Anda di halaman 1dari 19

MAKALAH

“PENGANTAR STUDI ISLAM TENTANG KONSEP ISLAM WAHYU DAN


KENABIAN, URGENSI KENABIAN, TUGAS KENABIAN, MISI DAN TUJUAN
KENABIAN, NABI MUHAMMAD SAW, MU’JIZAT, AL-QUR’AN”

Dosen Pengampuh : Nuraini, S.HI,.M.Pd

Disusun Oleh :

Kelompok

ARDILA ANGGRAINI

BELA WAHYUNI

DELIA MASMUDA

SYAIFUR ROHMAN

INSTITUT AGAMA ISLAM


NUSANTARA BATANG HARI
2021
KATA PENGANTAR

‫الرحِيم‬
َّ ‫ِالر ْح َم ِن‬
َّ ‫ــــــــــــــــم اﷲ‬
ِ ‫ِب ْس‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan


semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan kelancaran
beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW
yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.

Alhamdulillah berkat Rahmat dan ridha-Nya penulis dapat


menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul“PENGANTAR STUDI
ISLAM TENTANG KONSEP ISLAM WAHYU DAN KENABIAN, URGENSI
KENABIAN, TUGAS KENABIAN, MISI DAN TUJUAN KENABIAN, NABI
MUHAMMAD SAW, MU’JIZAT, AL-QUR’AN”. makalah ini disusun untuk
memenuhi salah satu tugas kelompok tahun akademik 2021

Dalam penyusunan makalah ini Penulis mendapatkan bantuan


serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis. Begitu pula makalah ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
sarannya yang bersifat membangun.

Muara Bulian, November 2021

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah SWT telah menciptakan langit serta bumi seisinya dengan
sangat sempurna layaknya Allah menciptakan manusia yang
merupakan makhluk yang paling sempurna. Manusia diberikan
kelebihan akal untuk berpikir dan dapat membedakan mana yang haq
dan mana yang batil. Di balik kesempurnaan manusia pada umumnya
Allah telah menunjuk orang-orang pilihan sebagai utusan Allah yang
nantinya akan meyebarkan Islam yang haq kepada umatnya. Orang-
orang pilihan tersebut biasa disebut Nabi, Rasul, Wali, atau Ulama.
Sebagai umat Islam, kita wajib percaya dan mengimani adanya
Rasul sebagai utusan Allah. Hal itu telah tercantum dalam rukun Iman
yang ke-4. Karena itulah alangkah baiknya kita mengkaji pengertian
dari konsep kenabian, tugas-tugas nabi, eksistensi nabi serta wilayah
diutus nya Anbiyaa’. Semoga isi daripada makalah ini menambah
wawasan keilmuan kita dalam mengkaji tafsir, sejarah, dan ilmu
keagamaan yang lain, Aamiin.
Di sepanjang sejarah telah bermunculan para nabi benar dan para
nabi palsu, yakni orang-orang yang mengklaim dirinya sebagai nabi
secara dusta. Oleh karena itu, kita di sini akan membahas konsep
kenabian dengan harapan menjadi jelas mana nabi benar dan mana
nabi palsu. Secara pendekatan logikal terdapat empat klasifikasi yang
dapat dibedakan dari orang-orang yang mengklaim dirinya dengan
kenabian, di mana empat kemungkinan ini diperoleh dari gejala dan
fenomena berikut ini; para nabi dalam ucapannya benar atau bohong,
dan benar serta bohong ini dapat dinisbahkan dari sisi pelaku dan juga
dari sisi perbuatan itu sendiri. Dengan kata lain para pengklaim
kenabian: 1) Terdapat padanya kebaikan perbuatan (fi’li) dan pelaku
perbuatan(fâ’ili), 2) atau keduanya tidak dimiliki, 3) atau pertama dimiliki
dan kedua tidak dimiliki, 4) atau pertama tidak dimiliki dan kedua
dimiliki.
Kondisi ketiga, yakni kenabian mempunyai kebaikan fi’li dan tidak
mempunyai kebaikan fâ’ili tidak terjadi dalam sejarah. Kondisi pertama,
berdasarkan satu landasan mempunyai realitas dan banyak para nabi
berdatangan disepanjang sejarah di mana mereka memiliki kebaikan
fa’ili (pelaku perbuatan) dan juga memiliki kebaikan fi’li (perbuatan).
Para nabi agama Ibrahimi dapat dikategorikan dalam kelompok
ini. Kondisi kedua juga tanpa diragukan mempunyai sampel dan
contoh, serta ada kemungkinan sesudah ini juga masih terjadi. Para
nabi dusta dan palsu yang kebohongan mereka adalah jelas, seperti
Musailamah Al-Kadzdzab, Mirza Ghulam Ahmad dan pembid’ah-
pembid’ah lainnya. Kondisi keempat, yakni seseorang menyangka
bahwa dirinya benar-benar mendapat tugas dari Tuhan dan pesan
Tuhan harus ia sampaikan pada seluruh masyarakat dunia.
B. Rumusan Masalah
1. Pengertian wahyu dan kenabian
2. Bagaimana urgensi, tugas kenabian
3. Bagaiamana Misi dan Sifat kenabian

C. Tujuan
1. Mengetahui  Pengertian wahyu dan kenabian ?
2. Mengetahui   Bagaimana urgensi, tugas kenabian ?
3. Mengetahui  Bagaiamana Misi dan Sifat kenabian?
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian wahyu
Wahyu berasal dari kata arab al-wahy (‫)ال=====و حى‬, dan al-
wahy adalah kata asli Arab dan bukan kata pinjaman dari bahasa asing.
Kata itu berarti suara api dan kecepatan. Di samping itu ia juga
mengandung arti bisikan isyarat tulisan dan kitab. Al-wahy selanjutnya
mengandung arti pemberitahuan secara tersembunyi dan dengan
cepat. Tetapi kata itu lebih di kenal dalam arti” apa yang di sampaikan
Tuhan kepada nabi-nabi”. Dalam kata wahyu dengan demikian
terkandung arti penyampaian sabda Tuhan kepada orang pilihanya
agar di teruskan kepada umat manusia untuk di jadikan pegangan
hidup. Sabda Tuhan mengandung ajaran, petunjuk dan pedoman yang
di perlakukan umat manusia dalam perjalanan hidupnya baik di dunia
ini maupun di akhirat nanti. Dalam islam wahyu atau sabda Tuhan yang
di sampaikan kepada Nabi Muhammad s.a.w terkumpul semuanya
dalam al-Qur’an.
Adanya komunikasi antara oarang-oarang tertentu dengan
Tuhan bukanlah hal yang ganjil. Oleh karena itu adanya dalam islam
wahyu dari Tuhan kepada Nabi Muhammad Saw bukanlah pula suatu
hal yang tidak dapat diterima akal. Sebagai telah disebut wahyu yang di
sampaikan Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w melalui jibril
mengambil bentuk Al-Qur’an Ayat-ayat Al-Qur’an dengan demikian
merupakan sabda Tuhan bukan hanya dalam isi tetapi juga dalam kata-
katanya. Dengan kata lain teks Arab yang mengandung isi dan arti-arti
itu adalah di wahyukan Tuhan kepada Nabi Muhammad s.a.w, melalui
jibril. Sebagai kata Seyyed Hossein Nsar “baik jiwa maupun kata-kata,
baik isi maupun bentuknya” adalah suci dan diwahyukan.
Dalam penerimaan wahyu, Nabi Muhammad demikian Tor
Andrae selanjutnya termasuk tipe pertama, tipe pendengaran. Wahyu
didiktikan kepada beliau oleh suara yang menurut keyakinan beliau
berasal dari jibril. Selanjutnya Tor Andre membawa ayat al Qur’an
untuk mempekuat uraian di atas

         


        
  

Artinya : janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk membaca Al Quran


karena hendak cepat-cepat menguasainya. Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah mengumpulkannya di dadamu dan membuatmu
pandai membacanya. apabila Kami telah selesai membacakannya
Maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, Sesungguhnya atas
tanggungan kamilah penjelasannya. .(Q.S. Al Qiyamah 16-19)

Maka yang di wahyukan dalam islam bukanlah hanya isi tetapi


juga teks Arab dari ayat-ayat sebagai terkandung dalam al-Qur’an
dalam teks Arabnya dari Tuhan bersifat absolut.

Konsepsi islam tentang wahyu adalah bahwa kehendak ilahi


selalu akan di ungkapkan dalam bentuk komunikasi yang jelas dan
pasti, dari Allah melalui rasulnya. Wahyu Allah yang di turunkan pada
nabi ibrahim, musa, daut, isa, adalah sesuai dengan masing” zamanya.
Sedang al-quran sebagai wahyu terakhir yang di turunkan Allah kepada
nabi muhammad SAW merupakan pengulangan, koreksi, pelengkaap,
dan penyempurna dari wahyu yang pernah di turunkan sebelumnya.

Tuhan yang menuntun manusia-dalam kenyataan seluruh


tuntunan Allah melimpah ke seluruh makhluk melalui sejumlah jalan. Di
antaranya adalah naluri, intuisi, inspirasi, dan juga mimpi para rasul.
Dan petunjuk tuhan tertinggi telah di wahyukan melalui cara yang
teramat gamblang dan kategoris. Yaitu melalui firman tuhan yang di
wahyukan melalui rasul-nya.firman tuhan, sebagaimana yang
terkandung di dalam kitab suci, berisi hukum yaitu kode (aturan)
tertinggi yang mengatur seluruh kehidupan manusia. Rosul yang juga
manusia biasa adalah insan pertama yang menerima wahyu tersebut
dan terus mempraktekanya dan kemudian menjadi contoh untuk di tiru
umatnya. Memang peran seorang rasul adalah membawa pesan ilahi
kepada seluruh umat manusia, menjelaskan, memerinci, menerapkan,
dan kemudian melalui proses tersebut-baik dalam lingkup kehidupan
pribadi ataupun masyarakat sehingga akhirnya cita-cita dan gagasan
yang terkandung dalam wahyu ilahi akan terwujud da atas panggung
sejarah.

Titik perhatian utama islam adalah menjadikan firman ilahi sebagai


ideologi yang menuntun transformasi masyarakat manusia di dalam
kenyataan kehidupan manusia. Diharapkan bahwa sepiritualitas akan
mewarnai seluruh perubahan yang ada-yaitu pada lubuk terdalam
nurani manusia-sosial ekonomi, lembaga politik, dan kebijakan di
masyarakat. Pemahaman ini juga mendasari konsep persamaan
manusia dan kesatuan manusia. Di dalam islam tidak ada lembaga
kependetaan atau orang-orang terpilih.

Di hadapan tuhan seluruh manusia sama, dan semua tunduk di


bawah hukum kuasa ilahi. Tidak seorangpun yang menempati posisi
manusia adi (supra-human) atau memiliki otoritas agama sehingga
miliki hak-hak istimewa terhadap orang lain. Apa pun bentuk otoritasnya
semua terletak di tangan tuhan dan rasulnya. Dan tidak satu pun juga
tidak pada ulama atau pemerintah yang di tegakkanya apabila ada
yang mempunyai hak untuk mengaku sebagai wakil tuhan dan
kehendak-nya. Kehendak ilahi hanya dapat di temukan dalam kitab
suci-nya dan pada contoh perbuatan yang di lakukan rasul-nya. Yang
ini memang tersedia dan mudah di jangkau oleh umat manusia. Kitab
suci dan rasul-nya merupakan kriteria manusia yang di cita-citakan.
Tolak-ukur inilah yang merobek tabir eksploitasi manusia oleh manusia
dalam segala bentuk, baik yang agamis ataupun bukan, dan kemudian
meletakan manusia di bawah supremasi satu kode dan satu hukum.
AL-Quran adalah pernyataan kehendak ilahi yang terakhir-yaitu kode
penuntun bagi ummat manusia. Ummat islam yaitu masyarakat ummat
beriman merupakan gambaran sekumpulan orang yang setia kepada
kitab suci tersebut. Yaitu mereka yang mempercayainya yang tegak di
bawah aturannya dan yang mengembangkan identitas diri di bawah
titahnya.

B. Kenabian
Secara etimologi  nabi berasal dari kata na-baartinya di tinggikan
atau dari kata naba artinya berita. Dalam hal ini seorang Nabi adalah
seorang yang ditinggikan derajatnya oleh Allah swt, dengan
memberinya berita wahyu. Sedangkan kenabian itu artinya penunjukan
atau pemilihan Allah, terhadap salah seorang dari hambanya-Nya
dengan memberinya wahyu. sedangkan arti temologis Nabi aadalah
manusia biasa yang mendapatkan keistimewaan menerima wahyu dari
Allah Swt. Di aatara para abi ada yang di amanatkan unutuk
menyampaiakn wahyu yang diteriumanya kepada umat manusia. Nabi
yang demikian itu di sebut Rasul.
Dalam agama islam beriman kepada para Rasul dan para Nabi
adalah salah satu dari rukun iman. Al Qur’an surah al-Baqarah (2:77)
         

Artinya : tidakkah mereka mengetahui bahwa Allah mengetahui segala


yang mereka sembunyikan dan segala yang mereka nyatakan (Q.S Al
Baqarah:77).

C. Urgensi kenabian
Ketika membahas tentang kenabian pertanyaan mendasar yang
muncul adalah mengapa harus ada nabi? Untuk membahas persoalan
ini dapat di lihat dari dua sudut pendekatan yaitu:
1. Pendekatan Doktrinal
Dari sudut pandang Tuhan sendir, apakah sebenarnya yang di
kehendaki Tuhan dengan menutus para nabi itu. Di lihat dari sudut
pandang firman doktrin atau normative maka kedatangan kelahiran
nabi-nabi dalam realitas masyarakat adalah merupakan nikmat yang
di berikan Tuhan kepada masyarakat itu sendir agar kehidupan
masyarakat dapat berjalan seimbang, selamat dari konflik yang
menghancurkan diri mereka sendiri. Dengan kata lain para nabi
adalah suara hati masyarakat yang harus ada dan tidak boleh mati
karena jika dalam masyarakt telah kehilangan hati nuraninya atau
hati nuraninya mati maka masyarakat itu menjadi rusak karena
konflik yang terjadi sudah tidak terkendali yang dapat menimbulkan
kekerasan dan kekacauan.
2. Pendekatan Historis
Apakah memang kehadiran para nabi di perlukan dalam
realitas kehidupan suatu masyarakat, sehingga Tuhan perlu
mengutusnya untuk masyarakat itu. Jika di lihat dari konteks social,
maka sejarah menjelaskan bahwa pada saat kelahiaran Nabi
Muhammad SAW. Keadaan masyarakat pada waktu itu sedang di
landa krisis moral yang fundamental yang di tandai oleh adanya
perbudakan dan penindasanyang kuat tehadap yang lemah sehingga
manusia menjadi suatu komediti dalam pasar jual beli budak
penindasan terhadap kaum perempuan yang di bunuh sejak di
ketahui jenis kelamin sistem politik yang di kuasai oleh fanatisme
kesukuan yang sempit serta dengan landasan sestem ketuhanan
yang memuja materi yang di wujudkan pada penyembahan patung-
patung. Krisis moral itu telah menghancurkan kehidupan masyarakat
dalam berbagai aspeknya:social politik, ekonomi, budaya, dan
agama. Barangkali karena kenyataan itulah Nabi Muhammad SAW
sendiri menegaskan bahwa sesungguhnya ia di utus untuk
menyempurnakkan budi pekerti yang mulia masyarakatnya yang
telah sakit dan berada dalam jurang kehancuran.

D. Tugas kenabian
Pertama: Mengajak mahluk untuk beribadah kepada Allah Yang Maha
Esa lagi Yang Maha Memaksa ini adalah tugas dasar bahkan
merupakan kebutuhan dan kepentingan yang besar merupakan
sasaran setiap para rasul yang diutus menunjukan mahluk dengan
Yang Menciptakannya, sebagaimana firman Allah swt:
            
  
Artinya : dan Kami tidak mengutus seorang Rasulpun sebelum kamu
melainkan Kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan
yang hak melainkan Aku Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".
Kedua: Menyampaikan perintah-perintah Allah SWT. menyampaikan
larangan-larangan-Nya kepada manusia. Dan sungguh para rasul yang
mulia telah memenuhi tugas ini untuk kesempurnaan tujuan, tidak ada
seorangpun dari mereka yang mundur untuk menyampaikan
dakwatullah. Dalam keadaan mereka ini Al-Quran Al-Karim
mengatakan:
         
    
Artinya : (yaitu) orang-orang yang menyapaikan risalah-risalah Allah
mereka takut kepada-Nya dan mereka tiada merasa takut kepada
seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai
Pembuat perhitungan. (Q.S Al-Ahzab : 39).
Ketiga: Membimbing manusia dan menunjukkan manusia ke jalan yang
lurus. Sebagimana firman Allah SWT dalam urusan nabi Musa a.s:
        
           
 
Artinya : dan Sesungguhnya Kami telah mengutus Musa dengan
membawa ayat-ayat Kami, (dan Kami perintahkan kepadanya):
"Keluarkanlah kaummu dari gelap gulita kepada cahaya terang
benderang dan ingatkanlah mereka kepada hari-hari Allah".
sesunguhnya pada yang demikian itu terdapat tanda-tanda (kekuasaan
Allah) bagi Setiap orang penyabar dan banyak bersyukur. (Q.S
Ibrahim : 5).
Keempat: Sebagai teladan dan ikutan yang baik teladan yang
sempurna bagi umatnya. Maka rasul yang mulia atas merekalah lebih
utamanya rahmat dan keselamatan dari Allah mereka adalah ikutan
yang baik teladan yang besar bagi manusia. Dan Allah telah
memerintahkan kepada kita untuk menjadikan mereka pemimpin
menjadikan contoh untuk kesempurnaan petunjuk kesempurnaan
karena mereka adalah manusia yang paling utama akhlaknya mereka
yang paling suci perjalanannya paling mulia tingkatannya
Kelima: Menerangkan kebangkitan dari kubur dan bangun dari kubur
memperlihatkan manusia dengan hal-hal setelah kematian berupa
kepayahan dan kebingungan
Keenam: Mengubah keinginan manusia dari kehidupan yang fana
(sementara) kepada kehidupan yang kekal (kehidupan akhirat). Maka
Allah mengutus para rasul yang mulia supaya mengubah manusia dari
kehidupan yang sementara  kepada kehidupan yang kekal.
Ketujuh: Supaya tidak ada ketetapan berhujah atau membantah disisi
Allah, sebagaimana firman Allah swt:
         
      
Artinya: Mereka kami utus selaku rasul-rasul pembawa berita gembira
dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia
membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(Q.S An-Nisaa’: 165).
E. Misi dan tujuan kenabian
1. Misi
Nabi mulai menda’wahkan misinya dengan cara rahasia pertama kali
kepada kawan-kawan karibnua ke udian kepada anggota sukunya
sendiri dan sesudah itu dengan cara umum di dalam kota dan
daerah luar kota. Dia berpegang pada kepercayaan pada tuhan satu
yang transcendent diluar alam dunia pada kebangkitan dan
pengadilan hari akhir. Dia mengajak para manusia untuk bertulus
ikhlas, dan bermurah hati. Dia telah mengambil langkah yang perlu
untuk memelihara melalui tulisan wahyu yang telah di terima, dan
memerintah kan kepada pengikutnya juga untuk menghafalkannya
ini semua berlansung terus menerus sepanjang hidupnya, karena
Qur’an tidak di wahyukan  semua sekaligus tetapi sepotong-
sepotong sewaktu keadaan memerlukan.
2. Tujuan Nabi
Di antara para Nani yang ada yang di amanatkan untuk
menyampaikan risalah yang dibawanya.Berikut ini adalah rinciannya:
 Sebagai penyampai syariat rabbani manusia (Q.S AL Maidah
5;67) dan (Al Ahzab 33: 38)
 Menjelaskan makna nas yang diturunkan kepada umat (Q.S An
Nahl 16: 44)
Menunutun umat kepada kebaikan dan mewanti-wanti mereka
agar menghindari keburukan. Hal ini di tegaskan oleh rasulullah
dalam sabdanya yang di riwayatkan oleh Muslim yang artinya
sebagai berikut : “ tidak ada seorang nabi pun sebelum ku kecuali di
haruskan unutuk menuntun dan menunjukkan kebaikan kepada
umatnya apa yang di ajarkan kepada mereka dan memperingatkan
akan kejahatan yang di ajarakan kepada mereka.”
 Mendidik manusia dengan metode rabbani.
F. Nabi Muhammad SAW
Seperti nabi dan rasul sebelumnya, Muhammad diberikan
firhasat (pertanda) akan datangnya seorang nabi, seperti yang diyakini
oleh umat Muslim telah dikisahkan dalam beberapan kitab suci ajaran
samawi, kemudian dikisahkan pula terjadi pertanda pada masa didalam
kandungan, masa kecil dan remaja. Kemudian Muhammad diyakini
diberikan mukjizat selama kenabiannya.
Mukjizat Muhammad SAW adalah kemampuan luar biasa yang
dimiliki Nabi Muhammad SAW untuk membuktikan kenabiannya. Di
antara begitu banyak mukjizat Nabi, ada 4 mukjizat terbesar.
Diantaranya :
1. Al-Qur’an
Al-Qur`an merupkan mukjizat terbesar yang dianugrahkan
kepada Nabi Muhammad, karena keberadaannya yang tidak lenyap
meskipun Rasulullah sudah wafat. Al-Qur’an digunakan oleh Nabi
Muhammad saw, untuk menantang orang-orang pada masanya dan
genarasi sesudahnya yang tidak percaya terhadap kebenaran Al-
Qur’an sebagai firman Allah SWT (bukan ciptaan Muhammad) dan
risalah serta ajaran yang dibawanya tetapi mereka tidak sanggup
menghadapinya, padahal mereka sedemikan tingi tingkat fasahah
dan balagah-nya. Hal ini tiada lain karena Al-Qur’an sebagai
mukjizat.
Selain itu Al-Qur’an berfungsi sebagai bukti bahwa Nabi
Muhammad SAW adalah benar-benar seorang Nabi/Rasul Allah,
membuktikan bahwa kitab Al-Qur’an itu benar-benar wahyu Allah
bukan tulisan Muhammad atau buatan Jibril, menunjukan kelemahan
mutu sastra dan balaghah manusia, karena mereka tidak mampu
menandingi Al-Qur’an, menunjukan kelemahan rekayasa umat
manusia yang tidak sebanding dengan kesombongannya.
2. Membelah Bulan
Dalam Bukhari dan Muslim, juga dalam kitab-kitab hadits yang
terkenal lainnya, diriwayatkan bahwa sebelum Rasulullah (saw)
hijrah, berkumpullah tokoh-tokoh kafir Quraiy, seperti Abu Jahal,
Walid bin Mughirah dan Al 'Ash bin Qail.
Mereka meminta kepada nabi Muhammad (saw) untuk
membelah bulan. Kata mereka, "Seandainya kamu benar-benar
seorang nabi, maka belahlah bulan menjadi dua."
Rasulullah (saw) berkata kepada mereka, "Apakah kalian
akan masuk Islam jika aku sanggup melakukannya?" Mereka
menjawab, "Ya." Lalu Rasulullah (saw) berdoa kepada Allah agar
bulan terbelah menjadi dua. Rasulullah (saw) memberi isyarat
dengan jarinya, maka bulanpun terbelah menjadi dua. Selanjutnya
sambil menyebut nama setiap orang kafir yang hadir, Rasulullah
(saw) berkata, "Hai Fulan, bersaksilah kamu. Hai Fulan, bersaksilah
kamu."
Demikian jauh jarak belahan bulan itu sehingga gunung Hira
nampak berada diantara keduanya. Akan tetapi orang2 kafir yang
hadir berkata, "Ini sihir!" padahal semua orang yang hadir
menyaksikan pembelahan bulan tersebut dengan seksama.
Atas peristiwa ini Allah (swt) menurunkan ayat Al Qur'an: "
Telah dekat saat itu (datangnya kiamat) dan bulan telah terbelah.
Dan jika orang-orang (kafir) menyaksikan suatu tanda (mukjizat),
mereka mengingkarinya dan mengatakan bahwa itu adalah sihir."
(QS Al Qomar 54:1-2)
3. Isra’ Mi’raj
Isra’ mi’raj adalah mukjizat yang diberikan kepada nabi
Muhammad untuk memperkuat keteguhan hati Nabi dan sebagai
penghormatan kepadanya.
Isra’ artinya berjalan malam hari dari Masjidil Haram (tanah
Mekkah) ke Masjidil Aqsha di Palestina. Mi’raj artinya diangkat ke
alam gaibmelalui langit yang berlapis-lapis dan sebagainya, dengan
izin Tuhan. Kedua kejadian yang dilakukan oleh nabi Muhammad
dalam waktu yang bersambung di waktu itu juga, yaitu mula-mula
Nabi Isra’ kemudian barulah Mi’raj adalah suatu pekerjaan istimewa
yang tidak terdapat dalam diri manusia biasa, dan inilah yang disebut
mukjizat.
Dalam peristiwa Mi’raj, Nabi dibawa naik ke Al-baitul-Ma’mur.
Kemudian dibawa naik lagi untuk menghadap Allah Yang Maha
Perkasa dan mendekat dengan-Nya, hingga jaraknya tinggal
sepanjang dua busur atau lebih dekat lagi. Lalu Allah mewahyukan
apa yang diwahyukan kepada hamba-Nya. Allah mewajibkan kepada
beliau sholat lima waktu.
4. Mengeluarkan Air Dari Jari-jari Nabi
Keluarnya air dari jari-jemari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa
sallam merupakan salah satu bukti kebenaran risalah
beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kejadian itu disaksikan oleh
banyak orang dan terjadi diluar kemampuan manusia. Di antara
hadits yang menerangkan peristiwa itu, ialah seperti diceritakan oleh
sahabat Anas bin Malik yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:
“Saya melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan
ketika itu waktu Ahsar telah tiba. Lalu manusia mencari air untuk
berwudhu, tetapi tidak memperolehnya. Lalu ada seseorang
membawakan air untuk berwudhu. Maka beliau meletakkan
tangannya ke dalam bejana tempat air itu, dan menyuru semua
orang berwudhu dari situ.” Anas bin Malik Radiyallahu Anhu berkata:
“Saya melihat air keluar dari jari-jari beliau Shallallahu ‘alaihi wa
sallam, sehingga semua orang dapat berwudhu dengan air itu.” (HR.
Bukhari, 3573, dalam kitab Manaqib, Bab: Alamat Nubuwwah fil-
Islam, dan Muslim, 2279) Sebuah syair berbunyi: “Kalaupun dahulu
Musa ‘alaihis salam dapat memancarkan air dengan tongkatnya,
maka dari tangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, sungguh
air menjadi meluap.”
G. Mujizat
1. Pengertian Mukjizat
Menurut bahasa kata Mu’jizat berasal dari katai’jaz diambil
dari kata kerja a’jaza-i’jaza yang berarti melemahkan atau
menjadikan tidak mampu. Pelakunya yang melemahkan dinamai
mu’jiz. Bila kemampuannya melemahkan pihak lain amat menonjol
sehingga mampu membungkam lawan ia dinamai mu’jizat.
Menurut istilah Mukjizat adalah  peristiwa luar biasa yang
terjadi melalui seseorang yang mengaku Nabi, sebagai bukti
kenabiannya. Dengan redaksi yang berbeda, mukjizat didefinisikan
pula sebagai suatu yang luar biasa yang diperlihatkan Allah SWT.
Melalui para Nabi dan Rasul-Nya, sebagai bukti atas kebenaran
pengakuan kenabian dan kerasulannya.
Kata I’jaz dalam bahasa Arab berarti menganggap lemah
kepada orang lain. Sebagimana Allah berfirman:
         
         
       
Artinya : kemudian Allah menyuruh seekor burung gagak menggali-
gali di bumi untuk memperlihatkan kepadanya (Qabil) bagaimana
seharusnya menguburkan mayat saudaranya[410]. berkata Qabil:
"Aduhai celaka Aku, mengapa aku tidak mampu berbuat seperti
burung gagak ini, lalu aku dapat menguburkan mayat saudaraku
ini?" karena itu jadilah Dia seorang diantara orang-orang yang
menyesal. (QS. Al Maidah (5): 31)
Maksud kumukjizatan Al-Qur’an bukan semata mata untuk
melemahkan manusia atau menyadarkan mereka atas kelemahanya
untuk mendatangkan semisal Al-Qur’an akan tetapi tujuan yang
sebenarnya adalah untuk menjelaskan kebenaran Al-Qur’an dan
Rasul yang membawanya dan sekaligus menetapkan bahwa sesuatu
yang dibawa oleh mereka hanya sekedar menyampaikan risalah
Allah SWT, mengkhabarkan dan menyerukan.
H. Al-Qur’an
Al-Qur’an menggunakan kata wahyu dalam empat makna, di
antaranya:
 Petunjuk yang samar, seperti ayat Al-Qur’an yang
mengatakan, “Maka ia keluar dari mihrab menuju kaumnya, lalu ia
memberi isyarat kepada mereka; hendaklah kamu bertasbih di waktu
pagi dan petang”. (Q.S Maryam :11)
 Bimbingan instingtif, artinya sebuah petunjuk dalam setiap spesies,
termasuk tumbuhan, hewan, manusia, bahkan wujud yang yang tak
beryawa, seperti batu, juga memiliki insting yang selalu dimilikinya
selama mereka hidup, dan dengan itu mereka dapat bertahan dan
meneruskan hidupnya. Al-Qur’an mengatakan, “Dan Tuhanmu
mewahyukan kepada lebah, “Buatlah sarang-sarang di gunung-
gunung, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin
manusia”. (Q.S An-Nahl : 68)
 Ilham atau wangsit. Orang-orang suci kerap kali mendapatkan
wangsit atau bisikan dari alam ghaib atau alam supranatural di
sepanjang hidupnya. Wangsit-wangsit ini acapkali muncul pada
waktu-waktu terdesak dan tertekan atau ketika menemukan jalan
buntu, sehingga ketika datang, ia bak cahaya yang menerangi jalan
dan meloloskan pemiliknya dari kebuntuan. Ilham semacam ini yang
berasal dari alam ghaib atau yang bersumber dari Tuhan disebutkan
dalam Al-Qur’an dengan wahyu. ”Dan Kami wahyukan (ilhamkan)
kepada ibu Musa supaya ia menyusuinya, dan ketika kamu khawatir
atasnya, lepaskan ia (Musa) di sungai Nil, dan janganlah takut dan
bersedih sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepadamu
dan kami akan menjadikannya salah satu dari utusan kami”. (Q.S  Al-
Qasas : 7)
 Wahyu risâlî. Wahyu ini khusus turun atas para nabi. Al-Qur’an
menyebutkan kata wahyu dengan arti yang terakhir ini lebih kurang
sebanyak 70 kali. Seperti firman Allah, ”Dan begitulah Kami
wahyukan padamu Al-Qur’an ini dengan bahasa Arab yang fasih
supaya kamu memberikan  peringatan pada penduduk Makkah dan
masyrakat sekitarnya”. (Q.S Asy-Syûrâ : 7)

Wahyu risala adalah sebuah petunjuk Ilahi yang diberikan


kepada hamba-hamba pilihan untuk membimbing manusia menggapai
kebahagiaannya, dan mereka adalah penerima misi dan tugas Tuhan
yang bertugas menyampaikannya kepada manusia. Mereka adalah
pribadi-pribadi agung dan sempurna yang memiliki kelayakan dan
potensi untuk menerima dan mengemban tugas berat itu. Tuhan pun
mengetahui kelayakan ini. “Allah lebih mengetahui di mana Ia harus
menempatkan tugas risalah-Nya”. (Al An’âm : 124)

Nabi SAW bersabda, ”Tidaklah Tuhan mengutus seorang nabi


dan Rasul kecuali akalnya telah sempurna, dan akalnya pun lebih
utama dari semua akal umat-Nya”.

Wahyu risalai adalah seperti sebuah ilham (arti wahyu yang


ketiga), hanya saja dalam ilham, sumbernya tidak jelas,
sedangkan wahyu risali memiliki asal muasal yang kongkrit. Oleh
karena itu, dalam menerima wahyu para nabi tidak akan mendapatkan
kesalahan dan kekeliruan.

Zurarah bertanya kepada Imam Shâdiq as tentang bagaimana


cara para nabi merasa yakin bahwa apa yang diterimanya adalah
berasal dari Allah SWT, dan bukan bisikan setan? Beliau menjawab,
”Sesunguhnya ketika Allah memilih seorang dari hamba-Nya sebagai
rasul, Ia memberikan ketenangan (kepadanya). Dengan itu, setiap apa
yang datang dari-Nya, ia akan menerimanya dengan sangat jelas
seperti mereka melihatnya dengan mata telanjang”

DAFTAR PUSTAKA

Alcaff, Muhammad. 2009. Teladan Abadi Muhammad SAW. Jakarta : Al-


Huda
Syukur, Amin. 2006. Pengantar Studi Islam. Semarang : Lemkota
Semarang

Zhafran, Muh.Atha. 2009. Pintar Agama Islam. Solo : CV. Bringin 55

Noor Fauz, 2012, Berpikir seperti Nabi, Yogyakarta: PT. LKiS Printing


Cemerlang.

Maun Arifin Jamian, 1993, Kenabian dan Para Nabi, Surabaya: PT. Bina
Ilmu

Baiquni, Achmad, al-Qur’an dan Ilmu Pengetahuan Kealaman,Yogyakarta:


PT. Dana Bhakti Primayasa, cet. I, 1996.

Ridha, Muhammad Rasyid, al-Wahy al-Muhammadi,Beirut: al-Maktab al-


Islami, cet. X, 1985.

Shihab, Muhammad Quraish, Membumikan al-Qur’an, Bandung: Mizan,


cet. XIII, 1996.

Anda mungkin juga menyukai