" dan tidak
menentang militer.
Pada 12 Oktober 1965, pemimpin Soviet Brezhnev, Mikoyan dan Kosygin mengirim
pesan khusus kepada Presiden Soekarno. Kami akan mendengarkan dengan penuh minat
pidato Anda di radio kepada seluruh rakyat Indonesia agar tetap tenang dan menghindari
kebingungan. Pada tanggal 16 Oktober 1965, Presiden Sukarno, atas saran rekan-rekannya,

4
mengangkat Mayor Jenderal Soeharto sebagai Menteri Perang dan Panglima Keraton. Berikut
petikan pesan Presiden Soekarno kepada Soeharto saat Soeharto dilantik. “Revolusi Panka
Ajmat Penuh, Trisakti Penuh, Nasakom Penuh, Otonomi Penuh, Manipol Penuh - Angkatan
Bersenjata Republik Indonesia dipimpin oleh USDEK. Manipol-USDEK telah ditetapkan
sebagai haluan Negara Kesatuan Republik Indonesia oleh Penguasa Tertinggi. Dan karena
Manipol-USDEK ini adalah arah Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka harus
didukung, dilaksanakan dan digalakkan oleh kita semua. Oleh Angkatan Darat, Angkatan
Laut, Angkatan Udara, dan Kepolisian Negara. Revolusi kita hanya akan berhasil jika kita
semua benar-benar merangkul lima keajaiban ini. Soeharto, sebagai Panglima Angkatan
Darat dan Menteri Kabinet saya, saya perintahkan Anda untuk melakukan yang terbaik
seperti yang saya perintahkan. Semoga Tuhan selalu bersama Anda dan kami!"
Rakyat menuntut Presiden Soekarno membubarkan PKI. Soekarno kemudian
memerintahkan Mayjen Soeharto untuk membersihkan semua elemen pemerintahan dari
pengaruh PKI, dan Soeharto bertindak cepat. PKI dinyatakan sebagai penggagas kudeta dan
para pemimpinnya menjadi buronan untuk ditangkap, termasuk DN Aidit yang melarikan diri
ke Jawa Tengah kemudian berhasil ditangkap. Anggota organisasi yang mendukung atau
berafiliasi dengan PKI juga telah ditangkap. Organisasi-organisasi tersebut antara lain Lekra,
CGMI, Pemuda Rakyat, Barisan Tani Indonesia, Gerakan Perempuan Indonesia, dll. Berbagai
kalangan masyarakat turut andil membasmi markas PKI di berbagai daerah. Mereka juga
menyerang institusi, perusahaan, instansi pemerintah, dan universitas yang diduga memiliki
hubungan dengan PKI. Pada akhir tahun 1965, diperkirakan 500.000 hingga 1 juta anggota
dan pendukung PKI dicurigai melakukan pembunuhan. Sementara itu, ratusan ribu lainnya
dikirim ke kamp konsentrasi.
4. Peringatan Pada masa Orde Baru pemerintahan Soeharto
G30S PKI selalu diperingati pada tanggal 30 September. Tanggal 1 Oktober juga
diperingati sebagai Hari Kesaktian Pancasila. Untuk mengenang prestasi tujuh pahlawan
revolusioner yang gugur dalam peristiwa itu, Soeharto juga memulai pembangunan Gedung
Tugu Pancasila Sakti di Lubang Buaya, Jakarta Timur.
Pristiwa G30S PKI juga dikenang dalam film propaganda pada tahun 1984. Sebuah
film dokumenter propaganda tentang peristiwa tersebut dirilis. Film ini diproduksi oleh Pusat
Produksi Film Nasional dan kemudian disutradarai oleh Brigadir Jenderal G. Dwipayana,
yang juga staf kepresidenan Soeharto dan menelan biaya Rp.800 juta. Dilihat dari latar
belakang pembuatannya, banyak yang menduga bahwa film tersebut dimaksudkan sebagai
propaganda politik sehingga menjadi tontonan dan ditayangkan terus-menerus di TVRI setiap

5
malam pada tanggal 30 September. Film Arifin C. Noel tidak pernah ditayangkan lagi di
TVRI sejak Presiden Soeharto lengser pada 1998. Ini terjadi setelah tekanan publik bahwa
film tersebut tidak sesuai dengan kejadian nyata.

B. Letak penyimpangan peristiwa tersebut dengan nilai-nilai Pancasila.


Tujuan utama PKI adalah menggulingkan pemerintahan era Soekarno dan mengganti
negara Indonesia menjadi negara komunis. Dari hal tersebut saja sudah jelas bahwa telah
terjadi penyimpangan terhadap ideologi Pancasila. Ideologi komunisme tidak bisa dijadikan
ideologi Bangsa Indonesia, karna bertentangan dengan jiwa dan semangat bangsa yang
menjunjung tinggi asas Ketuhanan Yang Maha Esa. Salah satu penipuan yang dilakukan oleh
para pengikut komunis atau PKI supaya bisa diterima oleh Rakyat Indonesia sejak pertama
kali di Indonesia Merdeka adalah bahwa komunisme sesuai dengan jiwa Pancasila, khususnya
sila ke lima mengenai Keadilan Sosial. Rakyat dipandang sebagai alat untuk mencapai
kemakmuran kliping yang sangat halal untuk dibunuh bila diperlukan. Jadi sesungguhnya,
komunisme bertentangan dengan sila kelima dari Pancasila.
Cara-cara komunis yang memecah belah rakyat non-komunis serta pasti melakukan
pemberontakan untuk merebut kekuasaan serta menolak bermusyawarah jelas bertentangan
dengan sila ke tiga dan ke empat pancasila.
Kemudian sifat PKI adalah memusuhi agama dan tokoh-tokoh agama. Hal ini jelas tidak
sesuai dengan nilai Pancasila, yakni sila ke 1 yang menyangkut tentang keagamaan dan
ketuhanan.
G30SPKI menculik, menyiksa dan membunuh 10 orang prajurit ABRI Pancasialis. PKI
juga terus melakukan pembunuhan-pembunuhan terhadap tokoh-tokoh penting. Bahkan, para
ulama, santri, dan para pemimpin partai Islam Indonesia di Masyumi ditangkap dan dibunuh.
Perbuatan mereka yang sewenang-wenang itu bertentangan dengan Pancasila, terutama sila
kemanusiaan yang adil dan beradab. Mayor Jendral Soeharto dengan tegas menggempur dan
menghancurkan G30SPKI dan kemudian membubarkan PKI yang benar benar berkhianat.
Tindakan Mayor Jendral Soeharto yang menghancurkan G30S PKI ini sesuai dengan
pengamalan pacasila sila Kemanusiaan yang adil dan beradab.
C. Faktor penyebab rendahnya pemahaman dan pengamalan tentang
nilainilaiPancasila dalam masyarakat Indonesia.
Di era globalisasi ini, banyak nilai-nilai Pancasila yang begitu penting telah tergeser oleh
nilai-nilai dan pola pikir kebaratan yang tidak sesuai dengan budaya Indonesia yang

6
ketimuran. Hal ini berakibat adanya krisis moral yang terjadi pada bangsa Indonesia
diberbagai lapisan masyarakat, mulai dari para elite-elite politik hingga individu-individu.
Selain itu, hal ini merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia untuk menjaga nilai-nilai
Pancasila agar tidak tenggelam dengan selalu mengimplementasikan Pancasila dalam
kehidupan sehari-hari. Tindakan kriminal seperti pengeboman, pemerkosaan, perampokan,
pembunuhan, korupsi, kolusi, dan nepotisme sudah menjadi masalah yang sering terjadi. Hal
ini terjadi karena manusia telah melupakan hakekatnya sebagai makhluk yang berTuhan,
makhluk sosial, dan makhluk pribadi sehingga tidak lagi menjalankan tugas sebagai khalifah
di bumi.
Sifat dasar manusia yang serakah dan selalu ingin mendapatkan lebih adalah salah satu
hal penyebabnya. Selain itu manusia tidak bisa mengendalikan sifat dasarnya yaitu
menghalalkan segala cara hingga mengesampingkan bahkan menghilangkan etika dan moral
kehidupan serta menyimpang dari norma Pancasila. Dari situlah awal mula masalah tersebut
muncul. Kami meyakini bahwa selain faktor-faktor yang bersifat internal seperti yang diatas,
ada peran dari faktor-faktor eksternal yang ikut menggeser dan melunturkan nilai-nilai
Pancasila, sebagai contoh adalah kehadiran internet. Di dalam internet terdapat berbagai
macam informasi yang kita butuhkan apabila kita adalah seorang akademisi, akan tetapi di
dalam internet pula banyak hal-hal negatif yang apabila kita tidak menjaga diri kita dari
pengaruh buruk internet, maka akan terjadi suatu degradasi sosial dan degradasi moral karena
kita tidak bisa membedakan mana yang benar dan mana yang salah. Sehingga pada akhirnya,
masyarakat luas akan semakin melupakan jati dirinya sebagai warga Indonesia yang
berdasarkan Pancasila dan bukan tidak mungkin apabila kita tidak menjaga diri kita dari
ancaman lunturnya nilai-nilai Pancasila di masyarakat, kita akan menjadi negara tanpa ciri-
ciri khusus yang menunjukkan kita sebagai seorang warga negara Indonesia.
Usaha menyejahterakan dan mencerdaskan bangsa haruslah dilandasi lima faktor yakni :
(1) Bebasnya bangsa Indonesia dari segala bentuk penjajahan, termasuk penjajahan ekonomi.
(2) Secara politik dan keamanan nasional, bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia harus
dilindungi dari segala bentuk gangguan dan ancaman.
(3) Kecerdasan kehidupan bangsa, baik individu maupun masyarakat harus terwujud.
(4) Aktivitas bangsa untuk ikut serta menciptakan perdamaian dan ketertiban dunia.
(5) Mengimplementasikan konsep, prinsip dan nilai Pancasila, sehingga keadilan sosial dapat
terwujud.
D. Contoh lunturnya nilai Pancasila
a) Hilangnya manusia yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa.

7
Dalam pemberitaan di berbagai media akhir-akhir ini kita sering dilihatkan dan
dihadapkan kepada fakta bahwa banyak terjadi aksi-aksi anarkis yang ditujukan kepada suatu
kelompok agama tertentu yang diduga dilakukan oleh suatu Ormas Keagamaan tertentu. Ini
adalah satu contoh dan bukti dari belum diimplementasikannya nilai-nilai sila pertama yang
menjunjung kebebasan beragama bagi setiap warga Indonesia. Tindakan anarkis yang
mengatasnamakan suatu agama tertentu dijadikan tameng untuk melawan aparat hukum dan
mengahakimi suatu agama tertentu. Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah berlabel
modern sepertinya tidak lagi memakai cara pandang dari sisi keagamaan dengan benar.
Masyarakat Indonesia saat ini yang sudah dikenal pintar sepertinya sudah tidak lagi
memandang sila pertama yaitu
“Ketuhanan Yang Maha Esa“ sebagai salah satu acuan dalam menjalani kehidupan beragama
di Indonesia melainkan hanya sebuah hafalan saat di Sekolah Dasar.
Nilai-nilai kegamaan yang bersumber langsung dari Tuhan sejatinya adalah suatu
kebenaran yang harus ditaati oleh setiap orang yang beragama dan dijadikan suatu batas dan
pengingat saat melakukan suatu tindakan agar tidak melenceng dari norma dan nilai
kebenaran. Namun fakta yang sering dihadapkan kepada kita banyak yang memperlihatkan
betapa rusaknya moral masyarakat Indonesia saat ini. Bahkan lunturnya nilai-nilai dari sila
pertama ini sudah sampai kepada urusan pemerintahan dan ketatanegaraan. Aksi-aksi KKN
(Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme) sepertinya sudah mendarah daging dan menjadi hal yang
lumrah bagi para elite-elite politik, baik ditingkat terendah seperti desa hingga ke tingkat
yang paling tinggi seperti jajaran wakil rakyat ( DPR ) dan pejabat-pejabat negeri.
b) Langkanya Kemanusiaan yang adil dan beradab
Nilai-nilai yang terkandung dalam sila kedua ini kami jabarkan sebagai berikut :
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan persamaan kewajiban antara sesama
manusia. Saling mencintai sesama manusia. b. Mengembangkan sikap tenggang rasa.
c. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
d. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan dan Hak Asasi Manusia.
e. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
f. Menjaga sifat dan sikap Gotong Royong.
Nilai-nilai diatas apabila bisa dijalankan dan diimplementasikan sepenuhnya didalam
kehidupan bermasyarakat, kami yakin Indonesia akan menjadi sebuah bangsa yang memiliki
tingkat kemiskinan rendah, sifat keramah-tamahan yang mendunia, sekaligus menjadi sebuah
bangsa yang unik dimata dunia karena keadilan dan keberadabannya dalam kehidupan
masyarakatnya tetap terjaga. Namun masih ingatkah pembaca dengan kejadian seorang nenek

8
tua yang karena tekanan ekonomi yang dialaminya terpaksa memungut dua buah kakao yang
ditemukannya di jalan lantas nenek tersebut dituntut dijatuhi hukuman dipersidangan? Atau
ingatkah pembaca tentang kejadian memalukan yang diperlihatkan oleh para elite politik
yang menamai dirinya sebagai “Dewan Perwakilan Rakyat“ saat berlangsungnya sidang
paripurna terlibat aksi baku-hantam antar sesama anggota dewan lainnya? Dan ingatkah
pembaca dengan tingkah salah satu anggota dewan saat acara rapat paripurna justru membuka
situs porno? Semua contoh ini adalah bukti dari bergesernya nilai-nilai dari sila kedua.
Kemanusiaan yang adil dan beradab semakin jauh dari kata terwujud apabila kita melihat
fakta-fakta yang terjadi di masyarakat. Dari sisi hukum kita dihadapkan kepada ketidakadilan
hukum yang berlaku di Indonesia yang seperti pisau tajam kebawah, akan tetapitumpul
keatas. Hal ini terbukti dengan banyaknya para pelaku korupsi yang merampok milyaran
bahkan trilyunan uang rakyat yang hanya dihukum kurang dari lima tahun penjara. Sebagai
contoh adalah Anggodo Widjojo yang terbukti merekayasa kriminaslisasi dua anggota KPK
masih bisa bebas seakan tidak terjerat oleh hukum. Tentu saja ini sangat berlawanan dengan
kisah seorang nenek yang bernama Minah yang secara terpaksa memungut dua buah kakao
seharga Rp. 2100 yang ditemukannya dijalan untuk dimakan oleh dirinya yang saat itu
kelaparan, akan tetapi ia harus menjalani hukuman penjara selama 1.5 tahun dengan masa
percobaan selama 3 bulan.
c) Retaknya Persatuan Indonesia
Indonesia adalah negara kepulauan dengan jajaran pulau-pulaunya yang berjumlah lebih
dari 17.560 pulau. Para Founding Father kita dengan susah payah berusaha untuk
mempersatukan seluruh kepulauan bekas jajahan untuk bersatu menjadi suatu negara yang
disebut Indonesia. Kita sebagai generasi penerus haruslah bisa menjaga harta warisan dari
generasi sebelumnya dengan sebaik mungkin. Selain itu, hal ini sudah tentu menjadi tugas
wajib pemerintah untuk memerhatikan kesejahterahan rakyatnya dimanapun mereka tinggal.
Namun, sudahkah hal ini dilakukan oleh pemerintah? Kita bisa melihat bahwa di Pulau Jawa
kemajuan teknologi, transportasi, telekomunikasi, akses pendidikan dan kesehatan sudah
sangat maju dan mudah didapatkan. Hal ini sangat kontradiksi dengan keadaan yang terjadi di
pulau-pulau yang jauh dari Ibukota Jakarta, misalnya saja pulau Papua. Papua adalah pulau
yang memiliki berbagai kekayaan alam yang melimpah, akan tetapi pemerintah seakan
menutup mata terhadap kondisi yang dihadapi oleh masyarakat lokal Papua. Pemerintah
justru cenderung memanfaatkan situasi sulit yang dihadapi oleh masyarakat Papua untuk
menjual berbagai macam aset milik masyarakat Papua seperti tambang emas kepada PT.
Freeport. Hal ini bisa saja menjadi salah satu alasan dari retaknya Persatuan Indonesia karena

9
masyarakat lokal merasa dianaktirikan oleh pemerintah. Sebagai contoh, di Papua terdapat
organisasi separatisme bernama OPM (Organisasi Papua Merdeka), di Maluku terdapat
organisasi separatisme bernama RMS (Republik Maluk Serikat), dan sebagai pengingat di
Aceh ada GAM (Gerakan Aceh Merdeka), akan tetapi antara pihak GAM dan pemerintah
sudah setuju untuk berdamai berdasarkan hasil konferensi di Den Haag Belanda.
Dengan adanya gerakan separatisme dari berbagai daerah seperti contoh diatas, hal ini
menandakan bahwa adanya rasa kekecewaan dari masyarakat yang merasa dilupakan oleh
pemerintah dalam segi kehidupan seperti ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan berbagai
macam sarana penunjang kemajuan daerahnya. Kekecewaan masyarakat ini ditunjukkan
dengan aksi-aksi pengibaran bendera dari organisasi separatisme mereka sebagai penanda
bahwa mereka ingin melepaskan diri dari Republik Indonesia, inilah salah satu bukti dari
retaknya persatuan Indonesia.
Selain itu, kami memberikan contoh dari sisi yang berbeda atas lunturnya nilai-nilai sila
ketiga. Misalnya saja dari sisi sesama individu dalam hal olahraga, kita sering mendengar
terjadinya kerusuhan antar suporter yang terjadi seusai tim kesayangannya berlaga, hal ini
menandakan bahwa mereka tidak memilik rasa persatuan sebagai sesama warga negara
Indonesia dan tidak memiliki semangat untuk memajukan persepakbolaan di Indonesia.
Dalam hal ini kami mempercayai bahwa ada pengaruh negatif yang secara tidak langsung
diberikan dari para politic figure yang mengurusi PSSI. Para pecinta sepak bola tanah air,
baik secara langsung atau tidak langsung terpengaruh dari situasi politik yang memanas
didalam tubuh PSSI, dan hal ini berujung dengan dibuatnya dua laga kompetisi yang berbeda
dibawah PSSI yaitu ISL (Indonesia Super League) dengan IPL (Indonesia Premier League).
Pada dasarnya perbedaan makna dari persatuan dan kesatuan adalah, persatuan adalah
konsep awal yang dibuat oleh para Founding Father sebelum Indonesia merdeka, dengan
asumsi bahwa semua ras, agama, etnis, suku bangsa, dan bahasa yang terdapat di Indonesia
harus bisa bersatu dahulu sebelum menjadi sebuah kesatuan. Sedangkan makna dari kesatuan
adalah, seluruh perbedaan primordial yang ada di Indonesia sudah bersatu dan melebur
menjadi satu jati diri dan menjadi satu bangsa dan negara yaitu Indonesia tanpa harus
menghilangkan ciri khas dari masing-masing kriteria primordial tersebut.
Pemerintah tidak bisa menutup mata lagi terhadap kondisi rakyatnya yang berada di
pulaupulau terluar dari batas wilayah Indonesia dan daerah-daerah perbatasan, karena mereka
pada dasarnya mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia yang rela berkorban
hidup dalam segala keterbatasan yang ada, dan selalu setia untuk mengibarkan bendera merah
putih di daerahnya. Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan pembangunan di

10
daerah perkotaan? Apakah pemerintah masih bisa untuk mengutamakan jaminan kesehatan,
pendidikan, transportasi hanya untuk daerah perkotaan? Sedangkan disatu sisi, banyak warga
negaranya yang dengan setia, rela berkorban, dan tanpa pamrih bersedia untuk hidup dibawah
garis kemiskinan sekaligus mengakui bahwa mereka adalah warga negara Indonesia. Apabila
pemerintah masih bersikap acuh tak acuh, maka bukan tidak mungkin dalam 30-40 tahun
kemudian akan banyak organisasi-organisasi separatisme akan bermunculan di berbagai
daerah dengan tujuan yang sama yaitu untuk melepaskan diri dari Republik Indonesia.
d) Tidak adanya Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan dan perwakilan
Pemimpin yang amanah, adil, bertanggung jawab, dan bijaksana adalah sosok ideal dari
seorang pemimpin suatu bangsa. Pemimpin dengan kriteria semacam ini peluang
keberhasilannya dalam memimpin suatu organisasi atau negara akan lebih besar, terlebih
apabila pemimpin semacam ini mengedepankan kepentingan bersama daripada kepentingan
pribadi. Indonesia yang sejak merdeka pada tahun 1945 sudah mengalami pergantian presiden
sebanyak enam kali dimana presiden terakhir adalah Susilo Bambang Yudhoyono sudah
menjadi presiden dalam dua periode kepresidenan. Namun sudahkah rakyat Indonesia saat ini
benar-benar dipimpin oleh hikmat kebijaksaan dalam permusyawaratan dan perwakilan?
Apabila kita melihat dari fakta dan kenyataan yang ada di masyarakat, mungkin
Indonesia bisa dikatakan masih belum sepenuhnya menerapkan nilai-nilai yang terkandung
dalam sila keempat. Hal ini bisa dilihat dari hasil-hasil sidang, rapat, atau berbagai pertemuan
para elite politik dimana kebanyakan tidak menghasilkan sesuatu hal yang secara konkrit
memihak rakyat. Sebagai contoh, masih ingatkah pembaca dengan kelakuan para petinggi
elite politik saat isu kenaikan harga bahan bakar di awal bulan April kemarin? Dalam sidang
tersebut terlihat jelas bahwa para elite politik tidak sepenuhnya memihak kepada rakyat dan
terkesan ragu-ragu dalam mengambil keputusan yang berani dan memihak kepada rakyat.
Perlu kami tambahkan bahwa para wakil rakyat sekarang cenderung lebih mengutamakan
kepentingan pribadinya dibandingkan dengan kepentingan rakyat, dengan asumsi bahwa
kesempatan untuk memperkaya diri sendiri selama menjabat menjadi anggota dewan atau
wakil rakyat tidak datang dua kali. Tentu hal ini bisa dikatakan adalah suatu tindakan yang
menciderai hati rakyat dan menodai nilai-nilai Pancasila.
Para pemimpin sekarang lebih menyukai untuk memaksakan kehendak daripada bersikap
sabar dalam mengambil keputusan demi kepentingan rakyat Indonesia. Hal ini diperparah
dengan metode yang dipakai para anggota Dewan Perwakilan Rakyat dalam menentukan
suatu keputusan, mereka lebih menyukai cara pengambilan keputusan dengan Voting. Voting

11
adalah cara menentukan keputusan yang paling buruk, karena voting tidak mengedepankan
pemikiran rasional melainkan tergantung dari jumlah suara terbanyak. Kami berpendapat
bahwa seharusnya apabila kita menelaah lebih dalam dari nilai Pancasila khususnya sila
keempat, Indonesia memiliki suatu cara khusus dalam menyatukan suara dan memutuskan
suatu permasalahan yaitu dengan cara musyawarah.
e) Faktor dan penyebab lunturnya nilai-nilai Pancasila
Pertama, longgarnya pegangan terhadap agama. Sudah menjadi tragedi dari dunia
maju,dimana segala sesuatu hampir dapat dicapai dengan ilmu pengetahuan, sehingga
keyakinan beragam mulai terdesak, kepercayaan kepada Tuhan hanya sebagai simbol,
larangan-larangan dan perintah-perintah Tuhan tidak diindahkan lagi. Dengan longgarnya
pegangan seseorang peda ajaran agama, maka hilanglah kekuatan pengontrol yang ada
didalam dirinya. Dengan demikian satu-satunya alat pengawas dan pengatur moral yang
dimilikinya adalah masyarakat dengan hukum dan peraturanya. Namun pada umumnya
pengawasan masyarakat itu tidak sekuat pengawasan dari dalam diri sendiri. Karena
pengawasan masyarakat itu datang dari luar, jika orang luar tidak tahu atau tidak ada orang
yang disangka akan mengetahuinya, maka dengan senang hati orang itu akan berani
melanggar peraturanperaturan dan hukum-hukum sosial itu. Sedangkan apabila dalam
masyarakat itu banyak orang yang melakukuan pelanggaran moral dengan sendirinya, orang
yang kurang iman tadi akan mudah pula meniru melakukan pelanggaran-pelanggaran yang
sama. Tetapi jika setiap orang teguh keyakinannya kepada Tuhan serta menjalankan agama
dengan sungguh-sungguh, tidak perlu lagi adanya pengawasan yang ketat, karena setiap orang
sudah dapat menjaga dirinya sendiri, tidak mau melanggar hukum-hukum dan ketentuan-
ketentuan Tuhan. Sebaliknya dengan semakin jauhnya masyarakat dari agama, semakin susah
memelihara moral orang dalam masyarakat itu dan semakin kacaulah suasana, karena
semakin banyak pelanggaranpelanggaran, hak, hukum dan nilai moral.
Kedua, kurang efektifnya pembinaan moral yang dilakukan oleh rumah tangga, sekolah
maupun masyarakat. Pembinaan moral yang dilakukan oleh ketiga institusi ini tidak berjalan
menurut semestinya atau yang sebiasanya. Pembinaan moral dirumah tangga misalnya harus
dilakukan dari sejak anak masih kecil, sesuai dengan kemampuan dan umurnya. Karena
setiap anak lahir, belum mengerti mana yang benar dan mana yang salah, dan belum tahu
batas-batas dan ketentuan moral yang berlaku dalam lingkungannya. Tanpa dibiasakan
menanamkan sikap yang dianggap baik untuk manumbuhkan moral, anak-anak akan
dibesarkan tanpa mengenal moral itu. Pembinaan moral pada anak dirumah tangga bukan
dengan cara menyuruh anak menghapalkan rumusan tentang baik dan buruk, melainkan harus

12
dibiasakan. Zakiah Darajat mangatakan, moral bukanlah suatu pelajaran yang dapat dicapai
dengan mempelajari saja, tetapi harus membiasakan hidup bermoral dari sejak kecil. Moral
itu tumbuh dari tindakan kepada pengertian dan tidak sebaliknya. Seperti halnya rumah
tangga, sekolahpun dapat mengambil peranan yang penting dalam pembinaan moral anak
didik. Hendaknya dapat diusahakan agar sekolah menjadi lapangan baik bagi pertumbuhan
dan perkembangan mental dan moral anak didik disamping tempat pemberian pengetahuan,
pengembangan bakat dan kecerdasan. Dengan kata lain, agar sekolah menjadi lapangan sosial
bagi anak-anak, dimana pertumbuhan mental, moral dan sosial serta segala aspek kepribadian
berjalan dengan baik. Untuk menumbuhkan sikap moral yang demikian itu, apabila
pendidikan agama diabaikan di sekolah, maka didikan agama yang diterima dirumah tidak
akan berkembang, bahkan mungkin terhalang. Terjadinya kerusakan moral dikalangan pelajar
dan generasi muda sebagaimana yang telah dijabarkan, akibat tidak efektifnya keluarga,
sekolah, dan masyarakat dalam pembinaan moral. Bahkan ketiga lembaga tersebut satu sama
lainnya saling bertolak belakang, tidak seirama, dan tidak kondusif bagi pembinaan moral.
Ketiga, semua penyebab lunturnya nilai Pancasilan pada dasarnya karena budaya
materialistis, hedonistis dan sekularistis. Sekarang ini sering kita dengar dari radio atau
bacaan dari surat kabar tentang anak-anak sekolah menengah yang ditemukan oleh gurunya
atau polisi mengantongi obat-obat terlarang, gambar-gambar porno, alat-alat kotrasepsi, dan
benda-banda tajam. Semua alat-alat tersebut biasanya digunakan untuk hal-hal yang dapat
merusak moral. Namun gejala penyimpangan tersebut terjadi karena pola hidup yang semata-
mata mengejar kepuasan materi, kesenangan hawa nafsu dan tidak mengindahkan nilai-nilai
agama. Timbulnya sikap tersebut tidak bisa dilepaskan dari derasnya arus budaya matrealistis,
hedonistis dan sekularistis yang disalurkan melalui tulisan, bacaan, lukisan, siaran,
pertunjukan, dan sebagainya. Penyaluran arus budaya yang demikian itu didukung oleh para
penyandang modal yang semata-mata mengeruk keuntungan material dan memanfaatkan
kecenderungan para remaja, tanpa memperhatikan dampaknya bagi kerusakan moral.
Derasnya arus budaya yang demikian diduga termasuk faktor yang paling besar andilnya
dalam menghancurkan moral para remaja dan generasi muda umumnya.
Keempat, belum adanya kemauan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pemerintah
yang diketahui memiliki kekuasaan (power), uang, teknologi, dan sumber daya manusia
tampaknya belum menunjukan kemauan yang sungguh-sunguh untuk melakukan pembinaan
moral bangsa. Hal yang demikian semakin diperparah lagi oleh adanya ulah sebagian elit
penguasa yang semata-mata mengejar kedudukan, peluang, dan kekayaan dengan cara-cara
tidak mendidik seperti korupsi, kolusi dan nepotisme yang hingga kini belum adanya

13
tandatanda untuk hilang. Mereka asik memperebutkan kekuasaan dengan cara-cara tidak
terpuji tersebut dan tidak memperhitungkan dampaknya bagi kerusakan moral bangsa. Bangsa
jadi ikut-ikutan, tidak mau mendengarkan lagi apa yang disarankan dan dianjurkan
pemerintah, karena secara moral mereka sudah kehilangan daya efektifitasnya. Kekuasaan,
uang, teknologi dan sumber daya yang dimiliki pemerintah seharusnya digunakan untuk
merumuskan konsep pembinaan moral bangsa dan aplikasinya secara bersungguh-sungguh
dan berkesinambungan.
Kelima, situasi dan lingkungan kehidupan bangsa yang telah berubah baik di tingkat
domestik, regional maupun global. Situasi dan lingkungan kehidupan bangsa pada tahun
194566 tahun yang lalu, telah mengalami perubahan yang amat nyata pada saat ini, dan akan
terus berubah pada masa yang akan datang. Beberapa perubahan yang kita alami antara lain :
terjadinya proses globalisasi dalam segala aspeknya, perkembangan gagasan hak asasi
manusia (HAM) yang tidak diimbagi dengan kewajiban asasi manusia (KAM), onjakan
pemanfaatan teknologi informasi oleh masyarakat, di mana informasi menjadi kekuatan yang
amat berpengaruh dalam berbagai aspek kehidupan, tapi juga yang rentan terhadap
manipulasi informasi dengan segala dampaknya.
Keenam, terjadinya euphoria reformasi sebagai akibat dari traumatisnya masyarakat
terhadap penyalahgunaan kekuasaan di masa lalu yang mengatasnamakan Pancasila.
Semangat generasi reformasi untuk menanggalkan segala hal yang dipahaminya sebagai
bagian dari masa lalu dan menggantinya dengan sesuatu yang baru, berimplikasi pada
munculnya amnesia nasional tentang pentingnya kehadiran Pancasila sebagai groundnorm
(norma dasar) yang mampu menjadi payung kebangsaan yang menaungi seluruh warga yang
beragam suku bangsa, adat istiadat, budaya, bahasa, agama dan afiliasi politik. Memang,
secara formal Pancasila diakui sebagai dasar negara, tetapi tidak dijadikan pilar dalam
membangun bangsa yang penuh problematika saat ini. Sebagai ilustrasi misalnya, penolakan
terhadap segala hal yang berhubungan dengan Orde Baru, menjadi penyebab mengapa
Pancasila kini absen dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Harus diakui, dimasa lalu
memang terjadi mistifikasi dan ideologisasi Pancasila secara sistematis, terstruktur dan
massive yang tidak jarang kemudian menjadi senjata ideologis untuk mengelompokkan
mereka yang tak sepaham dengan pemerintah sebagai tidak Pancasilais atau anti Pancasila.
Pancasila diposisikan sebagai alat penguasa melalui monopoli pemaknaan dan penafsiran
Pancasila yang digunakan untuk kepentingan melanggengkan kekuasaan. Akibatnya, ketika
terjadi pergantian rezim di era reformasi, munculah demistifikasi dan dekonstruksi Pancasila
yang dianggapnya sebagai simbol, sebagai ikon dan instrumen politik rezim sebelumnya.

14
Pancasila ikut dipersalahkan karena dianggap menjadi ornamen sistem politik yang represif
dan bersifat monolitik sehingga membekas sebagai trauma sejarah yang harus dilupakan.
Pengaitan Pancasila dengan sebuah rezim pemerintahan tertentu, menurut kami merupakan
kesalahan mendasar. Pancasila bukan milik sebuah era atau ornamen kekuasaan pemerintahan
pada masa tertentu. Pancasila juga bukan representasi sekelompok orang, golongan atau orde
tertentu. Pancasila adalah dasar negara yang akan menjadi pilar penyangga bangunan
arsitektural yang bernama Indonesia. Sepanjang Indonesia masih ada, Pancasila akan
menyertai perjalanannya. Rezim pemerintahan akan berganti setiap waktu dan akan pergi
menjadi masa lalu, akan tetapi dasar negara akan tetap ada dan tak akan menyertai kepergian
sebuah era pemerintahan.
Ketujuh, perubahan tersebut telah mendorong terjadinya pergeseran nilai yang dialami
bangsa Indonesia, sebagaimana terlihat dalam pola hidup masyarakat pada umumnya,
termasuk dalam corak perilaku kehidupan politik dan ekonomi yang terjadi saat ini. Dengan
terjadinya perubahan tersebut diperlukan reaktualisasi nilai-nilai pancasila agar dapat
dijadikan acuan bagi bangsa Indonesia dalam menjawab berbagai persoalan yang dihadapi
saat ini dan yang akan datang, baik persoalan yang datang dari dalam maupun dari luar.
Kebelum-berhasilan kita melakukan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila tersebut menyebabkan
keterasingan Pancasila dari kehidupan nyata bangsa Indonesia.
E. Antisipasi dalam menyikapi lunturnya nilai-nilai Pancasila
Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misal semangat mencintaiproduk
dalam negeri. Menanamkan dan mengamalkan nilai- nilai Pancasila dengan sebaik- baiknya.
Menanamkan dan melaksanakan ajaran agama dengan sebaik- baiknya. Mewujudkan
supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti sebenar-benarnya dan
seadil-adilnya, serta selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi,
ekonomi, sosial-budaya bangsa. Dengan adanya langkah- langkah antisipasi tersebut
diharapkan mampu menangkis pengaruh globalisasi yang dapat mengubah nilai nasionalisme
terhadap bangsa dan lunturnya nilai-nilai Pancasila dalam sendi-sendi kehidupan masyarakat
Indonesia. Sehingga kita tidak akan kehilangan kepribadian bangsa sebagai Bangsa
Indonesia.

15
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Berdasarkan penjabaran materi diatas, dapat disimpulkan bahwa letak penyimpangan
peristiwa G30S/PKI dengan nilai-nilai pancasila ada 3:
1. PKI menganut paham komunis yaitu paham yang mengajarkan penganutnya menjadi
atheis (paham yang tidak bertuhan) bahkan mereka menggerakkan pengikutnya untuk
melenyapkan agama. Hal tersebut bertentangan dengan pancasila ke-1 yaitu
Ketuhanan Yang maha Esa.
2. Banyaknya jenderal yang terbunuh saat peristiwa G30S/PKI dan pembunuhan tersebut
sangat tidak manusiawi dan bertentangan dengan HAM. Peristiwa ini berlainan
dengan pancasila sila ke-2 Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab.
3. Rakyat dipandang sebagai alat untuk mencapai kemakmuran kliping yang halal untuk
dibunuh. Jadi, hal itu berlainan dengan pancasila sila ke-5 Keadilan Sosial Bagi
Seluruh Rakyat Indonesia.
Pada akhirnya, hampir 75% nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila sudah luntur
atau bahkan dilupakan oleh masyarakat Indonesia.Hal ini dikarenakan beberapa faktor
internal dan eksternal yang telah kami jabarkan di atas. Apabila masyarakat Indonesia tidak
segera berbenah diri dan mulai untuk mengimplementasikan nilai-nilai yang ada di dalam
Pancasila kedalam kehidupan pribadi dan bernegara, maka bukan tidak mungkin bangsa kita
akan menjadi bangsa yang tidak memiliki identitas, baik identitas ideologi ataupun identitas
dari POLEKSOSBUDHANKAM.Jadi, masih bisakah kita memandang permasalahan
lunturnya nilai-nilai Pancasila ini dengan sebelah mata? Masih bisakah kita untuk tetap
melupakan nilainilai asli dari bangsakita yang susah payah dirumuskan dan dikonsepkan oleh
para Founding Father negara kita....? Nasib bangsa Indonesia berada di tangan kita masing-
masing.

16
A. Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kata sempurna, ke depannya
penulis
akan lebih fokus dan detail setiap rincian makalah dengan sumber-sumbernya yang lebih
baik dan dapat dipertanggunga jawabkan. Untuk itu, penulis memohon saran untuk ke
depannya supaya lebih baik dan dapat menjadi acuan bagi penulis selanjutnya PENUTUP

DAFTAR PUSTAKA
https://faiz-marwan.blogspot.com/2013/09/lunturnya-nilai-nilai-pancasila-dalam.html
https://www.its.ac.id/news/2021/09/30/mengenang-peristiwa-g30s-pki-tanamkan-
ideologipancasila/]
https://id.scribd.com/document/429785130/PENYIMPANGAN-PANCASILA
https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5747435/g30s-pki-sejarah-tujuan-kronologi-
danlatar-belakangnya
http://penyabangan-buleleng.desa.id/index.php/first/artikel/84-Sejarah-Gerakan-
30September-PKI https://kominfosandi.kamparkab.go.id/2021/09/25/peristiwa-
pengkhianatan-pki-dankesaktian-pancasila-bagian-pertama/
https://lovelyristin.com/letak-penyimpangan-peristiwa-g30s-pki-dalam-nilai-
nilaipancasila http://anggiewidya.wordpress.com/2012/03/01/peristiwa-g30spki/
http://id.wikipedia.org/wiki/Gerakan_30_September
http://handikap60.blogspot.com/2013/01/peristiwa-g-30-spki-tahun-1965.html

17

Anda mungkin juga menyukai