Anda di halaman 1dari 25

TAFSIR IJMALI DAN TAHLILI (MAKALAH TAFSIR)

Makalah

TAFSIR IJMALI DAN TAFSIR TAHLILI

Oleh:
HADI PRIADI
NIM. 1502521524

 INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI ANTASARI


PASCASARJANA
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
BANJARMASIN
2015

BAB I
PENDAHULUAN

A.     Latar Belakang Masalah


Sejak masa Rasulullah dilakukan penafsiran Al-Quran
untuk mengetahui apa saja maksud dan makna yang terkandung
di dalam Al-Quran, dalam hal itu rasulullah sebagai mubayyin.
Sepeninggal Rasulullah, para sahabat dan tabi’in melakukan
ijtihad dalam menafsirkan Al-Quran dikarenakan munculnya
berbagai persoalan baru yang tidak ditemukan pada masa
Rasulullah. Setelah itu, perkembangan zaman, ilmu Islam dan
ilmu pengetahuan membuat para ulama terdorong untuk
mengkaji Al-Quran lebih dalam, sehingga muncullah berbagai
macam cara dan corak penafsiran Al-Quran.
B.     Rumusan Masalah
1.       Pengertian tafsir ijmali, sejarah tafsir ijmali, ciri-ciri tafsir
ijmali, kitab tafsir dengan metode ijmali, kelebihan dan
kekurangan metode ijmali.
2.       Pengertian tafsir tahlili, wujud tafsir tahlili, kelebihan dan
kekurangan tafsir tahlili.

BAB II
PEMBAHASAN
TAFSIR IJMALI DAN TAHLILI

A.     Tafsir Ijmali
1.      Pengertian Tafsir Ijmali
Kata tafsir diambil dari kata fassara – yufassiru – tafsira
yang berarti keterangan atau uraian. Al-Jurjani berpendapat
bahwa kata tafsir menurut pengertian bahasa adalah Al-kasf wa
Al-izhhar yang artinya menyingkap (membuka) dan melahirkan.
Pada dasarnya, pengertian tafsir berdasarkan bahasa tidak lepas
dari kandungan makna Al-Idhah (menjelaskan), Al-Bayan
(menerangkan), Al-Kasyf (mengungkapan), Al-Izhar
(menampakkan) dan Al-Ibanah (menjelaskan.[1]
Adapun pengertian tafsir menurut istilah, banyak pendapat
ulama dalam mendefinisikannya, antara lain:
a.        Al-Kilby dalam at Tashiel  mendefinisikan tafsir sebagai
berikut:
‫ه‬00‫يه بنص‬00‫ا يقتض‬00‫ شرح القرآن وبيان معناه وإلفضاح بم‬:‫التفسير‬
.‫او اشارته او نجواه‬
“Tafsir ialah: Mensyarahkan Al-Quran, menerangkan
maknanya dan menjelaskan apa yang dikehendakinya dengan
nashnya atau dengan isyaratnya, atau dengan tujuannya.”
b.        Al-Zarkasy dalam Al- Burhan mendefinisikan tafsir sebagai
berikut :
‫ ﺼﻟﻰ‬0000‫ﻣﺤﻣد‬ ‫ڊﻪ ﻔﻬﻡ ﻜﺗﺍﺏ ﻪﻠﻟﺍ ﺍﻠﻣﻧﺯﻞﻋﻟﻰ ﻧﺑﻴﮫ‬ ‫ﯦﻌﺭﻑ‬ ‫اﻋﻟﻢ‬
.‫واستخراج احكامه و حكمه‬  ‫ﻮبيان معاﻧﻴﮫ‬   ‫ﻮﺴﻟﻢ‬ ‫ﻋﻟﻳﮫ‬ ‫ﺍﻠﻟﮫ‬
“Tafsir adalah ilmu untuk memahami kitab Allah ( Al-Quran ) 
yang diturunkan kepada nabi-Nya Muhammad Saw serta
menerangkan makna Alquran dan mengeluarkan hukum-
hukumnya dan hikmah-hikmahnya.”
c.          Shahibut Taujih mendefinisikan tafsir sebagai berikut:
‫امع‬00‫د الس‬00‫تقلق عن‬00‫التفسير فى الحقيقة انما هو شرح اللفظ المس‬
‫ه‬00‫ة علي‬00‫ه دالل‬00‫ه اول‬00‫ه او يقارب‬00‫ا يرادف‬00‫ده بم‬00‫ح عن‬00‫و افص‬00‫ا ه‬00‫بم‬
‫باِحدى طرق الدالالت‬
“Tafsir pada hakikatnya adalah menjelaskan lafazh yang sukar
dipahami pendengar dengan mengemukakan lafazh sinonimnya
atau makna yang mendekatinya atau dengan mengemukakan
salah satu dilalah lafazh tersebut.[2]
       Berdasarkan pengertian di atas, dapat disimpulkan bahwa
pada dasarnya, tafsir adalah suatu hasil usaha tanggapan,
penalaran dan ijtihad manusia untuk menyingkap nilai-nilai
samawi yang terdapat di dalam Al-Quran.[3]
            Secara lughawi, kata al-ijmali berarti ringkasan,
ikhtisar, global dan penjumlahahan. Dengan demikian tafsir
ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan dengan cara
mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui pembahasan
yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi pembahasan
yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara rinci.[4]
            Dengan metode ini, mufasir menjelaskan arti dan
maksud ayat dengan uraian singkat yang dapat menjelaskan
sebatas artinya tanpa menyinggung hal-hal selain arti yang
dikehendaki.[5] Di dalam uraiannya, penafsir membahas secara
runtut berdasarkan urutan mushaf, kemudian mengemukakan
makna secara gloal yang dimaksud oleh ayat tersebut.[6]
            Penafsir dengan metode ini, dalam penyampaiannya
menggunakan bahasa yang ringkas dan sederhana, serta
memberikan idiom yang mirip, bahkan sama dengan bahasa Al-
Quran. Sehingga pembacanya merasakan seolah-olah Al-Quran
sendiri yang berbicara dengannya.[7] Mufasir berbicara kepada
pembaca dengan cara termudah, sehingga memudahkan
pembaca untuk mengetahui kandungan Al-Quran.
            Penafsir diharapkan dapat menghidangkan makna-makna
dalam bingkai suasana Qur’ani. Ia tidak perlu menyinggung
asbab an-nuzul atau munasabah, apalagi makna-makna kosa kata
dan segi-segi keindahan bahasa Al-Quran. Tetapi langsung
menjelaskan kandungan ayat secara umum atau hukum dan
hikmah yang ditarik. Sang mufasir bagaikan menyodorkan buah
segar yang telah dikupas, dibuang bijinya dan telah diiris-iris
pula, sehingga siap untuk disantap.[8]
            Pembahasan tafsir ijmali dapat meliputi beberapa aspek
dalam bahasa yang singkat semisal tafsir al-farid li Al-Quran Al
madjid yang hanya mengedepankan arti kata-kata (al-mufradat),
asbab nuzul dan penjelasan singkat (al-ma’na) yang
sistematikanya sering diubah-ubah. Adakalanya mengedepankan
mufradat kemudian asbab nuzul dan al-ma’na, tetapi sering pula
mendahulukan al-ma’na dan asbab nuzul.[9]
            Selain itu ada kitab tafsir yang menggunakan metode
global yang mengedepankan makna sinonim dari kata-kata yang
bersangkutan seperti tafsir Al-Jalalayin.[10] Contoh tafsir Al-
Jalalayin pada QS. Al-Baqarah ayat 138i-139:
‫صبغة هللا ومن احسن من هللا صبغة ونحن له عبدون‬
‫بغة هللا‬0000000‫ص‬            (celupan Allah), "mashdar" yang
memperkuat "kami beriman" tadi. Mendapat baris di atas, sebgai
maf'ul muthlak dari fi'il yang tersembunyi yang diperkirakan
berbunyi "shabaghanallahu shibghah" artinya "Allah mencelup
kami suatu celupan". Sedang maksudnya ialah agama-Nya yang
telah difitrahkan-Nya atas manusia dengan pengaruh dan
bekasnya yang menonjol, tak ubah bagai celupan terhadap
kain.  ‫ومن‬ (dan siapakah) maksudnya tidak seorang pun ‫ن‬00‫احس‬
‫هللا صبغة‬ ‫من‬  (yang lebihbaik celupannya dari Allah); shibghah di
sini menjadi "tamyiz"-  ‫دون‬00‫ه عب‬00‫ونحن ل‬ (Dan hanya kepada-Nya
kami menyembah).
Kata orang-orang Yahudi kepada kaum muslimin: "Kami ini
Ahli Kitab yang pertama dan kiblat kami lebih tua, apalagi di
kalangan Arab itu tidak pernah muncul seorang nabi pun.
Seandainya Muhammad itu seorang nabi, pastilah ia dari
golongan kami. Maka turunlah ayat:
‫الكم‬00‫ا ولكم اعم‬00‫ا وربكم ولنااعمالن‬00‫قل اتحاجّزننا فى هللا وهو ربّن‬
‫ونحن له مخلصون‬
) ‫قل‬katakanlah) kepada mereka:  0‫اتحاجّزننا‬ (apakah kamu
hendak memperbantahkan) dengan kami   ‫فى هللا‬ (tentang Allah)
karena Ia memilih seorang nabi dari kalangan Arab?  ‫ا‬00‫وهو ربّن‬
‫وربكم‬ (padahal Ia adalah Tuhan kami dan Tuhan kamu) dan
berhak memilih siapa saja yang dikehendaki-Nya di antara
hamba-hamba-Nya  ‫ولنااعمالنا‬ (dan bagi kami amalan kami)
sehingga akan beroleh balasan daripada-Nya  ‫الكم‬00‫ولكم اعم‬ (dan
bagi kamu amalan kamu) dan kamu akan beroleh balasan-Nya
pula, dan tidak mustahil jika di antara amalan-amalan kami itu
ada yang patut menerima ganjaran istimewa  ‫ونحن له مخلصون‬ (dan
hanya kepada-Nya kami mengikhlaskan agama) dan amalan
kami; berbeda halnya dengan kamu, sehingga sepatutnyalah
kami yang dipilih-Nya. "Hamzah" atau "apakah" di atas,
maksudnya menolak, sedangkan ketiga kalimat di belakang
berarti "hal".
2.      Sejarah Tafsir Ijmali
Sejarah tafsir telah dimulai pada masa Rasulullah Saw,
orang pertama yang menguraikan maksud-maksud Al-Quran dan
menjelaskan kepada umatnya wahyu yang diturunkan Allah
kepadanya. Pada masa itu tak seorangpun dari para sahabat yang
berani menafsrkan Al-Quran.[11] Pada saat sahabat tidak
memahami maksud dan kandungan suatu ayat Al-Quran, mereka
menanyakannya kepada Nabi. Hal ini menunjukkan posisi Nabi
sebagai mubayyin, penjelas terhadap segala persoalan umat.[12]
Para sahabat menerima dan meriwayatkan tafsir dari Nabi
Saw secara musyafahat (dari mulut ke mulut), demikian pula
generasi berikutnya, sampai datang masa tadwin (pembukuan
ilmu-ilmu Islam), termasuk ilmu tafsir sekitar abad ke 3 H.[13]
Sepeninggal Nabi, kegiatan penafsiran Al-Quran tidak
berhenti. Munculnya persoalan-pesoalan baru mendorong umat
Islam generasi awal untuk mencurahkan perhatiannya dalam
menjawab persoalan umat. Dalam menafsirkan Al-Quran pada
masa itu, pegangan utama para sahabat adalah riwayat-riwayat
yang dinukilkan dari Nabi. Penafsiran-penafsiran yang
dilakukan para sahabat di kemudian hari nanti dikenal dengan
tafsir bil ma’tsur (penafsiran yang sumbernya dari riwayat), cara
ini kemudian dikenal dengan metode penafsiran riwayah.[14]
Sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh M.
Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur,  boleh dikatakan
sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang  menerapkan
metode  Ijmali.  Tafsir bil ma’tsur adalah jenis tafsir Al-Quran
dengan Al-Quran, penafsiran Al-Quran dengan As-Sunnah atau
penafsiran Al-Quran menurut Atsar yang timbul dari kalangan
sahabat.[15]
            Contoh penafsiran Al-Quran pada masa Rasul dan
sahabat, kata zhulmin pada surah Al-An’am ayat 82 :
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) 
AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrß
  ‰tGôg•B ÇÑËÈ
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman
mereka dengan kezaliman, mereka Itulah yang mendapat
keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat
petunjuk.
            Kata zhulmin pada ayat tersebut ditafsirkan Rasul
dengan syirik yang terdapat pada sural Luqman ayat 13[16]:
)١٣( ‫ك لَظُ ْل ٌم َع ِظي ٌم‬
َ ْ‫ي ال تُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ إِ َّن ال ِّشر‬
َّ َ‫ان ال ْبنِ ِه َوهُ َو يَ ِعظُهُ يَا بُن‬ َ َ‫َوإِ ْذ ق‬
ُ ‫ال لُ ْق َم‬
Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku,
janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang
besar".
3.      Ciri-ciri Tafsir Ijmali
a.       Urutannya sesuai dengan urutan mushaf.
b.      Mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul.
c.       Setiap surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu
ditafsirkan secara ringkas dan global.
d.      Sebagian lafal dari ayat menjadi pengait antara nash ayat
dengan tafsirnya.
e.       Lafal dan bahasanya tidak jauh dari nash Al-Quran.
f.       Mufasir tidak banyak mengemukakan pendapat dan idenya.
[17]
4.      Kitab Tafsir Metode Ijmali
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode ijmali
yaitu:
a.       Tafsir al-Jalalayin, karya Jalal ad-Din as-Suyuthy dan Jalal
ad-Din al-Mahally.
b.      Tafsir Al-Quran al-‘Adhim, karya ustadz Muhammad Farid
Wajdy.
c.       Shafwah al-Bayan li Ma’any Al-Quran, Karya Syaikh
Husanain Muhammad Makhlut.
d.      Tafsir Al-Quran, Karya Ibn Abbas yang dihimpun oleh Al-
Fayruz Abady.
e.       Tafsir al-Wasith, produk Lembaga Pengkajian Universitas
Al-Azhar, Mesir, karya suatu Commite Ulama.
f.       Tafsir al-Muyassar, karya Syaikh Abd al-Jalil Isa.
g.      Tafsir al-Mukhtasar, produk Majlis Tinggi Urusan Umat
Islam, karya suatu Commite Ulama.[18]
5.      Kelebihan dan Kekurangan Tafsir Ijmali
Di antara kelebihan metode tafsir ijmali:
a.       Pesan-pesan dari Al-Quran mudah dipahami.[19]
b.      Bebas dari penafsiran isra’iliyat.
c.       Akrab dengan bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna
sinonim).[20]
Di antara kekurangan metode tafsir ijmali adalah
penafsirannya dangkal, berwawasan sempit, tidak komprehensif.
[21]
B.     Tafsir Tahlili
1.      Pengertian Tafsir Tahlili
Secara harfiah, tahlili berarti menjadi lepas atau terurai.
Yang dimaksud dengan tafsir tahlili adalah metode penafsiran
ayat-ayat Al-Quran yang dilakukan dengan cara
mendeskripsikan uraian-uraian makna yang terkandung dalam
ayat-ayat Al-Quran dengan mengikuti tertib susunan/ urut-
urutan surat-surat dan ayat-ayat Al-Quran itu sendiri denagn
sedikit banyak melaukan analisis di dalamnya.[22]
Tasir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh
aspeknya. Dalam metode tafsir tahlili, penafsir mengikuti
runtutan ayat sebagaimana yang telah tersusun dalam Mushaf
Utsmani. Penafsir mulai menganalisis ayat dengan
mengemukakan arti kosa kata diikuti dengan penjelasan
mengenai arti global ayat. [23]
Metode tafsir tahlili menjelaskan kandungan ayat Al-Quran
dari berbagai seginya, sesuai dengan pandangan, kecenderungan
dan keinginan mufasirnya yang dihidangkannya secara runtut
sesuai dengan perurutan ayat-ayat dalam mushaf. Biasanya yang
dihidangkan itu mencakup pengertian umum kosa kata ayat,
munasab ayat, asbab nuzul (kalau ada), makna global ayat,
hukum yang dapat ditarik, yang tidak jarang menghidangkan
aneka pendapat ulama mazhab. Ada juga yang menambah aneka
uraian tentang qiraat, I’rab ayat ayat yang ditafsirkan, serta
keistemewaan susunan kata-katanya.[24]
Dalam pembahasannya, penafsir biasanya merujuk riwayat-
riwayat terdahulu baik yang diterima dari Nabi, sahabat maupun
ungkapan-ungkapan pra Islam dan kisah israiliyat. Oleh karena
pembahasan yang terlalu luas itu maka tidak tertutup
kemungkinan penafsirannya diwarnai subjektivitas penafsir,
baik latar belakang keilmuan maupun aliran mazhab yang
diyakininya. Sehingga menyebabkan adanya kecenderungan
khusus yang teraplikasikan dalam karya mereka.[25]
Metode tahlili atau yang dinamai oleh Baqir al-Shadr
sebagai metode tajzi’iy menguraikan segala segi yang dianggap
perlu oleh seorang mufasir, bermula dari arti kosa kata, asbab
nuzul, munasabah, dan lain-lain yang berkaitan dengan teks atau
kandungan ayat. Metode ini walaupun dinilai sangat luas, namun
tidak menyelesaikan satu pokok bahasan, karena seringkali satu
pokok bahasan diuraikan sisinya atau kelanjutannya pada ayat
yang lain.[26] Uraiannya melebar sehingga terhidang aneka
hidangan yang bisa jadi sebagian di antaranya tidak diperlukan
oleh pembacanya[27]
2.      Wujud Tafsir Tahlili
Metode tahlili kebanyakan dipergunakan para ulama masa-
masa klasik dan pertengahan. Di antara mereka, sebagian pola
pembahasan secara panjang lebar (ithnab), sebagian mengikuti
pola singkat (ijaz) dan sebagian mengikuti pola secukupnya
(musawah). Mereka sama-sama menafsirkan dengan metode
tahlili, namun dengan corak yang berbeda-beda.
Para ulama membagi wujud tafsir tahlili kepada tujuh
macam, yaitu: tafsir bil ma’sur, tafsir bil ra’yu, tafsir sufi, tafsir
fiqhi, tafsir ilmi, tafsir falsafi dan tafsir adabi.
a.       Tafsir bil ma’sur
Tafsir bil ma’sur adalah penafsiran ayat dengan ayat,
penafsiran ayat dengan hadis yang menjelaskan makna sebagian
ayat yang dirasa sulit dipahami para sahabat atau penafsiran ayat
dengan hasil ijtihad para sahabat atau penafsiran ayat dengan
hasil ijtihad para tabi’in.
Di antara kitab tafsir bil ma’sur adalah kitab jami’al bayan
fi tafsir Al-Quran karya Ibnu Jarir Ath-Thabary dan tafsirul
Quranul Karim karya Ibnu Katsir.[28] Contoh tafsir bil ma’sur
Ibnu Katsir QS. Ibrahim ayat 1, 2 dan 3:
‫رط‬00‫إذن ربّهم إلى ص‬00‫ور ب‬00‫اس من الظلمت إلى الن‬00‫رج الن‬00‫ك لتخ‬00‫ه إلي‬00‫ر كتب أنزلن‬00‫ال‬
‫رين من‬00‫ل للكف‬00‫ا فى األرض ووي‬00‫موت وم‬00‫افى الس‬00‫ه م‬00‫ذى ل‬00‫﴾ هللا ال‬1﴿ ‫د‬00‫العزيز الحمي‬
‫بيل هللا‬00‫ ّدون عن س‬0 ‫رة ويص‬00‫دنيا على األخ‬00‫وة ال‬00‫تحبّون الحي‬00‫﴾ الذين يس‬2﴿ ‫عذاب شديد‬
﴾3﴿ ‫ويبغونها عوجا أولئك فى ضلل بعيد‬
Alif lam ra.Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya terang
benderang dengan izin Tuhan mereka kepada jalan dari Yang
Mahaperkasa lagi Maha Terpuji. (1) Allah yang memiliki apa
yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan kecelakaanlah
bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras.(2) Orang-orang
yang lebih menyukai kehidupan dunia daripada kehidupan
akhirat, menghalang-halangi dari jalan Allah dan
menginginkannya bengkok. Mereka itu berada dalam kesesatan
yang jauh. Pembicaraan mengenai huruf yang terputus-putus
telah dikemukakan pada beberapa awal surat. "Kitab yang Kami
turunkan kepadamu" yakni kitab ini Kami menurunkannya
kepadamu, hai Muhammad, Kitab itu ialah al-Quran yang
agung. Ia merupakan kitab yang paling mulia di antara kitab
yang diturunkan Allah dari langit; diturunkan kepada Rasul yang
paling mulia. Dia diutus Allah di muka bumi ke seluruh
penghuninya baik bangsa Arab maupun asing. "supaya kamu
mengeluarkan manusia dari kegelapan kepada cahaya", yakni
dari gelapnya kesesatan dan penyimpangan kepada petunjuk dan
kelurusan. Hal ini sebagaimana Allah berfirman, "Allah adalah
pelindung orang-orang yang beriman. Dia mengeluarkan mereka
dari kegelapan kepada cahaya. Pelindung-pelindung kaum kafir
adalah thagut yang mengeluarkan mereka dari cahaya kepada
kegelapan."
Firman Allah Ta'ala, "Dengan izin Tuhan mereka."yakni, Dialah
Yang menunjukkan orang yang telah ditetapkan baginya
hidayah melalui RasulNya yang diutus atas perintahNya. Dia
menunjukkan mereka "kepada jalan dari Yang Mahaperkasa lagi
Maha Terpuji." Yang Mahaperkasa artinya Zat yang tidak dapat
dibantah dan dikalahkan. Dia Mahaperkasa dalam segala perkara
selain-Nya. Yang Maha Terpuji artinya dalam seluruh
perbuatan, perkataan, syariat, perintah, dan larangan-Nya, Yang
Mahabenar berita-Nya. Firman Allah Ta'ala,"Allah yang
memiliki apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi. Dan
kecelakaanlah bagi kaum kafir karena azab yang sangat keras".
Yakni, kecelakaanlah bagi mereka pada hari kiamat lantaran
mereka menyalahimu, hai Muhammad, dan mendustakanmu.
Kemudian Allah menyifati mereka bahwa mereka lebih
menyukai kehidupan dunia atas akhirat. Yakni, mereka
mendahulukan dan memprioritaskan kehidupan dunia atas
akhirat, "mereka menghalang-halangi" para pengikut Rasul "dari
jalan Allah dan menginginkannya bengkok." Yakni, mereka
menyukai keberadaan jalan Allah itu bengkok dan condong.
Sesungguhnya jalan itu lurus dengan sendirinya. Jalan itu tidak
ternoda oleh orang yang menyalahi dan menyia-nyiakannya.
Keinginan mereka yang demikian itu menunjukkan bahwa
mereka berada dalam kebodohan dan kesesatan yang jauh dari
kebenaran. Tiada harapan akan ada kebaikan dari mereka.
b.      Tafsir bil Ra’yi
Tafsir bil ra’yi adalah penafsiran Al-Quran dengan ijtihad
dan penalaran. Tafsir bil ra’yi muncul sebagai sebuah
metodologi pada periode akhir pertumbuhan tafsir al-ma’sur,
meskipun telah terdapat upaya sebagian kaum muslimin yang
menunjukkan bahwa mereka telah melakukan penafsiran dengan
ijtihad, khususnya zaman sahabat sebagai tonggak munculnya
ijtihad dan istinbath dan periode tabi’in.
Tafsir bil ra’yi tidak semata-mata didasari pada penalaran
akal dengan mengabaikan sumber-sumber riwayat secara
mutlak. Dalam konteks ini, penafsiran dengan metode ra’yi
bersifat lebih selektif terhadap riwayat, sehingga secara
kuantitas porsi riwayat di dalam tafsirnya jauh lebih kecil
disbanding dengan kadar ijtihad. Begitu pula halnya dengan
tafsir metode riwayat, tidak sama sekali terlepas dari
penggunaan rasio meskipun jumlahnya sangat kecil.[29]
Ketika kaum muslimin memasuki era kebudayaan dan
peradaban, ilmu agama dan pengetahuan berkembang mencapai
puncak kejayaannya, alat-alat percetakan telah ditemukan dan
produksi kertas telah dilakukan, hal itu memungkinkan
dilakukan penerbitan karya-karya ilmiah dan memperbanyak
kitab-kitab tafsir yang wujud dan metodenya berbeda-beda,
banyak timbul golongan-golongan dalam Islam, ada di antara
ulama yang fanatic terhadap mazhab yang diikuti kemudian
berusaha menafsirkan Al-Quran sesuai dengan mazhabnya serta
melegitimasi mazhabnya dengan ayat-ayat Al-Quran, dan lahir
kitab-kitab tafsir yang mempunyai karakteristik tertentu sesuai
dengan bidang ilmu pengarangnya, maka lahirlah bermacam-
macam corak tafsir.
Para ulama menegaskan bahwa tafsir bil ra’yi ada yang
diterima dan ada yang ditolak. Tafsir bil ra’yi dapat diterima
apabila mufasirnya mengetahui ungkapan-ungkapan arab, lafaz-
lafaz arab dan cara penunjukkannya (dilalah) atas maknya yang
dikehendaki, sebab turun ayat, nasikh dan mansukh, benar
aqidahnya dan menjadikan sunnah Rasulullah Saw sebagai
sumber ajaran Islam yang kedua setelah Al-Quran. Selain itu ia
harus berpegang kepada apa yang diriwayatkan oleh Rasul dan
para sahabat serta menguasai ilmu-ilmu yang dibutuhkan
sebagai mufasir, yaitu ilmu bahasa arab, nahwu, sharaf, ma’any,
bayan, qiraah, ushul ad-din, ushul fiqh, ulum al-hadis serta ilmu
al-mawhibah yaitu ilmu yang Allah karuniakan kepada hamba-
hambanya yang ‘alim yang mengamalkan apa yang
diketahuinya.[30]
Selain dari aspek intelektual di atas, para ulama juga
membuat kualifikasi dari aspek moral. Penafsir yang
menggunakan metode ra’yi juga harus dituntut memiliki aspek
mental dan moral terpuji, jujur, ikhlas, loyal dan bertanggung
jawab serta terhindar dari pengaruh hawa nafsu duniawi dan
kecenderungan terhadap aliran mazhab tertentu.
Di antara kitab-kitab tafsir yang mengikuti metode ini
adalah Mafatih al-Ghaib karya Fakhruddin al-Razi, Anwar al-
Tanzil karya al-Baidhawi.[31]
Salah satu contoh penafsiran bil ra’yi adalah penafsiran
yang dikemukakan oleh Imam al Mahalli dan Imam as Sayuthi
dalam kitab tafsir kolaborasi mereka “ tafsir jalalayin “,
mengenai surat al-isra’ ayat 85:
               ‫ااوتيتم من العلم‬00‫روح من امرربىوم‬00‫ قل ا ل‬ ‫ويسأ لو نك عن ا لروح‬
‫اال قليال‬
          Imam Mahalli menafsirkan kata “ ruh “ bahwa
sesungguhnya ruh itu adalah jasad atau jisim halus (jism al-
lathif), yang dengan masuknya ia ke dalam diri manusia, maka
manusia bisa hidup. Kemudian Imam Suyuthi memberikan
penafsiran bahwa perkara ruh itu termasuk ilmu Allah Ta’ala.
Sebab itu menahan diri dari memberikan defenisinya adalah
lebih baik.
Karena tafsir ini termasuk tafsir bi al-ra’yi yang ringkas
maka kedua mufassir tersebut memberikan penjelasan yang
singkat dengan pendapatnya dan menafsirkan ayat tersebut
dengan mempertimbangkan maksud ayat dan syari’at.
c.       Tafsir Sufi
Tafsir sufi identik dengan tafsir al-isyari, yaitu suatu
metode penafsiran Al-Quran yang lebih menitikberatkan
kajiannya pada makna batin. Penafsir yang mengikuti
kecenderungan ini biasanya berasal dari kaum sufi yang lebih
mementingkan persoalan-persoalan batin dibandingkan masalah
zahir dan batin.[32]
Terdapat dua wujud tafsir sufi, yaitu teoritis dan praktis:
1.      Tasawwuf Teoritis
Imam Al-Alusy dalam kitab tafsirnya mengemukakan: apa
yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh shufi tentang Al-Quran
adalah termasuk ke dalam bab isyarat terhadap pengertian-
pengertian rumit yang berhasil diungkapkan oleh orang-orang
yang menguasai cara yang harus ditempuh untuk sampai kepada
Allah dan pengertian-pengertian itu dapat dipadukan dengan
pengertian-pengertian tekstual yang dikehendaki. Hal ini
termasuk kesempurnaan iman dan pengetahuan yang sejati.[33]
Al-Alusi berkata tentang isyarat yang diberikan oleh firman
Allah QS. 2: 45), sebagai berikut:

 Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan


Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi
orang-orang yang khusyu'
Bahwa shalat adalah sarana untuk memusatkan dan
mengkonsentrasikan hati untuk menangkap tajalli (penampakan
diri) Allah dan hal ini sangat berat, kecuali orang yang luluh dan
lunak hatinya untuk menerima cahaya tajalli Allah. Merekalah
orang yang yakin, bahwa mereka benar-benar berada di hadapan
Allah,dan hanya kepada-Nyalah mereka kembali, dengan
menghancurkan sifat-sifat kemanusiaan mereka dan
meleburkannya ke dalam sifat-sifat Allah (baqa)[34]
Tidak pernah karya yang lahir dari aliran ini. Hanya karya-
karya penafsiran ayat-ayat Al-Quran secara acak yang
dinisbatkan kepada Ibnu Arabi yang bernama kitab al-Futuhat al
Makkiyah dan al-Fushush.[35]
2.      Tasawwuf Praktis
Tasawuf praktis adalah cara hidup yang berdasarkan atas
hidup sederhana, zuhud, menjaga diri dari segala kenikmatan,
memutuskan jiwa dari segala macam syahwat dan
menghancurkan diri dalam taat kepada Allah.[36]
Di antara kitab tafsi tasawuf praktis ini adalah tafsir Al-
Quranul karim oleh Tutsuri dan Haqaiq al-tafsir oleh as-Sulami.
[37]
d.      Tafsir Fiqhi
Penafsiran Al-Quran yang dilakukan oleh tokoh suatu
mazhab untuk dapat dijadikan sbagai dalil atas kebenaran
mazhabnya. Tafsir fiqhi banyak ditemukan oleh kitab-kitab fiqhi
karangan imam-imam dari berbagai mazhab yang berbeda. Salah
satu kitab tafsir fiqhi adalah kitab ahkam Al-Quran karangan al-
Jasshash. Dalam tafsir al-Jasshash nampak menganut paham
mu’tazilah, misalnya ia mengatakan mengenai firman Allah, ia
tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (QS. Al-An’am:103).
Makna ayat ini adalah ia tidak dapat dilihat oleh penglihatan
mata. Ini merupakan pujian dengan peniadaan penglihatan mata
seperti firman-Nya: … tidak mengantuk dan tiak tidur… (QS.
Al-Baqarah: 255). Apa yang ditiadakan Allah untuk memuji
diri-Nya maka penetapan kebalikannya adalah celaan dan
penghinaan, karena itu tidak diperkenankan menetapkan
kebalikan tersebut, oleh karena itu memuji-Nya dengan
peniadaan dari-Nya penglihatan mata, maka menetapkan
kebalikannya tidak diperkenankan karena hal demikian berarti
menetapkan sifat aib dan kurang bagi Allah.
e.       Tafsir Ilmi
Aliran tafsir ini mencoba menafsirkan ayat-ayat kauniyah
yang terdapat dalam Al-Quran dengan mengaitkannya dengan
ilmu-ilmu pengetahuan modern yang timbul pada masa sekarang
ini. Di antara kitab tafsir ilmi adalah al-Islam yatahadda
karangan Allamah Wahid al-Din Khan.
Contoh tafsir ilmi dalam penafsiran M. Abduh terhadap
QS. Al-Fil ayat 3-4 yang menafsirkan kata thayran
ababil (burung ababil) diartikan dengan mikroba dan kata al-
hijarah (batu) diartikan dengan kuman penyakit.
f.       Tafsir Falsafi
Aliran ini menafsirkan ayat-ayat Al-Quran dengan
menggunakan teori filsafat. Penafsiran ini berupaya mencari titik
temu antara filsafat dan agama serta  berusaha menyingkirkan
segala pertentangan di antara keduanya.[38]
Pada masa khalifah Abbasiyah, buku-buku asing
diterjemahkan ke dalam bahasa arab, di antaranya buku
karangan para filosof seperti Aristoteles dan Plato. Menyikapi
hal ini, ulama terbagi menjadi 2 golongan:
            Golongan pertama, menolak ilmu-ilmu yang bersumber
dari buku-buku karangan para filosof. Mereka tidak mau
menerimanya, mereka memahami ada di antaranya yang
bertentangan dengan aqidah dan agama. Mereka menyerang
faham-faham yang ada di dalamnya, membatalkan argument-
argumennya, mengharamkannya untuk dibaca dan
menjauhkannya dari kaum muslimin. Di antara yang menyerang
filosof dan filsafat adalah hujjah al-Islam imam Abu Hamid Al-
Ghazaly. Karena itu ia mengarang kitab Al-Isyarat dan kitab-
kitab lain untuk menolak paham mereka, Ibnu Sina, Ibnu Rusy,
demikian pula imam al-Fakhr Al-Razy di dalam kitab tafsirnya
mengemukakan paham mereka dan kemudian membatalkan
teori-teori filsafat mereka, karena dinilai bertentangan dengan
agama dan Al-Quran.
            Golongan kedua, sebagian ulama justru mengagumi
filsafat. Mereka menekuni dan dapat menerima sepanjang tidak
bertentangan dengan norma-norma (dasar Islam), berusaha
memadukan antara filsafat dengan agama serta menghilangkan
pertentangan yang terjadi di antara keduanya. Golongan ini
hendak menafsirkan ayat-ayat Al-Quran berdasarkan teori-teori
filsafat, akan tetapi mereka gagal, karena nash Al-Quran tidak
mengandung teori-teori mereka.
            Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi menanggapi sikap
golongan ini, beliau berkata: kami tidak pernah mendengar ada
seorang filosof yang mengarang satu kitab tafsir Al-Quran yang
lengkap. Yang kami temukan dari mereka tidak lebih hanya
sebagian pemahaman-pemahaman mereka terhadap Al-Quran
yang dikemukakan dalam buku-buku filsafat karangan mereka.
[39]
g.      Tafsir Al-Adab Al-Ijtima’i
Penafsiran dengan corak ini cenderung kepada persoalan
sosial kemanusiaan dan mengutamakan keindahan gaya bahasa.
Tafsir jenis ini lebih banyak mengungkapkan hal-hal yang ada
kaitannya dengan perkembangan kebudayaan yang sedang
berlangsung.[40]
Dr. Muhammad Husain Al-Dzahabi dalam kitabnya
alTafsir wa al-Mufassirun menerangkan sifat kitab-kitab tafsir
yang lahir dengan corak adaby dan menekankan segi
kemasyarakatan sebagai berikut:
Kelompok ulama yang menafsirkan Al-Quran dengan corak
ini mampu  mengungkapkan segi balaghah Al-Quran dan
kemu’jizatannya, menjelaskan makna-makna dan sasaran yang
dituju oleh Al-Quran, mengungkapkan hokum-hukum dan
tatanan kemasyarakatan yang dikandungnya, mampu
memecahkan problematika umat dengan mengedepankan
petunjuk Al-Quran, memadukan Al-Quran dengan teori ilmiah
yang benar, menegasjan bahwa Al-Quran mampu mengikuti
perkembangan waktu dan manusia. Di antara kitab-kitab tafsir
yang ditulis dengan corak ini yaitu tafsir al-Manar karya Syaikh
Muhammad Abduh dan Syaikh Rasyid Ridha, Tafsir Al-Quran
karya syaikh Al-Maraghy, Tafsir Alquranul Karim karya Syaikh
Mahmud Syaltut, tafsir al-Wadlih karya Syaikh Muhammad
Mahmud Hijazy.[41]
Contoh tafsir Al-Maraghy pada QS. Al-Bayyinah: 1:
‫ركين منفكين حتّى‬00‫ل الكتب والمش‬00‫روا من أه‬00‫ذين كف‬00ّ‫لم يكن ال‬
‫تأتيهم البيّنة‬
Penjelasan:
Orang-orang yang mengingkari risalah Muhammad saw
dan meragukan kenabiannya, yakni kaum musyrikin dan
Nasrani, selamanya tidak akan mau meninggalkan pegangan
mereka karena kekafiran yang sudah keterlaluan. Mereka telah
meninggalkan kebenaran dan lebih menyukai pegangan yang
diwariskan oleh nenek moyang mereka. Sekalipun pada
kenyataannya nenek moyang itu tidak mengerti sama sekali
permasalahan agama. Rasulullah hadir di tengah-tengah mereka
dengan membawa ajaran yang menggoncangkan terhadap ajaran
yang sudah berakar di dalam keyakinan mereka, disamping
sudah menjadi kebiasaan yang membudaya. Karenanya, mereka
berupaya terus mencari alasan karena didorong oleh sikap ingkar
mereka. Mereka mengemukakan hujjah yang mengatakan bahwa
apa yang didatangkan Muhammad adalah sama dengan yang ada
di tangan mereka dan bukan merupakan kebaikan jika apa yang
didatangkan itu diikuti. Menurut mereka, dengan berpegang
pada apa yang ada pada mereka dan berjalan sesuai dengan tata
aturan nenek moyang mereka adalah lebih baik dan patut,
bahkan lebih disukai oleh perasaan mereka karena dianggap
akan membawa keselamatan.
3.      Kitab Tafsir Tahlili
Di antara contoh kitab tafsir yang menggunakan metrode tahlili
ialah:
a.       Jami’ al-Bayan an takwil Ayi Al-Quran, karangan Ibnu Jarir
ath-Thabari.
b.      Tafsir Al-Quran al-Azhim, karya al-Hafizh imam al-Din Abi
al-Fida Ismail bin Katsir al-Quraisy al-Dimasyqi.
c.       Tafsir al-Samarqandi, karya Nashr bin Muhammad bin
Ahmad Abu al-Laits al-Samarqandi.
d.      Al-asyif wa al-Bayan an tafsir Al-Quran, karya Abi Ishaq.
[42]
4.      Kelebihan dan Kekurangan
Di antara kelebihan tafsir tahlili adalah:
a.       Pembahasannya luas.
b.      Corak tafsir yang bervariasi.
Di antara kekurangan tafsir tahlili adalah:
a.       Penafsiran tidak tuntas disebabkan pembahasan yang
melebar.[43]
b.      Bertele-tele.[44]
c.       Terdapat hal-hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh
pembaca.[45]
d.      Peluang masuknya cerita ista’illiyat lebih besar
 BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
            Tafsir ijmali adalah penafsiran Al-Quran yang dilakukan
dengan cara mengemukakan isi kandungan Al-Quran melalui
pembahasan yang bersifat umum (global), tanpa uraian apalagi
pembahasan yang panjang dan luas, juga tidak dilakukan secara
rinci. Sahabat dan tabi’in sebagaimana yang digolongkan oleh
M. Quraish Shihab sebagai tafsir bil ma’tsur,  boleh dikatakan
sebagai dasar-dasar bagi tafsir Al-Quran yang  menerapkan
metode  Ijmali. 
Ciri-ciri tafsir ijmali yaitu: urutannya sesuai dengan urutan
mushaf, mufassir langsung menafsirkan ayat al-Qur’an dari awal
sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul, setiap
surat dibagi menjadi kelompok-kelompok ayat, lalu ditafsirkan
secara ringkas dan global, sebagian lafal dari ayat menjadi
pengait antara nash ayat dengan tafsirnya, lafal dan bahasanya
tidak jauh dari nash Al-Quran, mufasir tidak banyak
mengemukakan pendapat dan idenya.
Di antara kitab-kitab tafsir yang menggunakan metode
ijmali yaitu: tafsir al-Jalalayin karya Jalal ad-Din as-Suyuthy
dan Jalal ad-Din al-Mahally, tafsir Al-Quran al-‘Adhim karya
ustadz Muhammad Farid Wajdy, Shafwah al-Bayan li Ma’any
Al-Quran karya Syaikh Husanain Muhammad Makhlut. Di
antara kelebihan metode tafsir ijmali: pesan-pesan dari Al-Quran
mudah dipahami, bebas dari penafsiran isra’iliyat, akrab dengan
bahasa Al-Qur’an (mengedepankan makna sinonim). Di antara
kekurangan metode tafsir ijmali adalah penafsirannya dangkal,
berwawasan sempit, tidak komprehensif.
Tasir tahlili adalah suatu metode tafsir yang bermaksud
menjelaskan kandungan ayat-ayat Al-Quran dari seluruh
aspeknya. Di antara kelebihan tafsir tahlili adalah
pembahasannya luas, corak tafsir yang bervariasi. Di antara
kekurangan tafsir tahlili adalah penafsiran tidak tuntas
disebabkan pembahasan yang melebar, bertele-tele, terdapat hal-
hal yang dirasa tidak perlu dibaca oleh pembaca, peluang
masuknya cerita ista’illiyat lebih besar.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Aridi, Ali Hasan, Sejarah dan Metodologi Tafsir, (Jakarta:


RajaGrafindo Persada, 1994).
Anwar, Rosihan, Ulum Al-Quran, (Bandung:Pustaka Setia,
2003).
Ash Shiddieqy, Hasbi, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta:
Bulan Bintang Indonesia, 1992).
Baidan, Nashruddin, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2002).
http://juniantositorus.blogspot.co.id/2012/05/metode-tafsir-
ijmali.html
https://mahadulilmi.wordpress.com/2013/09/19/tafsir-ijmali/
Nawawi, Rif’at Syauqi, Rasionalitas Tafsir Muhammad
Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002).
Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model
Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007).
Salim, Abd. Muin, Metodologi Ilmu Tafsir, (Yogyakarta:
TERAS, 2010).
Shihab, M. Quraish, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera Hati,
2013).
Suma, M. Amin, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka
Frdaus, 2001).
                          , Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2013).

[1] Rosihan Anwar, Ulum Al-Quran, (Bandung:Pustaka


Setia, 2003), Cet. Ke-5, h. 209
[2] Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Tafsir, (Jakarta: Bulan Bintang Indonesia, 1992), h.
152
[3] Rosihon Anwar, Op.Cit, h. 211
[4] M. Amin Suma, Ulumul Quran, (Jakarta: RajaGrafindo
Persada, 2013), Cet. Ke-1, h. 381
[5] Ali Hasan Al-Aridi, Sejarah dan Metodologi
Tafsir, (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1994), Cet, Ke-2, h. 73
[6] Abd. Muin Salim, Metodologi Ilmu
Tafsir, (Yogyakarta: TERAS, 2010), Cet. Ke-3, h. 47
[7] Ibid, h. 45
[8] M. Quraish Shihab, Kaidah Tafsir, (Tangerang: Lentera
Hati, 2013), Cet. Ke-2, h. 381
[9] M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta:
Pustaka Frdaus, 2001), Cet. Ke-1, h. 113
[10] Ibid, h. 114
[11] Rif’at Syauqi Nawawi, Rasionalitas Tafsir
Muhammad Abduh, (Jakarta: Paramadina, 2002), Cet. Ke-1
[12] M. Amin Suma, Metodologi Ilmu Tafsir, Op.Cit, h. 40
[13] Nashruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-
Quran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2002), Cet. Ke-1, h. 41
[14] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 41
[15] http://juniantositorus.blogspot.co.id/2012/05/metode-
tafsir-ijmali.html, akses pada tanggal 20 September 2015 pukul
09.13 WITA
[16] Nashruddin Baidan, Op.Cit, h. 41
[17] https://mahadulilmi.wordpress.com/2013/09/19/tafsir-
ijmali/, akses pada tanggal 20 September 2015 pukul 12.13
WITA
[18] Ali Hasan Al-‘Aridi, Op.Cit, h. 74
[19] M. Amin Suma, Ululul Qur’an, Op.Cit, h. 383
[20] http://juniantositorus.blogspot.co.id/2012/05/metode-
tafsir-ijmali.html, akses pada tanggal 20 September 2015 pukul
11.39 WITA
[21] M. Amin Suma, Ulumul Qur’an, Op.Cit, h. 383
[22] M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, Op.Cit, h.
110
[23] Rohimin, Metodologi Ilmu Tafsir & Aplikasi Model
Penafsiran, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), Cetakan
pertama, h. 67
[24] M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 378
[25] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 42
[26] Rohimin, Op.Cit, h. 68
[27] M. Quraish Shihab, Op.Cit, h. 381
[28] Rohimin, Op.Cit, h. 70
[29] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 43
[30] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 49
[31] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[32] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 44
[33] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 55
[34] Ibid, h. 56-57
[35] Rohimin, Op.Cit, h. 72
[36] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 57
[37] Rohimi, Op.Cit, h. 72
[38] Ibid, h. 72-73
[39] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 61-62
[40] Abd. Muin Salim, Op.Cit, h. 45
[41] Ali Hasan Al-Aridi, Op.Cit, h. 71-72
[42] M. Amin Suma, Ulumul Quran, Op.Cit, h. 380
[43] M. Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, h. 112
[44] M. Quraish Shihab, Op.Cit, H. 379
[45] Ibid, h. 381

Anda mungkin juga menyukai