Anda di halaman 1dari 8

DAKWAH MELALUI TULISAN

Dewi Mustika
IAIN Metro Lampung
E-mail: dewielmizar@gmail.com

PENDAHULUAN

Kalimat laa ilaha illallah merupakan inti ajara Islam yang menjadi pendorong utama
kegiatan dakwah sehingga Islam menjadi agama dakwah. Berkat dakwah pula, Islam
tersebar keseluruh penjuru dunia. Dakwah adalah misi utama kerusalan, wujud kepedulian,
bahkan kasih sayang muslim kepada sesama manusia. Salah satu ciri seorang muslim
adalah kepedualiannya terhadap aktivitas dakwah. Melalui dakwah, muslim terhindarkan
dari sikap indiviualis. Ketika dakwah Islam dilakukan, out-put-nya adalah tersampaikan
dan teramalkan ajara Islam kepada manusia dalam realitas kehidupannya. Tersebarnya
dakwah Islam menjadi sebuah kewajiban oleh seorang muslim itu sendiri, dengan
kemampuan yang dimilikinya, dan dengan berbagai metode atau cara yang mereka lakukan.
Salah satu metode dakwah yang populer dalam Al Qur’an yakni dakwah melalui tulisan.
Menulis memiliki banyak keuntungan. Begitupun berdakwah. Jika kedua aktivitas tersebut
dipadukan, keuntunganya akan berkali lipat. Jika bermuatan dakwah, menulis tidak hanya
akan menghantarkan keuntungan duniawi, tetapi juga ukhrawi.
Menulis memang berkaitan dengan tradisi. Tradisi menulis, menurut catatan para
pemerhati, selalu berkolerasi dengan tradisi membaca. Seorang penulis akan mahir
memainkan kata jika ia juga adalah seorang pembaca. Hasil tulisannya akan dikonsumsi
oleh banyak orang jika mereka juga memiliki kebiasaan membaca. Karena itu, jangan
mimpi jika akan lahir para penulis dari masyarakat yang belum memiliki tradisi membaca.
Sebagai alternatif membaca, masyarakat kita masih lebih suka mendengar. Bahkan
sekedar berpendapat pun secara lisan. Ia cenderung menjadi pendengar pasif. Ribuan
jamaah mengikuti ceramah yang disampaikan seorang “dai sejuta umat”, tetapi
membiarkan tulisan-tulisan bermutu tetap tergeletak tak pernah disapa. Penyampaian ajaran
secara lisan kini semakin meriah diman-mana yang bisa diakses lewat media sosial. Mereka
datang untuk duduk, mendengar, tertawa, atau menangis. Sekembalinya kerumah, pesan-
pesan itu mudah terlupakan dan baru ingat kembali ketika kisah-kisah itu diputar ulang.
Akan tetapi, tidak dalam bahan-bahan bacaan. Hasilnya, memang kurang begitu
menggembirakan. Seolah-olah “ritual” penyampaian ajaran itu hanya numpang lewat,
masuk ketelinga kanan keluar ketelinga kiri.
Tidak sedikit diantara para dai yang pandai memukau ribuan khalayak diatas mimbar,
tetapi begitu sulit menuangkan isi ceramahnya kedalam sebuah tulisan. Atau kalaupun ada
yang berhasil menuliskannya, banyak diantara mereka yang karya tulisanya itu masih
terbilang jelek dibandingkan dengan gaya dan bahasa ceramah yang disampaikannya.
Bahasa lisan diatas mimbar memang berbeda dengan Bahasa tulis yang biasa kita baca
diberbagai media cetak. Sekurang-kurangnya, karya tulis yang tidak mengikuti kaidah-
kaidah bahasa tulis, tidak akan enak dibaca, meskipun isi yang dituliskan dianggap perlu.

Isyarat Menulis dalam Al Qur’an dan Hadis


Aktivitas menulis banyak sekali disinggung dalam Al Qur’an dan hadis, bahkan
sampai-sampai Allah menggunakannya sebagai sumpah dalam Al Qur’an, sebagaimana
tersirat dalam firman-Nya.
“Nun. Demi pena dan hasil tulisan manusia dan malaikat,” (Qs. Al Qolam: 1)
Dalam ayat tersebut Allah bersumpah dengan pena, juga dengan apa yang ditulis oleh
manusia. Aktivitas menulis juga disinggung pada ayat Al Qur’an:
“Sesungguhnya Kami menghidupkan orang-orang mati dan Kami menuliskan apa
yang telah mereka kerjakan dan bekas-bekas yang mereka tinggalkan. Dan segala
sesuatu kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (Qs.
Yaasiin: 12)
Selanjutnya perbandingan keutamaan ceramah (lisan) dengan tulisan diungkapkan
oleh Ibnu al-Muqaffa. Ibnu al-Muqaffa berkata, “Ungkapan lidah itu terasa hanya pada
sesuatu yang dekat dan hadir, sedangkan ungkapan tulisan itu berguna bagi yang
menyaksikan dan yang tidak menyaksikan, bagi orang yang dulu dan yang akan datang. Ia
seperti orang yang berdiri sepanjang waktu.”
Asy-Syukani mengatakan bahwa salah seorang ulama pernah berpesan kepadanya
seraya mengatakan, “Jangan kamu menghentikan kegiatan menulismu sekalipun kamu
menulis dua baris sehari”.
Ayat lain yang juga mengingatkan kita tentang pentingnya menulis adalah QS. Al
Baqarah: 282)
“Wahai orang-orang yang beriman, apabila kamu berutang piutang untuk waktu
yang ditentukan, hendaklah kamu mencatatnya. Hendaklah seorang pencatat di
antara kamu menuliskannya dengan benar. Janganlah pencatat menolak untuk
menuliskannya sebagaimana Allah telah mengajar-kan kepadanya. Hendaklah dia
mencatat(-nya) dan orang yang berutang itu mendiktekan(-nya). Hendaklah dia
bertakwa kepada Allah, Tuhannya, dan janganlah dia menguranginya sedikit pun.
Jika yang berutang itu orang yang kurang akalnya, lemah (keadaannya), atau tidak
mampu mendiktekan sendiri, hendaklah walinya mendiktekannya dengan benar.
Mintalah kesaksian dua orang saksi laki-laki di antara kamu. Jika tidak ada (saksi)
dua orang laki-laki, (boleh) seorang laki-laki dan dua orang perempuan di antara
orang-orang yang kamu sukai dari para saksi (yang ada) sehingga jika salah
seorang (saksi perempuan) lupa, yang lain mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi
itu menolak apabila dipanggil. Janganlah kamu bosan mencatatnya sampai batas
waktunya, baik (utang itu) kecil maupun besar. Yang demikian itu lebih adil di sisi
Allah, lebih dapat menguatkan kesaksian, dan lebih mendekatkan kamu pada
ketidakraguan, kecuali jika hal itu merupakan perniagaan tunai yang kamu jalankan
di antara kamu. Maka, tidak ada dosa bagi kamu jika kamu tidak mencatatnya.
Ambillah saksi apabila kamu berjual beli dan janganlah pencatat mempersulit (atau
dipersulit), begitu juga saksi. Jika kamu melakukan (yang demikian), sesungguhnya
hal itu suatu kefasikan padamu. Bertakwalah kepada Allah, Allah memberikan
pengajaran kepadamu dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Ayat tersebut tidak ada asbabun nuzulnya. Jika tidak ada peristiwa khusus
yang menyebabkan suatu ayat turun, ayatnya menjadi kontekstual dan general. Bagi
orang akuntansi, ayat ini biasanya dianggap sebagai legitimasi dasar-dasar ilmu
akuntasi modern.
Dari sini bisa dilihat bahwa jika persoalan utang-piutang saja mendapat
perhatian yang begitu besar untuk ditulis, artinya Allah ingin agar umat Islam
menjadi umat yang menulis, yaitu umat yang menggunakan kalam sebagai basis
dalam bermualah dan tidak sekedar mengandalkan lisan yang jelas akan mudah untuk
dilupakan atau diingkari. Sejak turunnya ayat yang memerintahkan menuliskan
perjanjian utang-piutang dan pembelian non-tunai, ummat Islam langsung berubah
menjadi umat yang menggunakan piranti tulis dalam bermuamalah. Ketika sebagain
besar manusia masih hidup dalam keterbelakangan, bahkan kertas dan alat cetak
belum ditemukan. Tuhan sudah memerintahkan umat Islam untuk melakukan
aktivitas yang merupakan ciri manusia modern, yaitu membaca dan menulis. Umat
Islam bermetamorfosis menjadi umat yang modern yang tidak lagi hanya
menggunakan perjanjian lisan, tetapi berubah menjadi umat yang menggunakan
perjanjian tertulis dalam komunikasi bisnisnya. Tidak salah jika kemudian umat Islam
menjadi umat yang paling modern dan paling maju pada masa kejayaannya dahulu
karena perintah untuk membaca dan menulis kemudian dikembangkan untuk
memajukan ilmu pengetahuan pada masa itu.
Kemudian tradisi menulis juga terjadi pada masa Nabi Muhammad saw dan
para sahabat. Kegiatan ini terdokumentasikan dalam hadis-hadis. Bentukmya ada
surat biasa, surat perjanjian, surat dakwah (ajakan) sampai Riwayat penulisan Al
Qur’an. Beberapa diantaranya sebagai berikut.

1. Dari Ibnu Abbas RA, dari Nabi Saw. yang beliu riwayatkan dari Rabb-nya
(hadis qudsi) Azza wa jalla berfirman, yang beliu sabdakan, “Allah menulis
kebaikan dan kejahatan,” selanjutnya beliau jelasakan, “Siap yang berniat
melakukan kebaikan lantas tidak jadi ia amalkan, Allah mencatat satu
kebaikan di sisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat lantas ia amalkan,
Allah mencatatnya sepuluh kebaikan, bahkan hingga dilipatgandakan tujuh
ratus kali, bahkan lipatganda yang tak terbatas, sebaliknya barangsiapa yang
berniat melakukan kejahatan kemudian tidak jadi ia amalkan, Allah menulis
satu kebaikan disisi-Nya secara sempurna, dan jika ia berniat kejahatan dan
jadi ia lakukan, Allah menulisnya sebagai satu kejahatan saja,” (HR.Bukhari
nomor 6010)
2. Dari Asy-Sya’biy telah menceritakan kepada saya Penulis Al Mughirah bin
Syu’bah berkata; Mu’awiyah menulis surat kepada Al Mughirah bin Syu’bah
(yang isinya); “Tulislah untuk aku sesuatu yang kamu dengar dari Nabi Saw”.
maka dia menulis untuknya: “Aku mendengar Nabi Saw bersabda: “Allah
membenci kalian tiga hal: “Orang yang menyampaikan setiap hal yang
didengarnya, menyianyiakan harta dan banyak bertanya”. (HR. Bukhari
Nomor 1383, Muslim 3238, Ahmad 17473).
Ketika menulis dipandang penting, ada aktivitas yang saling berkaitan, yaitu
membaca. Membaca dan menulis merupakan dua kativitas yang tidak bisa
dipisahkan. Prespektif Al Qur’an tentang pentingnya tradisi membaca dan menulis,
menurut Abdul Mu’ti, dapat dilihat dari empat alasan yakni sebagai berikut :
Pertama, banyak perintah membaca dan menulis. Didalam Al Quran, kata kerja
“kataba” (menulis) beserta kata bentuknya disebutkan sebanyak 303 kali. Sedangkan
kata “qaraa” (membaca) terdapat sebanyak 99 kali. Kata “qalam” (pena/alat/tulis)
disebutkan lima kali. Perbandingan kata “qaraa” dengan “kataba” sekitar 1;4. Hal
ini berarti aktivitas membaca sangat ditentukan oleh tersedianya bahan bacaan yang
menuntut produktivitas menulis. Atau, untuk membangun peradaban, Masyarakat
harus membaca sedikitnya empat bacaan /buku setiap hari.
Kedua, pentingnya tradisi menulis juga terlihat dari urutan turunnya ayat-ayat Al
Qur’an. Imam al-Khazin, dalam tafsir al-Khazin al-Musamma lilbabi al-Ta’wil fi
Ma’ani al-Tanzil, menjelaskan dua surat atau ayat yang pertama kali diturunkan
adalah Al-‘Alaq: 96 dan Al Qalam: 68. Dalam kedua surat tersebut kata “qaraa”
(membaca) dan “Qalam” yang berarti kegiatan membaca dan menulis disebutkan
pada awal surat.
Ketiga, dalam beberapa ayat Al Qur’an terdapat perintah agar umat Islam
mencatat setiap transaksi yang mereka lakukan dengan sesama manusia. “Wahai
orang-orang yang beriman, apabila kamu melakukan transaksi dalam waktu yang
telah ditentukan, maka catatlah…” (QS. Al Baqarah:282). Tradisi menulis juga
dicontohkan oleh Allah yang menugaskan Malaikat Raqib dan Atid untuk mencatat
semua perbuatan manusia. Catatan tersebut merupakan “rekaman utuh” yang akan
disampaikan kepada manusia pada hari hisab (QS. Al Israa:14)
Keempat, setiap kali menerima wahyu, Rasulullah memerintahkan kepada para
sahabat yang mampu membaca dan menulis untuk menuslikan wahyu di qirthas.
Perintah tersebut, disamping dimaksdukan untuk melestarikan dan memudahkan
hafalan Al Qur’an, juga sebagai counter-culture dari tradisi masyarakt Arab.

Saatnya Giat Literasi dalam Dakwah


Bagi sebagian kita, mungkin menulis merupakan sesuatu yang menyulitkan.
Malas rasanya untuk memulai, tak ada ide atau sibuk dengan urusan lain. Boleh jadi
bingung untuk memulai menyusun tulisan atau tidak percaya diri. Faktor itu lah yang
menghantui penulis pemula yang ingin menulis. Jangan takut, jika ada kemauan,
disitu akan ada jalan. Jadi, mulai buang rasa tidak percaya diri dan camkan bahwa
kita semua dapat menjadi penulis dan Anda semua adalah orang-orang hebat yang
pandai menulis. Perkara gagasan kita dianggap cetek (baca: jelek) oleh orang lain,
ketahuilah bahwa mereka yang senang merendahkan adalah yang tak memiliki
kemampuan sama sekali.
Ketika kita ditanya “mengapa kita harus menulis” jawabannya bisa bermacam-
macam. Masing-masing kita bisa jadi memiliki alasan dan jawaban yang berbeda-
beda. Seorang dokter mungkin akan lebih banyak menulis tentang kesehatan, seorang
politisi, ekonom, pendakwah, guru, mereka akan menulis sesuai latar belakang
mereka.
Ada juga yang menulis dengan alasan dan tujuan tertentu, dari yang sederhana
sampai sampai yang mencakup internasional. Kita menyadari bahwa teknik dalam
penulisan itu relatif mudah dan bisa dipelajari ketika kita sudah mengetahui alasan
kuat mengapa kita menulis. Tanpa punya alasan yang kuat seluas apapun pengetahuan
yang dimiliki, setinggi apapun tehnik yang dipelajari yakinlah tanpa alasan dan
tujuan, tulisan kita tidak akan pernah terselesaikan. Untuk menghasilkan suatu
tulisan, dibutuhkan pula semangat yang kuat dan alasan yang hebat. Bukan hanya
semangat ketika memulai sebuah tulisan, tetapi juga semangat untuk tetap bisa
konsisten menyelesaikan tulisan hingga tuntas.
Ketika kita sudah memiliki alasan dan semangat yang kuat untuk menulis, maka
proses selanjutnya akan terasa lebih ringan. Dalam perjalanan menulis, meskipun
terkadang ada peristiwa atau masalah dalam hidup kita yang membuat perjalanan
menulis jadi terhambat, atau di tengah jalan semangat kita untuk menulis tiba-tiba
turun. Semua itu bisa dihadapi dengan mudah jika kita berpikiran positif terhadap
keadaan. Naik turunnya semangat dalam menulis tidak akan berpengaruh besar dalam
tulisan kita jika sudah memiliki alasan yang kuat.
Pramodya Ananta Toer seorang sastrawan Indonesia pernah menyampaikan
“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang
dari masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian.”
Seorang penulis namanya akan tertera dalam sejarah, tercantum dalam benak,
terkenang dalam ingatan. “Menulislah, agar orang di masa depan tau bahwa engkau
pernah hidup di masa lampau” tutur ustadz Abdul Somad. Berikut ini saya akan
memberikan beberapa alasan mengapa kita harus menulis yang menurut saya sangat
tepat untuk diketahui:
1. Dengan menulis, berarti kita telah mengeluarkan diri kita dari zona aman
menuju zona kesuksesan;
2. Dengan menulis, akan bertambah pengetahuan dan informasi yang kita miliki.
Karena seringkali sebelum menulis orang akan mencari referensi dan membaca;
3. Dengan menulis, berarti kita telah memperlambat proses lupa. karena kita akan
menulis kembali informasi atau momen yang kita miliki;
4. Dengan menulis, kosa kata kita akan bertambah dan semakin terasah;
5. Dengan menulis, otak kita akan terasah dan pandangan kita terhadap sesuatu
akan semakin tajam;
6. Dengan menulis, kita telah berpartisipasi dalam memajukan bangsa;
7. Dengan menulis, pertemanan akan semakin bertambah, baik antara penulis dan
pembaca atau antara sesama penulis;
8. Dengan menulis, kita akan semakin dikenal dan terkenal;
9. Dengan menulis, akan tumbuh jiwa kesabaran dalam diri kita;
10. Dengan menulis, kita bisa mengungkapkan unek-unek yang ada dalam benak
kita, sehingga pikiran terasa lebih tenang dan nyaman;
11. Dengan menulis, kita akan tumbuh semakin dewasa dan matang;
12. Dengan menulis, kita akan berfikir cemerlang;
13. Dengan menulis, kemampuan kita dalam penulisan akan terasah;
14. Dengan menulis, kita telah belajar melapangkan hati;
15. Karena menulis, adalah media untuk berbagi
Pada poin terakhir sengaja saya katakan bahwa menulis adalah media untuk
berbagi. Bagi saya ini adalah poin terpenting yang menjadi alasan mengapa kita harus
menulis. Bayangkan orang yang alasan menulisnya hanyalah sekedar ingin dikenal,
apa yang akan dilakukan setelah terkenal? Tulisannya akan terasa hambar. Orang
yang alasan menulisnya hanyalah untuk urusan finansial, yakinlah tulisannya tidak
akan laris di pasar. Jadikanlah menulis sebagai media untuk berbagi, sarana untuk
saling memotivasi, bahan untuk mencerdaskan sesama. Menulislah untuk berbagi,
berbagi kebahagiaan, berbagi pengalaman, berbagi pengetahuan. Jika kita tidak
mampu untuk saling memberi dari segi finansial, apa salahnya kita berbagi melalui
tulisan. Tentu kita semua sepakat bahwa sebaik-baik orang adalah yang memberi
manfaat bagi sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai