DISUSUN OLEH
Pertama dan yang utama, saya panjatkan puji syukur atas Rahmat dan
Ridho Allah SWT, karena tanpa Rahmat dan Ridho-Nya, saya tidak akan
dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan rampung tepat pada
waktu yang ditentukan.
Dalam penyusunan tugas ini, tidak sedikit hambatan yang saya hadapi.
Namun saya menyadari bahawa kelancara dalam penyusunan tugas ini
tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan bimbingan dari orang tua dan
guru pembimbing, sehingga kendala-kendala yang saya hadapi teratasi.
Penulis
DAFTAR ISI
Pancasila adalah dasar filsafat negara republik indonesia yang secara resmi di sahkan oleh
PPKI pada tanggal 18 agustus 1945 dan tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Dalam pejalanan secara eksistensi pancasila sebagai dasar filsafat negara republik indonesia
mengalami berbagai macam interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan
penguasa demi kokoh dan tegaknya kekuasaan yang berlindung di balik legitimasi ideologi
negara pancasila. Dengan kata lain dalam kedudukan yang seperti ini pancasila tidak lagi di
letakkan sebagai dasar filsafat serta pandangan hidup bangsa dan negara indonesia melainkan
direduksi, dibatasi, dan di manipulasi demi kepentingan politik penguasa saat itu.
BAB 2
PEMBAHASAN
Berdasarkan Undang-undang Dasar 1945 yang kita miliki, bentuk pemerintahan negara kita adalah
Republik dan sistem pemerintahannya adalah presidensial. Akan tetapi pada kurun waktu 1945
sampai 1949 bentuk dan sistem pemerintahan (republik presidensial) berlum terwujud sepenuhnya,
hal ini dikarenakan pada masa masa ini kita masih melawan Inggris dan Belanda yang ingin menjajah
negara kita kembali.
Maka dari itu, Pemerintahan kita pada masa itu dijalankan atas dasar ketentuan Pasal IV Aturan
Peralihan UUD 1945 yang menyatakan bahwa :
Sebelum MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat), DPR (Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan
Pertimbangan Agung (DPA) dibentuk berdasarkan Undang-undang Dasar, semua kekuasaannya
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan Komite Nasional.
Dengan adanya aturan tersebut, tentu akan membuat kekuasaan Presiden dalam menjalankan
pemerintahan menjadi sangat besar, untuk mengatasi hal tersebut kemudian dikeluarkan Maklumat
WaPres Nomor X pada tanggal 16 Oktober tahun 1945.
PERISTIWA Madiun 69 tahun silam tak akan pupus dari sejarah perjalanan bangsa Indonesia.
Pemberontakan yang dilakukan Partai Komunis Indonesia (PKI) pada tahun 1948 itu merupakan
peristiwa kelam yang telah merenggut banyak nyawa ulama dan tokoh-tokoh agama.
Sejak Peristiwa Madiun 1948 dan pemberontakan G30SPKI 1965 menjadi bukti betapa hebatnya
ancaman komunisme di Indonesia. Sejarah mencatat bahwa Peristiwa Madiun 1948 dilakukan
anggota PKI dan partai-partai kiri lainnya yang tergabung dalam organisasi bernama Front Demokrasi
Rakyat (FDR).
Adapun latar belakang terjadinya pemberontakan PKI Madiun 1948 menyusul jatuhnya kabinet Amir
Syarifuddin pada masa itu. Penyebab jatuhnya kabinet Amir akibat kegagalannya pada perundingan
Renville yang merugikan Indonesia. Untuk merebut kembali kedudukannya, 28 Juni 1948 Amir
Syarifuddin membentuk Front Demokrasi Rakyat (FDR).
Organisasi ini didukung oleh Pemuda Sosialis Indonesia, Partai Sosialis Indonesia, PKI, dan Sentral
Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Mereka melancarkan propaganda anti pemerintah,
mengadakan pemogokan-pemogokan kerja bagi buruh. Selain itu melakukan pembunuhan ulama
dan pejuang kemerdekaan.
Adapun tujuan mereka adalah ingin meruntuhkan NKRI yang berdasarkan Pancasila dan
menggantinya dengan negara komunis. Segala cara pun mereka lakukan demi memuluskan misinya.
Sebelum Peristiwa Madiun, PKI juga telah melakukan kekacauan di Solo (Surakarta) hingga
menewaskan banyak perwira TNI AD dan tokoh pejuang 1945. Oleh PKI, daerah Surakarta dijadikan
daerah yang kacau (wildwest). Sedangkan Madiun dijadikan PKI sebagai basis gerilya.
Sejarawan Agus Sunyoto mengungkapkan fakta sejarah bagaimana kebiadaban PKI melakukan makar
dan pemberontakan kala itu. Agus menceritakan kekejaman PKI ini di berbagai sumber referensi
seperti buku, makalah, buletin dan forum diskusi atau seminar.
Agus yang juga penulis buku ‘Banser Berjihad Menumpas PKI’ ini mengungkapkan ada ribuan nyawa
umat Islam termasuk para ulama NU menjadi korban dan simbol-simbol Islam dihancurkan.
Keberhasilan FDR/PKI menguasai Madiun didisusul dengan aksi penjarahan, penangkapan
sewenang-wenang terhadap musuh PKI. Mereka tidak segan-segan menembak, hingga berbagai
macam tindakan fasisme berlangsung sehingga membuat masyarakat Kota Madiun ketakutan.
Agus menceritakan, pada tahun 1948 itu para pimpinan Masyumi dan PNI ditangkap dan dibunuh.
Orang-orang berpakaian Warok Ponorogo dengan senjata revolver dan kelewang menembak atau
membunuh orang-orang yang dianggap musuh PKI. Mayat-mayat pun bergelimpangan di sepanjang
jalan. Bendera merah putih dirobek diganti bendera merah berlambang palu arit. Potret Soekarno
diganti potret Moeso.
Tanggal 18 September 1948 pagi sebelum terbit fajar, sekitar 1.500 orang pasukan FDR/PKI (700
orang di antaranya dari Kesatuan Pesindo pimpinan Mayor Pandjang Djoko Prijono) bergerak ke
pusat Kota Madiun.
Kesatuan CPM, TNI, Polisi, aparat pemerintahan sipil terkejut ketika diserang mendadak. Terjadi
perlawanan singkat di markas TNI, kantor CPM, kantor Polisi. Pasukan Pesindo bergerak cepat
menguasai tempat-tempat strategis di Madiun. Saat fajar terbit, Madiun sudah jatuh ke tangan
FDR/PKI. Sekitar 350 orang ditahan.
Di waktu yang sama, di Kota Magetan sekitar 1.000 orang pasukan FDR/PKI bergerak menyerbu
Kabupaten, kantor Komando Distrik Militer (Kodim), Kantor Onder Distrik Militer (Koramil), Kantor
Resort Polisi, rumah kepala pengadilan, dan kantor pemerintahan sipil di Magetan.
Sama dengan penyerangan mendadak di Madiun, setelah menguasai Kota Magetan dan menawan
bupati, patih, sekretaris kabupaten, jaksa, ketua pengadilan, kapolres, komandan Kodim, dan aparat
Kabupaten Magetan, mereka juga menangkap dan membunuh tokoh-tokoh Masyumi dan PNI di
kampung-kampung, pesantren-pesantren, desa-desa.
Meski tidak sama dengan aksi serangan di Madiun dan Magetan yang sukses mengambil alih
pemerintahan, serangan mendadak yang sama pada pagi hari tanggal 18 September 1948 itu
dilakukan oleh pasukan FDR/PKI di Trenggalek, Ponorogo, Pacitan, Ngawi, Purwodadi, Kudus, Pati,
Blora, Rembang, Cepu.
Sama dengan di Madiun dan Magetan, aksi serangan FDR/PKI selalu meninggalkan jejak
pembantaian massal terhadap musuh-musuh mereka. Antropolog Amerika, Robert Jay, yang ke Jawa
Tengah pada tahun 1953 mencatat bagaimana PKI melenyapkan tidak hanya pejabat pemerintah,
tapi juga penduduk, terutama ulama-ulama ortodoks, santri dan mereka yang dikenal karena
kesalehannya kepada Islam mereka itu ditembak, dibakar sampai mati, atau dicincang-cincang.
Masjid dan madrasah dibakar, bahkan ulama dan santri-santrinya dikunci di dalam madrasah, lalu
madrasahnya dibakar. Tentu mereka tidak bisa berbuat apa-apa karena ulama itu orang-orang tua
yang sudah ubanan, orang-orang dan anak-anak laki-laki yang baik yang tidak melawan. Setelah itu,
rumah-rumah pemeluk Islam dirampok dan dirusak.
Presiden Soekarno menyeru agar rakyat membantu alat pemerintah untuk memberantas semua
pemberontakan dan mengembalikan pemerintahan yang sah di daerah. Madiun harus lekas di
tangan kita kembali”.
Sejarah mencatat, bahwa antara tanggal 18-21 September 1948 gerakan makar FDR/PKI yang
dilakukan dengan sangat cepat itu tidak bisa dimaknai lain kecuali sebagai pemberontakan. Sebab
dalam tempo hanya tiga hari, FDR/PKI telah membunuh pejabat-pejabat negara baik sipil maupun
militer, tokoh masyarakat, tokoh politik, tokoh pendidikan, bahkan tokoh agama.
Setelah gerakan makar FDR/PKI berhasil ditumpas TNI dibantu masyarakat, awal Januari tahun 1950
sumur-sumur ‘neraka’ yang digunakan FDR/PKI mengubur korban-korban kekejaman mereka
dibongkar oleh pemerintah. Puluhan ribu masyarakat dari Magetan, Madiun, Ngawi, Ponorogo,
Trenggalek datang menyaksikan pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’.
Dalam proses pembongkaran sumur-sumur ‘neraka’ itu terdapat tujuh lokasi ditambah dua lokasi
pembantaian di Magetan, yaitu, (1) Sumur ‘neraka’ Desa Dijenan, Kecamatan Ngadirejo, Kabupaten
Magetan; (2) Sumur ‘neraka’ I Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (3) Sumur
‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan; (4) Sumur ‘neraka’ Desa Cigrok,
Kecamatan Kenongomulyo, Kabupaten Magetan; (5). Sumur ‘neraka’ Desa Pojok, Kecamatan
Kawedanan, Kabupaten Magetan; (6) Sumur ‘neraka’ Desa Batokan, Kecamatan Banjarejo,
Kabupaten Magetan; (7) Sumur ‘neraka’ Desa Bogem, Kecamatan Kawedanan, Kabupaten Magetan.
Sementara dua lokasi killing fields yang digunakan FDR/PKI membantai musuh-musuhnya, yaitu
ruang kantor dan halaman pabrik gula Gorang-gareng dan Alas Tuwa di dekat Desa Geni Langit di
Magetan.
Di sumur tua Desa Soco ditemukan kurang lebih 108 jenazah korban kebiadaban PKI. Sebanyak 78
orang di antaranya dapat dikenali, sedangkan sisanya tidak dikenal. Salah satu di antara korbannya
adalah KH Soelaiman Zuhdi Affandi, pimpinan Ponpes Ath-Tohirin Mojopurno, Magetan.
Kemudian, Kyai Imam Mursjid Muttaqin, Mursyid Tarikat Syattariyah Pesantren Takeran. Jasadnya
ditemukan di Sumur ‘neraka’ II Desa Soco, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan. Selain Kyai Imam
Mursjid, ulama lain ikut menjadi korban yaitu Kyai Zoebair, Kyai Malik, Krai Noeroen, Kyai Moch
Noor. Lalu, di sumur tersebut ditemukan jasad R Ismaiadi, Kepala Resort Polisi Magetan; R Doerjat
(Inspektur Polisi Magetan), Kasianto, Soebianto, Kholis, Soekir, (keempatnya anggota Polri); dan
masih banyak pejabat dan ulama lainnya.
Kebiadaban FDR/PKI selama melakukan aksi makarnya tahun 1948 adalah rekaman peristiwa yang
tidak akan terlupakan. Sumur-sumur tua ‘neraka’ yang tersebar di Magetan dan Madiun adalah
saksinya.
Tak heran jika tindakan keji PKI berulang kembali pada 1 Oktober 1965 di mana para jenderal TNI AD
diculik dan dibunuh secara sadis. Mayatnya kemudian ditemukan di dalam sumur ‘neraka’ Lubang
Buaya di dekat Bandara Halim, Jakarta Timur.
Dengan ditumpasnya pemberontakan PKI di Madiun dan pemberontakan G30SPKI 1965, maka
selamatlah bangsa Indonesia dari bahaya komunis. Kini, TNI dan ulama adalah pihak yang selalu di
barisan terdepan melawan kebangkitan paham dan gerakan kiri tersebut.
2.Pemberontakan Darul Islam
(PDI)/Tentara Islam Indonesia (TII)
Pemberontakan Terbesar di Indonesia
Hijrahnya Divisi Siliwangi dari Jawa Barat menuju Jawa Tengah ternyata dimaknai
berbeda oleh beberapa orang. Salah satunya adalah Kartosoewirjo. Dirinya beranggapan
bahwa hijrahnya Divisi Siliwangimenandakan Jawa Barat diserahkan kepada Belanda. Hal
tersebut kemudian dimanfaatkan oleh Kartosoewirjountuk mendirikan Negara Islam
(NI). Sekarmadji Maridjan Kartosoewirjo adalah pemimpin gerakan Negara Islam
Indonesia (dikenal dengan nama Darul Islam atau DI). NII berarti "Rumah Islam" yang
didirikan pada tanggal 7 Agustus 1949 di Desa Cisampah, Kecamatan Ciawiligar,
Tasikmalaya, Jawa Barat. Gerakan ini bertujuan bertujuan untuk mendirikan negara yang
berlandaskan Islam dengan hukum tertinggi adalah Al-Quran dan Hadist. Pasukannya sering
disebut TII/Tentara Islam Indonesia. Ada bebrapa sebab DI/TII pimpinan Kartosoewirjo sulit
ditaklukan, antara lain karena :
a. Kondisi geografis tempat pergerakan pasukan Kartosoewirjo berada di daerah pegunungan.
b. Pasukan Kartosoewirjo dapat bergerak dengan leluasa di kalangan rakyat jelata.
c. Pasukan DI/TII mendapatkan bantuan dari bebrapa orang Belanda.
d. Suasana politik dalam negeri Indonesia yang tidak kondusif di awal tahun 1950.
Kontak senjata antara TNI dengan pasukan DI/TII Jawa Barat terjadi pertama kali pada
tanggal 27 Agustus 1949 hingga tahun 1962. Melalui Operasi Pagar Betis dan
Barathayudha, DI/TII Jawa Barat berhasil dilumpuhkan. Pada tanggal 4 Juni 1962 di
Gunung Geber, Majalengka Jawa Barat.
Kartosoewirjo bersama dengan pengawalnya berhasil ditangkap dan diadili secara militer.
Dalam pengedilan tersebut Kartosoewirjo dijatuhi hukuman mati.
Selain di Jawa Barat, DI/TII juga menyebar ke berbagai daerah di indonesia. Di Aceh,
pada tanggal 20 September 1953, Tengku Daud Beureueh merasa kecewa karena status
Aceh ditetapkan menjadi Karisidenan di bawah Provinsi Sumatera Utara. Untuk meredam
gejolak, pemerintah akhirnya mengakomodasikan rakyat Aceh dengan menjadikan aceh
sebagai Daerah Istimewa pada tahun 1959.
Di Sulawesi Selatan juga muncul gerakan DI/TII yang dipimpin oleh Kahar Muzakar.
Gerakan DI/TII pimpinan Kahar Muzakar disebabkan karena penolakan pemerintah
Indonesia atas usulan penggabungan Komando Gerilya Sulawesi Selatan ke dalam Angkatan
Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) dengan nama Brigade Hasanuddin, tanggal 30
April 1950. Pada bulan Februari 1965, gerakan DI/TII Sulawesi Selatan mampu diredam oleh
pemerintah melalui operasi militer
Soekarmadji Ma
Amir Fatah
Ibnu Hadjar
Kahar Muzakar
Pemberontakan RMS.
Didirikannya Negara Kesatuan Republik Indonesia, menimbulkan respon dari masyarakat
Maluku Selatan saat itu. Seorang mantan jaksa agung Negara Indonesia Timur, Mr. Dr.
Christian Robert Soumokil, memproklamirkan berdirinya Republik Maluku Selatan
pada tanggal 25 April 1950. Hal ini merupakan bentuk penolakan atas didirikannya NKRI,
Soumokil tidak setuju dengan penggabungan daerah-daerah Negara Indonesia Timur ke
dalam wilayah kekuasaan Republik Indonesia. Dengan mendirikan Republik Maluku Selatan,
Ia mencoba untuk melepas wilayah Maluku Tengah dan NIT dari Republik Indonesia Serikat.
Berdirinya Republik Maluku Selatan ini langsung menimbulkan respon pemerintah yang
merasa kehadiran RMS bisa jadi ancaman bagi keutuhan Republik Indoensia Serikat. Maka
dari itu, pemerintah langsung ambil beberapa keputusan untuk langkah selanjutnya.
Tindakan pemerintah yang pertama dilakukan adalah dengan menempuh jalan damai. Dr. J.
Leimena dikirim oleh Pemerintah untuk menyampaikan permintaan berdamai kepada
RMS, tentunya membujuk agar tetap bergabung dengan NKRI. Tetapi, langkah pemerintah
tersebut ditolak oleh Soumokil, justru ia malah meminta bantuan, perhatian, juga pengakuan
dari negara lain, terutama dari Belanda, Amerika Serikat, dan komisi PBB untuk Indonesia.
Presiden RMS Chris Soumokil dalam persembunyiannya di Pulau Seram.
Akhirnya kota Ambon dapat dikuasai pada awal November 1950. Akan tetapi, ketika
melakukan perebutan Benteng Nieuw Victoria, Letnan Kolonel Slamet Riyadi gugur. Namun,
perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962. Setelah itu,
pada tanggal 12 Desember 1963, Soumokil akhirnya dapat ditangkap dan kemudian
dihadapkan pada Mahkamah Militer Luar Biasa di Jakarta. Berdasarkan keputusan
Mahkamah Militer Luar Biasa, Soumokil dijatuhi hukuman mati.
Setelah RMS mengalami kekalahan di Ambon, serta Soumokil yang telah dijatuhkan
hukuman mati, pada akhirnya pemerintahan RMS mulai mengungsi dari pulau-pulau yang di
tempati sebelumnya dan membuat pemerintahan dalam pengasingan di Belanda. Sebanyak
12.000 tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda setahun setelahnya. Pada
akhirnya pemberontakan RMS berhasil dihentikan oleh pemerintah Indonesia.
Dalam catatan umum sejarah Indonesia pula, pemberontakan APRA adalah bentuk penolakan
dari sejumlah pihak di Jawa Barat kepada pemerintah Republik Indonesia, setelah pengakuan
kedaulatan dari Belanda, 27 Desember 1949.
Karena latar belakang tertentu, terjadi aksi pasukan APRA yang merupakan milisi dan tentara
bayaran untuk menggulingkan Republik Indonesia Serikat, dengan disebut-sebut atas kepen-
tingan sejumlah pihak dari Jawa Barat.
Sejumlah aksi peristiwa APRA juga diberitakan sejumlah surat kabar terbitan Australia yang
tersimpan di National Library of Australia Trove. Kekuatan pasukan APRA terdiri atas
2.000-an orang.Walau pemimpinnya adalah Raymond Westerling yang berdarah Belanda,
para tentaranya adalah orang-orang Indonesia dari sejumlah suku yang dipilih dari
pasukan Belanda dan Indonesia.
The Sydney Morning Herald pada 24 Januari 1950 memberitakan, pasukan APRA yang kuat
dipimpin Kapten Westerling, mantan pasukan komando Belanda, membuat sebuah serangan
mendadak terhadap pasukan Indonesia di Jawa Barat saat fajar, Senin, 23 Januari.Sekira 600
orang anggota pasukan Westerling beraksi di Bandung yang merupakan ibu kota Negara
Pasundan. Dalam 30 menit, APRA telah merebut kantor pos, markas polisi, markas militer
wilayah, serta sejumlah ruas jalan dan halaman suatu markas militer, yang dipenuhi mayat
tentara Indonesia.
Tak lama kemudian, kata saksi itu, dari arah selatan muncul bala bantuan pemberontak ke
pusat Kota Bandung menggunakan sejumlah truk hasil rampasan dari tentara Indonesia. Di
tengah sengitnya baku tembak, pasukan Indonesia tampak sudah mengalami korban sangat
banyak.Setelah baku tembak mereda, disebutkan bahwa jalan di pusat Kota Bandung menjadi
lengang. Sejumlah ambulans Belanda bermunculan untuk mengevakuasi para korban dari
kedua pihak, baik APRA maupun dari pihak Indonesia.
Disebut-sebut, pasukan APRA yang dipimpin oleh Raymond Westerling di Bandung itu, para
personelnya hampir semuanya sama, yakni dikerahkan saat Agresi Militer II ”Operasi
Gagak”, di Yogyakarta, 19 Desember 1948.Orang-orang tersebut adalah orang yang sama
yang diterjunkan dari pesawat-pesawat Belanda di Lapangan Terbang Maguwo, yang
kemudian menangkap Presiden Soekarno.
Beberapa jam sebelum serangan dimulai, Westerling menginformasikan kepada koresponden
Australian Associated Press dan Reuters bahwa aksi pasukan APRA bertujuan memusnahkan
kekuatan TentaraNasional Indonesia di Jawa Barat, termasuk Jakarta, menangkapi orang-
orang Indonesia di kabinet. Pasukannya kemudian membentuk pemerintah baru di Jawa
Barat.
Sehari berikutnya, The Age terbitan Melbourne, pada 25 Januari 1950 memberitakan bahwa
pihak Tentara Nasional Indonesia yang dikirimkan dari Jakarta dan Surabaya sudah mampu
kembali menguasai Kota Bandung..Seorang juru bicara pasukan Belanda mengatakan, 50-an
tentara pasukan komando mengikuti Westerling yang kemudian ditangkap oleh militer
Belanda lalu diterbangkan ke Jakarta.Ada pula 100-an orang mantan Tentara Nasional
Indonesia yang bergabung ke Westerling, kemudian kembali bertugas ke pasukan Negara
Pasundan.
Setelah terjadinya pemberontakan APRA di Bandung, ada hal menarik terkubur zaman terkait
dengan sejarah pemberontakan APRA ini, Raymond Westerling kemudian lolos, tetapi
muncul seorang terdakwa yaitu orang Belanda bernama Leon Nicolaas Hubert
Jungschlaeger.Ia didakwa oleh pengadilan di Jakarta pada tahun 1956 sebagai koordinator
sejumlah pemberontakan terhadap Republik Indonesia pada tahun 1950-an itu.
R. Soenario dalam buku yang ditulisnya, Proses Jungschlaeger terbitan Gunung Agung
Jakarta tahun 1956 menyebutkan, Jungschlaeger tiba-tiba tewas, setelah dinyatakan terbukti
sebagai biang keladi pemberontakan APRA, DI/TII, dll. Jungschlaeger meninggal secara
tiba-tiba pada 19 April 1956, atau sepekan sebelum hakim bernama Maengkom menjatuhkan
keputusannya pada 27 April 1956. Saat itu, pengadilan menuntut hukuman mati terhadapnya.
Dalam buku itu ada yang menyimpulkan bahwa Jungschlaeger tewas karena bunuh diri.
Meskipun demikian, pihak Rumah Sakit Cikini Jakarta dalam catatan medisnya menyatakan
bahwa ia meninggal karena penyakitnya.Ada pula spekulasi yang menyebut bahwa ada
pihak-pihak berkepentingan agar Jungschlaeger harus sudah mati sebelum divonis.
Ditulis pula oleh Soenario, nama Kapten Westerling muncul saat menjelang Pengakuan
Kedaulatan Republik Indonesia pada Desember 1949. Nama Westerling ditulis hadir bersama
Kartosuwiryo (pemimpin Darul Islam), dan sejumlah tokoh Negara Pasundan dalam sebuah
perundingan di Gedung Pakuan Bandung.Disebutkan pula dalam buku itu, pada Januari 1950,
Kartosuwiryo berunding kembali dengan Kapten Westerling, sejumlah tokoh Negara
Pasundan, Panglima Darul Islam yaitu Oni, dan beberapa pembesar Belanda di Hotel
Preanger Bandung.
Dalam pertemuan itu, diputuskan akan dilakukan serangan umum oleh Darul Islam dan
APRA terhadap kota-kota besar di Jawa Barat.Disebutkan keterangan sejumlah saksi, yang
mengatakan, Darul Islam (diawali Laskar Hizbullah/Fisabilillah) sebenarnya memiliki
kesempatan besar untuk memproklamasikan Negara Islam Indonesia di Jawa Barat sejak
tahun 1947-1948.
Pada 1949 pemerintahan Republik Indonesia sudah dianggap tak ada di Jawa Barat akibat
menyepakati Perjanjian Renville.Disebut-sebut pula, laskar Hizbullah dan Fisabilillah
(kemudian bergabung menjadi Darul Islam) sejak tahun 1947 memang sangat bermusuhan
dengan Belanda.Memasuki tahun 1949, khusus kelompok pasukan Belanda yang dipimpin
Westerling dkk, diduga sudah ada hubungan baik dengan Darul Islam karena adanya
kesamaan kepentingan.
Kembali kepada Raymond Westerling, dalam keterangannya yang dikutip surat kabar The
Northern Mine terbitan 24 Januari 1950, ia mengatakan bahwa alasan pihaknya melakukan
aksi di Bandung itu karena pemerintahan Republik Indonesia di Yogyakarta tak mampu
mengakomodasi Indonesia secara keseluruhan. Di Jawa Barat sendiri ada empat pemerintah,
yaitu politisi Jakarta, Negara Pasundan, Darul Islam, dan komunis.
Dalam surat kabar itu disebutkan, Westerling menilai Presiden Soekarno tak memiliki
kepedulian terhadap Jawa Barat. Oleh karena itu, ia memiliki keinginan adanya pemerintahan
kuat di Jawa Barat melalui Negara Pasundan di Bandung dan Jakarta.
Disebutkan pula oleh surat kabar tersebut, situasi di Indonesia saat itu mulai terjadi banyak
kekacauan, yang berisiko membuka jalan bagi berkembangnya komunisme.Kalangan
nasionalis di pemerintahan Indonesia diharapkan mampu menjaga kerukunan beragama,
sehingga muncul persatuan nasional.Pada 17 Januari 1948, pemerintah Republik Indonesia
dengan Belanda menyepakati perjanjian Renville di atas kapal perang Amerika Serikat, USS
Renville.Akibat perjanjian itu, Indonesia diharuskan menarik pasukannya di Jawa Barat -
hijrah ke wilayah Republik di Yogyakarta dan Jawa Tengah.
Dalam sejarah umum, Belanda kemudian leluasa mencoba menguasai Jawa Barat. Pada
masa-masa itu, ada pula aksi pasukan Korps Speciale Tropen (KST) Belanda yang
merupakan pasukan komando.Para personel KST Belanda berbeda-beda kebangsaannya. Ada
yang terdiri atas orang-orang Belanda, orang-orang Indonesia dari sejumlah suku tertentu,
juga ada terdiri sejumlah orang Jerman.
Aksi pasukan KST Belanda yang para personelnya terdiri atas orang-orang Jerman,
merupakan kisah nyaris tak tercatat sejarah terkait aksi yang dipimpin oleh Kapten Raymond
Westerling saat masih menjadi tentara Belanda di Indonesia, yang dilakukan di Cikalong,
Tasikmalaya selatan, pada Juli 1948.
Pada 30 Mei 1959 Konstituante melaksanakan pemungutan suara. Hasilnya 269 suara
menyetujui UUD 1945 dan 199 suara tidak setuju. Meskipun yang menyatakan setuju lebih
banyak, pemungutan suara ini harus diulang karena jumlah suara tidak memenuhi kuorum.
Kuorum adalah jumlah minimum anggota yang harus hadir di rapat, majelis, dan sebagainya
(biasanya lebih dari separuh jumlah anggota) agar dapat mengesahkan suatu putusan.
Pemungutan suara kembali dilakukan pada tanggal 1 dan 2 Juni 1959. Dari pemungutan suara
ini Konstituante juga gagal mencapai kuorum. Untuk meredam kemacetan, pada tanggal 3
Juni 1959 Konstituante mengadakan reses (masa perhentian sidang parlemen; masa istirahat
dari kegiatan bersidang) yang kemudian ternyata untuk selama-lamanya. Untuk mencegah
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, maka Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan
Jenderal A.H. Nasution atas nama Pemerintah/Penguasa Perang Pusat (Peperpu),
mengeluarkan peraturan No.Prt/Peperpu/040/1959 yang berisi larangan melakukan kegiatan-
kegiatan politik. Pada tanggal 16 Juni 1959, Ketua Umum PNI Suwirjo mengirimkan surat
kepada Presiden agar mendekritkan berlakunya kembali UUD 1945 dan membubarkan
Konstituante.
TENTANG
Bahwa andjuran Presiden dan Pemerintah untuk kembali kepada Undang-Undang Dasar 1945
jang disampaikan kepada segenap rakjat Indonesia dengan amanat Presiden pada tanggal 22
April 1959 tidak memperoleh keputusan dari Konstituante sebagaimana ditentukan dalam
Undang-Undang Dasar Sementara;
Bahwa dengan dukungan bagian terbesar rakjat Indonesia dan didorong oleh kejakinan kami
sendiri, kami terpaksa menempuh satu-satunja djalan untuk menjelamatkan Negara
Proklamasi;
Bahwa kami berkejakinan bahwa Piagam Djakarta tertanggal 22 Djuni 1945 mendjiwai
Undang-Undang Dasar 1945 dan adalah merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan
Konstitusi tersebut,
Menetapkan Undang-Undang Dasar 1945 berlaku lagi bagi segenap bangsa Indonesia dan
seluruh tumpah darah Indonesia terhitung mulai hari tanggal penetapan dekret ini dan tidak
berlakunja lagi Undang-Undang Dasar Sementara.
SOEKARNO
BAB 3
PENUTUP
Kesimpulan
1. Pada periode 1945-1950, implementasi Pancasila bukan saja menjadi masalah, tetapi
lebih dari itu ada upaya-upaya untuk mengganti Pancasila sebagai dasar negara
dengan faham komunis oleh PKI melalui pemberontakan di Madiun tahun 1948 dan
oleh DI/TII yang akan mendirikan negara dengan dasar islam.
2. Pada periode 1956-1965, dikenal sebagai periode demokrasi terpimpin. Demokrasi
bukan berada pada kekuasaan rakyat sehingga yang memimpin adalah nilai-nilai
Pancasila tetapi berada pada kekuasaan pribadi presiden Soekarno. Terjadilah
berbagai penyimpangan penafsiran terhadap Pancasila dalam konstitusi. Akibatnya
Soekarno menjadi otoriter, diangkat menjadi presiden seumur hidup, politik
konfrontasi, menggabungkan Nasionalis, Agama, dan Komunis, yang ternyata tidak
cocok bagi NKRI.
Wassalamu’alaikum WR. WB
Penyusun
DAFTAR PUSTAKA