Tata cara nabi shallallahu‘alaihi wassallam menjelaskan lafadz Al-qur’an yaitu dengan
cara talaqqi. Beliau mentalqi atau membacakan kepada para sahabat sebagaimana jibril
membacakan kepada Beliau shallallahu‘alaihi wassallam. Sebagaimana juga nabi
menjelaskan kepada para sahabat makna-makna Al-qur’an atau tafsirnya, maka nabi juga
menjelaskan kepada mereka apa yang perlu untuk dijelaskan.
Penjelasan nabi shallallahu‘alaihi wassallam tentang makna atau tafsiran Al-qur’an
ada 2 macam :
1. Penjelasan khusus
2. Penjelasan umum
Yaitu apa yang Rosulullah shallallahu‘alaihi wassallam jelaskan terkait satu ayat tertentu
dalam Al-qur’an yaitu Rosululloh menafsirkan secara khusus potongan dar ayat Al-quran.
Penjelasan umum adalah apa yang tampak dari Rosulullah shallallahu‘alaihi wassallam baik
perkataannya, per buatannya, perjalanan hidupnya dan kesehariannya. Maka hal-hal
tersebut juga termasuk penafsiran dari Al-qur’an. Jadi kegiatan Beliau sehari-hari , ibadah-
ibadah Beliau , termasuk perintah, larangan, persetujuan adalah termasuk penafsiran dari
Al-qur’an.
Contoh bayanum khosh adalah hadist dari Ady bin Hatim yang diriwayatkan oleh imam
At-Tirmidzi:
Bahwasanya Rosulullah shallallahu‘alaihi wassallam menafsirkan ayat :
Contoh adalah :
Bahwasanya Nabi shallallahu‘alaihi wassallam menjelaskan kepada umatnya tentang waktu
sholat 5 waktu sehari semalam secara detail didalam haditsnya. Sementara di dalam
Al-qur’an dijelaskan secara globalnya saja.
Firman Allah :
Penjelasan Rosululloh tentang ibadah-ibadah itu bisa merupakan tafsir yang sifatnya umum,
karena waktu itu Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam tidak sedang menafsirkan Al-qur’an.
Begitu juga Al-quran Alkarim, tidak hanya dibaca lafadz-lafadznya saja, tapi juga harus
difahami makna-maknanya yang terkandung didalamnya. Tidaklah seseorang itu bisa meraih
manfaat yang sempurna dari Al-qur’an dan bisa menikmati indahnya Al-qur’an kecuali
dengan memahami makna dan tafsirnya.
Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang paling faqih dalam ilmu tafsir Al-qur’an.
Abu Al-Jauza Al-Rabi’i berkata bahwa beliau telah mengunjungi Ibnu Abbas dirumahnya
selama 12 tahun, tidak ada satu ayatpun dari Al-qur’an kecuali telah aku tanyakan
semuanya. ( Diriwayatkan oleh Ibnu Said ).
Para tabi’in itu sangat bersemangat dalam memahami makna-makna Al-quran Al Karim
dengan cara bertanya kepada para sahabat.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa bertahannya mereka, terprosesnya mereka dan
bertahapnya mereka dalam mempelajari Al-qur’an satu persatu ayat ini menunjukkan
kepada kita bahwasanya ilmu tafsir itu adalah :
“ Asalnya tafsir Al-qur’an tersebut merupakan ilmu yang didapatkan dengan cara menukil
atau mengambil perkataan atau penjelasan dari pengajar, bukan ilmu yang bisa dibuat-buat
dari pendapat kita. Sebagaimana ketika kita mempelajari Al-Qur’an kita juga
mempelajarinya dengan guru dan mendengar langsung dari guru.
Maka menukil dari golongan yang terpecaya yaitu para sahabat dan seterusnya itu adalah
sebuah rukun yang sangat pokok dalam tafsir al-qur’an , sebagaimana juga terjadi dalam
belajar membaca Al-Quran, kita tidak bisa membaca Al-quran dengan baik dan benar kecuali
dari guru yang memiliki Sanad, jadi kita tidak boleh mengambil tafsir dari saiapa saja, harus
diteliti benar-benar dari orang yang memang ahlunya dan memang mendapatkannya dari
para tabi’in dan sahabat.
Begitulah para sahabat mengambil tafsir dari Nabi shallallahu‘alaihi wassallam dan para
tabi’in mengambil tafsir dari para sahabat.
BAB II
IKHTILAF ULAMA SALAF DALAM TAFSIR
ADALAH IKHTILAF TANAWU’
Kemudian Ibnu Taimiah menyebutkan bahwa Ikhtilaf Tanawu’ atau perselisihan pendapat
yang saling melengkapi dalam hal tafsir kembali kepada 2 bentuk penafsiran utama :
a. Masing – masing dari mereka menyampaikan suatu maksud yang sama dengan cara
menyebutkan lafadz yang berbeda-beda, tidak sama dengan sahabat yang lain.
Maka penyampaian-pernyampaian tersebut tetap saja kembali pada suatu makna yang
sama. Namun hal tersebut menunjukkan pada suatu makna yang tidak ada pada yang
lain. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah bahwa :
“ Penyampaian tadi merupakan penyampaian Al Asma Al Mutakafiah atau nama-nama
yang saling melengkapi yaitu dengan menyebutkan mutarodifah (sinonimnya) atau
mutabayinah (penjelasannya) dalam bentuk sifatnya, perbuatannya atau kejadiannya
yang lebih lengkap.
Jenis yang pertama dari Ikhtilaf Tanawu’ yaitu menyebutkan satu maksud dengan cara
yang berbeda-beda itu ada 3 macam atau 3 bentuk yakni :
1. Menafsirkan sebuah kalimat dengan apa yang menjadi maknanya dia, baik makna
secara syar’i maupun secara bahasa.
Contoh :
Firman Allah :
Ketiga macam penafsiran yang muat dari salaf ini terkait ayat .............. semuanya shohih,
tetapi bentuk penafsiran atau tempat kembalinya berbeda-beda.
( Bagian kedua dari Ikhtilaf Tanawu’ )
Para penafsir Al-quran menyebutkan nama-nama yang umum dari tafsirannya dengan cara
menyebutkan permisalan yang berbeda-beda. Seolah-olah itu khilaf padahal contoh saja
dan dengan cara menyebutkan sobabun nuzul (sebab turunnya ayat).