Makalah
Oleh:
HADI PRIADI
NIM. 1502521524
BAB I
PENDAHULUAN
BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR IJMALI DAN TAHLILI
A. Tafsir Ijmali
1. Pengertian Tafsir Ijmali
Kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsira
yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat
bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah Al-kasf wa
Al-izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak lepas
dari kandungan makna Al-Idhah (menjelaskan), Al-Bayan
(menerangkan), Al-Kasyf (mengungkapan), Al-Izhar
(menampakkan) dan Al-Ibanah (menjelaskan.[1]
Adapun pengertian tafsir menurut istilah, banyak pendapat
ulama dalam mendefinisikannya, antara lain:
a. Al-Kilby dalam at Tashiel mendefinisikan tafsir sebagai
berikut:
ه00يه بنص00ا يقتض00 شرح القرآن وبيان معناه وإلفضاح بم:التفسير
.او اشارته او نجواه
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.”
b. Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai
berikut :
ﺼﻟﻰ0000ﻣﺤﻣد ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﻪﻠﻟﺍ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ ﯦﻌﺭﻑ اﻋﻟﻢ
.واستخراج احكامه و حكمه ﻮبيان معاﻧﻴﮫ ﻮﺴﻟﻢ ﻋﻟﻳﮫ ﺍﻠﻟﮫ
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran )
yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta
menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-
hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
c. Shahibut Taujih mendefinisikan tafsir sebagai berikut:
امع00د الس00تقلق عن00التفسير فى الحقيقة انما هو شرح اللفظ المس
ه00ة علي00ه دالل00ه اول00ه او يقارب00ا يرادف00ده بم00ح عن00و افص00ا ه00بم
باِحدى طرق الدالالت
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar
dipahami pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya
atau makna yang mendekatinya atau dengan mengemukakan
salah satu dilalah lafazh tersebut.[2]
Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan,
penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai
samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.[3]
Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan,
ikhtisar, global dan penjumlahahan. Dengan demikian tafsir
ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara
mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan
yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan
yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.[4]
Dengan metode ini, mufasir menjelaskan arti dan
maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan
sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang
dikehendaki.[5] Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara
runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian mengemukakan
makna secara gloal yang dimaksud oleh ayat tersebut.[6]
Penafsir dengan metode ini, dalam penyampaiannya
menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta
memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-
Quran. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah Al-Quran
sendiri yang berbicara dengannya.[7] Mufasir berbicara kepada
pembaca dengan cara termudah, sehingga memudahkan
pembaca untuk mengetahui kandungan Al-Quran.
Penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna
dalam bingkai suasana Qur’ani. Ia tidak perlu menyinggung
asbab an-nuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosa kata
dan segi-segi keindahan bahasa Al-Quran. Tetapi langsung
menjelaskan kandungan ayat secara umum atau hukum dan
hikmah yang ditarik. Sang mufasir bagaikan menyodorkan buah
segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan telah diiris-iris
pula, sehingga siap untuk disantap.[8]
Pembahasan tafsir ijmali dapat meliputi beberapa aspek
dalam bahasa yang singkat semisal tafsir al-farid li Al-Quran Al
madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradat),
asbab nuzul dan penjelasan singkat (al-ma’na) yang
sistematikanya sering diubah-ubah. Adakalanya mengedepankan
mufradat kemudian asbab nuzul dan al-ma’na, tetapi sering pula
mendahulukan al-ma’na dan asbab nuzul.[9]
Selain itu ada kitab tafsir yang menggunakan metode
global yang mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan seperti tafsir Al-Jalalayin.[10] Contoh tafsir Al-
Jalalayin pada QS. Al-Baqarah ayat 138i-139:
صبغة هللا ومن احسن من هللا صبغة ونحن له عبدون
بغة هللا0000000ص (celupan Allah), "mashdar" yang
memperkuat "kami beriman" tadi. Mendapat baris di atas, sebgai
maf'ul muthlak dari fi'il yang tersembunyi yang diperkirakan
berbunyi "shabaghanallahu shibghah" artinya "Allah mencelup
kami suatu celupan". Sedang maksudnya ialah agama-Nya yang
telah difitrahkan-Nya atas manusia dengan pengaruh dan
bekasnya yang menonjol, tak ubah bagai celupan terhadap
kain. ومن (dan siapakah) maksudnya tidak seorang pun ن00احس
هللا صبغة من (yang lebihbaik celupannya dari Allah); shibghah di
sini menjadi "tamyiz"- دون00ه عب00ونحن ل (Dan hanya kepada-Nya
kami menyembah).
Kata orang-orang Yahudi kepada kaum muslimin: "Kami ini
Ahli Kitab yang pertama dan kiblat kami lebih tua, apalagi di
kalangan Arab itu tidak pernah muncul seorang nabi pun.
Seandainya Muhammad itu seorang nabi, pastilah ia dari
golongan kami. Maka turunlah ayat:
الكم00ا ولكم اعم00ا وربكم ولنااعمالن00قل اتحاجّزننا فى هللا وهو ربّن
ونحن له مخلصون
) قلkatakanlah) kepada mereka: 0اتحاجّزننا (apakah kamu
hendak memperbantahkan) dengan kami فى هللا (tentang Allah)
karena Ia memilih seorang nabi dari kalangan Arab? ا00وهو ربّن
وربكم (padahal Ia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu) dan
berhak memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya ولنااعمالنا (dan bagi kami amalan kami)
sehingga akan beroleh balasan daripada-Nya الكم00ولكم اعم (dan
bagi kamu amalan kamu) dan kamu akan beroleh balasan-Nya
pula, dan tidak mustahil jika di antara amalan-amalan kami itu
ada yang patut menerima ganjaran istimewa ونحن له مخلصون (dan
hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan agama) dan amalan
kami; berbeda halnya dengan kamu, sehingga sepatutnyalah
kami yang dipilih-Nya. "Hamzah" atau "apakah" di atas,
maksudnya menolak, sedangkan ketiga kalimat di belakang
berarti "hal".
2. Sejarah Tafsir Ijmali
Sejarah tafsir telah dimulai pada masa Rasulullah Saw,
orang pertama yang menguraikan maksud-maksud Al-Quran dan
menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan Allah
kepadanya. Pada masa itu tak seorangpun dari para sahabat yang
berani menafsrkan Al-Quran.[11] Pada saat sahabat tidak
memahami maksud dan kandungan suatu ayat Al-Quran, mereka
menanyakannya kepada Nabi. Hal ini menunjukkan posisi Nabi
sebagai mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat.[12]
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi
Saw secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula
generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin (pembukuan
ilmu-ilmu Islam), termasuk ilmu tafsir sekitar abad ke 3 H.[13]
Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak
berhenti. Munculnya persoalan-pesoalan baru mendorong umat
Islam generasi awal untuk mencurahkan perhatiannya dalam
menjawab persoalan umat. Dalam menafsirkan Al-Quran pada
masa itu, pegangan utama para sahabat adalah riwayat-riwayat
yang dinukilkan dari Nabi. Penafsiran-penafsiran yang
dilakukan para sahabat di kemudian hari nanti dikenal dengan
tafsir bil ma’tsur (penafsiran yang sumbernya dari riwayat), cara
ini kemudian dikenal dengan metode penafsiran riwayah.[14]
Sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M.
Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur, boleh dikatakan
sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang menerapkan
metode Ijmali. Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran
dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau
penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan
sahabat.[15]
Contoh penafsiran Al-Quran pada masa Rasul dan
sahabat, kata zhulmin pada surah Al-An’am ayat 82 :
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ)
AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrß
‰tGôg•B ÇÑËÈ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
Kata zhulmin pada ayat tersebut ditafsirkan Rasul
dengan syirik yang terdapat pada sural Luqman ayat 13[16]:
)١٣( ك لَظُ ْل ٌم َع ِظي ٌم
َ ْي ال تُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ إِ َّن ال ِّشر
َّ َان ال ْبنِ ِه َوهُ َو يَ ِعظُهُ يَا بُن َ ََوإِ ْذ ق
ُ ال لُ ْق َم
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
3. Ciri-ciri Tafsir Ijmali
a. Urutannya sesuai dengan urutan mushaf.
b. Mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
c. Setiap surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu
ditafsirkan secara ringkas dan global.
d. Sebagian lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat
dengan tafsirnya.
e. Lafal dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
f. Mufasir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
[17]
4. Kitab Tafsir Metode Ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali
yaitu:
a. Tafsir al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan Jalal
ad-Din al-Mahally.
b. Tafsir Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz Muhammad Farid
Wajdy.
c. Shafwah al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut.
d. Tafsir Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-
Fayruz Abady.
e. Tafsir al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas
Al-Azhar, Mesir, karya suatu Commite Ulama.
f. Tafsir al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil Isa.
g. Tafsir al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi Urusan Umat
Islam, karya suatu Commite Ulama.[18]
5. Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Di antara kelebihan metode tafsir ijmali:
a. Pesan-pesan dari Al-Quran mudah dipahami.[19]
b. Bebas dari penafsiran isra’iliyat.
c. Akrab dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna
sinonim).[20]
Di antara kekurangan metode tafsir ijmali adalah
penafsirannya dangkal, berwawasan sempit, tidak komprehensif.
[21]
B. Tafsir Tahlili
1. Pengertian Tafsir Tahlili
Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai.
Yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah metode penafsiran
ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/ urut-
urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri denagn
sedikit banyak melaukan analisis di dalamnya.[22]
Tasir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh
aspeknya. Dalam metode tafsir tahlili, penafsir mengikuti
runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam Mushaf
Utsmani. Penafsir mulai menganalisis ayat dengan
mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat. [23]
Metode tafsir tahlili menjelaskan kandungan ayat Al-Quran
dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan
dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut
sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang
dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat,
munasab ayat, asbab nuzul (kalau ada), makna global ayat,
hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidangkan
aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambah aneka
uraian tentang qiraat, I’rab ayat ayat yang ditafsirkan, serta
keistemewaan susunan kata-katanya.[24]
Dalam pembahasannya, penafsir biasanya merujuk riwayat-
riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat maupun
ungkapan-ungkapan pra Islam dan kisah israiliyat. Oleh karena
pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup
kemungkinan penafsirannya diwarnai subjektivitas penafsir,
baik latar belakang keilmuan maupun aliran mazhab yang
diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya kecenderungan
khusus yang teraplikasikan dalam karya mereka.[25]
Metode tahlili atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr
sebagai metode tajzi’iy menguraikan segala segi yang dianggap
perlu oleh seorang mufasir, bermula dari arti kosa kata, asbab
nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau
kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun
tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu
pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat
yang lain.[26] Uraiannya melebar sehingga terhidang aneka
hidangan yang bisa jadi sebagian di antaranya tidak diperlukan
oleh pembacanya[27]
2. Wujud Tafsir Tahlili
Metode tahlili kebanyakan dipergunakan para ulama masa-
masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian pola
pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti
pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pola secukupnya
(musawah). Mereka sama-sama menafsirkan dengan metode
tahlili, namun dengan corak yang berbeda-beda.
Para ulama membagi wujud tafsir tahlili kepada tujuh
macam, yaitu: tafsir bil ma’sur, tafsir bil ra’yu, tafsir sufi, tafsir
fiqhi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan tafsir adabi.
a. Tafsir bil ma’sur
Tafsir bil ma’sur adalah penafsiran ayat dengan ayat,
penafsiran ayat dengan hadis yang menjelaskan makna sebagian
ayat yang dirasa sulit dipahami para sahabat atau penafsiran ayat
dengan hasil ijtihad para sahabat atau penafsiran ayat dengan
hasil ijtihad para tabi’in.
Di antara kitab tafsir bil ma’sur adalah kitab jami’al bayan
fi tafsir Al-Quran karya Ibnu Jarir Ath-Thabary dan tafsirul
Quranul Karim karya Ibnu Katsir.[28] Contoh tafsir bil ma’sur
Ibnu Katsir QS. Ibrahim ayat 1, 2 dan 3:
رط00إذن ربّهم إلى ص00ور ب00اس من الظلمت إلى الن00رج الن00ك لتخ00ه إلي00ر كتب أنزلن00ال
رين من00ل للكف00ا فى األرض ووي00موت وم00افى الس00ه م00ذى ل00﴾ هللا ال1﴿ د00العزيز الحمي
بيل هللا00 ّدون عن س0 رة ويص00دنيا على األخ00وة ال00تحبّون الحي00﴾ الذين يس2﴿ عذاب شديد
﴾3﴿ ويبغونها عوجا أولئك فى ضلل بعيد
Alif lam ra.Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang
benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan dari Yang
Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (1) Allah yang memiliki apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah
bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras.(2) Orang-orang
yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan
akhirat, menghalang-halangi dari jalan Allah dan
menginginkannya bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan
yang jauh. Pembicaraan mengenai huruf yang terputus-putus
telah dikemukakan pada beberapa awal surat. "Kitab yang Kami
turunkan kepadamu" yakni kitab ini Kami menurunkannya
kepadamu, hai Muhammad, Kitab itu ialah al-Quran yang
agung. Ia merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab
yang diturunkan Allah dari langit; diturunkan kepada Rasul yang
paling mulia. Dia diutus Allah di muka bumi ke seluruh
penghuninya baik bangsa Arab maupun asing. "supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya", yakni
dari gelapnya kesesatan dan penyimpangan kepada petunjuk dan
kelurusan. Hal ini sebagaimana Allah berfirman, "Allah adalah
pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada cahaya. Pelindung-pelindung kaum kafir
adalah thagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan."
Firman Allah Ta'ala, "Dengan izin Tuhan mereka."yakni, Dialah
Yang menunjukkan orang yang telah ditetapkan baginya
hidayah melalui RasulNya yang diutus atas perintahNya. Dia
menunjukkan mereka "kepada jalan dari Yang Mahaperkasa lagi
Maha Terpuji." Yang Mahaperkasa artinya Zat yang tidak dapat
dibantah dan dikalahkan. Dia Mahaperkasa dalam segala perkara
selain-Nya. Yang Maha Terpuji artinya dalam seluruh
perbuatan, perkataan, syariat, perintah, dan larangan-Nya, Yang
Mahabenar berita-Nya. Firman Allah Ta'ala,"Allah yang
memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras".
Yakni, kecelakaanlah bagi mereka pada hari kiamat lantaran
mereka menyalahimu, hai Muhammad, dan mendustakanmu.
Kemudian Allah menyifati mereka bahwa mereka lebih
menyukai kehidupan dunia atas akhirat. Yakni, mereka
mendahulukan dan memprioritaskan kehidupan dunia atas
akhirat, "mereka menghalang-halangi" para pengikut Rasul "dari
jalan Allah dan menginginkannya bengkok." Yakni, mereka
menyukai keberadaan jalan Allah itu bengkok dan condong.
Sesungguhnya jalan itu lurus dengan sendirinya. Jalan itu tidak
ternoda oleh orang yang menyalahi dan menyia-nyiakannya.
Keinginan mereka yang demikian itu menunjukkan bahwa
mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan yang jauh dari
kebenaran. Tiada harapan akan ada kebaikan dari mereka.
b. Tafsir bil Ra’yi
Tafsir bil ra’yi adalah penafsiran Al-Quran dengan ijtihad
dan penalaran. Tafsir bil ra’yi muncul sebagai sebuah
metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’sur,
meskipun telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang
menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan
ijtihad, khususnya zaman sahabat sebagai tonggak munculnya
ijtihad dan istinbath dan periode tabi’in.
Tafsir bil ra’yi tidak semata-mata didasari pada penalaran
akal dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara
mutlak. Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’yi
bersifat lebih selektif terhadap riwayat, sehingga secara
kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil
disbanding dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan
tafsir metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari
penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.[29]
Ketika kaum muslimin memasuki era kebudayaan dan
peradaban, ilmu agama dan pengetahuan berkembang mencapai
puncak kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan
produksi kertas telah dilakukan, hal itu memungkinkan
dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan memperbanyak
kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya berbeda-beda,
banyak timbul golongan-golongan dalam Islam, ada di antara
ulama yang fanatic terhadap mazhab yang diikuti kemudian
berusaha menafsirkan Al-Quran sesuai dengan mazhabnya serta
melegitimasi mazhabnya dengan ayat-ayat Al-Quran, dan lahir
kitab-kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai
dengan bidang ilmu pengarangnya, maka lahirlah bermacam-
macam corak tafsir.
Para ulama menegaskan bahwa tafsir bil ra’yi ada yang
diterima dan ada yang ditolak. Tafsir bil ra’yi dapat diterima
apabila mufasirnya mengetahui ungkapan-ungkapan arab, lafaz-
lafaz arab dan cara penunjukkannya (dilalah) atas maknya yang
dikehendaki, sebab turun ayat, nasikh dan mansukh, benar
aqidahnya dan menjadikan sunnah Rasulullah Saw sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Selain itu ia
harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Rasul dan
para sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan
sebagai mufasir, yaitu ilmu bahasa arab, nahwu, sharaf, ma’any,
bayan, qiraah, ushul ad-din, ushul fiqh, ulum al-hadis serta ilmu
al-mawhibah yaitu ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-
hambanya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang
diketahuinya.[30]
Selain dari aspek intelektual di atas, para ulama juga
membuat kualifikasi dari aspek moral. Penafsir yang
menggunakan metode ra’yi juga harus dituntut memiliki aspek
mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal dan bertanggung
jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan
kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu.
Di antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti metode ini
adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Anwar al-
Tanzil karya al-Baidhawi.[31]
Salah satu contoh penafsiran bil ra’yi adalah penafsiran
yang dikemukakan oleh Imam al Mahalli dan Imam as Sayuthi
dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “ tafsir jalalayin “,
mengenai surat al-isra’ ayat 85:
ااوتيتم من العلم00روح من امرربىوم00 قل ا ل ويسأ لو نك عن ا لروح
اال قليال
Imam Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa
sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-
lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka
manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan
penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala.
Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah
lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-ra’yi yang ringkas
maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang
singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut
dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
c. Tafsir Sufi
Tafsir sufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu
metode penafsiran Al-Quran yang lebih menitikberatkan
kajiannya pada makna batin. Penafsir yang mengikuti
kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih
mementingkan persoalan-persoalan batin dibandingkan masalah
zahir dan batin.[32]
Terdapat dua wujud tafsir sufi, yaitu teoritis dan praktis:
1. Tasawwuf Teoritis
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan: apa
yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh shufi tentang Al-Quran
adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-
pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang
yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada
Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan
pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini
termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati.[33]
Al-Alusi berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman
Allah QS. 2: 45), sebagai berikut:
DAFTAR PUSTAKA