Anda di halaman 1dari 24

Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa

DISUSUN OLEH

Nama : Monika Intan Puspitasari


No.Absen : 22
Kelas : 9H

SMP NEGERI 2 SRONO 2019/2020


KATA PENGANTAR

Pertama dan yang utama, saya panjatkan puji syukur atas Rahmat dan
Ridho Allah SWT, karena tanpa Rahmat dan Ridho-Nya, saya tidak akan
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan rampung tepat pada
waktu yang ditentukan.

Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi.
Namun saya menyadari bahawa kelancara dalam penyusunan tugas ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari orang tua dan
guru pembimbing, sehingga kendala-kendala yang saya hadapi teratasi.

Mungkin dalam pembuatan makalah ini terdapat kesalahan yang belum


saya ketahui. Sebagai manusia biasa, saya terbuka dari saran dan
kritikan teman-teman maupun guru pembimbing. Demi tercapainya
makalah yang sempurna di masa mendatang.

Sumbersari, 15 September 2019

Penulis
DAFTAR ISI

Penerapan Pancasila dari Masa ke Masa..............................................i


KATA PENGANTAR......................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................iii
BAB 1 PENDAHULUAN....................................................................1
BAB 2 PEMBAHASAN.......................................................................2
 Masa Awal Kemerdekaan (1945-1959).................................2-22
BAB 3 PENUTUP..............................................................................23
DAFTAR PUSTAKA.........................................................................24
BAB 1
PENDAHULUAN

Pancasila adalah dasar filsafat negara republik indonesia yang secara resmi di sahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945.

Dalam pejalanan secara eksistensi pancasila sebagai dasar filsafat negara republik indonesia
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi
negara pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan yang seperti ini pancasila tidak lagi di
letakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara indonesia melainkan
direduksi, dibatasi, dan di manipulasi demi kepentingan politik penguasa saat itu.
BAB 2
PEMBAHASAN

1. Masa Awal Kemerdekaan ( 1945-1959)

Sistem pemerintahan Indonesia pada awal


kemerdekaan (1945 - 1949)
Sistem Pemerintahan Indonesia Pada Awal Kemerdekaan (1945 - 1949) - Sistem pemerintahan di
Indonesia dari masa ke masa mengalami beberapa kali perubahan, nah pada kesempatan kali ini
kami akan membahas mengenai sistem pemerintahan pada waktu awal kemerdekaan yaitu tahun
1945 sampai 1959. Untuk materi pendidikan kewarganegaraan, sistem pemerintahan indonesia pada
awal kemerdekaan dibagi menjadi 3 bagian, bagian pertama yaitu dari tahun 1945 sampai 1949.
Bagian yang kedua adalah dari taun 1949 sampai dengan 1950. Dan bagian terakhir dimulai dari
tahun 1950 - 1959.

Sistem pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan (1945 - 1949)

Sistem pemerintahan Indonesia pada awal kemerdekaan (1945 - 1949)

Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang kita miliki, bentuk pemerintahan negara kita adalah
Republik dan sistem pemerintahannya adalah presidensial. Akan tetapi pada kurun waktu 1945
sampai 1949 bentuk dan sistem pemerintahan (republik presidensial) berlum terwujud sepenuhnya,
hal ini dikarenakan pada masa masa ini kita masih melawan Inggris dan Belanda yang ingin menjajah
negara kita kembali.
Maka dari itu, Pemerintahan kita pada masa itu dijalankan atas dasar ketentuan Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa :

Sebelum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dibentuk berdasarkan Undang-undang Dasar, semua kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.

Dengan adanya aturan tersebut, tentu akan membuat kekuasaan Presiden dalam menjalankan
pemerintahan menjadi sangat besar, untuk mengatasi hal tersebut kemudian dikeluarkan Maklumat
WaPres Nomor X pada tanggal 16 Oktober tahun 1945.

Upaya-upaya penyimpangan/pemberontakan untuk mengganti


Pancasila sebagai dasar negara

1.Peristiwa Madiun 1948, Sejarah


Kebiadaban PKI Terhadap Ulama

Peristiwa Madiun 1948, Sejarah Kebiadaban PKI Terhadap Ulama

PERISTIWA Madiun 69 tahun silam tak akan pupus dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 itu merupakan
peristiwa kelam yang telah merenggut banyak nyawa ulama dan tokoh-tokoh agama.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan pemberontakan G30SPKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya
ancaman komunisme di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948 dilakukan
anggota PKI dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi
Rakyat (FDR).

Adapun latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul jatuhnya kabinet Amir
Syarifuddin pada masa itu. Penyebab jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan
Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya, 28 Juni 1948 Amir
Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).

Organisasi ini didukung oleh Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka melancarkan propaganda anti pemerintah,
mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi buruh. Selain itu melakukan pembunuhan ulama
dan pejuang kemerdekaan.

Adapun tujuan mereka adalah ingin meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
menggantinya dengan negara komunis. Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.

Sebelum Peristiwa Madiun, PKI juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta) hingga
menewaskan banyak perwira TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh PKI, daerah Surakarta dijadikan
daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan Madiun dijadikan PKI sebagai basis gerilya.

Pada tanggal 18 September 1948, Musso memproklamasikan berdirinya pemerintahan Soviet di


Indonesia. Sejak saat itu, gerakan PKI ini semakin merajalela hingga menguasai dan menduduki
tempat-tempat penting di Madiun.

Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI melakukan makar
dan pemberontakan kala itu. Agus menceritakan kekejaman PKI ini di berbagai sumber referensi
seperti buku, makalah, buletin dan forum diskusi atau seminar.
Agus yang juga penulis buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa
umat Islam termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul dengan aksi penjarahan, penangkapan
sewenang-wenang terhadap musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai
macam tindakan fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.

Agus menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh.
Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau
membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang
jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno
diganti potret Moeso.

Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700
orang di antaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke
pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi
perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat
menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan
FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.

Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu
Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor
Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.
Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan
bupati, patih, sekretaris kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat
Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di
kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.

Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih
pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu
dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati,
Blora, Rembang, Cepu.

Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak
pembantaian massal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa
Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah,
tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena
kesalehannya kepada Islam mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.

Masjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu
madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua
yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu,
rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.

Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua
pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di
tangan kita kembali”.
Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang
dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab
dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun
militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.

Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950
sumur-sumur ‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka
dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo,
Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.

Dalam proses pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi
pembantaian di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten
Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur
‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok,
Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan
Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo,
Kabupaten Magetan; (7) Sumur ‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu
ruang kantor dan halaman pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di
Magetan.

Di sumur tua Desa Soco ditemukan kurang lebih 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78
orang di antaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara korbannya
adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Ponpes Ath-Tohirin Mojopurno, Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya
ditemukan di Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain Kyai Imam
Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban yaitu Kyai Zoebair, Kyai Malik, Krai Noeroen, Kyai Moch
Noor. Lalu, di sumur tersebut ditemukan jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R Doerjat
(Inspektur Polisi Magetan), Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir, (keempatnya anggota Polri); dan
masih banyak pejabat dan ulama lainnya.

Kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman peristiwa yang
tidak akan terlupakan. Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang tersebar di Magetan dan Madiun adalah
saksinya.
Tak heran jika tindakan keji PKI berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para jenderal TNI AD
diculik dan dibunuh secara sadis. Mayatnya kemudian ditemukan di dalam sumur ‘neraka’ Lubang
Buaya di dekat Bandara Halim, Jakarta Timur.

Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dan pemberontakan G30SPKI 1965, maka
selamatlah bangsa Indonesia dari bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di
barisan terdepan melawan kebangkitan paham dan gerakan kiri tersebut.
2.Pemberontakan Darul Islam
(PDI)/Tentara Islam Indonesia (TII)
Pemberontakan Terbesar di Indonesia

Hijrahnya Divisi Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah ternyata dimaknai
berbeda oleh beberapa orang. Salah satunya adalah Kartosoewirjo. Dirinya beranggapan
bahwa hijrahnya Divisi Siliwangimenandakan Jawa Barat diserahkan kepada Belanda. Hal
tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Kartosoewirjountuk mendirikan Negara Islam
(NI). Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah pemimpin gerakan Negara Islam
Indonesia (dikenal dengan nama Darul Islam atau DI). NII berarti "Rumah Islam" yang
didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,
Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan bertujuan untuk mendirikan negara yang
berlandaskan Islam dengan hukum tertinggi adalah Al-Quran dan Hadist. Pasukannya sering
disebut TII/Tentara Islam Indonesia. Ada bebrapa sebab DI/TII pimpinan Kartosoewirjo sulit
ditaklukan, antara lain karena :
a. Kondisi geografis tempat pergerakan pasukan Kartosoewirjo berada di daerah pegunungan.
b. Pasukan Kartosoewirjo dapat bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat jelata.
c. Pasukan DI/TII mendapatkan bantuan dari bebrapa orang Belanda.
d. Suasana politik dalam negeri Indonesia yang tidak kondusif di awal tahun 1950.
Kontak senjata antara TNI dengan pasukan DI/TII Jawa Barat terjadi pertama kali pada
tanggal 27 Agustus 1949 hingga tahun 1962. Melalui Operasi Pagar Betis dan
Barathayudha, DI/TII Jawa Barat berhasil dilumpuhkan. Pada tanggal 4 Juni 1962 di
Gunung Geber, Majalengka Jawa Barat.
Kartosoewirjo bersama dengan pengawalnya berhasil ditangkap dan diadili secara militer.
Dalam pengedilan tersebut Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati.
Selain di Jawa Barat, DI/TII juga menyebar ke berbagai daerah di indonesia. Di Aceh,
pada tanggal 20 September 1953, Tengku Daud Beureueh merasa kecewa karena status
Aceh ditetapkan menjadi Karisidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Untuk meredam
gejolak, pemerintah akhirnya mengakomodasikan rakyat Aceh dengan menjadikan aceh
sebagai Daerah Istimewa pada tahun 1959.
Di Sulawesi Selatan juga muncul gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar disebabkan karena penolakan pemerintah
Indonesia atas usulan penggabungan Komando Gerilya Sulawesi Selatan ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dengan nama Brigade Hasanuddin, tanggal 30
April 1950. Pada bulan Februari 1965, gerakan DI/TII Sulawesi Selatan mampu diredam oleh
pemerintah melalui operasi militer

Pemberontakan DI/TII adalah pemberontakan dengan koneksi terbesar dan


terluas di Indonesia. Ada setidaknya 5 pemberontakan DI/TII di Indonesia yaitu
1) Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo
2) Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah
3) Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan dipimpin oleh Ibnu Hadjar
4) Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan dipimpin oleh Kahar Muzakar
5) Pemberontakan DI/TII di Aceh dipimpin oleh Tengku Daud Beureueh

Soekarmadji Ma
Amir Fatah

Ibnu Hadjar

Kahar Muzakar

Tengku Daud Beureueh


3. Pemberontakan Republik Maluku
Selatatan
Setelah memproklamasikan kemerdekaan, ternyata Indonesia tidak lantas terlepas dari
ketegangan-ketengangan antarkelompok masyarakat, RG Squad! Beberapa wilayah yang
berada di Indonesia menolak untuk bergabung dengan Negara Kesatuan Republik Indonesia,
salah satunya Maluku. Mengapa beberapa wilayah tersebut tidak setuju dengan didirikannya
NKRI, hingga berujung pemberontakan Republik Maluku Selatan.

Pemberontakan RMS.
Didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan respon dari masyarakat
Maluku Selatan saat itu. Seorang mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur, Mr. Dr.
Christian Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan
pada tanggal 25 April 1950. Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI,
Soumokil tidak setuju dengan penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke
dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan,
Ia mencoba untuk melepas wilayah Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat.

Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon pemerintah yang
merasa kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia Serikat. Maka
dari itu, pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk langkah selanjutnya.

Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan adalah dengan menempuh jalan damai. Dr. J.
Leimena dikirim oleh Pemerintah untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada
RMS, tentunya membujuk agar tetap bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah
tersebut ditolak oleh Soumokil, justru ia malah meminta bantuan, perhatian, juga pengakuan
dari negara lain, terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk Indonesia.
Presiden RMS Chris Soumokil dalam persembunyiannya di Pulau Seram.

Ditolaknya mentah-mentah ajakan pemerintah kepada RMS untuk berdamai,


membuat pemerintah Indonesia memutuskan untuk melaksanakan ekspedisi militer.
Kolonel A.E. Kawilarang dipilih sebagai pemimpin dalam melaksanakan ekspedisi militer
tersebut. Beliau itu adalah panglima tentara dan teritorium Indonesia Timur. Ia dirasa
mengerti dan paham bagaimana kondisi Indonesia di wilayah timur.

Akhirnya kota Ambon dapat dikuasai pada awal November 1950. Akan tetapi, ketika
melakukan perebutan Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Namun,
perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Setelah itu,
pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat ditangkap dan kemudian
dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Berdasarkan keputusan
Mahkamah Militer Luar Biasa, Soumokil dijatuhi hukuman mati.

Setelah RMS mengalami kekalahan di Ambon, serta Soumokil yang telah dijatuhkan
hukuman mati, pada akhirnya pemerintahan RMS mulai mengungsi dari pulau-pulau yang di
tempati sebelumnya dan membuat pemerintahan dalam pengasingan di Belanda. Sebanyak
12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda setahun setelahnya. Pada
akhirnya pemberontakan RMS berhasil dihentikan oleh pemerintah Indonesia.

4.Pemerintah Revolusioner Republik


Indonesia (PRRI) atau Perjuangan Rakyat
Sementara (Permesta).
15 Februari 1958 Sejarah PRRI: Para Kolonel Pembangkang Menentang Jakarta Para kolonel
pembangkang yang bergabung dengan PRRI. Deadnauval Buronan Negara Penyelamat Negeri
Revolusi dan Perubahan Tipe Nama. Berkat Limpahan Bedil dari CIA PRRI Memobilisasi Anak
Sekolahan. Kisah Pilu Keluarga Dokter Sejarah PRRI Para Kolone. Para kolonel pembangkang yang
bergabung dengan PRRI. Deadnauval Oleh: Petrik Matanasi - 15 Februari 2019 Dibaca Normal 2
menit Mayoritas perwira yang berseberangan dengan tentara pusat dan membangun Pemerintahan
Revolusioner Republik Indonesia adalah didikan Jepang. Sebelum jadi tentara, Maludin Simbolon
adalah seorang guru sekolah. Ia tamatan salah satu sekolah guru zaman kolonial, Christelijke
Hollandsch Inlandsche Kweekschool. Payung Bangun dalam Kolonel Maludin Simbolon: Lika-liku
Perjuangannya dalam Pembangunan Bangsa (1996) menulis bahwa Simbolon pernah jadi guru di HIS
di Kartasura dan sekolah swasta di Curup, Bengkulu. Setelah abangnya, Johan Simbolon, disiksa
hingga tewas oleh serdadu Jepang karena dituduh mata-mata, Maludin mendaftarkan diri ikut
latihan perwira tentara sukarela (Gyugun). Pada 1946, ia mengepalai Divisi Satu Sumatera di
Palembang. Sejak 1950, Simbolon adalah panglima Tentara Teritorium I/Bukit Barisan yang
bermarkas di Medan. Pada 22 Desember 1956, Simbolon membentuk Dewan Gajah dan menyatakan
pemutusan hubungan dengan pemerintah pusat. Jakarta merespons dengan perintah penangkapan
terhadap dirinya. Simbolon kehilangan posisinya sebagai panglima dan melarikan diri ke Sumatra
Barat. Di sana, menurut Gusti Asnan dalam Memikir Ulang Regionalisme: Sumatera Barat tahun
1950-an (2007), Simbolon ditolong Letnan Kolonel Ahmad Husein, yang memimpin Dewan Banteng
pada 20 Desember 1956. Husein hanya memberikan bantuan sekadar uang beras. Perwira yang
menggantikan Simbolon di Bukit Barisan adalah Letkol Djamin Ginting, yang belakangan jadi
Pahlawan Nasional. Simbolon menjadi menteri luar negeri PRRI sesudah pemerintahan revolusioner
anti-komunis ini dibentuk pada 15 Februari 1958, tepat hari ini 61 tahun lalu. Seperti Simbolon,
Husein pernah ikut latihan Gyugun di zaman Jepang. Husein yang anak apoteker di rumah sakit
militer kolonial ini pernah belajar di Taman Siswa. Di masa Revolusi, Husein adalah komandan
Harimau Kuranji. Zed & Chaniago menulis bahwa Husein identik dengan Harimau Kuranji. Gusti
Asnan menyebut Husein terlibat dalam pertempuran Padang Area. Usianya masih muda ketika
menjadi Komandan Resimen III dalam Divisi Banteng. Tak lupa cerita miring soal Husein dicatat
Asnan. Parada Harahap menyaksikan kesebelasan Batalyon Harimau Kuranji pimpinan Ahmad Husein
bertanding, dan bermain kasar, segera Harahap menulis ke surat kabarnya. Berita itu terbaca oleh
Ahmad Husein dan membuatnya berang . Harahap kemudian dihajar dan ditahan atas perintah
Husein. Dari Sumatra Selatan, ada Letnan Kolonel Barlian. Seperti Husein dan Simbolon, Barlian juga
ikut latihan Gyugun. Setelah ikut revolusi 1945-1949, Barlian berada di pihak Republik. Setelah 1950,
Barlian ditempatkan di Markas Besar Angkatan Darat. Bedanya, Barlian terhitung dekat dengan
Abdul Haris Nasution. Barlian pernah jadi calon parlemen sebagai wakil dari Ikatan Pendukung
Kemerdekaan Indonesia, partai yang dibangun Nasution. Tahun berikutnya, Barlian adalah Panglima
TT II/Sriwijaya yang berkedudukan di Palembang. Setelah 26 Desember 1956, Barlian adalah Ketua
Dewan Garuda. Abdul Haris Nasution Si Penggagas Dwifungsi ABRI Kolonel pembangkang lain
adalah Zulkifli Lubis. Orang Batak Mandailing ini juga didikan Jepang. Hanya saja tidak di Gyugun
Sumatra, melainkan di Seinen Dojo, kemudian jadi perwira PETA di Jawa. Ia dikenal sebagai legenda
intel Indonesia. Di awal kemerdekaan, ia menjadi Komandan Intel Republik. Laki-laki yang pernah
menjadi Wakil Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) ini adalah sepupu sekaligus seteru Nasution. Meski
sama-sama rival, keduanya dikenal sebagai anti-komunis. Lubis pergi ke Sumatra dan bergabung
dengan PRRI. Baca juga: Intel Melayu, Belajarlah Kepada Zulkifli Lubis Muda! Infografik Mozaik Para
Kolonel PRRI Selama gerakan PRRI, Letkol Ahmad Husein bersama rekan-rekannya itu telah
menangkap sejumlah orang yang menentang gerakan mereka. Begitupun para loyalis yang
meragukan langkah politis tersebut. Orang-orang malang ini ditahan di tiga penjara: Muara Labuh,
Situjuh, dan Suliki. Pada awal 1957, pemimpin Partai Komunis Indonesia setempat serta beberapa
pengikutnya di Sumatra Barat dijebloskan ke penjara. Masih di daerah Minangkabu, Letkol Dahlan
Djambek membentuk Gerakan Bersama Anti-Komunis. Setidaknya 200 orang kiri ditahan. Rupanya
tak hanya PKI, ada juga orang Murba (didirikan oleh Tan Malaka) dan Partai Sosialis Indonesia
(didirikan Sutan Sjahrir) yang tidak sepaham dengan PRRI, meski kedua partai itu pun menentang
PKI. A.H. Nasution, saat itu orang kuat di TNI yang mengepalai staf Angkatan Darat, merespons para
kolonel pembangkang dengan langkah pemecatan. Jakarta pun bertindak dengan mengirim pasukan.
Di antara perwira yang memimpin operasi ini terdapat Letnan Kolonel Ahmad Yani, yang belum lama
pulang dari sekolah staf komando di Amerika Serikat. Kekuatan fisik PRRI di Sumatera dengan
gampang ditumpas oleh TNI hanya dalam waktu relatif singkat oleh operasi militer yang hampir
tanpa mendapat perlawanan. Amerika Serikat belakangan malah mendekatkan diri kepada Nasution.
Sementara para kolonel pembangkang itu dibiarkan kalah dan jadi tawanan Jakarta. Kelak sebagian
dari mereka dibebaskan dan melanjutkan karier militer semasa pemerintahan Soeharto usai
pembantaian massal kaum kiri pada 1965-196.

5. APRA (Angkatan Perang Ratu Adil).


Cerita di Balik Peristiwa Berdarah
Pemberontakan APRA

PASUKAN pemberontak APRA di Bandung, 23 Januari 1950/NATIONAAL ARCHIEF BELANDA

Ada dua peristiwa bersejarah selama Januari. Pertama, peristiwa pemberontakan Angkatan


Perang Ratu Adil (APRA) di Kota Bandung pada 23 Januari 1950 dan Perjanjian Renville
pada 17 Januari 1948.
Rabu 23 Januari 2019 adalah peringatan 69 tahun peristiwa APRA. Kapten Raymond
Westerling yang menjadi pemimpin aksi APRA, masih menjadi perbincangan para pemerhati
sejarah perang di Indonesia.

Dalam catatan umum sejarah Indonesia pula, pemberontakan APRA adalah bentuk penolakan
dari sejumlah pihak di Jawa Barat kepada pemerintah Republik Indonesia, setelah pengakuan
kedaulatan dari Belanda, 27 Desember 1949.

Karena latar belakang tertentu, terjadi aksi pasukan APRA yang merupakan milisi dan tentara
bayaran untuk menggulingkan Republik Indonesia Serikat, dengan disebut-sebut atas kepen-
tingan sejumlah pihak dari Jawa Barat.

Sejumlah aksi peristiwa APRA juga diberitakan sejumlah surat kabar terbitan Australia yang
tersimpan di National Library of Australia Trove. Kekuatan pasukan APRA terdiri atas
2.000-an orang.Walau pemimpinnya adalah Raymond Westerling yang berdarah Belanda,
para tentaranya adalah orang-orang Indonesia dari sejumlah suku yang dipilih dari
pasukan Belanda dan Indonesia.

The Sydney Morning Herald pada 24 Januari 1950 memberitakan, pasukan APRA yang kuat
dipimpin Kapten Westerling, mantan pasukan komando Belanda, membuat sebuah serangan
mendadak terhadap pasukan Indonesia di Jawa Barat saat fajar, Senin, 23 Januari.Sekira 600
orang anggota pasukan Westerling beraksi di Bandung yang merupakan ibu kota Negara
Pasundan. Dalam 30 menit, APRA telah merebut kantor pos, markas polisi, markas militer
wilayah, serta sejumlah ruas jalan dan halaman suatu markas militer, yang dipenuhi mayat
tentara Indonesia.

Tak lama kemudian, kata saksi itu, dari arah selatan muncul bala bantuan pemberontak ke
pusat Kota Bandung menggunakan sejumlah truk hasil rampasan dari tentara Indonesia. Di
tengah sengitnya baku tembak, pasukan Indonesia tampak sudah mengalami korban sangat
banyak.Setelah baku tembak mereda, disebutkan bahwa jalan di pusat Kota Bandung menjadi
lengang. Sejumlah ambulans Belanda bermunculan untuk mengevakuasi para korban dari
kedua pihak, baik APRA maupun dari pihak Indonesia.

Disebut-sebut, pasukan APRA yang dipimpin oleh Raymond Westerling di Bandung itu, para
personelnya hampir semuanya sama, yakni dikerahkan saat Agresi Militer II ”Operasi
Gagak”, di Yogyakarta, 19 Desember 1948.Orang-orang tersebut adalah orang yang sama
yang diterjunkan dari pesawat-pesawat Belanda di Lapangan Terbang Maguwo, yang
kemudian menangkap Presiden Soekarno.
Beberapa jam sebelum serangan dimulai, Westerling menginformasikan kepada koresponden
Australian Associated Press dan Reuters bahwa aksi pasukan APRA bertujuan memusnahkan
kekuatan TentaraNasional Indonesia di Jawa Barat, termasuk Jakarta, menangkapi orang-
orang Indonesia di kabinet. Pasukannya kemudian membentuk pemerintah baru di Jawa
Barat.

Sehari berikutnya, The Age terbitan Melbourne, pada 25 Januari 1950 memberitakan bahwa
pihak Tentara Nasional Indonesia yang dikirimkan dari Jakarta dan Surabaya sudah mampu
kembali menguasai Kota Bandung..Seorang juru bicara pasukan Belanda mengatakan, 50-an
tentara pasukan komando mengikuti Westerling yang kemudian ditangkap oleh militer
Belanda lalu diterbangkan ke Jakarta.Ada pula 100-an orang mantan Tentara Nasional
Indonesia yang bergabung ke Westerling, kemudian kembali bertugas ke pasukan Negara
Pasundan.

Setelah terjadinya pemberontakan APRA di Bandung, ada hal menarik terkubur zaman terkait
dengan sejarah pemberontakan APRA ini, Raymond Westerling kemudian lolos, tetapi
muncul seorang terdakwa yaitu orang Belanda bernama Leon Nicolaas Hubert
Jungschlaeger.Ia didakwa oleh pengadilan di Jakarta pada tahun 1956 sebagai koordinator
sejumlah pemberontakan terhadap Republik Indonesia pada tahun 1950-an itu.

R. Soenario dalam buku yang ditulisnya, Proses Jungschlaeger terbitan Gunung Agung
Jakarta tahun 1956 menyebutkan, Jungschlaeger tiba-tiba tewas, setelah dinyatakan terbukti
sebagai biang keladi pemberontakan APRA, DI/TII, dll. Jungschlaeger meninggal secara
tiba-tiba pada 19 April 1956, atau sepekan sebelum hakim bernama Maengkom menjatuhkan
keputusannya pada 27 April 1956. Saat itu, pengadilan menuntut hukuman mati terhadapnya.

Dalam buku itu ada yang menyimpulkan bahwa Jungschlaeger tewas karena bunuh diri.
Meskipun demikian, pihak Rumah Sakit Cikini Jakarta dalam catatan medisnya menyatakan
bahwa ia meninggal karena penyakitnya.Ada pula spekulasi yang menyebut bahwa ada
pihak-pihak berkepentingan agar Jungschlaeger harus sudah mati sebelum divonis.

Jungschlaeger tercatat pernah bekerja sebagai personel perusahaan pelayaran Koninklijke


Paketvaart Maatschhappij (KPM). Namun, ia pernah memperoleh pelatihan kemiliteran di
Australia semasa Perang Dunia II tahun 1942-1945 dan pernah menjadi personel militer
Belanda tahun 1948.Dalam buku itu ditulis bahwa pengadilan di Jakarta menuduh
Jungschlaeger telah memimpin gerakan empat organisasi untuk merobohkan Republik
Indonesia Serikat yang kemudian menjadi Republik Indonesia.
Keempat organisasi itu adalah APRA dengan operasional dan teknisnya dipimpin Kapten
Westerling, NIGO (Nederlandsch Indisch Guerilla Organisatie), White Eagle, dan NZH
(Nederland Zal Herrizen).Disebut-sebut ada pula keterlibatan sejumlah individu personel dari
Perkebunan Darmaga Bogor, Perkebunan Cikasungka Bogor, dan Perkebunan Serpong
Tangerang, tetapi kemudian banyak dibantah banyak pihak.

Ditulis pula oleh Soenario, nama Kapten Westerling muncul saat menjelang Pengakuan
Kedaulatan Republik Indonesia pada Desember 1949. Nama Westerling ditulis hadir bersama
Kartosuwiryo (pemimpin Darul Islam), dan sejumlah tokoh Negara Pasundan dalam sebuah
perundingan di Gedung Pakuan Bandung.Disebutkan pula dalam buku itu, pada Januari 1950,
Kartosuwiryo berunding kembali dengan Kapten Westerling, sejumlah tokoh Negara
Pasundan, Panglima Darul Islam yaitu Oni, dan beberapa pembesar Belanda di Hotel
Preanger Bandung.

Dalam pertemuan itu, diputuskan akan dilakukan serangan umum oleh Darul Islam dan
APRA terhadap kota-kota besar di Jawa Barat.Disebutkan keterangan sejumlah saksi, yang
mengatakan, Darul Islam (diawali Laskar Hizbullah/Fisabilillah) sebenarnya memiliki
kesempatan besar untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat sejak
tahun 1947-1948.

Pada 1949 pemerintahan Republik Indonesia sudah dianggap tak ada di Jawa Barat akibat
menyepakati Perjanjian Renville.Disebut-sebut pula, laskar Hizbullah dan Fisabilillah
(kemudian bergabung menjadi Darul Islam) sejak tahun 1947 memang sangat bermusuhan
dengan Belanda.Memasuki tahun 1949, khusus kelompok pasukan Belanda yang dipimpin
Westerling dkk, diduga sudah ada hubungan baik dengan Darul Islam karena adanya
kesamaan kepentingan.

Kembali kepada Raymond Westerling, dalam keterangannya yang dikutip surat kabar The
Northern Mine terbitan 24 Januari 1950, ia mengatakan bahwa alasan pihaknya melakukan
aksi di Bandung itu karena pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta tak mampu
mengakomodasi Indonesia secara keseluruhan. Di Jawa Barat sendiri ada empat pemerintah,
yaitu politisi Jakarta, Negara Pasundan, Darul Islam, dan komunis.

Dalam surat kabar itu disebutkan, Westerling menilai Presiden Soekarno tak memiliki
kepedulian terhadap Jawa Barat. Oleh karena itu, ia memiliki keinginan adanya pemerintahan
kuat di Jawa Barat melalui Negara Pasundan di Bandung dan Jakarta.
Disebutkan pula oleh surat kabar tersebut, situasi di Indonesia saat itu mulai terjadi banyak
kekacauan, yang berisiko membuka jalan bagi berkembangnya komunisme.Kalangan
nasionalis di pemerintahan Indonesia diharapkan mampu menjaga kerukunan beragama,
sehingga muncul persatuan nasional.Pada 17 Januari 1948, pemerintah Republik Indonesia
dengan Belanda menyepakati perjanjian Renville di atas kapal perang Amerika Serikat, USS
Renville.Akibat perjanjian itu, Indonesia diharuskan menarik pasukannya di Jawa Barat -
hijrah ke wilayah Republik di Yogyakarta dan Jawa Tengah.

Dalam sejarah umum, Belanda kemudian leluasa mencoba menguasai Jawa Barat. Pada
masa-masa itu, ada pula aksi pasukan Korps Speciale Tropen (KST) Belanda yang
merupakan pasukan komando.Para personel KST Belanda berbeda-beda kebangsaannya. Ada
yang terdiri atas orang-orang Belanda, orang-orang Indonesia dari sejumlah suku tertentu,
juga ada terdiri sejumlah orang Jerman.

Aksi pasukan KST Belanda yang para personelnya terdiri atas orang-orang Jerman,
merupakan kisah nyaris tak tercatat sejarah terkait aksi yang dipimpin oleh Kapten Raymond
Westerling saat masih menjadi tentara Belanda di Indonesia, yang dilakukan di Cikalong,
Tasikmalaya selatan, pada Juli 1948.

6. Dekrit Presiden 5 Juli 1959Dekret


Presiden 5 Juli 1959

Dekret Presiden 1959


Latar belakang
Dekret Presiden 1959 dilatarbelakangi oleh kegagalan Badan Konstituante untuk menetapkan
UUD baru sebagai pengganti UUDS 1950. Anggota Konstituante mulai bersidang pada 10
November 1956, tetapi pada kenyataannya hingga tahun 1958 belum berhasil merumuskan
UUD yang diharapkan. Sementara, di kalangan masyarakat pendapat-pendapat untuk kembali
kepada UUD '45 semakin kuat. Dalam menanggapi hal itu, Presiden Ir. Soekarno lantas
menyampaikan amanat di depan sidang Konstituante pada 22 April 1959 yang isinya
menganjurkan untuk kembali ke UUD '45.

Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara
menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih
banyak, pemungutan suara ini harus diulang karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum.
Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya
(biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan.
Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara
ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, pada tanggal 3
Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (masa perhentian sidang parlemen; masa istirahat
dari kegiatan bersidang) yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya. Untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan
Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu),
mengeluarkan peraturan No.Prt/Peperpu/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-
kegiatan politik. Pada tanggal 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI Suwirjo mengirimkan surat
kepada Presiden agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan
Konstituante.

Pengeluaran Dekret Presiden 1959


Gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya dan rentetan peristiwa politik dan keamanan
yang mengguncangkan persatuan dan kesatuan bangsa mencapai klimaksnya pada bulan Juni
1959. Akhirnya demi keselamatan negara berdasarkan staatsnoodrecht (hukum keadaan
bahaya bagi negara) pada hari Minggu tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00, Presiden Soekarno
mengeluarkan dekret yang diumumkan dalam upacara resmi di Istana Merdeka. Berikut ini
teks Dekret Presiden (ejaan sesuai aslinya):

DEKRET PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

TENTANG

KEMBALI KEPADA UNDANG-UNDANG DASAR 1945

Dengan rachmat Tuhan Jang Maha Esa,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Dengan ini menjatakan dengan chidmat:

Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945
jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22
April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;

Bahwa berhubung dengan pernjataan sebagian besar anggota-anggota Sidang Pembuat


Undang-Undang Dasar untuk tidak lagi menghadiri sidang. Konstituante tidak mungkin lagi
menjelesaikan tugas jang dipertjajakan oleh rakjat kepadanja;

Bahwa hal jang demikian menimbulkan keadaan-keadaan ketatanegaraan jang membahajakan


persatuan dan keselamatan Negara, Nusa, dan Bangsa, serta merintangi pembangunan
semesta untuk mencapai masjarakat jang adil makmur;

Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara
Proklamasi;

Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
Konstitusi tersebut,

Maka atas dasar-dasar tersebut di atas,

KAMI PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA/PANGLIMA TERTINGGI ANGKATAN PERANG

Menetapkan pembubaran Konstituante;

Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak
berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.

Pembentukan Madjelis Permusjawaratan Rakyat Sementara, jang terdiri atas anggota-anggota


Dewan Perwakilan Rakjat ditambah dengan utusan dari daerah-daerah dan golongan-
golongan serta pembentukan Dewan Pertimbangan Agung Sementara akan diselenggarakan
dalam waktu sesingkat-singkatnja.

Ditetapkan di Djakarta pada tanggal 5 Djuli 1959


Atas nama Rakjat IndonesiaPresiden Republik Indonesia/Panglima Tertinggi Angkatan
Perang

SOEKARNO

BAB 3

PENUTUP

Kesimpulan
1. Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi
lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan
oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam.
2. Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi
bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai
Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah
berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya
Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik
konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak
cocok bagi NKRI.

Akhir kata, saya ucapkan terima kasih.

Wassalamu’alaikum WR. WB

Penyusun

DAFTAR PUSTAKA

Afiyah, Siti. 2015. Pancasila Yuridis Kenegaraan.Jakarta Timur:


Anggota Ikatan Penerbit IndonesiaAfrizal. 2016. Metode
Penelitian Kualitatif: Sebuah Upaya Mendukung Penggunaan
Penelitian Kualitatif dalam Berbagai Disiplin Ilmu. Jakarta: PT.
Rajagrafindo PersadaAhmadi, Rulam. 2016. Metodologi
Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Ar-Ruzz MediaAlamsyah.
2013. “Budaya Syawalan atau Lomban di Jepara: Studi
Komparasi Akhir Abad ke-19.”Jurnal Ilmiah Kajian
HumanioraXVIII (2)Anwar, Sanusi. 2014. Metodologi Penelitian
Bisnis.Cetakan Keempat. Jakarta: SalembaAnggraeni, Novita
Dewi. 2017. “Multikulturalisme di Sekolah Studi Kasus di SMA
Negeri 1 Surakarta Tahun 2017” Skripsi.Fakultas Keguruan
dan Ilmu Pendidikan, Jurusan Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Universitas Muhammadiyah
SurakartaArianto. 2015. “Studi tentang Nilai-nilai Pancasila
yang Terkandung dalam Upacara Adat Perkawinan Masyarakat
Petalangan di Kec. Bandar-Petalangan-Pelalawan.” Perspektif
Pendidikan dan KeguruanVI (11): 1-10Arikunto, Suharsimi.
1998. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Jakarta:
PT. Rineka Cipta______.2006.ProsedurPenelitian Suatu
Pendekatan Praktik. Jakarta: PT Rineka
Cipta______.2010.ProsedurPenelitian Suatu Pendekatan
Praktik. Jakarta: PT Rineka CiptaArsip Daerah Kabupaten
Kudus. 2016. Sedulur Sikep di Kabupaten Kudus. Kudus:
Kantor Perpustakaan dan Arsip Daerah Kabupaten
KudusAsmaroini, Ambiro Puji. 2017. “Menjaga Eksistensi
Pancasila dan Penerapannya bagi Masyarakat di Era
Globalisasi.”Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan2 (1): 50-
64Azwar, Saifuddin. Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka
Pelajar

Anda mungkin juga menyukai