Anda di halaman 1dari 10

Wajib untuk diketahui bahwa sesungguhnya Nabi shollallahu ‘alaihi wassalam menjelaskan

kepada para sahabat-sahabatnya makna mentafsirkan al-quran, sebagaimana beliau juga


telah menerangkan kepada para sahabatnya .
Lafadz Al-quran atau cara membacanya. Firman Allah surat An –nahl ayat 33 yang
artinya : “ agar engkau wahai Muhammad menjelaskan kepada manusia apa yang
diturunkan kepada mereka”. Maksudnya mencakup lafadz dan makna al-quran .
Telah diketahui bahwa segala perkataan itu maksudnya adalah pemahaman makna-
maknanya bukan hanya lafadznya saja. Jadi supaya faham ucapan dan maksud dari
perkataan/ucapan tersebut, maka al-quran lebih utama untuk difahami lafadz dan
maknanya. Karena dengan Al-quranlah kita akan mendapatkan petunjuk.
Kebiasaan yang terjadi, seseorang membaca buku seperti ilmu kedokteran, ilmu
hitung dan lain-lain tapi tidak memahaminya. Maka bagaimana dengan kalamullloh Al-quran
yang merupakan penjaga atau pelindung mereka, Al-quran yang bisa menjadi sebab
keselamatan dan kebahagiaan mereka, menjadi sebab kokohnya agama dan dunia mereka,
tapi tidak difahami maka harus di fahami dengan baik.
Perselisihan yang terjadi diantara para sahabat dalam menafsirkan Al-Quran sangat
sedikit sekali. Perselisihan yang terjadi di kalangan tabi’in lebih banyak daripada perselisihan
yang terjadi dikalangan sahabat dan itupun terhitung sedikit di banding yang terjadi setelah
para tabi’in. Dan setiap kali zaman itu semakin mulia ( masa – masa nabi dan masa – masa
sahabat ) maka saat itu persatuan kaum mukminin, penjelasan dan ilmunya lebih banyak
karena langsung bertemu Rosul.
Maksudnya : bahwasanya para tabi’in mengambil ilmu tafsir dari kalangan sahabat,
sebagaimana mereka juga mengambil ilmu hadist dari para sahabat. Meskipun mereka
berbicara dalam sebagian hal tersebut dengan istinbath ( mengambil keputusan hukum )
dan dengan istidlal (mengambil kesimpulan dari dalil-dalil untuk menetapkan suatu hukum),
sebagaimana mereka berbicara/berpendapat pada sebagian sunnah-sunnah dengan
istinbath dan istidlal. Jadi para tabi’in dalam penafsiran hadits dan rafsir dengan cara
istinbath dan istidlal.

Syaikh Shalih al-Ushaimi menjelaskan perkataan mushonnat (Ibnu Taimiah)


bahwasanya nabi shallallahu‘alaihi wassallam menjelaskan kepada para sahabat makna-
makna Al-qur’an dan lafadz-lafadznya.
Jadi nabi menjelaskan Al-qur’an kepada para sahabat dari 2 sisi :
1. Penjelasan lafadz-lafadznya dengan cara mengetahui cara-cara membacanya
2. Pejelasan makna-maknanya (yaitu tafsirnya dan menjelaskan hal-hal yang masih
samar )

Tata cara nabi shallallahu‘alaihi wassallam menjelaskan lafadz Al-qur’an yaitu dengan
cara talaqqi. Beliau mentalqi atau membacakan kepada para sahabat sebagaimana jibril
membacakan kepada Beliau shallallahu‘alaihi wassallam. Sebagaimana juga nabi
menjelaskan kepada para sahabat makna-makna Al-qur’an atau tafsirnya, maka nabi juga
menjelaskan kepada mereka apa yang perlu untuk dijelaskan.
Penjelasan nabi shallallahu‘alaihi wassallam tentang makna atau tafsiran Al-qur’an
ada 2 macam :
1. Penjelasan khusus
2. Penjelasan umum
Yaitu apa yang Rosulullah shallallahu‘alaihi wassallam jelaskan terkait satu ayat tertentu
dalam Al-qur’an yaitu Rosululloh menafsirkan secara khusus potongan dar ayat Al-quran.
Penjelasan umum adalah apa yang tampak dari Rosulullah shallallahu‘alaihi wassallam baik
perkataannya, per buatannya, perjalanan hidupnya dan kesehariannya. Maka hal-hal
tersebut juga termasuk penafsiran dari Al-qur’an. Jadi kegiatan Beliau sehari-hari , ibadah-
ibadah Beliau , termasuk perintah, larangan, persetujuan adalah termasuk penafsiran dari
Al-qur’an.
Contoh bayanum khosh adalah hadist dari Ady bin Hatim yang diriwayatkan oleh imam
At-Tirmidzi:
Bahwasanya Rosulullah shallallahu‘alaihi wassallam menafsirkan ayat :

Dengan penjelasan sebagai berikut :


(orang yahudi) itu adalah orang-orang yang Allah murkai. Sedangkan (orang-orang nasrani)
adalah orang-orang yang sesat.
Jadi orang-orang yang dimurkai Allah adalah orang yahudi dan orang yang sesat adalah
orang nasrani.

Contoh adalah :
Bahwasanya Nabi shallallahu‘alaihi wassallam menjelaskan kepada umatnya tentang waktu
sholat 5 waktu sehari semalam secara detail didalam haditsnya. Sementara di dalam
Al-qur’an dijelaskan secara globalnya saja.
Firman Allah :

Penjelasan Rosululloh tentang ibadah-ibadah itu bisa merupakan tafsir yang sifatnya umum,
karena waktu itu Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam tidak sedang menafsirkan Al-qur’an.

Apakah Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam menafsirkan Al-quran atau tidak ?


Jawabannya :
Apabila yang dimaksudkan adalah penafsiran Rosululloh asecara khusus, maka jawabannya
“tidak” Rosululloh tidak menafsirkan ayat perayat tapi hanya menafsirkan /menjelaskan
ayat-ayat yang masih belum jelas dan terjadi kebingungan dikalangan sahabat.
Namun apabila yang dimaksudkan adalah penafsiran secara umum maka jawabannya “iya”
karena Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam telah menjelaskan segala sesuatunya dengan
perkataannya, perbuatannya, perjalanan hidupnya dan sunnah-sunnahnya yang bisa
digunakan untuk menafsirkan Al-qur’an Al Karim.
Kemudian, Muskonnit Rohimakumulloh menyeutkan bahwa ketika kita menerima
ucapan/pembicaraan dari seseorang, maka orang tersebut menghendaki kita untuk
memahami maksud dari pembicaraannya itu bukan sekedar menerima ucapannya saja tapi
juga memahaminya. Maka Al-qur’an lebih utama dari itu.

As-Syarikh menerangkan bahwa ketika seseorang membaca buku-buku, seperti buku


pengobatan dan buku lainnya, maka dia itu ingin mengetahui maknanya bukan hanya
sekedar membaca atau menghafal lafadz-lafadznya saja karena pengetahuan itu tidak akan
bermanfaat bila tidak difahami maksudnya.

Begitu juga Al-quran Alkarim, tidak hanya dibaca lafadz-lafadznya saja, tapi juga harus
difahami makna-maknanya yang terkandung didalamnya. Tidaklah seseorang itu bisa meraih
manfaat yang sempurna dari Al-qur’an dan bisa menikmati indahnya Al-qur’an kecuali
dengan memahami makna dan tafsirnya.

Abu Jafar Ibnu Jarir berkata :


“ Aku heran kepada seseorang yang membaca Al-qur’an tapi dia tidak memahami tafsirnya.
Bagaimana dia bisa menikmati bacaannya”.
Yakni : Dia tidak akan bisa menikmati indahnya Al-quran kecuali dengan memahami
maknanya.
Setiap kali berkurang pemahaman terhadap Al-qur’an, maka berkurang pula kelezatan
dalam membaca Al-Qur’an.

Kemudian As-Syarikh menjelaskan bahwa perselisihan diantara sahabat tentang penafsiran


Al-qur’an sedikit sekali. Karena mereka menafsirkan turunnya Al-qur’an yaitu mereka
menyaksikan bahwa Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam iitu menerima wahyu dan
mereka bisa langsung bertanya kepada Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam sehingga
mereka mengatahui dan memahami takwil / tafsirnya.
Mereka itu adalah para sahabat nabi, selain itu Al-qur’an turun dengan bahasa mereka
yaitu bahasa arab sehingga mereka memahami Al-qur’an Al-karim. Maka dari itu
perselisihan diantara meraka dalam menafsirkan ayat-ayat Al-qur’an sangat sedikit sekali.
Kemudian Mushonnit berkata bahwa :
Dan setiap sekali kali suatu maka semakin mulia , maka persatuan, ilmu dan penjelasan –
penjelasan itu lebih banyak.
Dijelaskan oleh Syarikh, bahwa ketika sebuah masa itu diisi orang-orang yang memiliki hati
yang baik dan dengan adanya Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam, maka hal tersebut bisa
membuat hati-hati itu bersatu, jarang terjadi perselisihan dalam ilmu tafsir.

Tiga generasi awal yang utama dan paling utama adalah :


1. Generasi sohabat Ridwanulloh’alaihim ( sejak turunnya wahyu )
2. Generasi para tabi’in yaitu murid-muridnya para sahabat
3. Generasi Atba’ut Tabi’in yaitu murid – muridnya para tabi’in
Pada zaman tersebut, persatuan dan kesepakatan itu lebih banyak dan lebih besar.
Hal-hal yang menyebabkan keutamaan meraka itu ada 2 macam :
1. Selamatnya atau bersihnya hati orang yang mencari tau ( yang belajar mencari ilmu)
2. Keshohohan ilmu yang dicari ( kebenaran )
Kita ketahui bahwa hati para sahabat dan setelahnya itu bersih dari kebencian, permusuhan,
iri dan dengki dan lainnya yang merusak hati. Dan ilmu pada masa itu masih benar (shohih)
belum tercampur dengan pemikiran yang keliru.
Sesungguhnya ilmu-ilmu orang terdahulu itu lebih utama daripada ilmu-ilmunya orang yang
belakangan. Mereka lebih fasih lisannya, lebih mengetahui tentang kalimat-kalimat
(strukturnya) daripada orang-orang yang belakangan. Maka dari itu ilmu mereka lebih mulia.

Kemudian As-Syarikh Rohimakumulloh menjelaskan perkataan Mushonnit menjelaskan


bahwa tabi’in mengambil ilmu tafsir dari para sahabat sebagaimana mereka juga mengambil
ilmu sunnah dari para sahabat.
Maka dijelaskan bahwa Nabi shallallahu‘alaihi wassallam membacakan dan menjelaskan
Al-qur’an kepada para sahabatnya lafadz dan maknanya, kemudian para tabi’in mengambil
dari para sahabat, maka mereka mengikuti para sahabat sebagaimana mereka mengikuti
para sahabat dalam perkara sunah.
Para tabi’in mengambil sunnah dari para sahabat dan sahabat mengambil dari Nabi
shallallahu‘alaihi wassallam , sebagaimana hal tersebut juga terhadi pada ilmu tafsir yaitu
para tabi’in mengambil dari sahabat, dan sahabat mengambil dari Nabi shallallahu‘alaihi
wassallam.
Diantara para tabi’in itu ada yang menghabiskan usianya dan waktunya untuk duduk belajar
terus menerus bersama sahabat, hingga mereka mamahami tafsir Al-qur’an.
Mujahid (salah satu tabi’un) mengatakan dari Ad-darimy : “ Aku telah membacakan
Al-qur’an kepada Ibnu Abbas 3 kali putaran Al-qur’an, aku berhenti pada setiap ayat dan aku
bertanya kepada Ibnu Abbas sebab turunnya ayat dan isi atau kandungan ayat tersebut.

Ibnu Abbas adalah salah seorang sahabat yang paling faqih dalam ilmu tafsir Al-qur’an.
Abu Al-Jauza Al-Rabi’i berkata bahwa beliau telah mengunjungi Ibnu Abbas dirumahnya
selama 12 tahun, tidak ada satu ayatpun dari Al-qur’an kecuali telah aku tanyakan
semuanya. ( Diriwayatkan oleh Ibnu Said ).
Para tabi’in itu sangat bersemangat dalam memahami makna-makna Al-quran Al Karim
dengan cara bertanya kepada para sahabat.
Hal ini dapat disimpulkan bahwa bertahannya mereka, terprosesnya mereka dan
bertahapnya mereka dalam mempelajari Al-qur’an satu persatu ayat ini menunjukkan
kepada kita bahwasanya ilmu tafsir itu adalah :
“ Asalnya tafsir Al-qur’an tersebut merupakan ilmu yang didapatkan dengan cara menukil
atau mengambil perkataan atau penjelasan dari pengajar, bukan ilmu yang bisa dibuat-buat
dari pendapat kita. Sebagaimana ketika kita mempelajari Al-Qur’an kita juga
mempelajarinya dengan guru dan mendengar langsung dari guru.

Maka menukil dari golongan yang terpecaya yaitu para sahabat dan seterusnya itu adalah
sebuah rukun yang sangat pokok dalam tafsir al-qur’an , sebagaimana juga terjadi dalam
belajar membaca Al-Quran, kita tidak bisa membaca Al-quran dengan baik dan benar kecuali
dari guru yang memiliki Sanad, jadi kita tidak boleh mengambil tafsir dari saiapa saja, harus
diteliti benar-benar dari orang yang memang ahlunya dan memang mendapatkannya dari
para tabi’in dan sahabat.
Begitulah para sahabat mengambil tafsir dari Nabi shallallahu‘alaihi wassallam dan para
tabi’in mengambil tafsir dari para sahabat.
BAB II
IKHTILAF ULAMA SALAF DALAM TAFSIR
ADALAH IKHTILAF TANAWU’

Mushonnif Ibnu Taimiah berkata bahwa :


Perselisihan yang terjadi diantara ulama salat dalam hal tafsir itu sedikit sekali.
Perselisihan yang terjadi dalam hal hukum-hukum lebih banyak daripada dalam hal tafsir.
Umumnya perselisihan yang terjadi diantara mereka adalah Ikhtilaf Tanawu’ atau
perselisihan yang bermacam-macam bukan Ikhtilaf At-tadlodl atau perselisihan yang
berlawanan.
Asy-Syarikh Syaikh Shalih Al-Ushaimi menjelaskan bahwa ikhtilaf atau perselisihan
dalam hal tafsir terjadi diantara sahabat dan tabi’in. Namun perselisihan pada tabi’in lebih
banyak terjadi daripada golongan sahabat.
Kemudian beliau menjelaskan bahwa perselisihan yang terjadi diantara mereka adalah
Ikhtilaf Tanawu’ atau perbedaan pendapat yang variatif dan saling melengkapi bukan
Ikhtilaf At-tadlodl atau perbendaan pendapat yang saling betentangan.

Bentuk perselisihan/perbedaan pendapat itu ada 2 macam yaitu :


1. Ikhtilaf Tanawu’ : perselisihan yang mungkin dalam perselisihan tersebut ada 2
makna yang sama-sama besar.
2. Ikhtilaf At-tadlodl : perselisihan yang tidak mungkin adanya 2 makna yang sama-
sama benar, tapi saling bertentangan ( dan ini tidak terjadi di jaman sahabat, yang
terjadi di masa sahabat adalah Ikhtilaf Tanawu’ dan itupun sedikit sekali)

Kemudian Ibnu Taimiah menyebutkan bahwa Ikhtilaf Tanawu’ atau perselisihan pendapat
yang saling melengkapi dalam hal tafsir kembali kepada 2 bentuk penafsiran utama :
a. Masing – masing dari mereka menyampaikan suatu maksud yang sama dengan cara
menyebutkan lafadz yang berbeda-beda, tidak sama dengan sahabat yang lain.
Maka penyampaian-pernyampaian tersebut tetap saja kembali pada suatu makna yang
sama. Namun hal tersebut menunjukkan pada suatu makna yang tidak ada pada yang
lain. Sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiah bahwa :
“ Penyampaian tadi merupakan penyampaian Al Asma Al Mutakafiah atau nama-nama
yang saling melengkapi yaitu dengan menyebutkan mutarodifah (sinonimnya) atau
mutabayinah (penjelasannya) dalam bentuk sifatnya, perbuatannya atau kejadiannya
yang lebih lengkap.

Asma Al – Mutakafiyah atau nama-nama yang saliang melengkapi adalah :


Dzat atau maksudnya hanya satu tapi sidatnya berbeda-beda.

Contohnya adalah nama-nama Allah, nama-nama Rosululloh shallallahu‘alaihi wassallam


dan nama-nama Al-qur’an . Maka sesungguhnya nama-nama itu menunjukkan pada satu
dzat yang sama, tapi sifatnya berbeda-beda.
Misalnya :
Diantara nama-nama Allah ada nama “ Ar-Rahman dan Al-Aziz” kedua nama ini
menunjukkan satu dzat yang sama yaitu Allah. Tapi sifatnya berbeda=beda.
Ar-Rahman menunjukkan Allah bersifat Rahmah atau penuh kasih sayang, selanjutnya
Al-Aziz menunjukkan bahwa Allah bersifat Al Izzah atau kemuliaan.

Jenis yang pertama dari Ikhtilaf Tanawu’ yaitu menyebutkan satu maksud dengan cara
yang berbeda-beda itu ada 3 macam atau 3 bentuk yakni :
1. Menafsirkan sebuah kalimat dengan apa yang menjadi maknanya dia, baik makna
secara syar’i maupun secara bahasa.
Contoh :
Firman Allah :

Penafsiran yang pertama ini yaitu menafsirkan .....................


dengan ............................ Penafsiran dalam bentuk ini adalah menafsirkan secara
syar’i sebagaimana hadits Nabi shallallahu‘alaihi wassallam dari Abdul Rahman bin
Jubair bin Nuqail. Dari ayahnya dari Nawas bin Sam’an bahwa Nabi shallallahu‘alaihi
wassallam bersabda :
Maka yang menafsirkan .......... dengan ................ adalah merupakan bentuk
penafsiran secara syara’.

2. Menafsirkan kalimat dengan makna yang terkandung didalamnya.


Contoh :
Pada bentuk kedua ini menafsirkan kalimat ......................... dengan ............ yang
artinya jalan penghambaan dengan ini merupakan bagian dari Shirothol Mustaqim ,
karena orang yang mau berjalan di jalan yang lurus harus menempuh jalan
penghambaan yakni menjadikan dirinya benar-benar menjadi seorang hamba.
Karena Agama Islam itu melazimkan seseorang itu menjadi hamba Allah Azza Wajalla
yang berjalan di jalan penghambaan.

3. Menafsirkan kalimat dengan makna


Kelaziman atau yang menjadi konsekwensinya
Contoh :
Pada bentuk ketiga ini menafsirkan .......... dengan ............
Penafsiran ini menafsirkan kaliamt dengan bentuk makna kelaziman, karena
Al-qur’an adalah kitab suci umat islam. Maka bila ingin menempuh Sirothol
Murtaqim harus menempuh dan menggunakan Al-qur’an.

Ketiga macam penafsiran yang muat dari salaf ini terkait ayat .............. semuanya shohih,
tetapi bentuk penafsiran atau tempat kembalinya berbeda-beda.
( Bagian kedua dari Ikhtilaf Tanawu’ )
Para penafsir Al-quran menyebutkan nama-nama yang umum dari tafsirannya dengan cara
menyebutkan permisalan yang berbeda-beda. Seolah-olah itu khilaf padahal contoh saja
dan dengan cara menyebutkan sobabun nuzul (sebab turunnya ayat).

Anda mungkin juga menyukai