Anda di halaman 1dari 199

RINGKASAN SIRAH NABAWIYAH

P E N D A H U L U A N (Sirah Nabawiyah)
Mempelajari Islam tidak cukup hanya dengan membaca kitab sucinya saja yaitu Al-Quranul
Karim. Mengapa demikian? Ada beberapa penyebab mengapa untuk mengenal ajaran Islam
tidak cukup hanya dengan membaca kitab suci agama tersebut.

Al-Quran adalah kitab suci yang diturunkan kepada Rasulullah Muhammad SAW melalui
perantaraan malaikat Jibril as. Sebelum kitab ini Allah swt pernah menurunkan beberapa
kitab kepada para rasul, diantaranya kitab Zabur kepada nabi Daud as, kitab Taurat kepada
nabi Musa as dan kitab Injil kepada nabi Isa as Kitab-kita tersebut diturunkan melalui
malaikat yang sama, yaitu Jibril as.

Diantara kitab-kitab tersebut terdapat sejumlah perbedaan dan persamaan. Persamaan


yang mendasar adalah perintah untuk menyembah hanya kepada Allah swt. Sedangkan
perbedaan mencolok terletak dari cara turunnya. Al-Quran turun secara berangsur-angsur,
yaitu selama 22 tahun 2 bulan dan 22 hari. Ayat –ayat tersebut turun tidak dengan urutan
seperti yang kita lihat saat ini. Malaikat Jibrillah yang memberitahukan langsung kepada
Rasulullah bagaimana letak dan susunan ayat dalam surat harus diletakkan.

Perumpamaannya adalah seperti rak lemari kosong yang telah diberi sekat, no dan tanda.
Kemudian Rasulullah tinggal memasukkan dan menyelipkannya sesuai no dan tanda yang
tertera. Susunan Al-Quran yang seperti ini sesuai dengan kitab yang ada disisi-Nya dan
dijaga ketat oleh para malaikat, yaitu yang ada di Lauh-Mahfuz.

“Maka Aku bersumpah dengan tempat beredarnya bintang-bintang. Sesungguhnya sumpah


itu adalah sumpah yang besar kalau kamu mengetahui, sesungguhnya Al Qur’an ini
adalah bacaan yang sangat mulia, pada kitab yang terpelihara (Lauh Mahfuzh),
tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan. Diturunkan dari Tuhan
semesta alam. Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al Qur‟an ini?”
(QS.Al-Waqiyah(56):75-81).

Berkenaan dengan ayat diatas, Ad-Dhahak meriwayatkan dari Ibnu Abbas ra:”Al-Quran
diturunkan secara keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh Mahfuz, melalui duta-duta
malaikat penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut menyampaikannya
kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam dan selanjutnya diturunkan pula
oleh Jibril as kepada Rasulullah SAW secara berangsur-angsur selama 23 tahun”. (22
tahun, 2 bulan 22 hari). Itu pula yang ditafsirkan Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu Hazrah.

Ayat-ayat turun begitu saja tanpa penyebab tetapi tidak jarang pula diturunkan sebagai
jawaban suatu permasalahan atau keadaan tertentu dan bahkan ada yang turun atas
pertanyaan pribadi. Ini yang menjadi penyebab utama mengapa kitab suci ini tidak dapat
dibaca layaknya kitab-kitab lain, yaitu dibaca berurut dari depan ke belakang lalu
memahaminya secara tekstual.

Untuk dapat memahami dengan baik apa yang dimaksud ayat-ayat Al-Quran diperlukan
pemahaman latar belakang, keadaan dan suasana ketika ayat turun disamping memahami
bahasa Arab, arti secara bahasa maupun secara istilah, khususnya yang berlaku umum
pada masa itu. Itulah urgensi mengenal, mengetahui dan memahami sejarah
kehidupan Muhammad SAW, nabi yang mendapat kehormatan untuk menerima kitab suci
ini. Itulah yang disebut Sirah Nabawiyah.

Muhammad SAW adalah seorang hamba Allah yang sejak kecil bahkan calon ayah
ibunyapun telah dipersiapkan secara matang oleh Sang Khalik. Beliau adalah seorang
hamba pilihan yang telah ditunjuk secara terhornat untuk mengemban tugas maha berat,
yaitu menerima wahyu Allah dan kemudian menyampaikannya kepada umat manusia. Yang
tak lama setelah menunaikan misi suci tersebut dengan sangat memuaskan maka Allahpun
memanggilnya. Subhanallah …

Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah inilah kita dapat mengetahui makna sebenarnya
perintah dan maksud ayat-ayat suci al-Quran. Dengan mempelajari Sirah Nabawiyah kita
dapat mengetahui bagaimana Rasulullah memahami dan merespons perintah-perintah
Tuhannya. Uniknya, kadang perintah tersebut direspons Rasulullah tidak secara
kontekstual. Contohnya adalah cara berwudhu.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka
basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan
(basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki,…”. (QS Al-Maidah (5): 6).

Dalam prakteknya Rasulullah menyempurnakan wudhu dengan membasuh tapak tangan,


berkumur, memasukkan dan megeluarkan air dari hidung serta membasuk kedua telinga.
Dan Allah SWT tidak melarang hal tersebut. Artinya Sang Khalik meridhoi apa yang
dilakukan nabi. Jadi selama Allah swt mendiamkan dan tidak menegur apa yang dilakukan
Rasulullah, wajib kita mencontohnya.

“Barang siapa yang menaati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menaati Allah.Dan
barang siapa yang berpaling (dari ketaatan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka. (QS.An-Nisa(4):80).

Dari sini tampak jelas bahwa untuk memahami Al-Quran tidak cukup hanya dengan
sekedar membacanya kemudian mengartikan dan menafsirkannya sesuai pengetahuan dan
pengertian akal kita.

Para sahabat yang ketika itu sedang berada di sisi Rasulullah adalah saksi turunnya ayat-
ayat. Mereka tahu persis bunyi ayat yang turun karena Rasulullah memang selalu langsung
menyampaikan apa yang diterimanya itu. Beliau bahkan memerintahkan mereka untuk
segera menghafalnya. Meski demikian dalam penerapannya mereka tetap mengerjakan
apa yang dicontohkan junjungan mereka itu.

Sebaliknya, bila dalam perjalanannya ternyata ada sejumlah perbedaan penafsiran, ini
harus dimaklumi. Karena Rasulullah pada awalnya memang melarang menuliskan apa
yang dikatakan, dikerjakan dan diamnya Rasulullah karena khawatir bercampur dengan
ayat-ayat Al-Quran itu sendiri. Namun Rasulullah tetap memerintahkan para sahabat agar
mengingat, mencatat dalam hati dan kemudian meneruskan serta menyampaikannya
kepada yang lain. Yang juga harus diingat, ada saat-saat dalam keadaan dan situasi
tertentu dimana Rasulullah menyikapinya dengan sikap dan cara berbeda.

Ini yang menjadi penyebab menambahnya perbedaan hadits. Beruntung beberapa tahun
setelah wafatnya Rasulullah, sejumlah sahabat dan para tabi‟in segera memutuskan untuk
menuliskannya. Ini dilakukan demi menjaga agar hadist tetap terjaga (dengan bermacam
perbedaannya) dan tidak makin sering dipalsukan baik sengaja maupun tidak.

Tampaknya ini sudah menjadi sunatullah. Perbedaan selama bukan mengenai hal-hal yang
pokok dan masih mengikuti apa yang pernah dicontohkan Rasulullah tetap dibenarkan. Kita
tidak boleh saling merasa bahwa kitalah yang benar dan pihak lain salah.

“Perbedaan pendapat (di kalangan) umatku adalah rahmat”. (HR. Al-Baihaqi).

Sebaliknya orang yang suka mencari-cari perbedaan secara sengaja, diantaranya dengan
mentakwilkan ayat-ayat Mutasyabihat, Allah melaknatmya. Tempat mereka adalah neraka
jahanam. (Ayat Mutasyabihat adalah ayat-ayat yang samar, yang seringkali membutuhkan
pemikiran yang bahkan seringkali memang tidak dapat ditakwilkan. Contohnya
adalah”Mim”,”Nuun”,”Alif Laam Miim”) dan yang semacamnya.

“Dia-lah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur‟an) kepada kamu. Di antara (isi) nya ada ayat-
ayat yang muhkamaat itulah pokok-pokok isi Al Qur‟an dan yang lain (ayat-ayat)
mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada
kesesatan, maka mereka mengikuti sebagian ayat-ayat yang mutasyabihat untuk
menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya, padahal tidak ada yang
mengetahui takwilnya melainkan Allah”.(QS.AliImran(3):7).

Rasulullah SAW telah lama meninggalkan kita. Demikian pula para sahabat dan para tabi‟in
beserta generasinya. Allah SWT memerintahkan umat Islam tidak hanya mematuhi Allah
dan rasul-Nya namun juga para ulil amri atau pemimpin yang menjunjung tinggi ayat-ayat-
Nya. Demi mencegah perpecahan dan memberi manfaat yang banyak bagi umat, mereka
diberi keleluasaan memaknai ayat-ayat suci Al-Quran dan hadits. Inilah ijma dan istihad
yang bisa menjadi rujukan umat.

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka
kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur‟an) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar
beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih
baik akibatnya”.(QS.An-Nisa‟(4)59).

Adalah tugas kita, umat Islam, saat ini, untuk menjaga kesucian dan keutuhan Al-Quran,
isi dan maknanya. Para hafidz adalah garda terdepannya. Sementara kaum Muslimin dan
Muslimat, secara keseluruhan, wajib menjaganya minimal dengan mengetahui bagaimana
Rasulullah menyikapi dan memaknai isi Al-Quran tersebut. Inilah urgensi mengenal Sirah
Nabawiyah.

I. Asal muasal Tahun Gajah.


Adalah Abrahah, yang hidup jauh sebelum Islam lahir. Ia adalah seorang penguasa
Habasyah (Ethiopia) yang berhasil menguasai Yaman, sebuah negeri yang sekarang
ini berada di semenanjung selatan Arabia. Di negeri jajahan barunya ini ia membangun
sebuah gereja besar yang dinamainya Qullais. Abrahah membangun gereja tersebut bukan
semata-mata sebagai tempat ibadah umat Nasrani. Ia mempunyai maksud lain. Hal ini
terlihat jelas dalam surat yang dikirimkannya kepada raja Habasyah ketika itu yaitu Najasyi
(Negus).
“Baginda, kami telah membangun sebuah gereja yang tiada taranya sebelum itu. Kami tidak
akan berhenti sebelum dapat mengalihkan perhatian orang-orang Arab kepadanya
dalam melakukan peribadatan yang selama ini mereka adakan di Ka‟bah”.

Ketika itu Ka‟bah di Mekkah memang sudah merupakan pusat peribadatan terbesar di
semenanjung Arabia. Mendengar berita ini, seorang Arab yang menjadi penjaga Ka‟bah
sengaja mendatangi Qullais dengan maksud mempermalukan Abrahah. Ia dikabarkan
mengotori bagian-bagian penting gereja megah tersebut dengan tinja.

Tentu saja tindakan tersebut membuat Abrahah marah besar. Ia bersumpah akan
membalas perbuatan kotor tersebut dengan menghancurkan Ka‟bah yang dari semula
memang sudah dibencinya. Maka berangkatlah Abrahah dengan membawa pasukan
gajahnya yang besar menuju Mekkah.

Pasukan Abrahah adalah pasukan yang amat kuat dan sangat ditakuti musuh. Selama
perjalanan pasukan ini berhasil menaklukan orang-orang yang berusaha melawannya.
Hingga akhirnya sampailah ia di gerbang kota Mekkah tanpa perlawanan yang berarti.

Di tempat ini ia berhadapan dengan penguasa Mekkah yaitu Abdul Mutthalib bin Hasyim,
seorang pemuka Quraisy yang disegani. Ialah yang selama ini bertanggung jawab terhadap
Ka‟bah termasuk pelaksanaan ibadat haji yang telah dikenal sejak dahulu kala. Abrahah
mengatakan bahwa kedatangannya ke Mekkah bukan untuk memerangi penduduk Mekkah
melainkan untuk menghancurkan Ka‟bah. Ia juga menambahkan apabila mereka tidak
melawan maka ia tidak akan menumpahkan darah.

“Kami tidak berniat hendak memerangi Abrahah karena kami tidak memiliki kekuatan untuk
itu. Rumah suci itu (Ka‟bah) adalah milik Allah yang dibangun oleh nabi Ibrahim as. Jika
Allah hendak mencegah penghancurannya itu adalah urusan Pemilik Rumah suci itu tetapi
jika Allah hendak membiarkannya dihancurkan orang maka kami tidak sangggup
mempertahankannya”, begitu jawaban diplomatis Abdul Mutthalib.

Dengan demikian pasukan Abrahahpun mustinya tanpa hambatan dapat melaksanakan


keinginan menggebu-gebu pemimpin mereka untuk menghancurkan bait Allah. Sementara
itu Abdul Mutthalib sebagai pemimpin Mekkah hanya dapat memerintahkan penduduk untuk
segera pergi dan berlindung.
Namun apa yang kemudian terjadi? Dari balik persembunyian di tebing-tebing tinggi batu
cadas yang mengelilingi kota Mekkah, penduduk dengan mata kepala sendiri dapat
menyaksikan betapa ribuan burung kecil bernama Ababil berterbangan cepat menuju
Ka‟bah. Sementara itu ada laporan bahwa gajah-gajah yang dibawa pasukan Abrahah itu
mogok. Ketika gajah dihadapkan kea rah Ka‟bah, ia segera bersimpuh dan tidak mau
berdiri. Dan ketika ia dihadapkan ke arah Yaman, ia segera lari tergopoh-gopoh.

Yang lebih mencengangkan lagi, burung-burung kecil tersebut masing-masing membawa 3


buah batu kecil. Satu di paruh dua lainnnya di kaki kanan dan kiri mereka. Anehnya
walaupun batu-batu tersebut sebenarnya hanya sebesar biji gandum namun ketika
mengenai tubuh orang yang dijatuhinya iapun binasa!

Dalam keadaan panik pasukan Abrahah berlarian kian kemari. Banyak diantara mereka
yang meninggal dunia. Sementara Abrahah sendiri dalam keadaan luka parah di gotong
pasukannya kembali ke negerinya. Darah dan nanah terus mengucur dari sekujur tubuh dan
kepalanya. Ia wafat begitu tiba d Shan‟a karena jantungnya pecah hingga mengeluarkan
banyak darah dari hidung dan mulutnya.

Beberapa tahun kemudian peristiwa yang makin membuat harum nama bani Quraisy
sebagai penjaga Ka‟bah yang dilindungi Tuhannya ini diabadikan-Nya dalam salah satu
surat Al- Quranul Karim, yaitu surat Al-Fiil yang berarti gajah. Surat ke 105 ini diturunkan di
Mekkah.

“Apakah kamu tidak memperhatikan bagaimana Tuhanmu telah bertindak terhadap tentara
bergajah? Bukankah Dia telah menjadikan tipu daya mereka (untuk menghancurkan
Ka`bah) itu sia-sia? Dan Dia mengirimkan kepada mereka burung yang berbondong-
bondong yang melempari mereka dengan batu (berasal) dari tanah yang terbakar lalu Dia
menjadikan mereka seperti daun-daun yang dimakan (ulat)”.

Tahun di waktu terjadi peristiwa tersebut kemudian dinamakan tahun Gajah. Tahun ini
bersamaan dengan tahun 571 M. Di tahun inilah Rasulullah Muhammad SAW dilahirkan.

II. Silsilah Rasulullah.


“Allah senantiasa memindahkan diriku dari tulang-tulang sulbi yang baik ke dalam rahim-
rahim yang suci, jernih dan terpelihara. Tiap tulang sulbi itu bercabang menjadi dua, aku
berada di dalam yang terbaik dari dua tulang sulbi itu”. (Hadits Syarif).
Muhammad SAW lahir dari seorang ibu bernama Aminah binti Wahb. Hadist diatas adalah
cerminan bahwa Aminah adalah seorang perempuan yang suci dan terpelihara. Ayah
Aminah adalah seorang terkemuka dari bani Zuhrah. Moyangnya adalah berasal dari bani
„Abdu Manaf bin Zuhrah bin Kilab. Sementara moyang ibu Aminah adalah „Abdu „Manaf bin
Qushaiy bin Kilab. Jadi nasab mereka bertemu di Kilab.

Sementara itu ayah Muhammad SAW adalah Abdullah bin Abdul Mutthalib bin Hasyim bin
„Abdu „Manaf bin Qushaiy bin Kilab. Dari sini dapat kita ketahui bahwa nasab Rasulullah dari
pihak ayah dan ibu juga bertemu di Kilab. Mereka adalah termasuk ke dalam kabilah
Quraisy yang dikenal selain sebagai keluarga pedagang yang handal dan sukses juga
dihormati sebagai penjaga Ka‟bah yang baik dan bijaksana. Kilab sendiri adalah 15 generasi
dibawah Adnan, keturunan Ismail as.

Untuk diketahui, menjadi penjaga Ka‟bah termasuk menjaga sumber air zam-zam adalah
merupakan suatu kehormatan. Itu sebabnya sejak wafatnya nabi Ismail as sekitar 4000
tahun silam perselisihan dalam rangka merebut hak untuk menjaga rumah yang disucikan
tersebut sering kali terjadi. Diantara tugas penting penjaga Ka‟bah adalah bertanggung-
jawab terhadap kelangsungan upacara haji seperti tawaf, sai, pembagian air zam-zam,
pembagian makanan, keamanannya dll.

Tak seorangpun yang tak kenal Abdul Mutthalib. Ia adalah seorang kabilah Quraisy dari bani
Hasyim sejati, penjaga Ka‟bah yang amat dihormati. Abdul Mutthalib mempunyai 10 orang
anak lelaki. Abdullah adalah yang termuda.

Menurut kabar, tiga puluh tahun sebelum kelahiran Abdullah lelaki gagah ini pernah
bernazar bahwa ia akan berkurban dengan menyembelih salah satu putranya bila ia
memiliki 10 anak lelaki. Pada waktu itu masyarakat Arab memiliki keyakinan bahwa anak
lelaki adalah lambang kehormatan. Sebaliknya anak perempuan adalah lambang kegagalan,
kenistaan dan keterpurukan.

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke
dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan
itu”.(QS. An-Nahl(16):58-59).
Hingga saat itu nazar tokoh Quraisy ini memang belum dipenuhi walaupun ia telah memilki
10 anak lelaki. Namun orang yang mengenalnya dengan baik yakin bahwa suatu saat nanti
pasti Abdul Mutthalib akan melaksanakan nazar tersebut. Bagi masyarakat Arab apalagi bila
yang bernazar itu adalah pemuka Mekah dan penjaga Ka‟bah, nazar baik itu untuk kebaikan
atau keburukan adalah suatu janji tertinggi terhadap Sang Khalik. Menurut keyakinan
mereka tidak memenuhi nazar adalah dosa besar. Sementara bagi pemuka masyarakat
tidak memenuhi nazar sama dengan mencoreng muka sendiri. Kehormatan adalah
taruhannya.

Itu sebabnya suatu hari Abdul Muttahlib mengumpulkan ke 10 anaknya untuk diundi siapa
yang harus disembelih. Abdul Mutthalib sebenarnya bukanlah lelaki kasar dan jahat. Ia
hanya terikat dengan nazarnya sendiri yang di belakang hari ternyata amat membuatnya
tertekan. Ia amat berharap kalau saja undian itu tidak jatuh ke putra bungsunya, Abdullah
yang sangat disayanginya itu sudah merupakan keberuntungan yang besar baginya.

Namun apa boleh buat undian justru jatuh kepada Abdullah. Walaupun kecewa, Abdul
Mutthalib tetap terlihat tegar melaksanakan nazarnya. Tampak bahwa kecintaannya
kepada Sang Khalik dan harga dirinya lebih tinggi daripada hatinya yang hancur.

Di tengah suasana tegang itulah tiba-tiba terdengar bisik-bisik bahwa masyarakat tidak
setuju terhadap perbuatannya itu. Seorang pemuka Quraisy lainnya akhirnya tampil dan
mengingatkan bahwa perbuatan Abdul Mutthalib itu dapat menjadi contoh yang tidak baik.
Bagaimanapun mereka tidak setuju, menyembelih anak sendiri apalagi anak lelaki adalah
suatu perbuatan yang tidak dapat dibenarkan. Mereka menganjurkan agar Abdul Muthalib
segera pergi mencari seorang ahli nujum untuk menanyakan apa yang sebaiknya ia
perbuat.

Beruntunglah, ternyata sang ahli nujum yang dipercaya masyarakat itu menganjurkan agar
Abdul Mutthalib menebus anak lelaki kesayangannya itu dengan menyembelih 100 ekor
unta. Dengan demikian maka Abdul Mutthalibpun bebas dari nazarnya.

Pernikahan dan kehidupan Abdullah bin Abdul Mutthalib dengan Aminah binti Wahb.

Abdul Muthalib telah bebas dari nazarnya. Sekarang ia dapat hidup dan berpikir lebih
tenang. Abdullah, putra bungsunya telah cukup dewasa. Sudah waktunya ia menikah dan
berkeluarga. Sebagai ayah yang baik ia tahu betul siapa jodoh yang paling tepat bagi
putranya itu.
Sejak kecil Abdullah telah mengenal Aminah binti Juhra dengan sangat baik. Keluarga
Aminah adalah keluarga yang memiliki reputasi baik di mata masyarakat Mekkah. Kedua
keluarga telah menjalin hubungan sejak lama. Sebagai ayah yang penuh perhatian,
walaupun ia sibuk dengan berbagai urusan kota Mekkah yang dipimpinnya, ia menyadari
bahwa putranya itu memiliki perasaan khusus terhadap Aminah. Karena kebiasaan dan adat
Arab, keduanya memang sejak lama tidak pernah bertemu lagi. Sesuai adat yang berlaku
turun temurun, begitu Aminah menginjak usia remaja, ia tidak lagi dapat keluar rumah
secara bebas. Ia dipingit hingga seorang lelaki melamarnya.

Itu sebabnya masyarakat tidak terkejut ketika suatu ketika Abdul Mutthalib datang
menemui keluarga Aminah untuk melamarnya. Gayungpun bersambut. Dengan suka cita,
atas persetujuan sang gadis, keluarga Aminahpun menerima lamaran tersebut. Maka tanpa
menunggu lebih lama lagi menikahlah keduanya. Tentu saja masyarakat kota Mekkah ikut
berbahagia mendengar pernikahan dua anggota kabilah Quraisy dari bani Hasyim dan bani
Zuhrah yang mereka hormati tersebut.

Sayangnya bulan madu yang dilalui pasangan muda tersebut amatlah singkat. Tak lebih
dari sepuluh hari kemudian tugas telah menanti. Abdullah harus segera kembali bergabung
dengan kafilah dagang keluarganya. Mereka akan mengadakan perjalanan jauh yang telah
lama dijalani keluarga besar Quraisy, yaitu ke Syam. Orang-orang Quraisy memang
terbiasa pergi berdagang ke utara (Syam)pada musim panas dan ke selatan (Yaman ) pada
musim dingin.

“Karena kebiasaan orang-orang Quraisy (yaitu) kebiasaan mereka bepergian pada musim
dingin dan musim panas. Maka hendaklah mereka menyembah Tuhan Pemilik rumah ini
(Ka`bah). Yang telah memberi makanan kepada mereka untuk menghilangkan lapar dan
mengamankan mereka dari ketakutan”.(QS.Quraisy(106):1-4).
Namun waktu yang amat singkat tersebut bukannya berarti tidak memiliki makna penting.
Karena beberapa hari setelah pernikahan Aminah sempat bercerita kepada suaminya
tercinta bahwa ia bermimpi melihat sinar terang benderang memancar di sekeliling dirinya.
Sinar itu begitu terang hingga seakan ia bisa melihat istana Buchara di Syam. Kemudian ia
mendengar suara:”Engkau telah hamil dan akan melahirkan orang termulia di kalangan
umat ini”.

Tampaknya mimpi inilah yang menjadi penyemangat hidup Aminah selama kepergian
Abdullah. Ia benar-benar menyadari bahwa perjalanan dagang yang dijalani suaminya bakal
memakan waktu berminggu-minggu bahkan mungkin bulanan. Ya Aminah harus sabar.
Hingga suatu hari di bulan kedua ia mendengar kabar kedatangan rombongan dagang
suaminya. Sungguh senang hati Aminah. Ia segera mempersiapkan diri menyambut
kepulangan suami tercinta.

Namun kegembiraan itu segera sirna karena ternyata Abdullah tidak berada di antara
rombongan tersebut. Abdul Mutthaliblah yang langsung datang mengabarkan bahwa
Abdullah tiba-tiba menderita demam tinggi ketika dalam perjalanan pulang. Akhirnya ia
terpaksa ditinggalkan di Yatsrib (Madinah).

“Tidak usah terlalu khawatir anakku. Suamimu akan segera kembali begitu ia pulih. Aku
telah meminta Al-Harits, saudaranya, agar menjaganya selama ia sakit. Bersabarlah
Aminah, berdoalah agar ia segera sehat”, begitu hibur Abdul Mutthalib kepada menantunya.

Tetapi rupanya Allah berkehendak lain. Setelah menanti dua bulan lamanya akhirnya Al-
Harits pulang ke Mekkah sendirian dengan membawa kabar duka bahwa adik bungsunya
yang baru beberapa bulan lalu lolos dari nazar ayahnya yang mengerikan itu, telah
meninggal dunia.

Betapa berdukanya Aminah. Dalam usianya yang masih demikian muda ia harus kehilangan
suami yang telah memberinya kebahagiaan walau hanya sejenak. Dan dalam keadaan hamil
pula.

III. Kelahiran dan masa kecil Muhammad SAW.


Muhammad SAW dilahirkan pada hari Senin, 12 Rabi‟ul awal di tahun Gajah atau tahun 570
M di kota Mekah. Beliau lahir hanya berselang sekitar 50 hari setelah peristiwa penyerangan
pasukan gajah dibawah pimpinan Abrahah.

Muhammad SAW lahir sebagai anak yatim. Ibunya, Aminah binti Wahb meskipun ketika
melahirkan dalam keadaan duka yang mendalam karena ditinggal wafat sang suami
tercinta, Abdullah bin Abdul Mutthalib, menyambut kelahiran bayinya dengan suka cita.
Mimpinya melihat istana Buchara di Syam dalam taburan cahaya ditambah suara bisikan
bahwa ia akan melahirkan orang besar lah yang mempengaruhi semangat hidupnya.

Aminah terkenang, baru beberapa bulan Abdullah yang ketika itu belum mengawininya
terbebas dari kematian. Karena nazar ayahnya yang berbahaya tersebut dapat ditebus
dengan 100 ekor unta. Namun hanya selang 3 bulan setelah pernikahannya Abdullah pergi
meninggalkannya untuk selamanya. Apa hikmah semua ini?”Allah sengaja menunda
kematian Abdullah agar ia dapat membuahiku dan menitipkan janinnya dalam rahimku. Ini
adalah skenario besar Allah. Anak yang aku lahirkan ini pasti anak yang memilki kedudukan
istimewa disisi-Nya”, begitu pikir Aminah yakin.
Hal pertama yang dilakukan Aminah begitu ia melahirkan adalah mengutus seseorang untuk
melaporkannya kepada sang kakek, Abdul Mutthalib, seorang pemuka Quraisy yang amat
dihormati. Sang kakek inilah yang kemudian memilihkan nama „Muhammad‟ kepada sang
bayi. Abdul Mutthalib memilih nama ini karena ia pernah mendengar beberapa ahli
nujum yang meramalkan akan datangnya nabi di Hijaz dengan nama Muhammad. Perlu
diketahui, Ahmad atau Muhammad dalam bahasa Arab berasal dari akar
kata”Hamida”, yang berarti syukur atau yang terpuji. Namun demikian sebelum kelahiran
Muhammad SAW, ini bukanlah nama yang lazim digunakan.
“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata:”Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku,
yang namanya Ahmad (Muhammad)”Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata:”Ini adalah sihir yang nyata”. (QS.As-
Shaaf (61):6).

Muhammad kecil hanya beberapa hari berada di pelukan ibunda tercinta. Adalah kebiasaan
orang Arab zaman dahulu untuk menyusukan bayi-bayi mereka kepada perempuan-
perempuan Badawi dengan sejumlah imbalan tertentu. Mengapa Badawi? Karena
masyarakat Badawi yang biasanya hidup di pedalaman yang udaranya masih bersih,
dianggap berperangai lurus dan jujur. Jauh dari sifat-sifat buruk yang lazim terdapat di
kalangan masyarakat perkotaan seperti Mekkah. Orang-orang Quraisy sendiri biasanya
memilih perempuan Badawi dari Bani Sa‟ad karena mereka dikenal baik budi bahasa
maupun tutur katanya.

Maka ketika suatu hari datang serombongan perempuan dari bani Sa‟ad mencari anak
untuk disusukan, Aminahpun segera menawarkan bayinya untuk disusui. Namun apa yang
terjadi ? Perempuan-perempuan tersebut menolaknya dengan alasan Aminah hanyalah
seorang janda yang tidak mewarisi harta yang cukup banyak dari suaminya.

Dalam kesedihan dan kekecewaan yang mendalam itulah tiba-tiba salah seorang
perempuan yang baru pagi tadi menolak tawaran menyusui putranya datang kembali.
Perempuan tersebut bernama Halimah As-Sa‟diyyah. Ia kembali setelah tidak menemui
seorang bayipun yang dapat disusuinya. Ia mengatakan kepada suaminya, Al-Harits bin
Abdul „Uzza , yang mendampingi Halimah ke Mekkah, bahwa ia memutuskan akan
menyusui anak yatim cucu Abdul Mutthalib yang ditolaknya pagi tadi.

Ketika itu Al-Harits hanya berkata : ”Tidak ada jeleknya egkau lakukan hal itu, mudah-
mudahan Allah memberkahi penghidupan kita dengan keberadaan anak yatim itu di tengah
keluarga kita”.

Dan nyatanya memang itulah yang terjadi. Keberkahan bermula dengan unta yang
ditunggangi Halimah. Begitu Halimah naik ke atas punggung unta dengan Muhammad kecil
di dekapannya, unta kurus yang tadinya selalu tertinggal jauh di belakang itu tiba-tiba
mampu berlari kencang meninggalkan teman-teman Halimah jauh di belakang.

Demikian juga air susu Halimah yang tadinya tidak terlalu deras tiba-tiba menjadi
berlimpah. Hingga tidak saja Muhammad kecil yang puas menyusu tetapi juga bayi Halimah
sendiri juga demikian. Tidak itu saja. Bahkan unta dan kambing peliharaan keluarga
Halimah yang tadinya kurus kering tiba-tiba menjadi subur. Padahal itu musim paceklik. Tak
satupun unta dan kambing tetangga Halimah yang mampu sedikitpun menghasilkan susu.

Muhammad hidup di tengah keluarga ini hingga usia 5 tahun. Ia belajar bahasa Arab yang
tinggi dan murni dari kabilah bani Sa‟ad yang halus tutur katanya. Tampak bahwa
Muhammad kecil sangat menghayati kehidupan di pedalaman Badawi ini dengan jiwa
yang bebas merdeka. Pengalamannya menggembala kambing di padang rumput yang
memang menuntut kesabaran tinggi amat membekas di hati. Demikian pula kedekatannya
kepada alam bebas terbuka. Hal ini membuat pikirannya jauh lebih dewasa
dibanding anak-anak seusianya yang hidup di kota besar.

Perasaan dan pengalamannya ini pada suatu hari pernah diutarakannya sendiri.”Hampir
semua nabi pernah menggembalakan kambing. Ibrahim dan Isa adalah penggembala
kambing. Musa juga pernah menjadi penggembala kambing. Demikian pula aku”.

Tampak nyata bahwa lama berada langsung di bawah naungan langit terbuka dapat
membuat seseorang lebih bijaksana baik dalam berpikir maupun berprilaku.

“Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan (Kami yang
terdapat) di langit dan bumi, dan (Kami memperlihatkannya) agar Ibrahim itu termasuk
orang-orang yang yakin. Ketika malam telah menjadi gelap, dia melihat sebuah bintang
(lalu) dia berkata:”Inilah Tuhanku”Tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata:”Saya
tidak suka kepada yang tenggelam”. Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia
berkata:”Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam dia berkata:”Sesungguhnya
jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang
sesat”. Kemudian tatkala dia melihat matahari terbit, dia berkata:”Inilah Tuhanku, ini yang
lebih besar”, maka tatkala matahari itu telah terbenam, dia berkata:”Hai kaumku,
sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku
menghadapkan diriku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi dengan cenderung
kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang
mempersekutukan Tuhan”.(QS.Al-An‟am (6):75-79).

Bagi keluarga Halimah, selama 5 tahun itu ada sebuah peristiwa yang tak mungkin mereka
lupakan begitu saja.

“Suatu ketika Muhammad sedang menggembala kambing di belakang rumah. Tiba-tiba


Abdullah, saudaranya laki-laki (anak lelaki Halimah yang sebaya dengan Muhammad) lari
pulang sambil berteriak-teriak. Ia memberitahu bahwa Muhammad diajak oleh dua lelaki
berpakaian serba putih. Kemudian ia dibelah perutnya . …. Aku bersama suamiku segera
menuju ke tempat kejadian. Disana kami melihat Muhammad sedang berdiri dan wajahnya
tampak pucat pasi. Ia segera kami peluk dan kami tanyakan apa yang baru saja terjadi. Ia
menjawab:”Dua orang lelaki berpakaian serba putih datangkepadaku. Kemudian aku
dipegang dan dibaringkan lalu perutku dibedah. Aku tidak tahu apa yang dicari oleh kedua
orang itu !”.

Muhammad kembali ke pangkuan ibundanya tercinta pada usia 5 tahun. Tahun berikutnya
dengan ditemani Ummu Aiman, pembantu setianya, Aminah mengajak putra tunggalnya itu
ke Madinah untuk berziarah ke makam ayahnya. Mereka bertiga selama 1 bulan penuh
berada di tengah keluarga besar Aminah.

Kalau saja Aminah tidak mengingat bahwa kakek dan keluarga besar Hasyim
menanti kepulangan putranya, ia tentu memilih untuk tetap tinggal di Madinah. Apa boleh
buat ia harus kembali. Sayangnya di tengah perjalanan antara Madinah – Makkah, di
sebuah desa bernama Abwa‟ (sekitar 37 km Madinah) Aminah mengalami sakit parah. Tak
lama kemudian iapun wafat. Beliau dimakamkan ditempat itu juga.
Saat menjelang wafatnya, Aminah berkata:”Setiap yang hidup pasti mati, dan setiap yang
baru pasti usang. Setiap orang yang tua akan binasa. Aku pun akan wafat tapi sebutanku
akan kekal. Aku telah meninggalkan kebaikan dan melahirkan seorang bayi yang suci.”

Dengan menangis pilu Muhammad kecil yang kini telah menjadi yatim piatu itu terpaksa
harus menurut dan patuh saja ketika Ummi Aiman mengajaknya untuk segera pulang ke
Mekkah.

Di kemudian hari, Aisyah ra berkata,”Rasulullah SAW memimpin kami dalam melaksanakan


haji wada‟. Kemudian baginda mendekati kubur ibunya sambil menangis sedih. Maka aku
pun ikut menangis karena tangisnya”.

IV. Masa remaja Muhamma d dan perkenalannya dengan Khadijah.


Usai pemakaman Aminah, ummu Aiman segera membawa Muhammad kecil ke rumah
kakeknya, Abdul Mutthalib di Mekkah. Dengan senang hati sang kakek menerima cucu yang
telah yatim piatu itu. Dalam waktu singkat Muhammad dapat melupakan kesedihannya
karena kehilangan ibunda tercinta. Kakeknya mencintainya dengan sangat tulus.

Namun hal ini tidak berlangsung lama. Karena dua tahun kemudian Abdul Mutthalib juga
wafat. Ia wafat dalam usia 80 tahun. Sementara itu Muhammad berusia 8 tahun. Beruntung
menjelang ajalnya, Abdul Mutthalib masih sempat memikirkan masa depan cucu yang amat
disayanginya itu. Ia mengumpulkan ke sembilan anaknya dan berpesan agar mereka
sungguh-sungguh memperhatikan nasib Muhammad. Ia berwasiat agar cucu
kesayangannya itu di pelihara oleh Abu Thalib, salah satu putranya.

Abu Thalib bukan anak sulung dan juga bukan anak yang terkaya. Anak sulung Abdul
Mutthalib adalah Al-Harits. Sedangkan yang paling mampu adalah Al-„Abbas. Namun
demikian Abu Thalib adalah yang paling dihormati masyarakat Mekkah. Ia seorang yang adil
dan amanah. Disamping itu, Abdul Mutthalib juga tahu bahwa putranya ini, seperti dirinya,
juga amat menyayangi Muhammad.

Abdul Mutthalib tidak salah. Abu Thalib bahkan menyayangi Muhammad lebih dari anak-
anaknya sendiri. Demikian pula istri Abu Thalib, Fatimah binti Asad dan anak-anaknya.
Muhammad adalah anak yang menyenangkan. Remaja belia ini tidak berdiam diri melihat
keadaan pamannya yang hidup dalam keadaan kekurangan. Bersama saudara-saudara
barunya Muhammad membantu mengerjakan apa saja yang bisa dikerjakannya. Termasuk
juga menggembalakan kambing seperti ketika beliau tinggal bersama keluarga susuannya
beberapa tahun yang lalu.

Semenjak kecil orang mengenang Muhammad sebagai anak yang berakhlak mulia. Manis
budi bahasanya, jujur, senang membantu orang yang dalam kesusahan dan senantiasa
menjauhkan diri dari perbuatan yang tidak baik.

Ibnu Ishaq mengetengahkan sebuah riwayat yang diterimanya dari Muhammad bin Al-
Hanafiyah dan berasal dari ayahnya, Ali bin Abu Thalib, bahwa Rasulullah pernah bercerita:

“ Aku tidak pernah tertarik oleh perbuatan yang lazim dilakukan orang-orang jahiliyah
kecuali dua kali. Namun dua kali itu Allah menjaga dan melindungi diriku. Ketika aku masih
bekerja sebagai penggembala kambing bersama kawan-kawanku, pada suatu malam
kukatakan kepada seorang dari mereka:”Awasilah kambing gembalaanku ini, aku hendak
masuk ke kota (Mekah) untuk bergadang seperti yang biasa dilakukan oleh kaum pemuda”.
Setibaku di Mekah kudengar bunyi rebana dan seruling dari sebuah rumah yang
mengadakan pesta. Ketika kutanyakan kepada seorang di dekat rumah itu, ia menjawab
bahwa itu pesta perkawinan si Fulan dengan si Fulannah. Aku lalu duduk hendak
mendengarkan tetapi kemudian Allah SWT membuatku tertidur hingga tidak mendengar
apa-apa. Demi Allah aku baru terbangun dari tidurku setelah disengat panas matahari.
Peristiwa ini terulang lagi keesokan harinya. Demi Allah sejak itu aku tidak pernah
mengulang hal-hal seperti itu lagi”.

Suatu hari di usianya yang ke 12, pamannya mengajak bepergian ke negeri Syam bersama
rombongan kafilahnya. Ketika rombongan tiba di sebuah dusun di Bushra, seorang pendeta
Nasrani bernama Bukhairah melihat tanda-tanda kenabian pada diri Muhammad. Ia
memperhatikan adanya sederetan awan yang senantiasa menaungi rombongan dimana
Muhammad berada kemanapun mereka pergi. Didasari rasa penasaran maka iapun
mengundang rombongan tersebut untuk mampir ke kediamannya.

Bukhairah yang dikenal sebagai pendeta yang memahami benar ajarab Nasrani inipun
mengajukan berbagai pertanyaan seputar kehidupan Muhammad muda. Setelah yakin
bahwa semua jawaban cocok dengan apa yang dikatakan kitabnya, iapun berujar kepada
Abu Thalib:

“Bawalah anak saudara anda itu segera pulang dan hati-hatilah terhadap orang-orang
Yahudi. Kalau mereka tahu dan mengenal siapa sebenarnya anak itu mereka pasti akan
berbuat jahat terhadap dirinya. Anak itu kelak akan menjadi orang besar, cepatlah ajak dia
pulang!”.
“Orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang telah Kami beri Al Kitab (Taurat dan Injil)
mengenal Muhammad seperti mereka mengenal anak-anaknya sendiri. Dan sesungguhnya
sebahagian di antara mereka menyembunyikan kebenaran, padahal mereka
mengetahui”.(QS.Al-Baqarah(2):146).

Adalah kebiasaan orang-orang Arab jahiliyah sejak lama untuk berkumpul di pasar-pasar
sekitar kota Mekah, seperti „Ukadz, Majannah dan Dzul Majaz. Ini adalah tempat dimana
para penyair berlomba memamerkan kebolehannya menggubah syair sekaligus
mendeklamasikannya. Biasanya pada bulan-bulan suci tempat ini mencapai puncak
keramaian.

Orang-orang Arab mempercayai bahwasanya bulan Dzulqi‟dah, Dzulhijah, Rajab dan


Muharam adalah bulan-bulan suci yang tidak boleh dinodai oleh segala bentuk kejahatan
dan kemaksiatan. Jadi selama 4 bulan tersebut perang antar kabilah yang biasa terjadi
harus dihentikan. Ke empat bulan tersebut dinamakan sebagai bulan-bulan hurum. Bentuk
jamak dari kata haram.

Selama bulan-bulan yang sangat dihormati oleh semua orang Arab, termasuk pemeluk
Yahudi, Nasrani dan penyembah berhala, mereka bebas melantunkan syair-syair mengenai
pendapat dan kepercayaan masing-masing. Mereka berlomba memperdengarkan dan
memamerkan kehebatan nenek moyang mereka dengan ketinggian mutu bahasa dan
kefasihan mereka mendeklamasikan syair-syair baik yang bersifat romantik maupun heroik.

Dari penyair-penyair Nasrani dan Yahudi inilah orang-orang Arab tahu akan bakal
datangnya nabi baru. Dengan nada mengancam mereka sering berkata:

“Tidak lama lagi akan datang seorang nabi. Kamilah yang akan mengikutinya dan bersama
dia kami akan memerangi kalian hingga kalian mengalami kehancuran seperti yang dialami
kaum „Aad dan Iram dahulu kala”.

Maka sejak pertemuannya dengan pendeta Bukhairah itu, Abu Thalib menjadi lebih lagi
menyayangi ponakannnya. Ia selalu berhati-hati, menjaga dan mengawasinya dengan baik.
Bahkan tak lama setelah itu Abu Thalib dikabarkan tidak pernah lagi berpergian jauh
demi menjalankan perdagangannya. Ia memilih hidup sederhana mengasuh sendiri anak-
anaknya yang cukup banyak itu. Selama itu pulalah Muhammad hidup di tengah keluarga
Abu Thalib dan diperlakukan bagai anak sendiri.

Hingga tiba suatu saat ketika Muhammad mencapai usia 25 tahun, seorang utusan datang
menemuinya. Utusan ini meminta agar Muhammad bersedia ikut dalam kafilah dagang milik
Khadijah ke negeri Syam. Khadijah binti Khuwailid adalah seorang saudagar perempuan
yang kaya raya lagi mulia dan terhormat. Ia biasa mempekerjakan sejumlah lelaki Quraisy
untuk membawa barang dagangannya ke Syam dengan imbalan sebagian dari
keuntungannya.

Ia mendengar kabar bahwa Muhammad berkeinginan untuk ikut dalam rombongan


dagangnya. Sementara itu Khadijah juga pernah diberi tahu bahwa Muhammad adalah
seorang pemuda yang jujur, halus budi bahasanya serta berakhlak mulia. Hal yang teramat
jarang dijumpai di kota Mekah ini. Itu sebabnya tanpa ragu ia menawarkan keuntungan dua
kali lipat dari orang lain bila Muhammad bersedia menerima tawarannya.

Kebetulan Abu Thalib memang sedang dalam kesulitan keuangan. Sebagai anak yang tahu
diri Muhammad segera meminta izin pamannya agar diperbolehkan menerima tawaran
berharga tersebut. Walaupun dengan berat hati akhirnya Abu Thalib menyetujui permintaan
Muhammad. Ia sebenarnya masih merasa khawatir akan keselamatan ponakannya itu
sekalipun Muhammad telah dewasa.

Maka dengan membawa berbagai macam dagangan, berangkatlah Muhammad bersama


rombongan kafilah dagang Khadijah menuju negeri Syam. Disitulah Muhammad
membuktikan kepiawaiannya berdagang. Ia menjual barang dagangan yang dibawanya dari
Mekah dan membeli barang dagang lainnya untuk dibawa kembali ke Mekah. Dengan
kejujuran dan kesantunannya ia bahkan berhasil menarik keuntungan jauh lebih besar dari
pada orang lain yang pernah diutus Khadijah.

Semua ini tidak lepas dari pengawasan dan pandangan kagum Maisarah, pembantu setia
Khadijah yang ikut dalam rombongan tersebut. Ialah yang dengan semangat menceritakan
apa yang dilihatnya itu kepada majikannya begitu rombongan kembali. Hingga membuat
Khadijah bertambah kagum kepada Muhammad, pemuda yang tanpa disadarinya ternyata
telah ditakdirkan-Nya bakal menjadi pendamping hidup terakhirnya.
V.Pernikahan dengan Khadijah dan datangnya wahyu pertama.
Khadijah adalah seorang perempuan terhormat kaya raya yang sukses berkat
kelihaiannya dalam menjalankan usaha perdagangannya. Ia dijuluki „Afifah Thahirah atau
perempuan suci oleh orang-orang disekitarnya. Ia pernah menikah dua kali. Keduanya
wafat ketika masih berstatus sebagai suaminya. Setelah itu Khadijah memutuskan untuk
tidak lagi menikah meski beberapa lelaki terhormat datang melamarnya.

Namun Allah menghendaki lain. Sejak ia mendengar sendiri laporan dari pembantu
setianya, Maisaroh, tentang bagaimana santunnya seorang pemuda bernama Muhammad
yang ditunjuknya untuk membantu menjalankan bisnisnya, hatinya tiba-tiba hidup kembali.
Sebelum itu ia memang pernah mendengar kabar bahwa pemuda Quraisy ponakan Abu
Thalib, cucu Abdul Mutthalib itu memiliki akhlak yang sungguh mulia. Ia dikenal sebagai
pemuda yang jujur dan sopan Sangat berbeda dengan kebanyakan pemuda Mekah yang
gemar bermabuk-mabukan dan pesta pora.

Hal inilah yang membuat Khadijah berpikir ulang.”Pasti ada sesuatu yang istimewa dalam
diri anak muda ini. Dari begitu banyak orang yang pernah aku serahi tugas menjalankan
perniagaan tak satupun yang pernah pulang dengan membawa berkah yang demikian
berlimpah. Dan ini semua berkat kejujuran dan kesantunannya”, pikirnya
keheranan.”Walaupun beda usia antara aku dan dirinya cukup jauh, rasanya bukan hal
mustahil bagi kami untuk bersatu dalam sebuah pernikahan. Semoga firasatku ini firasat
yang baik. Semoga darinya akan lahir anak-anak yang berkwalitas”.

Itu sebabnya maka Khadijahpun memberanikan diri mengutus sahabatnya, Nafisah binti
Muniyah, untuk menanyakan apa yang menjadi penghalang pemuda yang diam-diam telah
mencuri hatinya itu, sehingga ia belum juga menikah.

“Aku tidak pernah berani berpikir ke arah itu karena aku belum memiliki cukup harta untuk
meminang seseorang”, begitu jawaban pendek Muhammad. Maka akhirnya ketika Nafisah
memberitahukan bahwa Khadijah, yang masih memiliki hubungan kekerabatan walau jauh
itu, menginginkan Muhammad melamar dirinya, Muhammad langsung setuju. Ternyata
diam-diam sang pemuda juga menyimpan rasa kagum terhadap Khadijah. Itu sebabnya
Muhammad segera melamarnya.

Dengan persetujuan kedua keluarga besar maka menikahlah Muhammad bin Abdullah
dengan Khadijah binti Khuwailid. Ketika itu Muhammad berusia 25 tahun sementara
Khadijah 40 tahun. Pasangan bahagia ini hingga akhir hayat Khadijah, sang itri tercinta,
yang wafat di usianya yang ke 65 tahun, dikaruniai 4 putri dan 2 putra. Empat putri
mereka adalah Zainab, Ruqaiah, Ummi Kultsum dan Fatimah binti Muhammad. Sedangkan
dua putra mereka adalah Abdullah dan Qasim bin Muhammad. Keduanya meninggal ketika
masih kecil.

Selama 25 tahun pernikahannya itu Muhammad tidak pernah mencoba menambah istri lagi,
bahkan terpikirpun tidak. Padahal adalah hal yang amat lazim bagi pria Arab ketika itu
untuk memiliki istri lebih dari satu.

Begitu menikah Khadijah mempercayakan urusan perniagaannya kepada sang suami.


Sementara ia sendiri lebih konsentrasi kepada urusan rumah tangganya. Namun demikian
ini tidak berarti bahwa Muhammad lepas tangan terhadap urusan yang umumnya dianggap
sebagai urusan perempuan itu. Tidak jarang ia terlihat membantu pekerjaan sehari-hari
Khadijah. Pendek kata meskipun istrinya adalah seorang saudagar kaya raya, Muhammad
tetap sederhana dan bersahaja.

Muhammad bin Abdullah adalah benar-benar contoh yang patut menjadi keteladanan. Ia
amat menyayangi istri dan anak-anaknya yang semuanya perempuan itu. Padahal
masyarakat Arab ketika itu tidak menghargai anak perempuan. Memiliki anak perempuan
dianggap aib yang memalukan bagi kehormatan dan harga diri keluarga.

“Dan apabila seseorang dari mereka diberi kabar dengan (kelahiran) anak perempuan,
hitamlah (merah padamlah) mukanya, dan dia sangat marah. Ia menyembunyikan dirinya
dari orang banyak, disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia
akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke
dalam tanah (hidup-hidup)? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”.
(QS. An-Nahl(16):58-59).
Selama itu pulalah Khadijah memperhatikan bahwa prilaku suaminya tercinta itu tidak
pernah berubah. Sabar, jujur dan amanah adalah sifat utama beliau. Itu sebabnya orang
memberinya gelar Al-Amin (orang yang dipercaya). Ini terbukti jelas pada suatu peristiwa
yang terjadi ketika Muhammad berusia 35 tahun.

Menurut Ibnu Hisyam, salah seorang penulis kitab-klasik Shirah Nabawiyah ternama yang
termasuk orang pertama yang menulis sejarah kehidupan Rasulullah yang hidup pada
sekitar tahun 1100 M, Ka‟bah sebelum zaman Islam telah mengalami pemugaran selama 4
kali.
Pemugaran ke 4 terjadi ketika Muhammad berusia 35 tahun. Pada mulanya pemugaran
berjalan lancar, masing-masing kelompok kabilah bekerja menurut pembagian tugas yang
telah disepakati bersama. Demikian pula Muhammad, ia turut bekerja membantu
pamannya, Al-Abbas bin Abdul–Mutthalib. Namun setelah pemugaran sampai pada tahap
peletakkan kembali batu Hajar Aswad terjadilah perselisihan. Masing-masing kabilah
merasa lebih berhak untuk melasanakan pekerjaan tersebut.

Perselisihan berkembang menjadi pertikaian hingga nyaris terjadi pertumpahan darah. Hal
ini terus memanas hingga berhari-hari. Beruntung akhirnya suasana mendingin setelah
semua pihak mau berkumpul dan berembug. Diputuskan bahwa siapapun yang pertama kali
memasuki pintu Ka‟bah, dialah yang berhak memutuskan perkara.

Tak lama kemudian, dalam suasana tegang tampak Muhammad berjalan menuju pintu
Ka‟bah. Serentak merekapun berucap:”Nah, dialah Al-Amin (orang yang terpercaya), kita
rela dan puas menerima keputusannya.!”. Setelah Muhammad mengetahui duduk
perkaranya, maka iapun meminta selembar kain, lalu setelah kain dihamparkan ia
meletakkan Hajar-Aswad ditengah-tengah kain tersebut.
Kemudian ia berujar:”Setiap kabilah hendaknya memegang pinggiran kain, lalu angkatlah
bersama-sama!”. Setelah kain didekatkan ketempat penyimpanan Hajar-Aswad kemudian
Muhammadpun mengangkat benda tersebut dan meletakkannya pada tempatnya. Dengan
cara itu maka berakhirlah perselisihan dan semua pihak merasa puas.

Menjelang usianya yang ke 40 tahun, Muhammad makin sering pergi menyendiri ke gua
Hira‟ di Jabal Nur, sebuah bukit yang terletak sekitar 6 km sebelah timur Mekah. Tampak
bahwa Muhammad makin hari makin risau melihat masyarakat kotanya yang makin lama
makin rusak akhlaknya. Penyembahan terhadap berhala Latta, Manat dan Uzza, ritual haji
yang makin hari makin liar dimana para jamaah melaksanakan sa‟i dan thawaf dengan
bertelanjang, ritual penyembelihan hewan korban yang darahnya di oleskan ke dinding-
dinding Ka‟bah dsb.

Kesemuanya ini membuat Muhammad yang hatinya masih bersih ini prihatin. Ia yakin
bahwa semua ini tidaklah pada tempatnya. Ia bermunajat memohon petunjuk agar Allah
memberi petunjuk kepada masyarakat apa yang seharusnya mereka lakukan.
Semua ini tidak terlepas dari pengawasan Khadijah. Dengan penuh kesetiaan dan kasih-
sayangnya, ia mengutus salah satu putrinya untuk membawakan makanan sekaligus
menjenguk dan melihat keadaan ayah mereka di atas sana.

Hingga suatu hari di bulan Ramadhan tanggal 17 tahun 611M, Muhammad melihat sebuah
sosok raksasa di atas langit mendekatinya. Sebelum sempat berpikir tentang apa yang
dilihatnya tiba-tiba sosok tersebut telah berada disampingnya dan mendiktekan sebuah
kalimat yang tak akan pernah dilupakannya seumur hidup.

”Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang menciptakan. Dia telah menciptakan
manusia dari segumpal darah. Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah, Yang
mengajar (manusia) dengan perantaraan kalam. Dia mengajarkan kepada manusia apa
yang tidak diketahuinya”. (QS.Al-Alaq (96):1-5).
(Click: http://www.youtube.com/watch?v=aDZNUFcfsvo )

Sosok tersebut memaksanya untuk mengikuti apa yang dikatakannya. Yang ketiga kalinya
akhirnya sosok yang belakangan kemudian dikenalnya sebagai malaikat Jibril itu
mendekapnya kencang-kencang hingga ia merasa tercekik dan lari pulang menuju rumah
dengan perasaan amat ketakutan.

Setibanya di rumah, Khadijah segera menyelimut tubuh sang suami yang berkeringat
dingin tersebut. Muhammad menceritakan apa yang dialaminya. Dengan perasaan dan
pandangan waswas ia memperhatikan reaksi Khadijah, khawatir menganggap dirinya dusta
bahkan mungkin gila !

Alangkah leganya perasaan Muhammad mendapati istrinya tercinta itu ternyata tetap
mempercayainya. Dan hal ini terus dikenangnya hingga jauh setelah kerasulan.

“Di saat semua orang mengusir dan menjauhiku, ia beriman kepadaku. Ketika semua orang
mendustakan aku, ia meyakini kejujuranku. Sewaktu semua orang menyisihkanku, ia
menyerahkan seluruh harta kekayaannya kepadaku.”

VI.Dakwah secara rahasia ( Sirriyatud Dakwah).


Tidak ada sedikitpun alasan bagi Khadijah untuk tidak mempercayai apa yang diceritakan
lelaki yang telah menemaninya dalam suka dan duka selama 15 tahun pernikahan itu.
Muhammad tidak pernah sekalipun berbohong dan ia juga tidak gila. Bahkan dengan kata-
kata lembut namun tegas ia menjawab bahwa tidak mungkin apa yang dilihat suaminya itu
setan ataupun jin karena Muhammad adalah orang yang memiliki sifat dan akhlak terpuji.
Jawaban yang begitu meyakinkan ini tentu saja membuat Muhammad yang tadinya
khawatir bahwa ia telah diganggu jin jahat menjadi tenang kembali.

Itu sebabnya Muhammad tidak menolak ajakan Khadijah untuk menemui Waraqah bin
Naufal demi menanyakan apa yang sebenarnya terjadi. Waraqah adalah sepupu Khadijah
yang dikenal alim. Ia adalah pendeta Nasrani yang menguasai kitabnya dengan sangat baik.
Ialah yang kemudian menerangkan bahwa kitabnya menceritakan apa yang dialami para
nabi sejak dahulu. Menurutnya sosok raksasa yang mendatangi Muhammad dari balik langit
itu adalah malaikat Jibril yang biasa menyampaikan wahyu dari Tuhannya. Ia bahkan
bersumpah bila Muhammad memang adalah nabi, sesuai dengan apa yang telah diramalkan
Injil, kitab sucinya, ia akan menjadi orang yang pertama membaiatnya.

Namun beberapa bulan setelah kejadian di jabal Nur itu Muhammad tidak pernah lagi
didatangi sosok bernama Jibril itu lagi. Muhammad sempat kecewa dan merasa bahwa ia
telah ditinggalkan Tuhannya. Tampaknya Allah sedang menguji kesabaran calon utusan-Nya
ini.

Hingga pada suatu saat, Muhammad kembali melihat sosok tersebut berada di antara langit
dan bumi seraya berkata:”Wahai Muhammad, kamu adalah utusan Allah kepada
manusia”. Muhammad sangat terkejut dan lari ketakutan. Ia segera pulang dan meminta
istrinya menyelimuti dirinya. Namun kali ini mahluk asing tersebut terus mengejarnya dan
berkata:
“Hai orang yang berkemul (berselimut) bangunlah, lalu berilah peringatan! dan Tuhanmu
agungkanlah dan pakaianmu bersihkanlah dan perbuatan dosa (menyembah berhala)
tinggalkanlah dan janganlah kamu memberi (dengan maksud) memperoleh (balasan) yang
lebih banyak. Dan untuk (memenuhi perintah) Tuhanmu, bersabarlah.”. (QS.Al-
Mudatsir(74):1-7).

Sejak itulah Muhammad menyadari bahwa dirinya adalah utusan Allah. Dan melalui
perantaraan Malaikat Jibril, beliau menerima perintah, larangan dan tugas dari Allah SWT,
Sang Pencipa Yang Maha Esa. Itulah kumpulan wahyu, Al-Quranul Karim, yang diterimanya
selama 22 tahun 2 bulan 22 hari hingga ajal menjemputnya di usianya yang ke 63 tahun.

“Demi bintang ketika terbenam, kawanmu (Muhammad) tidak sesat dan tidak pula keliru
dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al Qur‟an) menurut kemauan hawa nafsunya.
“Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya) yang diajarkan
kepadanya oleh (Jibril) yang sangat kuat, yang mempunyai akal yang cerdas; dan (Jibril itu)
menampakkan diri dengan rupa yang asli. Sedang dia berada di ufuk yang tinggi. Kemudian
dia mendekat, lalu bertambah dekat lagi maka jadilah dia dekat (pada Muhammad sejarak)
dua ujung busur panah atau lebih dekat (lagi). Lalu dia menyampaikan kepada hamba-Nya
(Muhammad) apa yang telah Allah wahyukan. Hatinya tidak mendustakan apa yang telah
dilihatnya. Maka apakah kamu (musyrikin Mekah) hendak membantahnya tentang apa
yang telah dilihatnya?”(QS.An-Najm(53):1-12).

Ayat-ayat Al-Quran diturunkan secara berangsur dan bertahap. Kadang turun ketika terjadi
permasalahan dimana Rasulullah tidak atau belum mengetahui jawabnya tetapi lebih sering
lagi turun begitu saja. Dengan cara ini banyak hikmah yang bisa diambil diantaranya yaitu
lebih mudah memahami dan menghafalkannya.

“Dan Al Qur‟an itu telah Kami turunkan dengan berangsur-angsur agar kamu
membacakannya perlahan-lahan kepada manusia dan Kami menurunkannya bagian demi
bagian”. (QS.Al-Isra‟(17):106).

Di kemudian hari para ahli tafsir membagi ayat-ayat tersebut berdasarkan


tempat turunnya. Yang turun sebelum hijrah (dari Mekah ke Madinah ) disebut Ayat
Makkiyah. Ayat-ayat ini turun selama 12 tahun lebih. Sedangkan yang turun sesudah hijrah
dinamakan Ayat Madanniyah. Ayat-ayat ini turun selama 10 tahun. Pada umumnya ciri
kedua jenis ayat-ayat tersebut berbeda baik topik dan isinya maupun gaya bahasanya.
Ayat Makkiyah biasanya berisi tentang tauhid serta adanya surga dan neraka. Sementara
Ayat Madaniyah lebih banyak membicarakan masalah hukum.

Perlu diketahui, ayat-ayat Al-Quran datang tidak dengan urutan sebagaimana kitab Al-
Quran yang sekarang ini berada ditangan umat Islam di seluruh dunia. Sebagian ayat turun
berdasarkan kebutuhan dan sebagai jawaban atas pertanyaan orang-orang di sekeliling
Rasulullah SAW. Rasulullah dengan petunjuk malaikat Jibrillah yang memberitahukan
kepada para sahabat urutan ayat dan surat hingga seperti sekarang ini. Urutan ini sesuai
dengan apa yang dinamakan kitab yang tersimpan di Lauh Mahfuz.

Ad-Dhahak, Mujahid, Ikrimah, As-Sidi dan Abu Hazrah meriwayatkan dari Ibnu Abbas
ra:”Al-Quran diturunkan secara keseluruhan dari sisi Allah, dari Lauh Mahfuz, melalui duta-
duta malaikat penulis wahyu, ke langit dunia, lalu para malaikat tersebut
menyampaikannya kepada Jibril secara berangsur-angsur selama 20 malam dan
selanjutnya diturunkan pula oleh Jibril as kepada Rasulullah SAW secara berangsur-
angsur selama 23 tahun”.

Masalah tentang Tauhid atau ke-Esa-an Allah azza wa jalla yang diturunkan di Mekah pada
masa awal le-Islam-an adalah masalah yang paling mendasar. Ini adalah ajaran yang sama
sejak nabi Adam as hingga Rasulullah SAW. Masyarakat Mekah yang kebanyakan musyrik
(menduakan atau lebih Allah) adalah tantangan besar bagi Muhammad SAW, Rasul terakhir
yang baru saja ditunjuk ini.

“Katakanlah:”Dia-lah Allah, Yang Maha Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-
Nya segala sesuatu. Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tidak ada
seorangpun yang setara dengan Dia”. (QS.Al-Ikhlas(112):1-4).

Orang yang pertama mengakui kerasulan ini mudah ditebak yaitu Khadijah ra
dan ponakannya yang memang tinggal satu rumah dengan Rasulullah yaitu Ali bin Abu
Thalib. Ketika itu Ali baru berusia 10 tahun. Kemudian disusul oleh orang-orang dekatnya
seperti karibnya sejak kanak-kanak yaitu Abu Bakar; bekas budaknya yang diperlakukan
bagai anak sendiri, Zaid bin Haritsah dan Ummu Aiman, pengasuhnya ketika kecil.

Rasulullah memulai dakwah di lingkungan keluarganya sendiri dan secara sembunyi-


sembunyi pula. Kedua paman Rasulullah yaitu Abbas bin Abdul Muthalib dan Hamzah bin
Abdul Muthalib memeluk Islam pada era tersebut. Setelah keluarga dekat yang kemudian
tertarik mengikuti ajaran baru ini adalah orang-orang dari golongan lemah, fakir dan kaum
budak.

Selanjutnya Abu Bakar berhasil mengajak beberapa teman dekatnya seperti Ustman bin
Affan, Zubair bin Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa‟ad bin Abbi Waqqas dan Thalhah bin
Ubaidillah. Aisyah, putri Abu Bakar menyusul tak berapa lama kemudian sebagai orang
yang ke 21 atau 22 pemeluk Islam.

Ketika Rasulullah merasa bahwa rumahnya tidak lagi cukup untuk menampung para
sahabat maka Rasulullahpun memutuskan untuk menggunakan rumah milik Abu Abdillah al-
Arqam bin Abi al-Arqam. Madrasah pertama ini terletak tersembunyi di bukit Shafa.
Ditempat inilah Rasulllah secara sembunyi-sembunyi menerangkan, mengajarkan dan
mempraktekkan ayat-ayat yang diturunkan kepada beliau.
Ayat-ayat turun dengan berbagai cara. Ada yang langsung masuk kedalam hati beliau,
kadang malaikat Jibril datang dengan menyamar sebagai tamu laki-laki dan yang dirasa
paling berat adalah ketika ayat turun dengan diawali bunyi lonceng yang berdentang
nyaring di telinga Rasulullah. Para sahabat menuturkan ketika ayat turun dalam keadaan
ini, wajah Rasulullah terlihat berpeluh sekalipun saat itu adalah musim dingin. Bahkan tidak
jarang unta Rasulullah jatuh terduduk saking beratnya menanggung tubuh Rasulullah ketika
itu. Ini terjadi ketika ayat turun di tengah perjalanan.

Diriwayatkan oleh Zaid bin Tsabit:”Aku adalah penulis wahyu yang diturunkan kepada
Rasulullah. Aku lihat Rasulullah ketika turunnya wahyu itu seakan-akan diserang oleh
demam yang keras dan keringatnya bercucuran seperti permata”.

Rasulullah memberitahukan dengan jelas mana ayat-ayat Al-Quran mana hadits Qudsi dan
mana hadits nabawiyah. Rasulullah menyuruh para sahabat agar segera menghafal ayat-
ayat Al-Quran tersebut begitu ayat-ayat tersebut turun. Para sahabat yang mampu menulis
kemudian mencatatnya di berbagai media yang memungkinkan, seperti daun-daunan,
pelepah, bebatuan dsb.

Sebaliknya demi menghindari kesalahan dan kerancuan, Rasulullah melarang para sahabat
menuliskan hadits, yaitu apa yang dikatakan, dilakukan maupun diamnya nabi. Namun
beliau tidak melarang menghafalnya. Hafalan tentang hal tersebut kemudian di sampaikan
secara turun temurun kepada anak cucu para sahabat. Di kemudian hari pengetahuan dan
ilmu tersebut oleh diantaranya Bukhari dan Muslim, di kumpulkan dan dicatat hingga
menjadi Hadits Nabawiyah yang sampai kepada kita sekarang ini.

(lihat: http://vienmuhadi.com/2009/06/30/hadis-dan-perang-pemikiran/ )

Rasulullah baru mulai berdakwah secara terbuka setelah turun ayat yang memerintakan
beliau untuk itu. Ini terjadi setelah Rasulullah berdakwah secara diam-diam selama 3 tahun
lamanya dan pengikutnya ada sekitar 40 orang.

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan


(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS.Al-Hijr (15):94).
VII.Dakwah secara terang -terangan (Jahriyatud Dakwah).
Tiga tahun lamanya Rasulullah berdakwah secara diam-diam. Rumah Abu Abdillah Al-Arqam
bin Abi Al-Arqam menjadi madrasah pertama tempat berkumpulnya Muslimin generasi
awal. Dibawah ajaran dan pengawasan langsung Rasulullah SAW, meski jumlah mereka
ketika itu hanya 40 orang mereka adalah orang-orang yang benar-benar taat dan sangat
pandai menjaga kerahasiaan pertemuan mereka.

Setiap menjelang shalat mereka datang secara sembunyi-sembunyi menuju


madrasah yang tersembunyi di atas bukit Shafa ini. Ketika itu belum turun perintah shalat
5 kali sehari. Mereka hanya melaksanakan shalat 2 kali sehari, yaitu di awal pagi hari
(Subuh ) dan di awal menjelang malam (Magrib).

Hingga suatu hari turun ke tiga ayat berikut:

“Maka sampaikanlah olehmu secara terang-terangan segala apa yang diperintahkan


(kepadamu) dan berpalinglah dari orang-orang yang musyrik”. (QS.Al-Hijir [15]: 94).
“Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat dan rendahkanlah dirimu
terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman”.(QS.Asy-
Syuara‟(26): 214-215).
“Dan katakanlah:”Sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan”.(QS.Al-
Hijir [15]: 89).
Maka begitu menerima ketiga perintah di atas, Rasulullahpun segera menuju bukit Shafa.
Dari atas bukit ini beliau berseru memanggil: ”Wahai Bani Fihr, wahai Bani Adya, wahai
Bani Kaab, wahai Fathimah binti Muhammad, wahai Bani Abdul Muththalib, wahai semua
orang Quraisy ..”

Seruan ini ditujukan kepada semua suku Quraisy hingga mereka berkumpul semua.
Bahkan ketika ada yang berhalangan hadir maka orang tersebutpun mengirim utusan untuk
melihat apa yang sedang terjadi. Abu Lahab beserta para pemuka Quraisy juga ikut datang.

Rasulullah kemudian melanjutkan seruannya:”Apa pendapat kalian jika kukabarkan bahwa


di lembah ini ada sepasukan kuda yang mengepung kalian, apakah kalian percaya
kepadaku?“
“Tentu kami percaya”, jawab mereka.”Kami tidak pernah mempunyai pengalaman bersama
engkau kecuali kejujuran”.
Rasulullah kembali bersabda:”Ketahuilah bahwa sesungguhnya aku pemberi peringatan
kepada kalian dari azab yang pedih. Selamatkanlah diri kalian dari api neraka. Demi Allah,
sesungguhnya aku tidak dapat membela kalian di hadapan Allahselain bahwa kalian
mempunyai tali kekeluargaan yang akan aku sambung dengan hubungannya”.
Mendengar ini, Abu Lahab serta merta menyahut kesal:”Celakalah engkau selama-lamanya.
Untuk inikah engkau mengumpulkan kami?”.

Tak lama kemudian turunlah dua ayat berikut:

“Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa”. (QS. Al-Lahab
(111): 1).
“Katakanlah:”Sesungguhnya aku hendak memperingatkan kepadamu suatu hal saja, yaitu
supaya kamu menghadap Allah (dengan ikhlas) berdua-dua atau sendiri-sendiri; kemudian
kamu fikirkan (tentang Muhammad) tidak ada penyakit gila sedikitpun pada kawanmu itu.
Dia tidak lain hanyalah pemberi peringatan bagi kamu sebelum (menghadapi) azab yang
keras”. (QS.As-Saba‟(34):46).

Itulah yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Ibnu Abbas ra dan Muslim dari Abu Hurairah ra
dengan redaksi yang kurang lebih sama.

Disamping itu ada juga riwayat yang mengatakan bahwa setelah turun ayat:”Dan berilah
peringatan kepada kerabat-kerabatmu”Rasulullah segera mengumpulkan keluarga besarnya
di rumah Abu Thalib, paman yang selalu menyayangi dan melindungi beliau. Namun belum
sempat Rasulullah berkata panjang lagi-lagi Abu Lahab memotongnya. Ini terjadi hingga
dua kali.

Rasulullah menyadari bahwa tugas dan tanggung jawab yang diembannya amatlah berat
dan penuh tantangan. Untuk menghibur Rasulullah Allah SWT mengingatkan bahwa semua
Rasul dan nabipun menghadapi hal yang sama.

“Dan sesungguhnya Kami telah mengutus (beberapa rasul) sebelum kamu kepada umat-
umat yang terdahulu. Dan tidak datang seorang rasulpun kepada mereka, melainkan
mereka selalu memperolok-olokkannya”. (QS.Al-Hijr (15):10-11).

Akan tetapi yang paling menyakitkan tantangan dan permusuhan kuat justru datang dari
pihak keluarga beliau sendiri yang notabene merupakan para pemuka Quraisy yang disegani
masyarakat. Terutama Abu Lahab yang juga merupakan besannya. Dengan penuh
kesombongan ia bahkan memerintahkan kedua anaknya untuk segera menceraikan istri-
istri mereka,yaitu Zainab dan Ruqqayah binti Muhammad. Dapat dibayangkan betapa sakit
hati, malu dan sedihnya Khadijah dan kedua putri Rasulullah ini. Namun demikian mereka
tetap tegar dan terus mendukung perjuangan suami dan ayah mereka tercinta, apapun
akibatnya, terutama Khadijah ra.

Ibnu Abbas menjelaskan bahwa suatu ketika Rasulullah berkata dihadapan Abu Thalib dan
pamannya yang lain :”Aku ingin mereka mengucapkan satu kalimat yaitu La ilaha illallah
(tiada tuhan selain Allah )”. Seketika merekapun mengejek,”Satu Tuhan? Ini sesuatu yang
sangat mengherankan”. (HR. Ahmad, Tirmidzi, Nasa‟i dan Hakim).

Kemudian turun ayat berikut:

“Dan mereka heran karena mereka kedatangan seorang pemberi peringatan (rasul) dari
kalangan mereka; dan orang-orang kafir berkata:”Ini adalah seorang ahli sihir yang banyak
berdusta”. Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu saja? Sesungguhnya
ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan. Dan pergilah pemimpin-pemimpin
mereka (seraya berkata):”Pergilah kamu dan tetaplah (menyembah) tuhan-tuhanmu,
sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang dikehendaki. Kami tidak pernah mendengar
hal ini dalam agama yang terakhir ini (maksudnya agama Nasrani yaitu meng-esakan
Allah), tidak lain hanyalah (dusta) yang diada-adakan. Mengapa Al Qur‟an itu diturunkan
kepadanya di antara kita?”Sebenarnya mereka ragu-ragu terhadap Al Qur‟an-Ku, dan
sebenarnya mereka belum merasakan azab-Ku”.(QS. Shad(38): 4-8).

Maka sejak itulah orang-orang Islam yang jumlahnya belum begitu banyak itu mengalami
siksaan dan tekanan. Bahkan Rasulullahpun tidak luput dari bahan ejekan. Kemana
beliau melangkah Abu Lahab selalu mengikutinya sambil mengatakan bahwa ponakannya
itu orang gila.

Suatu hari Rasulullah sedang melaksanakan shalat di depan Kabah. Sementara Abu Jahal
dan teman-temannya terlihat berada di ujung lain tempat tersebut. Mereka memperhatikan
gerak gerik Rasulullah sambil mentertawakan dan mengolok-ngolok beliau. Tak lama
kemudian Abu Jahal berkata menantang : „Siapa di antara kalian yang bisa mendapatkan
usus binatang sembelihan untuk kita campakkan kepada Muhammad?‟

Uqbah bin Abi Muayt, orang yang paling keji di antara mereka, menawarkan diri dan
bergegas pergi untuk melakukan perkara keji tersebut. Uqbah kembali dengan usus
binatang sembelihan lalu melemparkannya ke atas bahu Rasulullah SAW ketika beliau
sedang sujud.

Fatimah, putri bungsu Rasulullah yang melihat kejadian tersebut langsung berlari dan
membuang kotoran tersebut sambil menangis. Kemudian Rasulullah kembali berdiri dan
menyempurnakan shalatnya. Sementara Fatimah yang ketika itu baru berusia 10 tahun
memarahi kumpulan orang Quraisy tadi.

Usai shalat dengan suara keras Rasulullah berdoa:”Ya Allah, hukumlah orang-orang Quraisy
itu!”,sebanyak tiga kali.”Semoga Kau menghukum Utbah, Uqbah, Abu Jahl dan Shaybah”.
Mendengar ini orang-orang Quraisy tadi hanya diam tak bereaksi. Terlihat adanya rasa
takut dan khawatir dalam diri mereka. (Beberapa tahun kemudian, dalam perang Badar,
mereka yang disebut Rasulullah di dalam doa di atas terbunuh secara mengenaskan).

Penyiksaan terhadap pemeluk Islam makin hari menjadi-jadi. Hampir setiap hari selalu ada
Muslim yang disiksa dan dipaksa kembali ke ajaran nenek moyang mereka. Namun
demikian ini tidak berarti bahwa dakwah tidak berkembang.

Rasulullah yang kerap shalat didepan Kabah bersama Khadijah dan Ali bin Abu Thalib yang
ketika itu masih belia walaupun banyak orang yang tidak menyukainya, tidak dapat
dipungkiri merupakan daya tarik tersendiri bagi orang-orang yang masih bersih hatinya.
Sama halnya dengan penyiksaan yang terjadi. Kejadian yang sangat memprihatinkan ini
justru merupakan magnit bagi perkembangan agama baru ini.

Bagi mereka yang masih bersih hatinya, prilaku dan akhlak Muhammad yang sejak lama
telah dikenal berkat kejujuran, kesabaran dan kesantunannya sungguh sangat menjanjikan.
Sejak muda beliau telah pandai menjaga silaturahmi, tidak mau menyembah berhala, tidak
suka mabuk-mabukan apalagi pesta-pesta dan bermain-main dengan perempuan. Beliau
dikenal sebagai seorang suami yang setia dan sangat menyayangi keluarganya. Di mata
mereka Muhammad adalah benar-benar patut dijadikan sebagai panutan.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”. (QS. Al-Ahzab(33):21).

Belum lagi dengan pengaruh bacaan Al-Quran yang begitu memikat. Kota Mekah sejak lama
telah dikenal sebagai tempat berkumpulnya para penyair terkenal. Setiap bulan haji para
penyair dari segenap penjuru tanah Arab berdatangan untuk mempertontonkan kehebatan
mereka menggubah berbagai bentuk dan gaya syair.

Ketika Rasulullah membacakan ayat-ayat Al-Quran banyak orang yang terpengaruh dengan
keindahan ayat-ayat tersebut, baik dari segi isi maupun gaya bahasanya. Oleh karenanya
banyak orang yang kemudian tertarik dan akhirnya memeluk Islam. Maka dengan keji Abu
Jahalpun melempar fitah bahwa Muhammad adalah seorang penyihir sekaligus penyair gila.
Selanjutnya ia berusaha keras menghalangi orang dari mendengar ayat-ayat suci tersebut.

Adalah Walid bin Mughirah, seorang pembesar Mekah. Setelah mendengar ayat yang
dibacakan Rasulullah, ia merasa tersentuh. Abu Jahal segera mendesak temannya itu agar
tidak terpengaruh.”Ucapkan sesuatu yang membuktikan pengingkaranmu kepada
Muhammad”, ujarnya.
“Apa yang harus kukatakan? Demi Allah, tak seorangpun diantara kalian yang melebihi
pengetahuanku tentang syair, puisi dan sajak, bahkan dari kalangan jinpun. Demi Allah apa
yang diucapkan Muhammad tak sedikitpun menyerupai semua itu. Sungguh perkataannya
indah dan menyejukkan. Kata-katanya sangat tinggi dan tak mungkin tertandingi”, aku
Walid kagum.
“Hai Walid, kaummu takkan rela hingga kau mengatakan sesuatu yang mencela
Muhammad”, desak Abu Jahal lagi.
“Beri aku waktu untuk berpikir”, jawab Walid pada akhirnya.
Setelah berpikir sejenak, Walidpun berkata dalam hati,”Mungkin memang benar, ucapan
Muhammad itu adalah sihir yang berkesan”.

Kisah diatas diriwayatkan oleh Hakim dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa setelah
kejadian diatas turunlah ayat berikut:

“Biarkanlah Aku (yang bertindak) terhadap orang yang Aku sendiri telah
menciptakannya”. (QS.Al-Mudatstsir(74):11).

Namun demikian Rasulullah berusaha tetap menjaga kesabarannya. Apalagi ketika Allah
SWT menurunkan ayat berikut:

“Maka bersabarlah kamu untuk (melaksanakan) ketetapan Tuhanmu, dan janganlah kamu
ikuti orang yang berdosa dan orang yang kafir di antara mereka”.(QS.Al-Insan(76):24).
Qatadah menuturkan bahwa ayat diatas berkenaan dengan Abu Jahal yang suatu ketika
berkata, “Jika aku melihat Muhammad mendirikan shalat pasti aku akan menginjak batang
lehernya”. (HR Abdurrazaq, Ibnu Jarir dan Ibnu Mundzir)

Para penguasa kota Mekah terlihat makin kesal dengan perkembangan Islam. Apalagi
dengan masuk Islamnya Hamzah bin Abdul Muthalib dan Umar bin Khattab. Keduanya
adalah tokoh Quraisy yang selama ini dikenal gagah berani dan berpendirian kokoh. (Umar
bin Khattab adalah satu diantara banyak orang yang tertarik dengan ajaran Islam berkat
bacaan Al-Quran).

“Maka apakah orang yang dijadikan (syaitan) menganggap baik pekerjaannya yang buruk
lalu dia meyakini pekerjaan itu baik, (sama dengan orang yang tidak ditipu oleh syaitan)?
maka sesungguhnya Allah menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dan menunjuki siapa
yang dikehendaki-Nya; maka janganlah dirimu binasa karena kesedihan terhadap mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”.(QS. Fathir(35):8).
Ibnu Abbas menegaskan bahwa ayat diatas diturunkan berkenaan dengan Rasulullah yang
suatu ketika berdoa,”Ya Allah, kukuhkan agama-Mu dengan Umar bin al-khattab atau Abu
Jahal bin Hisyam”. Lalu Allah memberi hidayah kepada Umar bin al Khattab dan
menyesatkan Abu Jahal. (HR Juwaibir).

VIII.Penolakan orang-orang Musyrik Mekah terhadap Islam.


Mekah atau Bakkkah adalah sebuah kota tua yang lahir ribuan tahun lalu berkat adanya
sumber air abadi yaitu sumur Zamzam. Berbagai sumber meriwayatkan bahwa sumur ini
muncul beberapa saat setelah kelahiran nabi Ismail as. Setelah Ismail dewasa, bersama
ayahnya, nabi Ibrahim as, berdua mereka membangun kembali bangunan Ka‟bah yang
fondasinya telah dibangun oleh nabi Adam as.
“Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama
Ismail (seraya berdo`a):”Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami),
sesungguhnya Engkaulah Yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”.(QS.Al-
Baqarah(2):127).

Sejak itulah maka Mekah dengan Ka‟bahnya berkembang pesat menjadi pusat keagamaan,
pusat ritual penyembahan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Esa. Namun seiring dengan
berlalunya waktu, penyembahan tersebut lama kelamaan menjadi melenceng dari arahnya
yang semula benar. Patung-patung mulai didirikan dan akhirnya malah disembah. Meski
mereka tetap mengakui Allah sebagai Sang Pencipta namun mereka juga mengakui dan
bahkan menyembah berhala-berhala. Uzza, Latta dan Manna adalah nama-nama berhala
yang mereka anggap sebagai anak perempuan Allah.

“Maka apakah patut kamu (hai orang-orang musyrik) menganggap Al Lata dan Al Uzza dan
Manah yang ketiga, yang paling terkemudian (sebagai anak perempuan Allah)?”. (QS.An-
Najm(53):19-20).
“Dan sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka:”Siapakah yang menciptakan langit
dan bumi?”Tentu mereka akan menjawab:”Allah”. Katakanlah:”Segala puji bagi Allah”;
tetapi kebanyakan mereka tidak mengetahui”.(QS.Lukman(31):25).

Mereka meyakini bahwa disamping Allah, berhala-berhala itu dapat memberi syafaat
kepada mereka. Jelas, ini sebuah kesalahan, sebuah kedustaan, sebuah kezaliman.
Penguasa alam semesta ini adalah Allah Yang Maha Kuasa, Ia Tunggal, tidak memiliki
satupun sekutu. Berhala-berhala itu tidak mempunyai kuasa sedikitpn terhadap
manusia. Ini adalah bisikan syaitan terkutuk yang berusaha menyesatkan manusia dari
jalan yang benar. Syaitan menginginkan agar manusia lupa terhadap kehidupan akhirat,
kehidupan yang hakiki. Karena kehidupan dunia adalah sementara.

“Sesungguhnya apa yang kamu sembah selain Allah itu adalah berhala, dan kamu membuat
dusta. Sesungguhnya yang kamu sembah selain Allah itu tidak mampu memberikan rezki
kepadamu; maka mintalah rezki itu di sisi Allah, dan sembahlah Dia dan bersyukurlah
kepada-Nya. Hanya kepada-Nyalah kamu akan dikembalikan”.(QS.Al-Ankabut(29):17).
“Dan berkata Ibrahim:”Sesungguhnya berhala-berhala yang kamu sembah selain Allah
adalah untuk menciptakan perasaan kasih sayang di antara kamu dalam kehidupan dunia
ini kemudian di hari kiamat sebahagian kamu mengingkari sebahagian (yang lain) dan
sebahagian kamu mela`nati sebahagian (yang lain); dan tempat kembalimu ialah neraka,
dan sekali-kali tak ada bagimu para penolongpun”. (QS.Al-Ankabut(29):25).
“Dan mereka (orang-orang musyrik) menjadikan jin itu sekutu bagi Allah, padahal Allah-lah
yang menciptakan jin-jin itu, dan mereka membohong (dengan mengatakan):”Bahwasanya
Allah mempunyai anak laki-laki dan perempuan”, tanpa (berdasar) ilmu pengetahuan. Maha
Suci Allah dan Maha Tinggi dari sifat-sifat yang mereka berikan”. (QS.Al-An‟am(6):100).
Suatu ketika Ibnu „Abba memaparkan bahwa ayat 100-103 surat Al-Anam diturunkan
berkenaan dengan kaum Musyrik yang menjadikan jin sebagai sekutu bagi Allah. Mereka
ditanya:”Bagaimana mungkin kalian beribadah kepada jin, sedangkan kalian menyembah
berhala?”. Mereka menjawab,”Kami bukan menyembah berhala tetapi dengan menghadap
kepada berhala berarti kami taat kepada jin”. (HR Ibnu Jarir).

Itu sebabnya Allah SWT memanggil penduduk Mekah dengan sebutan Musyrik yaitu kaum
yang syirik, kaum yang menduakan atau lebih Tuhan. Ironisnya, para pemuka dan penjaga
Kabah tersebut malah bangga dan arogan. Mereka merasa bahwa mereka adalah orang-
orang terhormat dan termulia yang paling tahu tentang agama dan ajaran yang menurut
mereka telah dijalani sejak ribuan tahun lalu oleh nenek moyang mereka.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka:”Ikutilah apa yang telah diturunkan Allah,”mereka
menjawab:”(Tidak), tetapi kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
(perbuatan) nenek moyang kami”.”(Apakah mereka akan mengikuti juga), walaupun nenek
moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk?”.(QS.Al-Baqarah(2):170).

Demikian pula ibadah haji yang dilaksanakan setahun satu kali. Kegiatan haji seperti tawaf,
sa‟i dan pemotongan kurban menjadi ritual sesat yang sungguh tidak beradab. Bahkan
dengan hanya secarik kain yang menutup kemaluan kaum perempuan berlari-lari
kecil mengelilingi Ka‟bah. Sementara darah kurban hewan dilulurkan ke tembok Ka‟bah
dengan maksud sebagai sesajen bagi tuhan-tuhan mereka!!

“Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah,
tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya …”.(QS.Al-Hajj(22):37).

Dalam keadaan seperti inilah Rasulullah lahir dan datang. Beliau diperintah Allah SWT untuk
meluruskan kembali agama yang dibawa nabi Ibrahim as ribuan tahun silam itu agar tidak
bengkok dan lurus kembali. Kesyirikan sangat dekat kekafiran. Pengakuan dan
penyembahan hanya kepada Allah SWT, tidak bersama dengan tuhan dan sesembahan lain
adalah inti ajaran yang dibawa para nabi. Itulah Islam.

Telah diriwayatkan bahwa Walid bin Mugirah, „As bin Wail As Sahmi, Aswad bin Abdul
Muttalib dan Umaiyah bin Khalaf bersama rombongan pembesar-pembesar Quraisy datang
menemui Nabi SAW. Mereka menyatakan,”Hai Muhammad! Marilah engkau mengikuti
agama kami dan kami mengikuti agamamu dan engkau bersama kami dalam semua
masalah yang kami hadapi, engkau menyembah Tuhan kami setahun dan kami menyembah
Tuhanmu setahun. Jika agama yang engkau bawa itu benar, maka kami berada bersamamu
dan mendapat bagian darinya, dan jika ajaran yang ada pada kami itu benar, maka engkau
telah bersekutu pula bersama-sama kami dan engkau akan mendapat bagian pula
daripadanya”. Beliau menjawab,”Aku berlindung kepada Allah dari mempersekutukan-
Nya”. Lalu turunlah surah Al Kafirun sebagai jawaban terhadap ajakan mereka.
« Katakanlah:”Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah,
agamaku”.(QS.Al-Kafirun(109):1-6).

Ini yang disebut Akidah. Ia tidak boleh dicampur adukkan oleh paham apapun.
Penyembahan hanya kepada-Nya, murni hanya kepada Allah SWT. Tidak ada kebengkokan
dalam Islam. Tidak ada perantara, tidak ada kerja sama, tidak ada anak bagi-Nya. Semua
orang di sisi Allah adalah sama yaitu para hamba, para abdi yang tergantung kepada-Nya.
Itu sebabnya segala perbuatan dan amal sebaik apapun bila dilakukan bukan karena-Nya
dan tidak dalam rangka mencari ridho Allah SWT maka tidak ada gunanya diakhirat nanti.
Ketaatan kepada siapapun termasuk kepada orang-tua, suami bahkan para pemimpin
sekalipun harus atas dasar ketaatan dan kepatuhan kepada-Nya.

« Dan orang-orang yang kafir amal-amal mereka adalah laksana fatamorgana di tanah
yang datar, yang disangka air oleh orang-orang yang dahaga, tetapi bila didatanginya air itu
dia tidak mendapatinya sesuatu apapun. Dan di dapatinya (ketetapan) Allah di sisinya, lalu
Allah memberikan kepadanya perhitungan amal-amal dengan cukup dan Allah adalah
sangat cepat perhitungan-Nya ». (QS.An-Nur(24):39).

Karena sikap tegas dan tidak kenal kompromi inilah Rasulullah kemudian dimusuhi dan
diperangi orang-orang Quraisy. Para pembesar Quraisy makin geram dan kesal. Mereka
merasa bakal sangat terancam kedudukan dan kekuasaan mereka bila ajaran baru ini
sampai benar-benar diterima penduduk Mekah. Mereka khawatir Islam akan menghapus
semua kebiasaan-kebiasaan ritual mereka, merebut kekuasaan dan merusak gengsi mereka
sebagai penjaga Ka‟bah yang selama ini mereka bangga-banggakan.

Maka dengan sekuat tenaga Abu Jahalpun memimpin permusuhannya terhadap Islam,.
Berbagai fitnah dan hasutan terus dilancarkannya. Para tokoh Quraisy tersebut memanasi-
manasi bahwa kalaupun Allah menurunkan seorang Rasul, mustinya merekalah yang paling
pantas ditunjuk bukan Muhammad yang mereka anggap miskin dan tidak memiliki
kekuasaan. Yang saking miskinnya ketika bayi tak seorang perempuanpun sudi
menyusuinya kecuali terpaksa. Yang bahkan hingga menikah bertahun-tahunpun tidak juga
mempunyai anak lelaki. (Kedua anak lelaki Rasulullah meninggal dunia ketika masih kanak-
kanak. Sementara memiliki anak perempuan dianggap aib). Mereka juga mempertanyakan
mengapa Allah hanya menurunkan manusia biasa yang makan seperti orang kebanyakan
bahkan berjalan-jalan dipasar sebagai utusan Allah, bukannya mengirim seorang malaikat
saja. Dengan keji mereka mengolok-olok Rasulullah adalah seorang tukang tenung.

“Dan mereka berkata:”Mengapa rasul ini memakan makanan dan berjalan di pasar-pasar?
Mengapa tidak diturunkan kepadanya seorang malaikat agar malaikat itu memberikan
peringatan bersama-sama dengan dia? atau (mengapa tidak) diturunkan kepadanya
perbendaharaan, atau (mengapa tidak) ada kebun baginya, yang dia dapat makan dari
(hasil) nya?”Dan orang-orang yang zalim itu berkata:”Kamu sekalian tidak lain hanyalah
mengikuti seorang lelaki yang kena sihir.””,(QS.Al-Furqon(25):7-8).
“Dan orang-orang yang tidak mengetahui berkata:”Mengapa Allah tidak (langsung)
berbicara dengan kami atau datang tanda-tanda kekuasaan-Nya kepada kami?…”.(QS.Al-
Baqarah(2):118).
Ibnu Abbas memaparkan bahwa ayat di atas turun tak lama setekah Rafi‟ bin Huraimalah
berkata kepada nabi SAW”Jika benar engkau adalah seorang utusan Allah sampaikan
kepada Allah agar Dia berbicara kepada kami hingga kami mendengar kata-kata-Nya”. (HR.
Ibnu jarir dan Ibnu Abi Hatim).
“Apakah kamu menghendaki untuk meminta kepada Rasul kamu seperti Bani Israil meminta
kepada Musa pada zaman dahulu? Dan barangsiapa yang menukar iman dengan kekafiran,
maka sungguh orang itu telah sesat dari jalan yang lurus”.(QS.Al-Baqarah(2):108).
Ibnu Abbas berkata bahwa Rafi‟ bin Huraimalah dan Wahab bin Zaid berkata kepada nabi
SAW,”Wahai Muhammad, datangkanlah dari langit kitab yang kau turunkan kepada kami
dan dapat kami baca. Atau pancarkanlah sungai untuk kami agar kami beriman
kepadamu.”Maka Allah menurunkan ayat diatas. (HR Ibnu Abi Hatim).
“Telah dekat (datangnya) saat itu dan telah terbelah bulan. Dan jika mereka (orang-orang
musyrikin) melihat sesuatu tanda (mu`jizat), mereka berpaling dan berkata:”(Ini adalah)
sihir yang terus menerus”.(QS.Al-Qamar(54):1-2).

Anas, Abdullah bin Mas‟ud dan Ibnu Abbas menerangkan bahwa suatu ketika penduduk
Mekah menantang Rasulullah agar memperlihatkan sebuah mukjizat kepada mereka. Maka
beliaupun memperlihatkan bulan yang terbelah menjadi dua bagian hingga mereka melihat
warna merah di antara keduanya.(HR Tirmidzi dan HR Shahih Muslim).

Begitulah para tokoh Mekah mengajukan berbagai pertanyaan. Mereka tidak peduli apakah
pertanyaan dan permintaan mereka itu terpenuhi atau tidak. Yang dinginkan hanyalah agar
Rasulullah mau berhenti berdakwah karena mereka khawatir kekuasaan mereka terhadap
masyarakat Mekah terganggu.

Mereka memang bukan bermaksud mencari kebenaran melainkan hanya ingin memojokkan,
menghina dan mengejek Rasulullah. Meski sebenarnya hal tersebut bukan dilakukan
semata-mata karena kebencian terhadap pribadi Rasulullah. Karena seluruh penduduk
Mekah memang sebenarnya mengakui bahwa Muhammad SAW adalah seorang yang jujur.
Prilaku beliau santun hingga banyak orang menyukai beliau.

Namun sebagai manusia biasa tentu saja Rasulullah sedih mendengar ejekan dan cemoohan
orang-orang Quraisy yang sebenarnya masih keluarga dan tetangga beliau sendiri itu.

“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan
hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”.(QS.Al-
An‟am(6):33).
Ali bin Abu Thalib memaparkan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Abu Lahab
yang suatu ketika berkata,”Sesungguhnya kami tidak mendustakanmu tetapi kami hanya
mendustakan apa yang kau dakwahkan (agama Islam)”. (HR Tirmidzi dan Hakim).
“Mereka bersumpah dengan nama Allah dengan segala kesungguhan, bahwa sungguh jika
datang kepada mereka sesuatu mu`jizat pastilah mereka beriman kepada-Nya.
Katakanlah:”Sesungguhnya mu`jizat-mu`jizat itu hanya berada di sisi Allah”. Dan apakah
yang memberitahukan kepadamu bahwa apabila mu`jizat datang mereka tidak akan
beriman”.(QS.Al-An‟am(6):109).
“Kalau sekiranya Kami turunkan malaikat kepada mereka, dan orang-orang yang telah mati
berbicara dengan mereka dan Kami kumpulkan (pula) segala sesuatu ke hadapan mereka
niscaya mereka tidak (juga) akan beriman, kecuali jika Allah menghendaki, tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui”.(QS.Al-Anam(6):111).

Berikut Asbabun Nuzul ayat 109-111 surat Al-An‟am diatas:


Muhammad bin Ka‟ab al-Qurazhi menjelaskan bahwa suatu hari orang-orang Quraisy
menghadap Rasulullah dan berkata,”Hai Muhammad, kau menceritakan kepada kami bahwa
Musa mempunyai tongkat yang dapat digunakan untuk membelah batu. Kau juga
menceritakan bahwa Isa bisa menghidupkan orang mati dan bahwa kaum Tsamud
mempunyai seekor unta (lalu mereka sembelih). Sekarang, coba tunjukkan kepada kami
sedikit dari mukjizat (kenabianmu) sehingga kami akan beriman kepadamu“. Rasul
bertanya:”Apa yang kalian inginkan?”.”Jadikan bukit Shafa emas untuk kami.”Beliau
bertanya lagi,”Jika aku melakukannya apakah kalian akan membenarkanku?”. Mereka
berkata ,”Ya, demi Allah”. Lalu Rasulullah berdiri dan berdoa. Jibril datang dan berkata
kepadanya,”Jika engkau menginginkannya bukit ini akan berubah menjadi emas. Namun
jika kau mau tinggalkanlah mereka sehingga beberapa orang di antara mereka mau
bertobat kepada Allah”: Maka turunlah ketiga ayat ini.)HR. Ibnu Jarir)..

Akhirnya Rasulullahpun membatalkan doanya.

Para pembesar Mekah juga menyiksa siapa saja yang berani meninggalkan agama nenek
moyang mereka. Ammar dan kedua orang tuanya, Yassir dan Sumayya yang disiksa hingga
meninggal adalah hanya sedikit contoh diantaranya. Sementara Bilal, budak hitam yang
kemudian dikenal sebagai muazzin pertama dan merupakan satu dari 10 sahabat yang
dijanjikan masuk surga oleh Rasulullah dibeli oleh Abu bakar Sidik hingga bebas dari
penyiksaan hebat yang dideritanya.

Akan tetapi Rasulullah tetap bertahan. Ini adalah perintah Allah SWT, Sang Pencipta yang
harus ditaati. Beliau tidak akan mundur, apapun yang dilakukan para pembesar Quraisy
atau siapapun yang ingin menghalanginya. Bahkan Abu Thalib, paman Rasulullah yang
selalu melindungi beliau sampai kewalahan. Ia begitu khawatir terhadap keselamatan
ponakan yang telah dianggap seperti anak sendiri itu.

“Demi Allah paman, seandainya mereka meletakkan matahari di tanganku dan bulan di
tangan kiriku agar aku melepaskan ajakanku .. tak akan aku melepaskannya”, demikian
jawaban tegas Muhammad SAW ketika pamannya itu atas desakan para pemuka Mekah
meminta Rasulullah agar berhentiberdakwah.Maka sejak itu Abu Thalibpun tidak pernah lagi
menyuruh Rasulullah untuk berhenti berdakwah. Ia malah bertambah makin serius
melindungi Rasulullah dari segala ancaman dan serangan musuh.
IX. Pengucilan dan Boikot Ekonomi terhadap kaum Muslimin (Hijrah pertama).
“Bersabarlah (hai Muhammad) dan tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan
pertolongan Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan
janganlah kamu bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan”.(QS.An-
Nahl(16):127)
“Maka (apakah) barangkali engkau (Muhammad) akan mencelakakan dirimu karena
bersedih hati sesudah mereka berpaling, sekiranya mereka tidak beriman kepada
keterangan ini”.(QS.Al-Kahfi(18):6)
“Janganlah sekali-kali engkau (Muhammad) menujukan pandanganmu kepada keni`matan
hidup yang telah Kami berikan kepada beberapa golongan di antara mereka (orang-orang
kafir itu), dan janganlah kamu bersedih hati terhadap mereka dan berendah dirilah kamu
terhadap orang-orang yang beriman”.(QS.Al-Hijr(15):88).

Ayat-ayat diatas adalah ayat-ayat yang diturunkan ketika Rasululllah dalam keadaan duka
yang mendalam. Rasulullah bersedih karena para pemimpin Quraisy dan penduduk Mekah
mendustakannya. Namun dengan pertolongan-Nya jualah Rasulullah bisa menahan
kesabarannya. Waktu demi waktu berlalu. Tak satupun ayat-ayat Al-Quran mampu
menggugah hati orang-orang Mekah untuk meninggalkan kesyirikan mereka. Mereka tetap
dalam keraguan yang mendalam.

“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur‟an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur‟an itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.(QS.Al-
Baqarah(2):23).

Lima tahun setelah wahyu pertama turun berlalu sudah. Karena penyiksaan tidak juga
berkurang, akhirnya Rasulullah mengizinkan sejumlah Muslimin untuk mencari suaka ke
Habasyah. Mereka terdiri dari 12 Muslim dan 4 Muslimah, termasuk diantaranya adalah
Ruqayah, putri kedua Rasulullah dan suaminya, Ustman bin Affan. Negeri di Afrika yang
sekarang bernama Ethiopia ini ketika itu berada dibawah pemerintahan seorang raja
Nasrani alim yang sangat bijaksana, yaitu Najasyi.

Baru beberapa waktu mereka menetap di negeri tersebut, ketika kemudian mereka
mendengar kabar bahwa beberapa orang kuat Quraisy, yaitu Hamzah bin Abdul
Muthalib dan Umar bin Khattab telah memeluk Islam. Maka merekapun berniat kembali ke
Mekah. Namun ditengah perjalanan mereka terpaksa kembali ke Habasyah karena ternyata
ke-Islaman dua tokoh tersebut malah makin membuat orang Quraisy memperkuat tekanan
terhadap orang-orang Islam. Mereka bahkan mengirim beberapa wakilnya untuk pergi ke
Habasyah dan meminta secara langsung kepada raja Najasyi agar mengembalikan orang-
orang Islam yang meminta suaka kepadanya.

Namun bagaimana tanggapan raja tersebut? Najasyi malah menangis terharu ketika
mendengar Ja‟far bin Abu Thalib, salah seorang Muslim yang ikut hijrah, membacakan surat
Maryam.

“Kaaf Haa Yaa `Ain Shaad. (Yang dibacakan ini adalah) penjelasan tentang rahmat Tuhan
kamu kepada hamba-Nya, Zakaria, yaitu tatkala ia berdo`a kepada Tuhannya dengan suara
yang lembut”….. …. ….”Dan mereka berkata:”Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil
(mempunyai) anak”. Sesungguhnya kamu telah mendatangkan sesuatu perkara yang
sangat mungkar, hampir-hampir langit pecah karena ucapan itu dan bumi belah dan
gunung-gunung runtuh karena mereka mendakwa Allah Yang Maha Pemurah mempunyai
anak. Dan tidak layak bagi Tuhan Yang Maha Pemurah mengambil (mempunyai) anak.
Tidak ada seorangpun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Tuhan Yang Maha
Pemurah selaku seorang hamba”… hingga akhir surat.
(Click: http://www.youtube.com/watch?v=T5aIi3OqOJU )
“Aku tidak akan menyerahkan orang-orang yang mencari kebenaran ini kepada kalian.
Mereka adalah orang yang benar. Demikian pula nabimu”, demikian jawaban Najasyi.
Menurut beberapa sumber Najasyi bahkan bersumpah akan mengakui Islam dan ajarannya
bila ia sempat bertemu Rasulullah.

Habis sudah kesabaran para pembesar Quraisy. Betapa kesalnya mereka menghadapi
kenyataan ini. Sejumlah riwayat mengatakan bahwa para pemuka Quraisy berkumpul dan
sepakat bahwa Muhammad harus dibunuh. Keputusan ini disampaikan kepada bani Hasyim
dan bani Abdul Muthalib. Namun mereka menolak menyerahkan anggota keluarganya ini.
Selama Abu Thalib masih hidup tak mungkin mereka berani mengganggu apalagi
membunuh ponakan yang amat disayanginya itu. Akhirnya mereka bersepakat bahwa jalan
satu-satunya yang memungkinkan hanyalah memboikot kehidupan Muhammad dan seluruh
keluarga yang mendukungnya hingga Muhammad diserahkan.

Selama tiga tahun keluarga Bani Hasyim dan Bani Muthalib diasingkan dan dikucilkan dari
pergaulan dan perekonomian. Suku Quraisy yang terdiri atas beberapa bani ini dilarang
mengadakan jual beli dengan kedua keluarga bani tersebut. Tidak boleh ada perdamaian,
belas kasih, pertemanan, persahabatan apalagi perkawinan dengan anggota Bani Hasyim
maupun Bani Muthalib.

Mereka dipaksa hidup di pemukiman (syi‟ib) bani Muthalib tanpa bisa keluar. Ditempat
inilah berkumpul semua anggota bani Hasyim dan bani Abu Muthalib, baik yang telah
memeluk Islam maupun yang masih kafir, kecuali Abu Lahab. Bagi yang masih kafir,
mereka bertahan karena dorongan semangat fanatisme kekabilahan. Ini adalah sesuatu
yang khas telah dimiliki masyarakat Arab sejak dulu.

Sejumlah riwayat menceritakan bahwa selama tiga tahun itu mereka beberapa kali terpaksa
makan dedaunan karena kekurangan makanan. Begitu pula keluarga Rasulullah termasuk
Fatimah yang ketika itu baru berusia sebelas tahun-an. Tangis kelaparan anak-anak sering
terdengar hingga ke luar kota Mekah.

Hingga suatu ketika pada awal tahun ke tiga pemboikotan, bani Qushayyi mulai mengecam
perbuatan biadab tersebut. Sementara itu Rasulllah mengatakan pada Abu Thalib bahwa
surat perjanjian yang ditanda tangani para pemuka Quraisy dan ditempel di salah satu
dinding Ka‟bah itu telah dimakan rayap kecuali beberapa kalimat yang menyebutkan kata
Allah.

“Apakah Tuhanmu yang memberitahukan itu kepadamu?”, tanya Abu Thalib heran.”Ya”,
jawab Rasulullah singkat.”Allah telah mengirim sejumlah anai-anai untuk
menghancurkannya”. Maka Abu Thalibpun segera pergi menemui para pemuka Quraisy dan
menyatakan bahwa pemboikotan telah usai karena surat perjanjiannya telah rusak. Dengan
terheran-heran mereka terpaksa menerima kenyataan yang berada di luar perkiraan
mereka tersebut.

Tak lama setelah itu,sejarah mencatat bahwa sekitar tiga puluh orang dari kaum Nasrani
Habasyah datang menemui Rasulullah untuk mengetahui Islam lebih jauh. Mereka datang
bersama Ja‟far bin Abu Thalib yang telah membuat raja Najasyi menangis ketika mendengar
ayat-ayat Al-Quran dibacakan kepadanya.

Setelah bertemu dengan Rasulullah, berbincang dan mendengar ayat-ayat Al-Quran


merekapun segera beriman. Abu Jahal yang mengetahui hal tersebut langsung bersungut-
sungut.”Kami belum pernah melihat utusan yang paling bodoh kecuali kalian. Kalian diutus
oleh kaum kalian untuk menyelidiki orang ini. Tetapi belum sempat kalian duduk dengan
tenang di hadapannya, kalian sudah melepaskan agama kalian dan membenarkan apa yang
diucapkannya”.
Mereka menjawab:”Semoga keselamatan atasmu. Kami tidak mau bertindak bodoh seperti
kamu. Biarlah kami mengikuti pendirian kami dan kamupun bebas mengikuti pendirianmu.
Kami tidak ingin kehilangan kesempatan yang baik ini”.

Berkaitan dengan itu maka Allah berfirman:

“Orang-orang yang telah Kami datangkan kepada mereka Al Kitab sebelum Al Qur‟an,
mereka beriman (pula) dengan Al Qur‟an itu. Dan apabila dibacakan (Al Qur‟an itu) kepada
mereka, mereka berkata:”Kami beriman kepadanya; sesungguhnya; Al Qur‟an itu adalah
suatu kebenaran dari Tuhan Kami, sesungguhnya Kami sebelumnya adalah orang-orang
yang membenarkan (nya). Mereka itu diberi pahala dua kali disebabkan kesabaran mereka,
dan mereka menolak kejahatan dengan kebaikan, dan sebagian dari apa yang telah Kami
rezkikan kepada mereka, mereka nafkahkan. Dan apabila mereka mendengar perkataan
yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata:”Bagi kami
amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin
bergaul dengan orang-orang jahil”.(QS. Al-Qashah(28):52-55).

X.Tahun Duka Cita (‘Amul Huzni) dan peristiwa di Tha’if.


Perasaan lega setelah 3 tahun lamanya di boikot secara ekonomi dan sosial tampaknya
hanya berlangsung sekejap saja. Karena pada tahun ke 10 kenabian Khadijah ra, istri
tercinta yang selama ini selalu setia mendukung, menyemangati, membesarkan dan
menghibur Rasulullah dalam menjalankan tugas maha berat itu jatuh sakit. Dan tak lama
kemudian Allah SWTpun memanggil perempuan yang selama 25 tahun itu telah menemani
Rasulullah, sebagai istri satu-satunya, sebagai ibu dari 4 anak perempuan dan 2 anak lelaki
dari Rasulullah.

Betapa berdukanya Rasulullah SAW. Bagaimanapun beliau adalah manusia biasa yang
membutuhkan pendukung, pendamping, penyemangat dan penghibur dari orang yang
dicintai dan mencintainya. Tugas yang diembannya adalah tugas yang maha berat.
Mengajak orang menuju kebenaran bukanlah hal ringan. Orang-orang Quraisy terlalu keras
kepala. Mereka suka berdebat namun dengan tujuan hanya ingin mentertawakan dan
melecehkan Rasulullah.
“Dan tatkala putra Maryam (Isa) dijadikan perumpamaan tiba-tiba kaummu (Quraisy)
bersorak karenanya. Dan mereka berkata:”Manakah yang lebih baik tuhan-tuhan kami atau
dia (Isa)? Mereka tidak memberikan perumpamaan itu kepadamu melainkan dengan
maksud membantah saja, sebenarnya mereka adalah kaum yang suka bertengkar”.(QS.Az-
Zukhruf(43):57-58).
Kedua ayat diatas menceritakan kembali kejadian ketika Rasulullah di hadapan orang-
orang, membacakan ayat 98 surat Al-Anbiya yang mengatakan bahwa“Sesungguhnya kamu
dan apa yang kamu sembah selain Allah, adalah umpan Jahannam, kamu pasti masuk ke
dalamnya”. Sontak, salah satu orang Quraisy itu menanyakan tentang nasib Isa as yang
disembah orang Nasrani, akankah ia menjadi kayu bakar neraka jahanam seperti berhala
sesembahan mereka.

Rasulullah terdiam dan orang-orang Quraisy itupun menertawakannya. Padahal ayat diatas
sebenarnya hanya ditujukan kepada sesembahan mereka bukan Isa as. Selanjutnya mereka
kembali bertanya mana lebih baik, sesembahan mereka atau Isa Al-Masih. Maka dengan
turunnya ayat 57 dan 58 diatas, Rasulullahpun menjadi faham bahwa pertanyaan mereka
tidak perlu ditanggapi.

Menjadi utusan Allah memang perlu kesabaran extra. Hanya dengan pertolongan-Nya saja
para utusan ini dapat menyelesaian misinya. Nabi Adam, nabi Nuh, nabi Yunus, nabi
Ibrahim, nabi Daud, nabi Musa dan juga nabi-nabi lain suatu saat pernah berbuat
„kesalahan‟ di dalam pandangan-Nya. Begitupun nabi Muhammad SAW. Sebagaimana
seorang utusan Allah yang memiliki tanggung jawab tinggi, beliau begitu menginginkan
agar dakwahnya mendapat sambutan.

Suatu hari ketika beliau sedang berdakwah di hadapan para pembesar Quraisy tiba-tiba
datang seorang sahabat dan langsung menanyakan sesuatu. Tentu saja kehadiran sahabat
tersebut mengganggu jalannya pertemuan. Maka Rasulullahpun tidak menanggapinya dan
tanpa sengaja air mukanya agak berubah. Namun ternyata Allah SWT tidak ridho terhadap
reaksi beliau dan langsung menegurnya.

“Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling karena telah datang seorang buta
kepadanya. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa). atau dia
(ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfa‟at kepadanya?
Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup maka kamu melayaninya. Padahal tidak ada
(celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman). Dan adapun orang yang
datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran) sedang ia takut
kepada (Allah) maka kamu mengabaikannya“. (QS.Abasa(80):1-10).

Betapa menyesalnya Rasulullah. Ini bukanlah kebiasaan dan sifatnya. Beliaupun segera
bertaubat. Menghadapi hal-hal seperti ini biasanya beliau tumpahkan isi hatinya kepada
istrinya tercinta yang selalu bisa menghiburnya. Ini yang membuat beliau merasa begitu
kehilangan.

Apalagi ketika beberapa bulan kemudian, Abu Thalib, paman yang selama ini selalu
melindunginya juga wafat. Rasulullah tak dapat membayangkan apa yang bakal diperbuat
orang-orang Quraisy terhadap dirinya tanpa perlindungan Abu Thalib. Namun yang juga
membuat diri Rasulullah gundah adalah sikap Abu Thalib. Pamannya ini walapun selalu
melindungi beliau namun ia sendiri sebenarnya tidak pernah mengucap syahadat.

“Sesungguhnya kamu tidak akan dapat memberi petunjuk kepada orang yang kamu kasihi,
tetapi Allah memberi petunjuk kepada orang yang dikehendaki-Nya, dan Allah lebih
mengetahui orang-orang yang mau menerima petunjuk”. (QS.Al-Qashash (28):56).
Abu Hurairah (dan Sa‟id bin Musayyab ) menerangkan bahwa ayat diatas diturunkan
berkenaan dengan Abu Thalib ketika mendekati ajalnya. Ia didatangi Rasulullah. Di sisinya
ada Abu Jahal dan Abdillah bin Abu Umayah. Rasul bersabda:”Wahai paman, ucapkanlah La
ilaha illallah . Kalimat ini akan kujadikan argument di akhirat kelak bahwa kau adalah orang
beriman”. Namun Abu Jahal dan Abdillah menentang.”Hai Abu Thalib, apa kau akan
meninggalkan agama Abdul Muththalib?”. Hal ini terjadi berulang kali hingga pada
hembusan nafas terakhirnya, Abu Thalib bersaksi tetap pada agama Abdul Muththalib.
Rasul sungguh sedih dan berkata:”Aku akan terus meminta ampunan untukmu paman
sebelum Allah melarang hal ini”. (HR Bukhari, Muslim dan Tirmidzi).
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada
Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat
(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu, adalah penghuni
neraka Jahannam”. (QS.At-Taubah(9):113

Ketika itu ayat di atas memang belum turun. Itu sebabnya Rasulullah berani berkata
demikian. Di kemudian hari tahun dimana Khadijah dan Abu Thalib wafat dinamakan Tahun
Duka Cita atau „Amul Huzni.
Kekhawatiran dan dugaan Rasulullah tidak salah. Begitu keduanya wafat, kebencian dan
permusuhan orang-orang Quraisy terhadap Islam makin menjadi. Berbagai penghinaan dan
kekerasan makin meningkat. Niat untuk menyingkirkan Rasulullah yag dulu pernah
terhalang karena perlindungan Abu Thalib kini makin tampak nyata. Berbagai cara mereka
coba, diantaranya dengan kekuatan tenung dan hipnotis.

“Dan sesungguhnya orang-orang kafir itu benar-benar hampir menggelincirkan kamu


dengan pandangan mereka, tatkala mereka mendengar Al Qur‟an dan mereka
berkata:”Sesungguhnya ia (Muhammad) benar-benar orang yang gila”. (QS.Al-
Qalam (68):51).

Orang-orang Arab pada masa lalu adalah masyaratat jahiliyah. Ketika mereka merasa tidak
senang atau membenci sesuatu mereka terbiasa menggunakan kekuatan pandangan mata
atau apa yang sekarang biasa di sebut Hipnotis untuk mengalahkan lawannya. Ini yang
hendak mereka lakukan terhadap Rasulullah. Namun melalui ayat 67 surat Al-Maidah Allah
menjanjikan bahwa kekuatan tersebut tidak akan mempan terhadap diri Rasulullah. Oleh
karenanya Rasulullah yang semula selalu didampingi para sahabat ketika berdakwah
menyuruh para sahabat untuk membiarkannya seorang diri tanpa kawalan ketat.

“Hai Rasul, sampaikanlah apa yang di turunkan kepadamu dari Tuhanmu. Dan jika tidak
kamu kerjakan (apa yang diperintahkan itu, berarti) kamu tidak menyampaikan amanat-
Nya. Allah memelihara kamu dari (gangguan) manusia. Sesungguhnya Allah tidak memberi
petunjuk kepada orang-orang yang kafir”.(QS. Al Maidah(5):67).
“Bahkan mereka mengatakan:”Dia adalah seorang penyair yang kami tunggu-tunggu
kecelakaan menimpanya”.(QS.At-Thur (52):30).
Ibnu Abbas menegaskan bahwa ayat ini diturunkan berkenaan dengan kaum Quraisy yang
berkumpul di Darun Nadwah sambil membicarakan Rasulullah. Salah satu dari mereka
berkata:”Ikat dan penjarakan saja ia hingga mati seperti para ahli syair yang juga
temannya terdahulu, Zuhair dan an-Nabighah”.(HR Ibnu Jarir).

Sungguh betapa pedihnya hati Rasulullah. Kemana beliau harus mencari perlindungan?
Namun dengan turunnya ayat berikut hati Rasulullah agak lega. Karena paling tidak bukan
diri dan pribadinyalah yang dimusuhi melainkan tugasnya sebagai Rasul Allah, seperti juga
rasul-rasul lain yang selalu didustakan. Tugas para rasul hanyalah menyampaikan, Allah
yang menentukan siapa yang mau mengikuti petunjuk dan mempercayai peringatan-Nya.
“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan
hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah. Dan
sesungguhnya telah didustakan (pula) rasul-rasul sebelum kamu, akan tetapi mereka sabar
terhadap pendustaan dan penganiayaan (yang dilakukan) terhadap mereka, sampai datang
pertolongan Kami kepada mereka. Tak ada seorangpun yang dapat merobah kalimat-
kalimat (janji-janji) Allah. Dan sesungguhnya telah datang kepadamu sebahagian dari berita
rasul-rasul itu.Danjika perpalingan mereka (darimu) terasa amat berat bagimu, maka jika
kamu dapat membuat lobang di bumi atau tangga ke langit lalu kamu dapat mendatangkan
mu`jizat kepada mereka, (maka buatlah). Kalau Allah menghendaki tentu saja Allah
menjadikan mereka semua dalam petunjuk, sebab itu janganlah kamu sekali-kali termasuk
orang-orang yang jahil”.(QS.Al-An‟am(6):33-35).

Namun demikian Rasulullah menyadari bahwa dakwah harus dijalankan secara maksimal.
Manusia harus berusaha mencari jalan bagaimana mengajak kepada kebaikan. Situasi dan
kondisi kota Mekah tanpa adanya perlindungan dari seseorang yang memiliki wibawa dan
pengaruh kuat terhadap masyarakat akan sangat sulit.

Rasulullah akhirnya memutuskan menuju Tha‟if, kota peristirahatan sejuk di bukit dimana
sebagian pembesar Mekah melewatkan waktu santainya. Di kota yang berjarak 70 km dari
Mekah inilah Rasulullah akan mencari perlindungan dan dukungan dari bani Tsaqif. Siapa
tahu dalam keadaan santai hati mereka bisa lebih lunak dan lembut sehingga ayat-ayat
Allah bisa lebih mengena, begitu pikir Rasulullah. Maka berangkatlah beliau dengan
ditemani Zaid bin Haritsah. Sepuluh hari lamanya mereka menetap di Tha‟if.

Tetapi apa yang terjadi sungguh menyakitkan. Selama sepuluh hari itu tak satu orangpun
mau mendengarkan ajakan beliau. Para pembesar itu tidak hanya menolak ajakan
Rasulullah dengan kasar namun bahkan memerintahkan para preman dan budak untuk
melempari beliau dengan batu hingga mengakibatkan luka-luka di kedua kaki beliau. Zaid
berusaha melindungi tetapi kewalahan dan malah terluka di kepalanya.

Orang-orang biadab tersebut terus mengejar Rasulullah hingga mereka berdua sampai di
sebuah kebun anggur milik Uqbah bin Rabi‟ah. Ditempat ini barulah mereka berhenti dan
membiarkan Rasulullah berlindung. Betapa sedih dan kecewanya Rasulullah hingga beliau
akhirnya berdoa, mengadukan perasaan dan kegundahan hati beliau sebagai berikut ini:
Ya Allah… Kepadamu aku mengadukan kelemahan kekuatanku,
Dan sedikitnya kemampuanku,
Serta kehinaanku dihadapan manusia.
Wahai Sebaik-baik pemberi kasih sayang,
Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Engkau adalah Tuhanku.
Kepada siapakah Engkau serahkan diriku,
Kepada orang yang jauh yang menggangguku,
Atau kepada musuh yang akan menguasai urusanku,
Asalkan Engkau tidak marah padaku maka tiadalah keberatan bagiku,
Akan tetapi kemurahan-Mu jauh lebih luas bagiku.
Aku berlindung dengan Cahaya Wajahmu yang akan menerangi seluruh kegelapan,
Dan yang akan memberikan kebaikan segala urusan dunia dan akhirat,
Untuk melepaskan aku dari Marah-Mu,
Atau menghilangkan Murka-Mu dariku.
Hanya pada-Mu aku merintih berharap mendapatkan Keridloan-Mu,
Dan tidak ada daya dan kekuatan kecuali dengan-Mu.

Begitu khusuknya beliau berdoa hingga tidak menyadari bahwa ternyata dua anak Rabi‟ah
memperhatikan apa yang dilakukan Rasulullah. Tampak jelas bahwa Sang Khalik sangat
tersentuh dengan doa khusuk hamba-Nya yang sedang berduka tersebut hingga Ia
kemudian berkenan menggerakkan hati si pemilik kebun untuk menyuruh pelayannya yang
bernama Addas, seorang pemeluk Nasrani yang taat, agar mengambilkan buah anggur
untuk diberikan kepada Rasulullah dan Zaid.

Rasulullahpun mengulurkan tangannya seraya mengucapkan:”Bismillahirohmanirohim”.


Mendengar itu Addas bertanya:”Demi Allah, kata-kata itu tidak pernah diucapkan oleh
penduduk daerah ini”. Maka terjadilah percakapan antara Rasulullah dengan Addas.
Akhirnya Rasulullah menerangkan bahwa beliau adalah utusan Allah, sama dengan utusan-
utusan yang dulu pernah dikirim-Nya. Seketika itu juga Addas berlutut di hadapan
Rasulullah, lalu mencium kepala, kedua tangan dan kedua kaki Rasulullah hingga Rasulullah
terharu dibuatnya.

Beliau teringat pada janji Allah bahwa Ia akan selalu melindunginya. Tetapi bentuk
perlindungan itu bukan berarti beliau bakal bebas dari hinaan dan cacian sebagaimana juga
rasul-rasul lain. Namun perlindungan itu dari segala bentuk kejahatan seperti pengaruh
hipnotis, makar dan pembunuhan yang beresiko menggagalkan perkembangan Islam.
Hinaan dan cacian memang membuat beliau sedih namun Allah SWT telah memberinya
jalan untuk mengatasi hal tersebut,yaitu dengan shalat dan doa.

“Dan Kami sungguh-sungguh mengetahui, bahwa dadamu menjadi sempit disebabkan apa
yang mereka ucapkan maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan jadilah kamu di
antara orang-orang yang bersujud (shalat) dan sembahlah Tuhanmu sampai datang
kepadamu yang diyakini (ajal)”.(QS.Al-Hijr(15):97-99).
Namun demikian Allah SWT ternyata tetap mengutus malaikat Jibril untuk menemui
beliau,”Sesungguhnya Allah mendengar perkataan kaummu terhadapmu dan Allah telah
mengutus malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan sesukamu”.
Kemudian malaikat gunungpun datang dan berseru:”Wahai Muhammad ! Aku adalah
malaikat penjaga gunung dan Rabbmu telah mengutusku kepadamu untuk engkau
perintahkan sesukamu. Jika engkau suka, aku bisa membalikkan gunung Akhsyabin ini ke
atas mereka”.
“Aku bahkan menginginkan semoga Allah berkenan mengeluarkan dari anak keturunan
mereka generasi yang menyembah Allah semata, tidak menyekutukannya dengan
sesuatupun”, itulah jawaban Rasulullah. Betapa mulianya beliau. Tak tampak kebencian dan
keinginan balas dendam terhadap kaum yang telah berbuat keji kepada beliau.

Selanjutnya dalam perjalanan menuju Mekah, Rasulullah mampir terlebih dahulu disuatu
tempat. Ditempat ini beliau mendirikan shalat dan membaca Al-Quranul Karim. Ketika itulah
sekumpulan jin mendengar ayat-ayat Allah dan kemudian merekapun beriman.

“Dan (ingatlah) ketika Kami hadapkan serombongan jin kepadamu yang mendengarkan Al
Qur‟an, maka tatkala mereka menghadiri pembacaan (nya) lalu mereka berkata:”Diamlah
kamu (untuk mendengarkannya)”. Ketika pembacaan telah selesai mereka kembali kepada
kaumnya (untuk) memberi peringatan”.(QS.Al-Ahqaf(46):29).

Rasulullah sempat mengalami kesulitan untuk masuk kembali ke Mekah. Baru setelah
mendapat jaminan perlindungan dari Muth‟am bin Adi, Rasulullah dapat memasuki kembali
kota dimana beliau dilahirkan dan dibesarkan itu dengan aman.

Tiba di Mekah, tanpa mengenal lelah Rasulullah kembali berdakwah mengajak kaum
Quraisy untuk menyembah hanya kepada Allah. Namun mereka menjawab bahwa bila
mereka mengikuti Rasullah mereka khawatir akan diusir dari Mekah.
“Dan mereka berkata:”Jika kami mengikuti petunjuk bersama kamu, niscaya kami akan
diusir dari negeri kami”. Dan apakah Kami tidak meneguhkan kedudukan mereka dalam
daerah haram (tanah suci) yang aman, yang didatangkan ke tempat itu buah-buahan dari
segala macam (tumbuh-tumbuhan) untuk menjadi rezki (bagimu) dari sisi Kami?. Tetapi
kebanyakan mereka tidak mengetahui”.(QS.Al-Qashash(28):57).
“Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah:”Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir”.(QS.Ali Imran(3):31-32).

XI.Peristiwa Isra Mi’raj dan persiapan Mad inah sebagai tempat hijrah.
Diriwayatkan dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah bersabda:”…Lalu Allah mewahyukan
kepadaku suatu wahyu, yaitu Dia mewajibkan shalat kepadaku 50 kali sehari semalam. Lalu
aku turun dan bertemu dengan Musa as. Dia bertanya,”Apa yang telah difardhukan
Tuhanmu atas umatmu?” Aku menjawab, ”Shalat 50 kali sehari semalam”. Musa
berkata,”Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan karena umatmu tidak akan
mampu melakukannya. Akupun telah menguji dan mencoba Bani Israel”. Maka akupun
kembali kepada Tuhanku, lalu berkata,”Ya Tuhanku, ringankanlah bagi umatku, hapuslah
lima kali.”Lalu aku kembali kepada Musa seraya berkata, Tuhanku telah menghapus lima
kali shalat”. Musa berkata,”Sesungguhnya umatmu tidak akan sanggup shalat sebanyak itu.
Kembalilah kepada Tuhanmu dan mintalah keringanan”. Maka aku bolak-balik antara
Tuhanku dan Musa as hingga Dia berfirman,”Hai Muhammad, yang 50 kali itu menjadi
5 kali saja. Setiap kali setara dengan 10 kali sehingga sama dengan lima puluh kali
shalat……”. Akupun turun hingga bertemu lagi dengan Musa as dan mengatakan kepadanya
bahwa aku telah kembali kepada Tuhanku sehingga aku malu kepada-Nya”. (HR Muslim)

Perintah shalat 5 waktu dalam sehari semalam diatas diterima Rasulullah SAW ketika beliau
melakukan Isra (dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsho ) dan Mi‟raj (dari Masjidil Aqsho ke
Sidratul Muntaha di lapisan tertinggi langit). Perjalanan spektakuler dengan mengendarai
buraq (kendaraan terbang yang dikisahkan terbuat dari cahaya dan berbentuk kuda ) ini
merupakan imbalan bagi kesabaran Rasulullah yang selama lebih dari 10 tahun telah
bersabar menyampaikan pesan Sang Khalik kepada masyarakat Mekah meskipun hasilnya
tidak terlalu memuaskan. Puncak cobaan bagi beliau adalah dipanggilnya kedua orang
terdekat beliau yang selama ini selalu mendukung dakwah Rasulullah yaitu Khadijah ra,
sang istri tercinta dan Abu Thalib, paman beliau serta peristiwa Thaif dimana dakwah
Rasulullah di tolak mentah-mentah. Bahkan beliaupun sempat dikejar-kejar dan dilempari
penduduk kota tersebut hingga mengalami luka di beberapa tempat.

(Lihat: http://vienmuhadi.com/2010/09/19/riwayat-singkat-kehidupan-rasulullah-SAW-9/).

Undangan perjalanan malam ke Sidratul Muntaha ini benar-benar sebuah penghargaan


istimewa dari Sang Khalik kepada seorang hamba. Karena sebelumnya tak satupun rasul
apalagi manusia biasa yang pernah mengalaminya.

Selama ini Rasulullah tidak pernah menuntut apapun kecuali keridhoan Sang Khalik. Ketika
malaikat gunung menawarkan untuk menjatuhkan gunung yang berada di Thaif karena
keingkaran penduduknya beliau malah mendoakan agar hati orang-orang tersebut dibuka
dalam menerima dakwah beliau. Tampak bahwa tak terbesit sedikitpun di hati beliau rasa
putus asa apalagi dendam.

“Sesungguhnya Yunus benar-benar salah seorang rasul, (ingatlah) ketika ia lari, ke kapal
yang penuh muatan, kemudian ia ikut berundi lalu dia termasuk orang-orang yang kalah
dalam undian. Maka ia ditelan oleh ikan besar dalam keadaan tercela. Maka kalau sekiranya
dia tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal
di perut ikan itu sampai hari berbangkit”. (QS. As-Shaffat(37):139-144).

Ayat di atas berkisah tentang nabi Yunus as yang suatu ketika merasa putus asa karena
sedikitnya jumlah orang yang mau mendengar dakwahnya. Ia kemudian lari dan menaiki
sebuah kapal. Namun ternyata Allah SWT tidak meridhoi perbuatannya. Maka Allahpun
kemudian menjatuhkan hukuman yaitu dengan ditelannya Yunus as oleh seekor ikan
raksasa. Yunus segera menyadari kesalahannya dan segera bertaubat hingga Allahpun
menerima taubatnya dan memberinya kemudahan.

Selain ayat diatas ada beberapa ayat yang menceritakan bagaimana para rasul memohon
agar Allah mengazab orang yang mendustakan mereka. Sementara dua ayat berikut adalah
ayat yang menceritakan bagaimana nabi Ibrahim as dan nabi Musa as memohon bukti akan
kekuasaan-Nya agar keimanan mereka lebih kuat lagi. Hal yang tak pernah sekalipun
terpikir oleh Rasulullah SAW.

“Dan (ingatlah) ketika Ibrahim berkata:”Ya Tuhanku, perlihatkanlah padaku bagaimana


Engkau menghidupkan orang mati”. Allah berfirman:”Belum yakinkah kamu?”. Ibrahim
menjawab:”Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap (dengan
imanku)”. Allah berfirman:”(Kalau demikian) ambillah empat ekor burung, lalu cingcanglah
semuanya olehmu. (Allah berfirman):”Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian
dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu
dengan segera”. Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS. Al-
Baqarah (2):260).
“Dan tatkala Musa datang untuk (munajat dengan Kami) pada waktu yang telah Kami
tentukan dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya, berkatalah Musa:”Ya Tuhanku,
nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat kepada Engkau”. Tuhan
berfirman:”Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke bukit itu, maka jika
ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku”. Tatkala
Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh dan
Musapun jatuh pingsan. Maka setelah Musa sadar kembali, dia berkata:”Maha Suci Engkau,
aku bertaubat kepada Engkau dan aku orang yang pertama-tama beriman”.(QS.Al-
Araf (7):143).

Peristiwa Isra Mi‟raj adalah mukjizat terbesar bagi Rasulullah Muhammad SAW setelah Al-
Quranul Karim. Hanya orang beriman saja yang dapat menerima berita ini tanpa syarat.
Walaupun di zaman modern ini sebenarnya bukan hal yang istimewa ketika orang dapat
melakukan perjalanan dari ujung dunia satu ke ujung dunia yang lain dalam semalam, yaitu
dengan peSAWat terbang.

Pembahasan apakah Rasulullah melakukan perjalanan tersebut dengan jiwa dan raganya
ataupun hanya dengan jiwa tanpa raga sebenarnya juga bukan merupakan cerminan orang
beriman. Karena perjalanan dengan raga sekalipun bukanlah hal yang mustahil bagi Sang
Khalik, Yang Maha Cerdas, Yang Maha Berkuasa Atas Segala Sesuatu.

Demikian pula dengan adanya sejumlah hadits yang menceritakan pertemuan Rasulullah
dengan sejumlah nabi di lapisan-lapisan tertentu di langit. Tidak perlu kita membahas
masalah tersebut secara rinci karena akal dan daya pikir kita tidak akan sampai. Bukankah
sains berkata bahwa bahkan bintang yang saat ini kita pandangpun sebenarnya sudah
tidak berada ditempat ketika kita melihatnya? Jadi yang terbaik cukuplah kita
mengimaninya saja.

Anas bin Malik r.a. berkata,”Abu Dzarr r.a. menceritakan bahwasanya Nabi Muhammad SAW
bersabda, „Dibukalah atap rumahku dan aku berada di Mekah. Turunlah Jibril a.s. dan
mengoperasi dadaku, kemudian dicucinya dengan air zamzam. Ia lalu membawa mangkok
besar dari emas, penuh dengan hikmah dan keimanan, lalu ditumpahkan ke dalam dadaku,
kemudian dikatupkannya.
Ia memegang tanganku dan membawaku ke langit dunia. Ketika aku tiba di langit dunia,
berkatalah Jibril kepada penjaga langit, „Bukalah.‟ Penjaga langit itu bertanya, „Siapakah
ini?‟ Ia (jibril) menjawab, „Ini Jibril.‟ Penjaga langit itu bertanya, „Apakah Anda bersama
seseorang?‟ Ia menjawab, „Ya, aku bersama Muhammad SAW.‟ Penjaga langit itu bertanya,
„Apakah dia diutus?‟ Ia menjawab, „Ya.‟ Ketika penjaga langit itu membuka, kami menaiki
langit dunia. Tiba tiba ada seorang laki-laki duduk di sebelah kanannya ada hitam-hitam
(banyak orang) dan disebelah kirinya ada hitam-hitam (banyak orang).
Apabila ia memandang ke kanan, ia tertawa, dan apabila ia berpaling ke kiri, ia menangis,
lalu ia berkata, „Selamat datang Nabi yang saleh dan anak laki-laki yang saleh.‟ Aku
bertanya kepada Jibril, „Siapakah orang ini?‟ Ia menjawab, „Ini adalah Adam dan hitam-
hitam yang di kanan dan kirinya adalah adalah jiwa anak cucunya. Yang di sebelah kanan
dari mereka itu adalah penghuni surga dan hitam-hitam yang di sebelah kainya adalah
penghuni neraka.‟ Apabila ia berpaling ke sebelah kanannya, ia tertawa, dan apabila ia
melihat ke sebelah kirinya, ia menangis, sampai Jibril menaikkan aku ke langit yang ke dua,
lalu dia berkata kepada penjaganya, „Bukalah.‟ Berkatalah penjaga itu kepadanya seperti
apa yang dikatakan oleh penjaga pertama, lalu penjaga itu membukakannya.”
Anas berkata,”Beliau menyebutkan bahwasanya di beberapa langit itu beliau bertemu
dengan Adam, Idris, Musa, Isa, dan Ibrahim shalawatullahi alaihim, namun beliau tidak
menetapkan bagaimana kedudukan (posisi) mereka, hanya saja beliau tidak menyebutkan
bahwasanya beliau bertemu dengan Adam di langit dunia dan Ibrahim di langit
keenam.”Anas berkata,”Ketika Jibril a.s. bersama Nabi Muhammad SAW melewati Idris,
Idris berkata, „Selamat datang Nabi yang saleh dan saudara laki-laki yang saleh.‟ Aku
(Rasulullah) bertanya, „Siapakah ini?‟ Jibril menjawab, „Ini adalah Idris.‟ Aku melewati Musa
lalu ia berkata, „Selamat datang Nabi yang saleh dan saudara yang saleh.‟ Aku bertanya,
„Siapakah ini?‟ Jibril menjawab, „Ini adalah Musa.‟ Aku lalu melewati Isa dan ia berkata,
„Selamat datang saudara yang saleh dan Nabi yang saleh.‟ Aku bertanya, „Siapakah ini?‟
Jibril menjawab, „Ini adalah Isa.‟ Aku lalu melewati Ibrahim, lalu ia berkata, „Selamat datang
Nabi yang saleh dan anak yang saleh.‟ Aku bertanya,‟Siapakah ini?‟ Jibril menjawab, „Ini
adalah Ibrahim as..‟”(HR. Bukhari no. 192)
Namun demikian ini tidak berarti bahwa kepergian Rasulullah ke Masjidil Aqsho dan Sidratul
Muntaha langsung membuat dakwah beliau lancar. Karena hal tersebut justru membuat
penduduk Mekah mentertawakan dan mengejek beliau. Mereka bahkan menantang
Rasulullah agar menggambarkan Baitul tersebut secara detil dan rinci jika beliau memang
telah pergi dan shalat didalamnya.

Tentu saja Rasulullah agak terkejut mendengar permintaan tersebut. Karena Rasulullah
memang tidak memperhatikan Baitul tersebut ; bagaimana bentuk bangunan, berapa
jumlah pilar-pilarnya dsb. Namun Allah SWT segera menolong rasul-Nya tersebut.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan bahwa Rasulullah sab bersabda:“Ketika kaum Quraisy
mendustakan aku, aku sedang berdiri di Hijr (Ismail). Lalu Allah memperlihatkan Baitul
Maqdis kepadaku. Kemudian aku kabarkan kepada mereka tentang tiang-tiangnya dari apa
yang aku lihat”.

Dengan itu maka Rasulullahpun berhasil menjawab semua pertanyaan kaum Quraisy
dengan baik dan tepat. Tetapi mereka tetap tidak mempercayai apa yang dikatakan
Rasulullah. Mereka lalu pergi menemui Abu Bakar dan menceritakan apa yang dikatakan
Rasulullah dengan harapan agar sahabat Rasulullah tersebut menolak berita beliau.

“Jika memang benar Muhammad yang mengatakannya, dia telah berkata benar dan
sungguh aku akan membenarkannya lebih dari itu”, begitu tanggapan singkat Abu Bakar.
“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Al
Masjidil Haram ke Al Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya agar Kami
perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia
adalah Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS.Al-Isra (17):1).
Pernyataan Abu Bakar dan juga turunnya ayat yang menjelaskan perjalanan Isra Mi‟raj
Rasulullah ternyata tidak mengubah prilaku penduduk Mekah. Mereka tetap berkeras
memegang agama nenek moyang mereka. Kebencian Abu Lahab terhadap Rasulullah malah
makin menjadi-jadi. Kemanapun Rasulullah pergi selalu dikuntitnya.”Jangan kalian
mengikutinya. Sesungguhnya dia seorang murtad dan pendusta !”. Demikian pula istrinya,
Ummi Jamil, yang setiap hari selalu menebarkan duri di tempat-tempat yang akan dilalui
Rasulullah. Itu sebabnya Allah SWT menurunkan ayat berikut:
“Dan (begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar. Yang di lehernya ada tali dari
sabut”. (QS. Al-Lahab(111):4-5).
Namun Rasulullah tak pantang menyerah. Ayat demi ayat yang setiap hari turun terus
disampaikannya kepada penduduk Mekah meski tak satupun yang mau mendengarkannya.
Mereka tetap memperolokkan dan malah menantang mengapa Allah tidak menurunkan
malaikat saja atau mengapa Al-Quran bukannya turun saja dalam bentuk tulisan.

“Dan tak ada suatu ayatpun dari ayat-ayat Tuhan sampai kepada mereka, melainkan
mereka selalu berpaling daripadanya (mendustakannya). Sesungguhnya mereka telah
mendustakan yang hak (Al Qur‟an) tatkala sampai kepada mereka, maka kelak akan sampai
kepada mereka (kenyataan dari) berita-berita yang selalu mereka perolok-olokkan”. (QS.Al-
An‟am(6):4-5).
“Dan kalau Kami turunkan kepadamu tulisan di atas kertas, lalu mereka dapat
memegangnya dengan tangan mereka sendiri, tentulah orang-orang yang kafir itu
berkata:”Ini tidak lain hanyalah sihir yang nyata”.Dan mereka berkata:”Mengapa tidak
diturunkan kepadanya (Muhammad) seorang malaikat?”dan kalau Kami turunkan
(kepadanya) seorang malaikat, tentu selesailah urusan itu, kemudian mereka tidak diberi
tangguh (sedikitpun). Dan kalau Kami jadikan rasul itu (dari) malaikat, tentulah Kami
jadikan dia berupa laki-laki dan (jika Kami jadikan dia berupa laki-Iaki), Kami pun akan
jadikan mereka tetap ragu sebagaimana kini mereka ragu.”.(QS.Al-An‟am(6):7-9).

Bahkan peringatan dan azab keras yang pernah diturunkan Allah SWT kepada kaum yang
mendustakan para rasul dan nabi pada masa lampaupun tidak membuat mereka takut.

“Apakah mereka tidak memperhatikan berapa banyaknya generasi-generasi yang telah


Kami binasakan sebelum mereka, padahal (generasi itu), telah Kami teguhkan kedudukan
mereka di muka bumi, yaitu keteguhan yang belum pernah Kami berikan kepadamu, dan
Kami curahkan hujan yang lebat atas mereka dan Kami jadikan sungai-sungai mengalir di
bawah mereka, kemudian Kami binasakan mereka karena dosa mereka sendiri, dan kami
ciptakan sesudah mereka generasi yang lain”.(QS.Al-An‟am(6):6).

Hingga pada suatu hari di tahun ke sebelas ke-nabian, Rasulullah bertemu dengan
sekelompok orang dari kabilah Khazraj yang telah dibukakan hatinya oleh Sang Khalik
untuk menerima kebenaran. Mereka ternyata adalah orang-orang yang telah sejak lama
bertetangga dengan orang-orang Yahudi. Orang Yahudi ketika itu dikenal sebagai ahli
agama dan ahli pengetahuan. Mereka bercerita bahwa setiap kali terjadi pertentangan
antara kaumnya dengan orang-orang Yahudi, orang-orang Yahudi tersebut selalu berkata:
“Sesungguhnya sekarang telah tiba saatnya akan dibangkitkan seorang nabi. Kami akan
mengikutinya dan bersamanya kami akan memerangi kalian sebagaimana pembunuhan
„Aad dan „Iram”.
Maka setelah orang-orang dari suku Khazraj itu bertemu dan mendengar sendiri ayat-ayat
Al-Quran dibacakan oleh Rasulullah, seraya saling berpandangan merekapun segera
berujar:”Demi Allah, ketahuilah bahwa dia adalah Nabi yang dijanjikan oleh orang-orang
Yahudi kepada kita. Jangan sampai mereka mendahului kita”.
Demikianlah akhirnya mereka ber-syahadat, mengakui bahwa Tiada Tuhan selain Allah dan
Muhammad adalah Rasulullah. Mereka juga berjanji akan mengajak keluarga dan handai
taulan mereka di Yatrib (Madinah ) agar mengikuti jejak mereka dalam ber-
Islam. Kemudian mereka pulang dan berjanji akan datang menemui Rasulullah kembali
pada musim haji mendatang.

XII.Baiat Aqabah dan Hijrahnya para sahabat.

Memasuki tahun ke 11 kenabian, Islam mulai tersebar di Madinah (d/h Yatsrib). Ini berkat
kaum Khahraj yang menepati janji mereka terhadap Rasulullah untuk mengajak seluruh
saudara dan handai taulan mereka di Madinah untuk memeluk Islam. Tahun berikutnya,
yaitu pada tahun 621 M pada musim haji, 12 orang lelaki dari suku Anshar datang menemui
Rasulullah di Aqabah. Mereka datang untuk berbaiat (berjanji setia) kepada beliau.
Peristiwa ini dikenal dengan nama Baiat Aqabah I atau Baiat Perempuan karena isinya sama
dengan baiat yang dilakukan Rasulullah dengan kaum perempuan beberapa tahun
kemudian.

“Hai Nabi, apabila datang kepadamu perempuan-perempuan yang beriman untuk


mengadakan janji setia, bahwa mereka tidak akan mempersekutukan sesuatupun dengan
Allah; tidak akan mencuri, tidak akan berzina, tidak akan membunuh anak-anaknya, tidak
akan berbuat dusta yang mereka ada-adakan antara tangan dan kaki mereka dan tidak
akan mendurhakaimu dalam urusan yang baik, maka terimalah janji setia mereka dan
mohonkanlah ampunan kepada Allah untuk mereka. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Mumtahanah(60):12).
“Berbaitlah kepadaku untuk tidak menyekutukan Allah dengan apapun, tidak mencuri, tidak
berzina, tidak membunuh anak-anakmu, tidak berdusta untuk menutupi-nutupi apa yang
ada di depan atau di belakangmu dan tidak akan membantah perintahku dalam hal
kebaikan. Jika kamu memenuhi, pahalanya terserah kepada Allah. Jika kamu melanggar
sesesuatu dari janji itu lalu dihukumdi dunia maka hukuman itu merupakan kafarat
baginya. Jika kamu melanggar sesuatu dari janji itu kemudian Allah menutupinya maka
urusannya kepada Allah. Bila menghendaki, Allah akan menyiksanya atau memberi
ampunan menurut kehendak-Nya”. Ubaidah bin Shamit, sebagai satu diantara 12 lelaki
Anshar, mengatakan:“Kami kemudian berbait kepada Rasulullah untuk menepatinya”.
Usia berbaiat ke 12 orang lelaki tersebut kembali ke Madinah dengan didampingi Mushab
bin Umair yang diutus Rasulullah agar mengajarkan Al-Quran kepada penduduk Madinah.
Itu sebabnya dikemudian hari Mushab dikenal dengan nama Muqri‟ul (nara sumber )
Madinah. Mushab adalah salah seorang sahabat yang memiliki dedikasi tinggi terhadap
Islam. Ia rela meninggalkan kehidupan remajanya yang serba „wah‟ demi Islam.
(Click:http://vienmuhadi.com/2009/01/19/kisah-mush%E2%80%99ab-bin-umair/ )

Tahun berikutnya lagi, yaitu tahun 622 M, juga pada musim haji, Mush‟ab kembali ke
Mekkah dengan membawa 70 orang lelaki dan 2 orang perempuan, yaitu Nasibah binti
Ka‟ab dan Asma binti Amr bin Addi. Mereka masuk ke Mekkah dengan menyusup di tengah-
tengah rombongan kaum musyrik Madinah yang pergi haji. Pada tengah malam di hari
tasyrik, secara sembunyi-sembunyi mereka menuju ke lembah di Aqabah, lembah dimana
tahun sebelumnya terjadi Baiat Aqabah I. Mereka datang untuk menemui Rasulullah dan
berbaiat. Baiat ini disebut Baiat Aqabah II.

“Aku baiat kalian untuk membelaku sebagaimana kalian membela istri-istri dan anak-
anakmu: demikian Rasulullah bersabda. Kemudian Barra‟ bin Ma‟rur menjabat tangan
Rasulullah sambil berucap:”Ya, demi Allah yang mengutusmu sebagai nabi dengan
membawa kebenaran, kami berjanji akan membelamu sebagaimana kami membela diri
kami sendiri. Baiatlah kami, wahai Rasulullah ! Demi Allah, kami adalah orang-orang yang
ahli perang dan ahli senjata secara turun temurun”.

Begitulah mereka berbaiat. Bila pada Baiat I dulu sekelompok orang-orang Madinah berjanji
untuk tidak menyekutukan Allah, tidak mencuri, tidak berzina, tidak membunuh anak-anak
mereka dan tidak berdusta maka pada Baiat kedua ini mereka berjanji setia untuk membela
dan melindungi Rasulullah.

Tampak bahwa selama 1 tahun di Madinah itu, dengan izin Allah SWT, Mushab telah
berhasil mengajak penduduk kota tersebut untuk mengenal Tuhan-Nya dengan sangat baik.
Begitu besar rasa cinta mereka pada-Nya hingga dengan secara sadar mereka mau
berbaiat; membela dan mencintai Rasulullah sebagaimana mereka membela diri dan anak
istri mereka. Bahkan merekapun langsung menyatakan kesediaan mereka untuk
mengangkat senjata dan menyerang Mina saat itu juga bila Rasulullah menghendaki !
Namun Rasulullah menjawab bahwa Allah belum memerintahkan untuk itu.

Hasan berkata,”Suatu saat, pada masa Rasulullah, sekelompok orang berkata,”Wahai


Rasulullah, Demi Allah, sesungguhnya kami amat mencintai Tuhan kami”. Atas hal itu, Allah
lalu menurunkan ayat 31-32 surat Ali Imran, sebagai tuntunan bagi orang yang ingin
mencintai Allah, yaitu dengan mencintai utusan-Nya dan berpaling dari kekafiran”. (HR.
Ibnu Mundzir).
“Katakanlah:”Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah
mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.”Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Katakanlah:”Ta`atilah Allah dan Rasul-Nya; jika kamu berpaling, maka sesungguhnya Allah
tidak menyukai orang-orang kafir”. (QS. Ali Imran(3):31-32).

Keesokan harinya, beberapa orang Quraisy mendatangi kemah mereka. Dengan penuh
kemarahan orang-orang Quraisy itu menyatakan bahwa mereka mendengar orang-orang
Khahraj telah berbaiat kepada Muhammad dan berniat membawa Muhammad pergi
meninggalkan Mekkah. Beruntung, tiba-tiba sejumlah orang musyrik Madinah datang dan
bersumpah bahwa berita tersebut sama sekali tidak benar.

Orang-orang Quraisy baru menyadari bahwa berita tersebut benar setelah rombongan haji
dari Madinah tersebut telah pergi meninggalkan lokasi. Merekapun segera mengejar dan
mencari orang-orang Khahraj tadi. Mereka akhirnya berhasil menangkap dua diantara
orang Khahraj. Namun salah satunya berhasil melarikan diri hingga tinggal satu yang
berhasil ditangkap dan disandera kaum Quraisy. Kemudian dengan kedua tangan diikat ke
leher, ia diseret ke Mekah kembali. Beruntung ia mempunyai kenalan yang dapat
memberinya hak perlindungan, sebuah kebiasaan yang telah berlaku di tanah Arab, hingga
akhirnya iapun dibebaskan.

Namun di lain pihak, dengan adanya berita tersebut, orang-orang Quraisy makin gencar
meningkatkan penyiksaan dan tekanan mereka terhadap kaum Muslim Mekkah. Penyiksaan
demi penyiksaan, cemoohan, cacian dan hinaan terjadi setiap hari. Akibatnya banyak
diantara pemeluk Islam generasi awal tersebut yang akhirnya terpaksa menyembunyikan
keislaman mereka.
Dapat dibayangkan betapa sulitnya dakwah Islam berkembang. Bila pada tahap dakwah
secara diam-diam yang berlangsung selama 3 tahun pengikut Islam terhitung sekitar 40
orang maka 9 tahun berikutnya, setelah dakwah terang-terangan pengikut Islam hanya
mencapai 70 orang-an saja. Berarti selama 9 tahun, mati-matian Rasulullah berdakwah,
hanya bertambah 30 orang saja !

Akhirnya karena tidak tahan terhadap perlakuan orang Quraisy para sahabatpun mulai
mengeluh, memohon kepada Rasulullah agar diperbolehkan berhijrah. Kemana saja, yang
penting tidak di kota Mekah yang suasananya sama sekali tidak mendukung mereka untuk
menjalankan ajaran dengan baik. Permintaan mereka terjawab karena tidak lama kemudian
turunlah ayat yang memerintahkan agar umat Islam yang hanya segelintir itu untuk segera
berhijrah

“Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan


berfirman),”Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di
antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari
sebagian yang lain. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung
halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, pastilah akan
Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan pastilah Aku masukkan mereka ke dalam
surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya sebagai pahala di sisi Allah. Dan Allah pada
sisi-Nya pahala yang baik.”(QS.AliImran(3):195).
“Sesungguhnya akupun telah diberi tahu bahwa tempat kalian adalah Yatsrib. Barangsiapa
ingin keluar maka hendaklah keluar ke Yatsrib”, demikian Rasulullah menanggapi
permohonan para sahabat.
Para sahabatpun kemudian segera berkemas. Tidak sedikitpun barang dan harta benda
yang dapat dibawa karena mereka harus meninggalkan Mekah, kota kelahiran dimana
seluruh anggota berkumpul, dimana seluruh harta dan pekerjaan berada, secara sembunyi-
sembunyi. Karena ketika keberangkatan mereka tercium oleh orang-orang Quraisy, mereka
akan segera mengejarnya dan mengembalikan ke Mekah dengan paksa. Ini adalah yang
dialami salah satunya oleh Ummu Salamah
ra.(Click:http://vienmuhadi.com/2010/09/01/hindun-binti-suhail-ummu-salamah-ra-
ummirul-mukminin/ ) .
Hanya Umar bin Khattab ra, satu-satunya sahabat yang dengan terang-terangan bahkan
secara provokatif mengumukan kepergiannya ke Yatsrib (Madinah). Dibawah tatapan kesal
tokoh-tokoh Quraisy, ia melakukan thawaf tujuh kali dengan pedang, busur, panah dan
tongkat ditangan. Setelah itu ia menghampiri Maqam Ibrahim yang berada di salah sudut
Ka‟bah seraya berkata lantang:”Barangsiapa ingin ibunya kehilangan anaknya, ingin
istrinya menjadi janda atau ingin anaknya menjadi yatim piatu hendaklah ia menghadangku
di balik lembah ini !”. Namun tak seorangpun yang berani menghadapi tantangan calon
khalifah kedua yang gagah berani tersebut.

Hijrah atau pindah dari satu kota ke kota yang lain, dengan meninggalkan sanak saudara,
handaitaulan, harta benda dan pekerjaan tetap bukanlah hal mudah. Namun inilah yang
dilakukan para sahabat. Karena bagi mereka kecintaan, ketaatan dan ketakwaan kepada
Allah SWT, Sang Khalik adalah sesuatu yang tidak dapat ditawar-tawar. Karena bagi mereka
Allah adalah diatas segalanya. Untuk itu dibutuhkan pengorbanan dan keberanian luar
biasa.

“Kemudian Tuhanmu (pelindung) bagi orang yang berhijrah setelah menderita cobaan, …
…”. (QS.An-Nahl(16):110) .

Umar bin Hakam mengatakan bahwa Abu Fukhaihah, Bilal bin Rahah, Shuhaib, Amir bin
Fuhairah dan beberapa orang Muslim lain yang ketika hendak hijrah ke Madinah, disiksa
kaum musryikin Mekah. Akibat siksaan itu mereka sampai tidak sadarkan diri. (HR. Ibnu
Sa‟ad).

“Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya karena mencari keridhaan
Allah; dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya”.(QS.Al-Baqarah(2):207).
Sa‟id bin Musayyab berkata,”Suatu hari, Shuhaib berhijrah ke Madinah. Di perjalanan ia
dikejar orang-orang kafir Quraisy. Ia kemudian turun dari tunggangannya. Dengan anak
panah di tangan ia berseru,”Wahai musyrik Mekah, Demi Allah kalian tentu mengetahui
bahwa aku adalah seorang pemanah ulung. Kalian tidak akan bisa menyerangku. Maka
pilihlah, kalian semua mati terbunuh atau kalian dapat memiliki semua hartaku di Mekah
dengan syarat kalian tidak mengganggu hijrahku ke Madinah”. Orang-orang kafir itu
memilih harta Shuhaib dan membiarkannya pergi. Setibanya di Madinah, Shuhaib
menceritakan peristiwa yang menimpanya itu kepada Rasulullah. Rasul kemudian
bersabda:”Engkau telah beruntung, wahai Abi Yahya”. Tak lama kemudian turun ayat di
atas. (HR Harits bin Abi Usamah).
“Maka Luth membenarkan (kenabian) nya. Dan berkatalah Ibrahim:”Sesungguhnya aku
akan berpindah ke (tempat yang diperintahkan) Tuhanku (kepadaku); sesungguhnya Dialah
yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS.Al-Ankabut(29):26).

Begitu pula yang dicontohkan nabi Ibrahim as. Beliau berhijrah ketika kota yang
ditempatinya tidak mendukung perkembangan perintah Tuhannya, Allah SWT.

Namun bagi mereka yang kurang begitu kokoh keimanannya hal ini tentu saja terasa amat
memberatkan. Itu sebabnya ada sebagian orang yang telah menyatakan ke-Islam-annya
tapi tidak berani berhijrah. Mereka khawatir bila mereka meninggalkan tanah kelahirannya
maka akan susah hidupnya. Karena bagi mereka harta dan sanak saudara adalah segalanya
meski mereka sulit menjalankan ibadah. Tampaknya bisikan syaitan begitu kuat hingga
mereka lupa bahwa balasan bagi mereka kelak adalah neraka. Allah SWT hanya mau
memaafkan orang yang tidak berhijrah karena memang mereka lemah. Seperti anak-anak,
perempuan, budak dan orang yang benar-benar tidak tahu jalan menuju Madinah.

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri


sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”.
Mereka menjawab:”Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para
malaikat berkata:”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak
yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah). Mereka itu,
mudah-mudahan Allah mema`afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema`af lagi Maha
Pengampun”. (QS.An-Nisa‟(4):97-99).

Jadi hijrah sebenarnya selain pertolongan juga adalah cobaan. Dengan hijrah dapat
dibedakan mana orang yang benar-benar takwa mana yang hanya bermain-main. Mana
yang lebih menyukai dan mencintai Tuhannya mana yang lebih mencintai harta benda.
Mana yang lebih menyukai kehidupan akhirat mana yang lebih memilih kehidupan dunia.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan:”Kami telah
beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?”(QS. Al-Ankabut(29):2).

Para sahabat adalah orang-orang yang mencintai Tuhannya, Allah SWT, lebih dari apapun.
Mereka yang hijrah dari Mekah karena sulit menjalankan ajaran Islam ke Madinah
dinamakan kaum Muhajirin. Mereka siap berani mengambil resiko tak mempunyai
sedikitpun harta dan kehilangan orang-orang yang mereka cintai asalkan Allah SWT ridho
terhadap mereka.

Sementara penduduk Madinah yang telah memeluk Islam dan siap menerima saudara-
saudara mereka seiman yang hijrah demi mencari ridho-Nya disebut kaum Anshar.

“Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad dengan harta dan
jiwanya pada jalan Allah dan orang-orang yang memberikan tempat kediaman dan
pertolongan (kepada orang-orang muhajirin), mereka itu satu sama lain lindung-melindungi
… …”(QS.Al-Anfal(8):72)
“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain.”(HR. Muslim).

Itulah ikatan yang terjadi antara kaum Muhajirin dan kaum Anshar di Madinah Mereka
saling menyayangi karena Allah SWT. Para sahabat sebagai pemeluk Islam tahap awal dari
Mekah yang selama 12 tahun hidup tertindas dan tertekan akhirnya dapat merasakan buah
ketakwaan mereka. Walaupun bukan di kota kelahiran mereka melainkan di Madinah.

Padahal penduduk Madinah sendiri belum genap 2 tahun mengenal ajaran Islam. Ini adalah
skenario Allah SWT. Dimulai dengan kunjungan sekelompok orang Khahraj pada tahun ke
11 kenabian kemudian disusul dengan adanya Baiat Aqabah I dan II, Allah SWT
berkehendak bahwa Islam bakal berkembang pesat dari Madinah. Dalam waktu relatif
singkat masyarakat Madinah tiba-tiba telah siap menerima kehadiran Rasulullah Muhammad
SAW dan ajarannya beserta para sahabat yang telah lebih dahulu memeluk Islam. Dan
dibalut dengan ikatan semangat persaudaraan yang sungguh mengejutkan pula !

XIII. Hijrah ke Madinah.


Kekesalan orang-orang kafir Quraisy makin meningkat mengetahui bahwa sebagian besar
pemeluk Islam Mekah telah pergi meninggalkan kota dan disambut baik pula oleh
penduduk Yatsrib (Madinah). Dan pada puncaknya mereka memutuskan untuk mengadakan
pertemuan darurat. Dalam pertemuan tersebut diambil keputusan bahwa Muhammad harus
dibunuh secepatnya sebelum beliau meninggalkan Mekah. Diputuskan bahwa setiap suku
harus mengirimkan seorang utusannya. Kemudian secara bersama-sama mereka akan
membunuh Rasulullah. Dengan demikian keluarga besar nabi (bani Manaf) tidak akan
berani menuntut balas kematian anggota keluarganya itu. (Menuntut balas atas kematian
salah seorang anggota keluarga adalah suatu hal yang biasa terjadi di tanah Arab).
“Dan (ingatlah), ketika orang-orang kafir (Quraisy) memikirkan daya upaya terhadapmu
untuk menangkap dan memenjarakanmu atau membunuhmu, atau mengusirmu. Mereka
memikirkan tipu daya dan Allah menggagalkan tipu daya itu. Dan Allah sebaik-baik
Pembalas tipu daya”. (QS.Al-Anfal(8):30).

Maka pada malam hari yang telah ditentukan merekapun berkumpul di depan pintu kamar
Rasulullah. Secara kasar dan tiba-tiba mereka mendobrak pintu. Namun yang mereka
dapati di atas pembaringan kamar tersebut ternyata hanya Ali bin Abu Thalib ! Karena
tanpa mereka ketahui, menjelang magrib Rasulullah telah menyelinap keluar kamar dan
menuju rumah Abu Bakar ra. Berdua mereka meninggalkan Mekah dengan mengendarai
dua ekor unta terbaik yang telah dipersiapkan sebelumnya oleh sahabat baik nabi tersebut.
Beberapa riwayat menceritakan bahwa ketika Rasulullah meninggalkan kamar, beliau
menaburkan sejumlah pasir ke muka orang-orang Quraisy yang ketika itu berjaga di depan
kamar beliau sambil membaca ayat berikut:

“Dan Kami adakan di hadapan mereka dinding dan di belakang mereka dinding (pula), dan
Kami tutup (mata) mereka sehingga mereka tidak dapat melihat”.(QS.Yasin(36):9 ).

Tak seorangpun yang mengetahui kepergian Rasulullah kecuali Ali dan anak-anak Abu
Bakar, yaitu Abdullah, Asma dan Aisyah serta pembantu setia Abu Bakar. Dengan menyewa
seorang penunjuk jalan yang dapat dipercaya, Rasulullah dan Abu Bakar menelusuri jalan
yang tidak lazim digunakan. Mereka mengambil jalur berputar ke arah Yaman di selatan. Di
suatu tempat sekitar 6 km Mekah, mereka berpisah, si penunjuk jalan kembali ke Mekah
sedangkan Rasulullah dan Abu Bakar bersembunyi di sebuah gua di sekitar tempat tersebut.

(Gua Thur,Click: http://www.youtube.com/watch?v=RMq2mYXPdsk&feature=related )

Di gua ini mereka tinggal selama 3 malam. Abdullah bin Abu Bakar yang belakangan
menyusul bertugas mengawasi keadaan. Asma dan Aisyah bertugas mengirim makanan.
Sedangkan pembantu Abu Bakar setiap pagi dengan berpura-pura menggembalakan
kambing hingga sore hari bertugas menghapus jejak. Namun selama 3 malam di dalam gua
itu bukannya tanpa kesulitan. Sejumlah riwayat menceritakan keberadaan seekor ular di
balik gua tersebut.

Suatu saat Rasulullah tertidur di bahu Abu Bakar. Ketika itulah tiba-tiba Abu Bakar melihat
seekor ular datang perlahan mendekatinya. Tiba-tiba ular tersebut mematuk kakinya. Abu
Bakar menahan nafas. Ia tidak berani bergerak karena khawatir membangunkan Rasulullah.
Setelah beberapa detik melilit kaki Abu Bakar yang berusaha tenang, ular tersebut lalu
pergi menjauh. Beberapa menit kemudian Abu Bakar merasa tubuhnya panas terbakar.
Rupanya racun ular mulai bereaksi. Didorong rasa cintanya yang begitu tinggi terhadap
kekasih Allah ini, Abu Bakar tetap berusaha diam. Namun karena sakitnya, tak urung air
matanyapun akhirnya menetes dan jatuh mengenai Rasulullah.

Rasulullah terbangun.”Mengapa engkau menangis, wahai sahabat? Menyesalkah engkau


telah mendampingiku ? » tanya Rasulullah khawatir. « Tentu tidak ya Rasul Allah. Tapi
seekor ular telah menggigitku dan racunnya mulai menyakitiku hingga tanpa sengaja air
mataku menetes », jawab Abu Bakar menyesal.
Rasulullah tersentak. « Mengapa engkau tidak mengatakannya ? », tanya Rasul lagi. « Aku
tidak ingin membuatmu terbangun « , jawab Abu Bakar pendek. Rasulullah tersenyum
terharu. Betapa tinggi rasa cinta sahabat nabi ini hingga ia rela berkorban kakinya digigit
ular. Maka tanpa menunggu lebih lama lagi Rasulullahpun segera mengusap bekas gigitan
tadi dengan ludah beliau. Dan dengan izin-Nya luka tersebut kembali pulih. Jadi sungguh
pantas bila suatu ketika Rasulullah berujar:
“Sekiranya aku mengambil seorang kekasih (khalil) niscaya Abu Bakarlah orangnya”. (HR
Muslim).
«Katakanlah:”Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.”Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.(QS.At-
Taubah (9):24).
“Tidaklah beriman salah seorang diantaramu sehingga aku lebih dicintainya daripada
anaknya, orang tuanya dan semua orang”. (HR Muttafaq‟alaih).

Sementara itu penduduk Mekah heboh. Mereka bukan saja gagal membunuh Rasulullah
namun bahkan telah kehilangan jejak. Dengan mengerahkan seluruh kekuatan mereka
melacak semua jalur Mekah – Madinah. Gua Tsur, gua dimana Rasulullah dan Abu Bakar
bersembunyi tidak luput dari pengamatan. Rupanya walaupun pembantu Abu Bakar telah
berusaha menghapus jejak mereka, Allah SWT berkehendak lain. Mereka tetap menemukan
jejak hingga ke mulut gua. Tetapi sesampai di sana jejak tersebut menghilang.
“Mungkinkah mereka bersembunyi di dalam gua ini”, Tanya salah satu orang yang
mengikuti jejak tersebut dengan nada ragu.”Tetapi bagaimana mungkin mereka bisa masuk
?”, lanjutnya sambil memandang tak percaya ke arah seekor burung merpati yang tengah
mengerami telurnya di depan gua sementara sarang laba-laba terlihat menutupi mulut gua.
Ia berusaha menjengukkan kepalanya ke arah gua.
Abu Bakar mendongakkan kepalanya. Dengan suara gemetar ia berkata lirih:”Oh kita pasti
tertangkap. Bila mereka melihat ke bawah pasti kita akan terlihat”. “Janganlah engkau
menyangka bahwa kita hanya berdua. Sesungguhnya Allah beserta kita dan Ia pasti
melindungi kita”, jawab Rasulullah tenang. Peristiwa menegangkan ini kemudian diabadikan
dalam ayat berikut:
“Jikalau kamu tidak menolongnya (Muhammad) maka sesungguhnya Allah telah
menolongnya (yaitu) ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari
Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di
waktu dia berkata kepada temannya:”Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah
beserta kita.”Maka Allah menurunkan ketenangan-Nya kepada (Muhammad) dan
membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya, dan Allah menjadikan seruan
orang-orang kafir itulah yang rendah. Dan kalimat Allah itulah yang tinggi. Allah Maha
Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah(9):40).
Maksud „tentara yang kamu tidak melihatnya‟ pada ayat di atas adalah burung merpati yang
sedang mengerami telurnya serta laba-laba yang menutupi mulut gua. Akhirnya orang
Quraisy tersebut meninggalkan gua dan mencari ke tempat lain. Setelah keadaan aman,
Rasulullah dan Abu Bakar meneruskan perjalanan. Siang malam mereka menempuh
perjalanan berjarak 434 km, dengan hanya mengendarai unta. Padang pasir panas nan luas
dimana sekali-sekali terdapat bukit batu cadas itu benar-benar merupakan medan berat
yang sungguh melelahkan. Namun dengan penuh kesabaran mereka melaluinya.

Sementara itu para pemuka Quraisy mengumumkan sayembara bahwa siapa yang bisa
menemukan Rasulullah akan diberi hadiah 100 ekor unta. Seketika orang-orangpun
berlomba mencari beliau. Salah satunya adalah Suraqah bin Malik. Dengan kudanya ia
mencari dan berusaha keras memenangkan hadiah menggiurkan tersebut. Di tengah gurun
pasir itulah ia tiba-tiba melihat bayangan dua orang berunta. Karena tidak ingin berbagi
hadiah, Suraqah segera mengelabui teman yang pergi bersamanya. Ia mengatakan bahwa
ia melihat bayangan orang berunta namun dengan menunjukkan arah yang berlawanan!
Setelah itu, sendiri, ia berbalik arah dan secepatnya mengejar Rasulullah.
Namun ketika jarak mereka tinggal beberapa meter lagi, tiba-tiba kuda Suraqah tersungkur
dan iapun jatuh terpelanting. Ia segera berdiri dan kembali mengejar. Berkali-kali Abu
Bakar menoleh ke belakang, khawatir terkejar. Jarak mereka makin dekat. Namun sekali
lagi, tanpa sebab yang jelas, kuda Suraqah kembali terjerembab. Sayup-sayup Suraqah
mendengar Rasulullah membaca sesuatu. Rupanya itu adalah bacaan Al-Quran. Suraqah
kembali berdiri dan menunggangi kudanya. Tetapi tiba-tiba ia terpelanting lagi dari
kudanya. Seketika muka Suraqah menjadi pucat. Dengan susah payah ia berusaha bangun
dan menyingkirkan pasir yang menyelimutinya tubuhya. Suraqah berteriak-teriak meminta
ampun.

Akhirnya Abu Bakar mendekatinya. Sambil memberinya sejumlah uang, sahabat nabi yang
kaya raya ini menyuruhnya pergi dan berpesan untuk berpura-pura tidak melihat apalagi
bertemu mereka. Dengan wajah terheran-heran, Suraqah hanya manggut-manggut sambil
mengantongi uangnya lalu pergi secepatnya.

Rasullullah kembali meneruskan perjalanannya. Dua minggu lamanya, kedua hamba Allah
itu mengarungi lautan pasir nan panas membara ketika siang hari dan dingin yang
menggigit hingga menusuk jauh ke tulang ketika malam hari tiba. Di dalam keheningan
malam dan teriknya siang hari, di bawah naungan selimut langit luas tak bertepi mereka
berdua harus menahan lapar dan haus. Ini semua demi mencari ridho Sang Khalik, demi
melaksanakan amanat maha berat yang dipikulkan ke pundak Rasulullah agar
menyampaikan pesan-Nya kepada umat manusia, agar menyembah hanya kepada-Nya,
Allah Azza wa Jalla tanpa mempersekutukan dengan apapun.

Perjalanan hijrah bukanlah perpindahan fisik belaka dari Mekah ke Madinah. Rasulullah dan
juga para sahabat hijrah dengan membawa luka yang teramat dalam. Mekah adalah kota
kelahiran mereka dimana berkumpul sanak saudara dan handai taulan. Disinilah tempat
mereka mencari nafkah dan kehidupan. Namun sejak Rasulullah memperkenalkan ajaran
Islam, semua itu menjadi tidak berarti bila mereka tidak bisa menjalankan ajaran dengan
baik.

Bagi Rasulullah lebih berat lagi. Nyaris 13 tahun beliau berdakwah ternyata hanya 70
orang-an saja penduduk Mekah yang mau menerima ajakan beliau. Sesungguhnya bukan
caci maki dan penolakan yang lebih dikhawatirkan beliau namun ridho Allah yang
dikhawatirkannya. Namun dengan terus turunnya ayat-ayat selama perjalanan panjang
Mekah -Madinah, ini menandakan bahwa Sang Kahlik tetap ridho.
“Bukanlah kewajibanmu menjadikan mereka mendapat petunjuk, akan tetapi Allah-lah yang
memberi petunjuk (memberi taufiq) siapa yang dikehendaki-Nya…“(QS.Al-Baqarah(2):272).
“… maka tidak ada kewajiban atas para rasul, selain dari menyampaikan (amanat Allah)
dengan terang“. (QS.An-Nahl(16):35).
“Ketika saudara mereka Hud berkata kepada mereka:”Mengapa kamu tidak bertakwa?
Sesungguhnya aku adalah seorang rasul kepercayaan (yang diutus) kepadamu maka
bertakwalah kepada Allah dan ta`atlah kepadaku. Dan sekali-kali aku tidak minta upah
kepadamu atas ajakan itu; upahku tidak lain hanyalah dari Tuhan semesta alam”. (QS.Asy-
Syu‟ara(26):124-127).
“Jika mereka mendustakan kamu, maka sesungguhnya rasul-rasul sebelum kamupun telah
didustakan (pula), mereka membawa mu`jizat-mu`jizat yang nyata, Zabur dan kitab yang
memberi penjelasan yang sempurna”. (QS.AliImran(3):184).

Allah SWT sengaja menceritakan kisah-kisah para rasul yang selalu didustakan umatnya
bukan saja hanya sebagai peringatan bagi kita namun juga sebagai penghibur bagi
Rasulullah agar beliau bersabar. Ini yang menjadi penguat dan penghibur Rasulullah.

“Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke manapun kamu menghadap di situlah
wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui”. (QS.Al-
Baqarah(2):115).

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi dan Nasa‟i, Ibnu Umar
menceritakan bahwa ayat diatas diturunkan ketika Rasulullah dalam perjalanan hijrah
tersebut. Di atas untanya, beliau mendirikan shalat kemanapun untanya menghadap.

Waktupun tak terasa berlalu. Akhirnya, atas izin-Nya, dengan selamat Rasulullahpun tiba di
Quba, sebuah desa perkebunan kurma tidak jauh dari Madinah. Beliau disambut dengan
suka cita oleh penduduk setempat. Selama beberapa hari beliau tinggal di kota ini. Di kota
ini pula Rasulullah membangun masjid pertama bagi umat Islam.

« Janganlah kamu bersembahyang dalam mesjid itu selama-lamanya. Sesungguhnya mesjid


yang didirikan atas dasar takwa (mesjid Quba), sejak hari pertama adalah lebih patut kamu
bersembahyang di dalamnya. Di dalamnya ada orang-orang yang ingin membersihkan
diri. Dan Allah menyukai orang-orang yang bersih ». (QS.At-Taubah (9):108).

Ayat di atas diturunkan sehubungan dengan orang-orang Munafik Madinah yang meminta
Rasulullah agar mau shalat di dalam masjid yang mereka dirikan. Semula Rasulullah yang
ketika itu sedang bersiap-siap menuju medan perang berjanji akan memenuhi permintaan
mereka begitu kembali nanti. Namun melalui ayat diatas ternyata Allah melarang Rasulullah
memenuhi janji tersebut. Karena masjid tersebut di bangun tidak atas dasar takwa tidak
seperti masjid Quba, masjid pertama yang didirikan begitu Rasulullah tiba dari Mekah.
Masjid Quba benar-benar murni dibangunatas dasar ketakwaan.

Selanjutnya Rasulullah meneruskan perjalanan ke kota Madinah. Beliau memasuki kota ini
tepat pada malam hari tanggal 12 Rabi‟ul awal. Di kota ini beliau dielu-elukan seluruh
penduduk yang begitu bersemangat ingin berjumpa dengan Sang Utusan yang belum
pernah mereka lihat namun telah membuat hati mereka jatuh hati karena ayat-ayat suci Al-
Quran yang sampai kepada mereka.

Semua orang tumpah ke jalanan. Mereka menarik-narik tali unta Rasulullah dengan
harapan Rasulullah sudi tinggal di rumah mereka. Namun Rasulullah bersabda:”Biarkan saja
tali unta itu karena ia berjalan menurut perintah.”Untapun terus berjalan memasuki lorong-
lorong Madinah hingga sampai pada sebidang tanah tempat pengeringan kurma. Tanah
yang terletak di depan rumah Abu Ayyub al-Ansary tersebut adalah milik dua anak yatim
dari bani Najjar. Rasulullah kemudian bersabda:”Di sinilah tempatnya insya Allah.“

XIV. Pembentukan Masyarakat Madinah.


Penduduk Yatsrib, nama lama kota Madinah, sebelum hijrahnya Rasulullah selalu berada
dalam perselisihan. Menurut beberapa sumber, penduduk kota ini adalah para pendatang
dari Yaman, semenanjung Arab bagian Selatan. Mereka adalah suku Aus dan suku Khazraj
yang termasuk kedalam bani Qailah, salah satu kaum negeri Saba‟. Mereka berbondong-
bondong berpindah dan menetap di Yatsrib sejak ambruknya bendungan raksasa Ma‟arib
yang selama ratusan tahun menjadi tumpuan dan sumber kehidupan masyarakat negeri
tersebut. Di kemudian hari, Allah SWT menceritakan peristiwa nahas tersebut dalam ayat
berikut, tujuannya tak lain agar orang-orang yang datang kemudian dapat mengambil
hikmahnya:
“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan
Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang
berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr”.(QS.Saba‟(34):16).

Dalam pengembaraanya itu, kedua suku tersebut menemukan kota Yatsrib dan segera
mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Mereka hidup dengan
mengandalkan kemampuan lama mereka yaitu bertani. Hal ini menyebabkan kaum Yahudi
yang sudah lebih dulu menetap di Yatsrib merasa tidak senang. Dengan sekuat tenaga
mereka terus berusaha mengadu domba kedua suku yang ketika itu masih menyembah
berhala ini. Mereka berhasil. Hampir setiap waktu suku Aus dan Khazraj terus bertikai dan
berperang.

Keduanya baru bersatu dan berdamai setelah Islam datang. Ajaran ini dalam sekejap
membuat mereka merasa bersaudara. Dan karena mereka menjadikan Al-Quran sebagai
pegangan maka otomatis merekapun menjadikan Rasulullah sebagai panutan, sebagai
pemimpin mereka dalam segala hal.

“Katakanlah:”Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepadamu semua, yaitu
Allah yang mempunyai kerajaan langit dan bumi; tidak ada Tuhan (yang berhak disembah)
selain Dia, Yang menghidupkan dan mematikan, maka berimanlah kamu kepada Allah dan
Rasul Nya, Nabi yang ummi yang beriman kepada Allah dan kepada kalimat-kalimat-Nya
(kitab-kitab-Nya) dan ikutilah dia, supaya kamu mendapat petunjuk“.(QS.Al‟Araf(7):158).
“Dan barangsiapa yang taat kepada Allah dan rasul-Nya dan takut kepada Allah dan
bertakwa kepada-Nya, maka mereka adalah orang-orang yang mendapat kemenangan”.
(QS.An-Nur (24):52).

Selanjutnya mereka mendapat sebutan penghormatan sebagai kaum Anshor. Ini


disebabkan jasa mereka yang telah dengan suka rela mau membantu dan menampung
kaum Muhajirin yang diusir dari kota kelahiran mereka, Mekkah.

“Dan orang-orang yang telah menempati Kota Madinah dan telah beriman (Anshar) sebelum
(kedatangan) mereka (Muhajirin), mereka mencintai orang yang berhijrah kepada mereka.
Dan mereka tiada menaruh keinginan dalam hati mereka terhadap apa-apa yang diberikan
kepada mereka (orang Muhajirin); dan mereka mengutamakan (orang-orang Muhajirin),
atas diri mereka sendiri. Sekalipun mereka memerlukan (apa yang mereka berikan itu). Dan
siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya, mereka itulah orang-orang yang
beruntung”.(QS.Al-Hasyr(59):9).

Sejak itu nama kota Yatsribpun berubah menjadi Madinah Al-Munawarah. Di kota inilah
Rasulullah mulai menata kehidupan masyarakat Madinah berdasarkan petunjuk Allah SWT
yang disampaikan melalui malaikat Jibril dan tertulis dalam kitab-Nya, Al-Quranul Karim.

Hal pertama yang dilakukan Rasulullah begitu beliau menginjakkan kaki di kota Madinah
adalah mendirikan masjid. Masjid ini tidak saja berfungsi sebagai tempat ibadah ritual
melainkan juga sebagai pusat segala aktifitas masyarakat Islam, baik dalam bidang spiritual
maupun keduniaan. Di dalam lingkungan masjid inilah masyarakat Madinah menimba
berbagai ilmu pengetahuan. Mulai ilmu pengetahuan keagamaan hingga ilmu pengetahuan
umum.

Tempat ini selalu terbuka untuk umum, siapa saja, besar kecil, kaya miskin, lelaki atau
perempuan, berhak masuk dan menerima pengajaran baik langsung dari Rasulullah
maupun dari para sahabat.

“Barangsiapa mendatangi masjidku ini dan ia tidak mendatanginya melainkan untuk


mempelajari suatu kebaikan dan mengajarkannya maka kedudukannya laksana pejuang fi
sabilillah. Namun barangsiapa datang bukan dengan tujuan tersebut maka ia seperti orang
yang melihat harta orang lain”(HR Bukhari).

Masjid ini didirikan di atas sebidang tanah dimana unta Rasulullah berhenti untuk pertama
kalinya. Tanah tersebut milik 2 anak yatim piatu yang berada di bawah pengawasan As‟ad
bin Zurarah. Ketika Rasulullah tiba di tempat tersebut, tanah tersebut telah dijadikan
mushola oleh As‟ad.

Oleh karenanya, Rasulullah kemudian memanggil kedua anak yatim tersebut untuk
menanyakan harga tanah mereka. Namun keduanya menjawab serempak:”Tanah ini kami
hibahkan saja, wahai Rasulullah”. Akan tetapi Rasulullah menolak tawaran tersebut dan
membelinya dengan harga tertentu.

Selanjutnya secara gotong royong para sahabat membangun masjid dengan ukuran 100
hasta dikali 100 hasta. Masjid yang ketika itu masih berkibat ke arah Baitul Maqdis itu
dindingnya terbuat dari batu bata, tiang dan atapnya dari batang dan pelepah kurma.
Masjid tersebut tetap dalam keadaan demikian hingga akhir masa pemerintahan khalifah
Abu Bakar ra.

Di dalam masjid inilah terbangun ukhuwah dan mahabbah sesama kaum Muslimin. Selama
itu pulalah 5 kali dalam sehari para sahabat bertemu dan berkumpul untuk melaksanakan
shalat berjamaah. Di bawah pimpinan dan bimbingan Rasulullah SAW dengan adanya
komitmen terhadap sistem, aqidah dan tatanan serta disiplin Islam yang tinggi maka
akhirnya lahirlah rasa kasih sayang dan rasa persaudaraan yang begitu erat. Tidak ada
perbedaan pangkat, kedudukan, kekayaan, status, warna kulit dan atribut sosial apapun.
Keadilan dan persamaan hak benar-benar terjamin. Dan semua ini diikat karena ketaatan
dan kecintaan kepada Sang Khalik, Allah Azza wa Jalla Yang Esa.

“Katakanlah:”Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,


harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.”Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik”.(QS.At-
Taubah(9):24).

Langkah selanjutnya secara khusus Rasulullah mempersaudarakan kaum Anshor dan kaum
Muhajirin. Beliau mempersaudarakan Ja‟far bin Abi Thalib dengan Mu‟adz bin Jabal, Hamzah
bin Abdul Muthalib dengan Zaid bin Haritsah, Abu Bakar ash-Shiddiq dengan Khariyab bin
Zuhair, Umar bin Khattab dengan Uthbah bin Malik, Abdulrahman bin Auf dengan Sa‟ad bin
Rabi‟dll.

“Kamu akan melihat kepada orang-orang Mukmin itu dalam hal kasih-sayang diantara
mereka, dalam kecintaan dan belas kasihan diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Jika
satu anggota tubuh itu merasa sakit maka akan menjalarlah kesakitan itu pada anggota
tubuh yang lain dengan menyebabkan tidak dapat tidur dan merasakan demam.”(HR
Bukhari).

Pada tahap awal pembentukkan masyarakat Madinah ini ikatan persaudaraan tersebut
berada di atas persaudaraan sedarah daging. Termasuk juga dalam hak waris.

“Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat,
Kami jadikan pewaris-pewarisnya … …”(QS.An-Nisa(4):33).

Namun hak waris kepada kerabat ini hanya berlaku hingga terjadi Perang Badar. Setelah
turun ayat 75 surat Al-Anfal, hukum waris terhadap orang-orang yang mempunyai
hubungan darah kembali lebih utama dari pada hubungan kekerabatan.

“Dan orang-orang yang beriman sesudah itu, kemudian berhijrah dan berjihad bersamamu
maka orang-orang itu termasuk golonganmu (juga). Orang-orang yang mempunyai
hubungan itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang kerabat) di
dalam kitab Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu”. (QS.Al-
Anfal(8):75).
Disamping itu Rasulullah juga mengatur hukum dan tata cara pergaulan dan
hubungan antar sesama penduduk Madinah, baik antar Muslim, antar Yahudi maupun
antara Muslim dengan Yahudi. Hal ini sangat penting karena masyarakat Arab sejak dahulu
telah dikenal sebagai bangsa yang memiliki sifat kesukuan yang teramat kental. Rasulullah
menyadari bahwa hal tersebut tidak boleh dibiarkan karena hal yang demikian berpotensi
menjadi penghalang persatuan umat.

Secara detail Rasulullah bahkan menuangkan segala peraturan dan hukum tersebut dalam
sebuah perjanjian yang terkenal dengan nama”Piagam Madinah”. Sebagai produk yang lahir
dari rahim peradaban Islam, piagam ini belakang hari diakui sebagai piagam yang mampu
membentuk sekaligus menciptakan perjanjian dan kesepakatan bersama bagi membangun
masyarakat yang plural, adil, dan berkeadaban. Hal ini diakui sejumlah sejarahwan dan
sosiolog Barat diantaranya adalah Robert N. Bellah, seorang sosiolog jebolan Harvard
University, Amerika Serikat. Ia menilai bahwa piagam Madinah adalah sebuah konstitusi
pertama dan termodern yang pernah dibuat di zamannya.

Piagam inilah yang di kemudian hari menjadi pegangan dasar kekhalifahan Islam di masa
lalu. Demikian juga umumnya negara-negara dimana Islam menjadi agama mayoritas
penduduknya, seperti di Indonesia. Andalusia di Spanyol dan Sisilia di Italia adalah contoh
bekas kerajaan Islam di benua Eropa yang hingga kini tak mungkin dipungkiri bahwa
toleransi di kedua kerajaan tersebut betul-betul dijunjung tinggi. Islam, Nasrani dan Yahudi
dapat berdiri berdampingan tanpa masalah berarti.

“Katakanlah:”Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu
sembah. Dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan aku tidak pernah
menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan kamu tidak pernah (pula) menjadi
penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah,
agamaku”.(QS.Al-Kafirun(109):1-6).

Demikianlah Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi menjalankan pemerintahan. Ahli kitab


(Nasrani dan Yahudi) yang memang merupakan penduduk Madinah sebelum datangnya
Islam diizinkan tidak saja tinggal dengan aman di Madinah namun juga untuk menjalankan
ibadah dan mengikuti aturan dan hukum agamanya masing-masing, secara benar.

Dalam sebuah riwayat yang disampaikan Imam Ahmad dan Muslim, disampaikan bahwa
suatu ketika Rasulullah SAW melewati sekelompok orang Yahudi yang sedang menghukum
seseorang. Orang tersebut dihukum jemur dan dipukuli. Lalu Rasulullah memanggil mereka
dan bertanya:”Apakah demikian hukuman terhadap orang yang berzina yang kalian dapat
dalam kitab kalian?”
Mereka menjawab ,”Ya.”
Rasulullah kemudian memanggil seorang ulama mereka dan bersabda,”Aku bersumpah atas
nama Allah yang telah menurunkan Taurat kepada Musa, apakah demikian kamu dapati
hukuman kepada orang yang berzina di dalam kitabmu?”
Ulama (Yahudi) itu menjawab,”Tidak. Demi Allah jika engkau tidak bersumpah lebih dahulu
niscaya tidak akan kuterangkan. Hukuman bagi orang yang berzina di dalam kitab kami
adalah dirajam (dilempari batu sampai mati). Namun, karena banyak di antara pembesar-
pembesar kami yang melakukan zina, maka kami biarkan, dan apabila seorang berzina
kami tegakkan hukum sesuai dengan kitab. Kemudian kami berkumpul dan mengubah
hukum tersebut dengan menetapkan hukum yang ringan dilaksanakan, bagi yang hina
maupun pembesar yaitu menjemur dan memukulinya.”
Rasulullah lalu bersabda,”Ya Allah, sesungguhnya saya yang pertama menghidupkan
perintah-Mu setelah dihapuskan oleh mereka.”

Selanjutnya Rasulullah menetapkan hukum rajam, dan dirajamlah Yahudi pezina itu. Dari
riwayat di atas dapat disimpulkan bahwa orang-orang Yahudi (non-Muslim) tetap diwajibkan
menjalankan hukum-hukum mereka (Taurat). Mereka dilarang membuat-buat hukum
sendiri, meskipun mereka menyepakatinya.

XV. Perang Badar, perang pertama dalam sejarah Islam.


Perang ini adalah perang yang pertama dilakukan umat Islam. Beberapa sejarahwan Muslim
memasukkan perang ini sebagai Perang Defensif atau perang yang dilaksanakan dalam
rangka membela diri. Sebagaimana kita ketahui permusuhan dan kebencian Musrikin Mekah
terhadap Islam dari hari ke hari semakin memuncak. Hingga akhirnya umat Islam yang
ketika itu masih sedikit terpaksa meninggalkan Mekah, kota kelahiran mereka. Termasuk
Rasulullah sendiri. Mereka meninggalkan kota secara diam-diam hingga tak secuilpun harta
benda yang dapat dibawa.

Maka pada tahun kedua Hijriyah, ketika Rasulullah mendengar kabar bahwa rombongan
kafilah dagang Abu Sufyan, pembesar Quraisy yang ketika itu amat memusuhi Islam, akan
melewati Madinah, beliaupun memerintahkan para sahabat untuk mencegatnya. Abu Sufyan
yang mendengar kabar tersebut kemudian mengirim utusan ke Mekah agar segera
melindunginya.

Namun Allah SWT berkehendak lain. Sebelum bala bantuan Quraisy datang, Abu Sufyan
telah berhasil meloloskan diri dan kembali ke Mekah, lengkap dengan kafilah
perniagaannya, secara utuh dan selamat. Sementara itu Abu Jahal, pemimpin Quraisy yang
kejam itu, meski telah dikabari bahwa Abu Sufyan dan rombongan telah kembali dengan
selamat, tetap berkeras memberangkatkan pasukannya. Tak seoranpun pemimpin Quraisy
yang mau tertinggal kecuali Abu Lahab. Mereka membawa sekitar 1000 orang personil,
lengkap dengan peralatan perang dan perempuan-perempuannya. Adalah sudah menjadi
tradisi orang Arab jahiliyah bahwa ketika berperang mereka membawa sejumlah besar
kaum perempuannya. Tujuannya tak lain adalah sebagai penyemangat.

“Demi Allah, kami tidak akan pulang sebelum tiba di Badr. Di sana kami akan tinggal
selama tiga hari memotong ternak, makan beramai-ramai dan minum arak sambil
menyaksikan perempuan-perempuan menyanyikan lagu-lagu hiburan. Biarlah seluruh orang
Arab mendengar tentang perjalanan kita semua dan biarlah mereka tetap gentar kepada
kita selama-lamanya.”Demikian Abu Jahal dengan congkak berujar.

Tampak disini bahwa Allah menghendaki adanya perang. Karena perang adalah jauh lebih
terhormat daripada pencegatan atau perampokan, apapun alasannya.

Ibnu Ishaq meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW disertai 314 sahabat meninggalkan
Madinah dengan membawa 70 ekor unta. Setiap ekor unta ditunggangi secara bergantian
oleh dua atau tiga orang. Ini terjadi di suatu malam di bulan Ramadhan.

Pada suatu tempat di lembah Badr, Rasulullah kemudian memerintahkan pasukannya untuk
berhenti. Habbab bin Mundzir, salah satu sahabat yang dikenal menguasai strategi dalam
berperang kemudian bertanya:”Ya Rasulullah, apakah dalam memilih tempat ini anda
menerima wahyu dari Allah SWT, yang tidak dapat diubah lagi? Ataukah berdasarkan tipu
muslihat peperangan?”Rasulullah SAW menjawab:”Tempat ini kupilih berdasarkan
pendapatku pribadi”.
Mendengar itu Al-Habbab mengusulkan:”Ya Rasulullah SAW, jika demikian, ini bukan
tempat yang tepat. Ajaklah pasukan pindah ke tempat air yang terdekat dengan musuh,
kita membuat kubu pertahanan di sana dan menggali sumur-sumur di belakangnya. Kita
membuat kubangan dan kita isi dengan air hingga penuh. Dengan demikian kita akan
berperang dalam keadaan mempunyai persediaan air minum yang cukup, sedangkan musuh
tidak akan memperoleh air minum.”berpikir Setelah berpikir sejenak kemudian Rasulullah
SAW menjawab:”Pendapatmu sungguh baik.“
Singkat cerita, maka bertemulah kedua pasukan tersebut di lembah Badr. Rasulullah
memulai pertempuran tersebut dengan mengambil segenggam pasir dan meniupkannya ke
arah muka musuh seraya berkata:”Hancurlah wajah-wajah mereka.“

Rasulullah kemudian mengawasi pertempuran tersebut dari balik kemah yang didirikan
tidak jauh dari medan pertempuran. Pada Jum„at 17-Ramadhan itu, dengan khusyu‟
Rasulullah terus berdoa. Memohon kepada Allah SWT agar pasukan Muslim yang hanya
berjumlah 1/3 musuh dan tanpa perlengkapan senjata memadai itu dapat memenangkan
pertempuran. Diantara doa tersebut adalah sebagai berikut:

“Ya, Allah. Inilah kaum Quraisy yang datang dengan segala kecongkakan dan kesombongan
untuk memerangi Engkau dan mendustakan Rasul-Mu. Ya Allah, tunaikanlah janji
kemenangan yang telah Engkau berikan kepadaku. Ya, Allah kalahkanlah mereka esok
hari.“
Beliau terus memanjatkan do‟a kepada Allah SWT, dengan merendahkan diri seraya
menengadahkan kedua telapak tangannya ke atas. Air mata menetes dari sudut kedua
mata beliau hingga membasahi jenggot hingga Abu Bakarpun trenyuh melihatnya.”Ya
Rasulullah, demi diriku yang berada di tangan-Nya, bergembiralah. Sesungguhnya Allah
pasti akan memenuhi janji yang telah diberikan kepadamu”.
Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Rasulullah sempat pingsan beberapa saat di dalam
kemahnya. Namun begitu sadar kembali beliau berujar kepada Abu Bakar:”Hai, Abu Bakar,
gembiralah, pertolongan Allah SWT telah datang kepadamu. Itulah Jibril memegang tali
kekang dan menuntun kudanya.“
“(Ingatlah), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu, lalu diperkenankan-Nya
bagimu:”Sesungguhnya Aku akan mendatangkan bala bantuan kepadamu dengan seribu
malaikat yang datang berturut-turut”. Dan Allah tidak menjadikannya (mengirim bala
bantuan itu), melainkan sebagai kabar gembira dan agar hatimu menjadi tenteram
karenanya. Dan kemenangan itu hanyalah dari sisi Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa
lagi Maha Bijaksana”.(QS.Al-Anfal(8):9-10).

Allah SWT mendukung kaum Muslimin dengan mengirim bala bantuan tentara Malaikat yang
tak terlihat oleh mata biasa. Akhirnya peperangan dimenangkan oleh kaum Muslimin
dengan suatu kemenangan yang besar. Dari pihak kaum Musyrikin, terbunuh 70 orang dan
yang tertawan 70 orang. Abu Jahal, yang sering dijuluki sebagai Fir‟aun oleh Rasulullah,
termasuk diantaranya. Sementara Abu Lahab, meninggal begitu mendengar kekalahan
tersebut. Ia diberitakan meninggal dalam keadaan mengenaskan dengan penyebab yang
tak jelas di kotanya sendiri, Mekah. Sedangkan dari pihak Muslimin 14 orang syahid.

“Sungguh Allah telah menolong kamu dalam peperangan Badar, padahal kamu adalah
(ketika itu) orang-orang yang lemah. Karena itu bertakwalah kepada Allah, supaya kamu
mensyukuri-Nya. (Ingatlah), ketika kamu mengatakan kepada orang mu‟min:”Apakah tidak
cukup bagi kamu Allah membantu kamu dengan tiga ribu malaikat yang diturunkan (dari
langit)?”. Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bertakwa dan mereka datang menyerang
kamu dengan seketika itu juga, niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat
yang memakai tanda”.(QS.AliImran(3):123-125).

Tiba saatnya sekarang bagi Rasulullah untuk memutuskan nasib para tawanan yang masih
hidup dan selamat. Rasulullah meminta pendapat para sahabatnya. Abu Bakar ra,
mengusulkan agar Rasulullah membebaskan para tawanan tersebut dengan syarat memakai
tebusan. Dengan harapan agar tebusan tersebut dapat menjadi pemasok kekuatan material
bagi kaum Muslimin yang memang masih lemah. Disamping itu juga dimaksudkan agar
para tawanan luluh hatinya hingga mau memeluk Islam.

Sebaliknya Umar Bin Khathab ra, mengusulkan agar mereka dibunuh saja, karena mereka
adalah tokoh dan gembong kekafiran. Setelah mempertimbangkan kedua masukan tersebut
akhirnya Rasulullah memilih pendapat dan usulan Abu Bakar ra. Maka para tawananpun
dibebaskan. Tetapi beberapa saat kemudian turun ayat berikut:

“Tidak patut, bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi. Kamu menghendaki harta benda duniawiyah sedangkan Allah
menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana..
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa
siksaan yang besar karena tebusan yang kamu ambil“. (QS Al-Anfal (8): 67-68).
Imam Muslim meriwayatkan dari Umar bin Khathab ra, ia berkata:”Aku masuk menemui
Rasulullah SAW, setelah beliau memutuskan penebusan tawanan. Tiba-tiba aku dapati
Rasulullah SAW bersama Abu Bakar ra sedang menangis. Aku bertanya,”Wahai Rasulullah
SAW ceritakanlah kepadaku kenapakah anda dan sahabat anda menagis? Jika aku dapati
alasan untuk menangis maka aku akan menangis. Jika tidak ada alasan untuk menangis
maka aku akan memaksakan diri untuk menangis karena tangis anda berdua.”Jawab
Rasulullah SAW:”Aku menangis karena usulan pengambilan tebusan yang diajukan oleh
sahabatmu kepadaku, padahal siksa mereka telah diajukan kepadaku lebih dekat dari pohon
ini(pohon di dekat Nabi SAW) .. Kemudian Allah menurunkan firman-Nya:
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan sebelum ia dapat melumpuhkan
musuhnya di muka bumi..“, sampai firman Allah:“Maka makanlah dari sebagian rampasan
perang yang telah kamu ambil itu ….“

Artinya, Allah SWT sebenarnya tidak meridhoi keputusan Rasulullah membebaskan para
tawanan dan mengambil tebusan. Namun kemudian Allah memaafkan tindakan tersebut
dengan turunnya ayat 69:

“Maka makanlah dari sebagian rampasan perang yang telah kamu ambil itu, sebagai
makanan yang halal lagi baik, dan bertakwalah kepada Allah; sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS Al-Anfal (8): 69).

Sementara di luar sana para sahabat berebut harta perang yang ditinggalkan musuh dan
jumlahnya sangat banyak. Ketika itu ayat tentang cara pembagian harta tersebut memang
belum turun. Ini adalah perang pertama bagi umat Islam. Merekapun akhirnya bertanya
kepada Rasulullah bagaimana cara pembagiannya. Maka turunlah ayat berikut:

“Mereka menanyakan kepadamu tentang (pembagian) harta rampasan perang.


Katakanlah:”Harta rampasan perang itu kepunyaan Allah dan Rasul, sebab itu bertakwalah
kepada Allah dan perbaikilah perhubungan di antara sesamamu, dan ta`atlah kepada Allah
dan Rasul-Nya jika kamu adalah orang-orang yang beriman”. Sesungguhnya orang-orang
yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka,
dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayatNya bertambahlah iman mereka
(karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal”(QS Al-Anfal (8):1-2).

Itulah jawabnya. Allah SWT menyerahkan keputusan tentang hal ini kepada Rasulullah.
Umat Islam diperintahkan untuk lebih dahulu bertakwa kepada Allah SWT dan memperbaiki
silaturahmi. Kemudian taat kepada keputusan Rasullullah.

XVI.Pengkhianatan Pertama Yahudi & Munculnya Tanda -tanda Kemunafikan.


Ibnu Hisyam meriwayatkan dari Abdullah bin Ja‟far bahwa seorang perempuan Arab datang
membawa perhiasannya ke pasar Yahudi Bani Qainuqa. Ia mendatangi tukang sepuh
(Yahudi) untuk menyepuh perhiasannya. Sambil menunggu tukang sepuh menyelesaikan
pekerjaannya, ia pun duduk. Tiba-tiba datang sekelompok pemuda Yahudi ke dekatnya
seraya memintanya untuk membuka penutup wajahnya. Tentu saja perempuan itu
menolak.

Namun tanpa diketahuinya, si tukang sepuh itu kemudian secara diam-diam


menyangkutkan ujung pakaian yang menutupi tubuh perempuan itu ke bagian
punggungnya. Akibatnya, tatkala ia berdiri, tersingkaplah aurat bagian belakangnya. Orang-
orang Yahudi itu pun tertawa terbahak-bahak. Secara spontan perempuan tersebut
kemudian menjerit meminta tolong. Mendengar jeritan itu, salah seorang Muslim yang ada
di pasar tersebut segera menyerang tukang sepuh itu dan membunuhnya. Namun orang-
orang Yahudi tadi berbalik membunuh pemuda Muslim tadi.

Selanjutnya kejadian yang terjadi pada pertengahan bulan Syawal tahun kedua Hijriah ini
memicu peperangan antara Yahudi Bani Qainuqa dan kaum Muslimin. Inilah peristiwa
pengkhianatan pertama kaum Yahudi terhadap Piagam Madinah. Namun sebelum terjadinya
peristiwa diatas, Ibnu Ishaq meriwayatkan:

”Pada suatu kesempatan Rasulullah SAW mengumpulkan Banu Qunaiqa„ di pasar Qunaiqa„
kemudian bersabda:”Wahai kaum Yahudi, takutlah kalian kepada murka Allah yang pernah
ditimpahkan-Nya kepada kaum Quraisy. Masuklah kalian ke dalam Islam karena
sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa aku adalah Nabi yang diutus (Allah),
sebagaimana kalian dapati di dalam Kitab kalian dan Janji Allah kepada kalian!“

Mereka menjawab,”Wahai Muhammad, apakah engkau mengira kami ini seperti kaummu?
Janganlah engkau membanggakan kemenangan atas suatu kaum yang tidak mengerti ilmu
peperangan. Demi Allah, seandainya kami yang engkau hadapi dalam peperangan, niscaya
engkau akan mengetahui siapa kami ini sebenarnya.”

Perang yang dimaksud oleh Yahudi tersebut adalah Perang Badar yang berlangsung tidak
lama sebelum terjadinya pelecehan Muslimah di pasar diatas. Perang melawan pasukan
Musrikin Mekah ini memang dimenangkan oleh Muslimin. Padahal jumlah Muslimin ketika itu
hanya 1/3 dari musuh, yaitu 314: 1000.

Ini tampaknya yang membuat kebencian dan kedengkian Yahudi terhadap Islam makin
menjadi-jadi. Mereka sengaja memancing perpecahan dan permusuhan. Orang-orang ini
sebenarnya tidak ridho Rasulullah memegang tampuk pimpinan di Madinah. Dengan cara ini
mereka ingin menunjukkan bahwa Piagam Madinah tidak perlu dihormati.
(Lihat: http://vienmuhadi.com/2010/11/22/xiv-pembentukan-masyarakat-madinah/ )

Hukum harus ditegakkan. Rasulullahpun segera memerintahkan salah seorang sahabat


untuk mengepung perkampungan bani Qainuqa. Karena ketakutan dua minggu kemudian
orang-orang Yahudi tersebut akhirnya menyerah. Mereka pasrah terhadap hukuman yang
bakal diputuskan Rasulullah. Dalam keadaan itulah tiba-tiba datang Abdullah bin Ubay
seraya berkata:

“Hai Muhammad, perlakukanlah para sahabatku itu dengan baik.“

Melihat Rasulullah tidak mengacuhkannya, pemuka Madinah inipun mengulang lagi


perkataannya beberapa kali hingga akhirnya dengan wajah merah menahan kemarahan,
Rasulullahpun menjawab ketus:”Celaka engkau, tinggalkan aku!“.

Namun Abdullah bin Ubay tetap bersikeras:”Tidak, demi Allah, aku tidak akan melepaskan
anda sebelum anda mau memperlakukan para sahabatku itu dengan baik. Empat ratus
orang tanpa perisai dan tiga ratus orang bersenjata lengkap telah membelaku terhadap
semua musuhku itu, apakah hendak anda habisi nyawanya dalam waktu sehari? Demi Allah,
aku betul-betul mengkhawatirkan terjadinya bencana itu!“.

Mendengar itu Rasulullah akhirnya berkata:”Mereka itu kuserahkan padamu dengan syarat
mereka harus keluar meninggalkan Madinah dan tidak boleh hidup berdekatan dengan kota
ini !”.

Maka bebas dan pergilah orang-orang Yahudi Banu Qainuqa„ itu meninggalkan Madinah
menuju sebuah pedusunan bernama „Adzara„at di daerah Syam. Namun belum berapa lama
orang-orang ini menetap disana, terdengar kabar bahwa sebagian besar dari mereka mati
ditimpa bencana. Itulah balasan bagi orang-orang yang mendurhakai utusan Allah SWT.
Allahuakbar !

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan
Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah pemimpin bagi
sebagian yang lain. Siapa saja di antara kamu mengambil mereka menjadi pimpinan,
sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak
memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzalim. Maka kamu akan melihat orang-orang
yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang munafiq) bersegera mendekati mereka
(Yahudi dan Nasrani) seraya berkata:”Kami takut akan mendapat bencana“. Mudah-
mudahan Allah akan mendatangkan kemenangan (kepada Rasul-Nya), atau sesuatu
keputusan dari sisi-Nya. Oleh sebab itu, mereka menjadi menyesal terhadap apa yang
mereka rahasiakan dalam diri mereka.“QS.Al-Maidah(5):51-52.

Perlu mendapat catatan, prilaku Abdullah bin Ubay sebagai seorang yang telah menyatakan
ke-islamannya namun berani melawan, berkata kasar bahkan menentang keputusan
Rasulullah karena ke-loyal-annya terhadap sahabat-sahabat non Muslimnya adalah masuk
kategori Munafik. Tanda-tanda kemunafikan sebenarnya telah terlihat sejak awal
perkembangan Islam. Allah SWT pernah menegur kaum Muslimin Mekah yang tidak berani
pindah meninggalkan Mekah (hijrah) ke Madinah karena takut dianiaya keluarga besarnya
di Mekah. Padahal mereka jelas-jelas tidak dapat melaksanakan ajaran dengan baik. Hanya
dengan alasan-alasan tertentu sajalah Allah dapat memaafkan orang-orang yang tidak
berhijrah, yaitu orang yang tertindas yang tidak mampu berdaya upaya (para budak) dan
orang yang tidak mengetahui jalan (untuk hijrah).

“Sesungguhnya orang-orang yang diwafatkan malaikat dalam keadaan menganiaya diri


sendiri, (kepada mereka) malaikat bertanya:”Dalam keadaan bagaimana kamu ini?”.
Mereka menjawab:”Adalah kami orang-orang yang tertindas di negeri (Mekah)”. Para
malaikat berkata:”Bukankah bumi Allah itu luas, sehingga kamu dapat berhijrah di bumi
itu?”. Orang-orang itu tempatnya neraka Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk
tempat kembali kecuali mereka yang tertindas baik laki-laki atau wanita ataupun anak-anak
yang tidak mampu berdaya upaya dan tidak mengetahui jalan (untuk hijrah) mereka itu,
mudah-mudahan Allah mema`afkannya. Dan adalah Allah Maha Pema`af lagi Maha
Pengampun”(QS.An-Nisa(4):100).

Allah SWT sendiri yang memberitakan bahwa orang-orang munafik masuk Islam karena
terpaksa, hanya demi melindungi harta dan jiwa mereka. Mereka adalah pendusta.

“Apabila orang-orang munafik datang kepadamu, mereka berkata:”Kami mengakui, bahwa


sesungguhnya kamu benar-benar Rasul Allah”. Dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya
kamu benar-benar Rasul-Nya; dan Allah mengetahui bahwa sesungguhnya orang-orang
munafik itu benar-benar orang pendusta. Mereka itu menjadikan sumpah mereka sebagai
perisai, lalu mereka menghalangi (manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah
apa yang telah mereka kerjakan”.(QS.Al-Munafikun(63):1-2).
Abdullah bin Ubay sendiri adalah gembong orang Munafik padahal ia adalah pemuka
Madinah. Ia sering kali menghasut orang agar tidak mematuhi perintah Allah dan Rasul-
Nya. Qatadah memaparkan bahwa suatu ketika datang seseorang kepadanya seraya
mengusulkan:”Andai kau menghadap Rasulullah tentu dia akan memintakan ampunan
untukmu”. Namun dengan congkak ia menolak.(HR. Ibnu Jarir). Kemudian turun ayat
berikut:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: Marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan
ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling
sedang mereka menyombongkan diri.”.(QS.Al-Munafikun(63):5).
Zaid bin Arqam juga pernah berkata, usai perang Tabuk, ia mendengar Abdullah bin Ubay
berkata kepada teman-temannya, orang-orang Anshar:”Kalian jangan menafkahi orang-
orang yang dekat dengan Muhammad sebelum mereka keluar dari agama mereka”. Tak
lama kemudian turun ayat berikut:
“Mereka orang-orang yang mengatakan:”Janganlah kamu memberikan perbelanjaan kepada
orang-orang yang ada di sisi Rasulullah supaya mereka bubar (meninggalkan Rasulullah)”.
Padahal kepunyaan Allah-lah perbendaharaan langit dan bumi, tetapi orang-orang munafik
itu tidak memahami”.(QS.Al-Munafikun(63):7).

Terlihat jelas bahwa pemuka Madinah ini amat tidak menyukai Rasulullah. Ia merasa
kedatangan Islam telah membuatnya kehilangan gengsi dan kekuasaan. Itu sebabnya ia
amat berharap agar orang Muhajirin yang dianggapnya sebagai orang lemah dan miskin itu
kalah dan terusir dari Madinah.

“Mereka berkata:”Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang


yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah dari sana”. Padahal kekuatan itu
hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu‟min, tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui”.(QS.Al-Munafikun(63):8).

Beberapa kali ia menolak pergi berperang. Parahnya lagi, ia mengajak teman-temannya


untuk melakukan hal yang sama. Maka dengan berbagai dalih dan alasan para Munafikun
itu tidak mau mengangkat senjata. Dari udara yang panas, tidak ada kendaraan hingga
takut tergoda oleh perempuan musuh yang cantik rupawan adalah dalih yang mereka
ajukan.
Ibnu „Abbas menuturkan bahwa kala akan berangkat menuju medan perang Tabuk,
Rasulullah bertanya kepada Jadd bin Qais:”Hai Jadd bin Qais! Bagaimana pendapatmu
tentang memerangi orang-orang Bani Ashfar (kulit kuning/orang-orang Romawi.”Maka Jadd
bin Qais menjawab,”Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku adalah seorang lelaki yang
banyak memiliki wanita (istri). Bilamana saya melihat wanita orang-orang kulit kuning saya
pasti terfitnah oleh mereka, maka janganlah engkau menjadikan saya terjerumus ke dalam
fitnah.”Kemudian Allah SWT. menurunkan firman-Nya,”Di antara mereka ada orang yang
berkata, „Berilah saya keizinan tidak pergi berperang dan janganlah kamu menjadikan saya
terjerumus ke dalam fitnah.‟..”(Q.S. At-Taubah 49).
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu, merasa gembira dengan
tinggalnya mereka di belakang Rasulullah, dan mereka tidak suka berjihad dengan harta
dan jiwa mereka pada jalan Allah dan mereka berkata:”Janganlah kamu berangkat (pergi
berperang) dalam panas terik ini”. Katakanlah:”Api neraka Jahannam itu lebih sangat
panas (nya)”, jikalau mereka mengetahui”.(QS.At-Taubah(9):81).

Kemunafikan juga terlihat jelas ketika turun ayat yang memerintahkan Rasululah berpindah
arah kiblat yaitu ke arah Masjidil Haram. Padahal bahkan orang-orang Yahudi dan
Nasranipun tahu bahwa itu adalah perintah Tuhan.

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan
memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil
Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan
sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil)
memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya;
dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan”. (QS.Al-Baqarah(2):144).

Al Barra‟ berkata,”Rasulullah shalat dengan menghadap ke Baitul Maqdis selama enam belas
atau tujuh belas bulan. Saat shalat, beliau sering memandang langit menanti perintah Allah.
Kemudian Allah menurunkan ayat ini”. (HR Bukhari).

“Dan dari mana saja kamu ke luar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram;
sesungguhnya ketentuan itu benar-benar sesuatu yang hak dari Tuhanmu. Dan Allah sekali-
kali tidak lengah dari apa yang kamu kerjakan”. (QS.Al-Baqarah(2):149).

Ayat yang bunyinya memerintahkan agar Rasulullah berpindah kiblat tidak hanya 1 ayat
namun hingga beberapa kali. Tetapi orang-orang Munafik bukan saja tetap meragukan
perintah tersebut namun juga mencemoohkan. Rasulullah kemudian memerintahkan para
sahabat agar memindahkan arah kiblat ketika mereka sedang shalat di masjid Qubba.

Ibnu Umar berkata: Ketika orang-orang sedang melakukan salat di Qubba, tiba-tiba datang
orang yang membawa kabar bahwa semalam Rasulullah SAW. mendapat wahyu berupa
perintah untuk menghadap Kabah. Seketika itu mereka menghadap ke Kabah. Sebelumnya
mereka menghadap ke arah Syam, kemudian mereka berputar menghadap ke Kakbah.
(Shahih Muslim No.820).
“Dan dari mana saja kamu keluar, maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. Dan
di mana saja kamu (sekalian) berada, maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak
ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim di antara mereka.
Maka janganlah kamu, takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. Dan agar
Kusempurnakan ni`mat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk”. (QS.Al-
Baqarah(2):150).

As-Suddi berkata,”Ketika Rasulullah diperintahkan memidahkan kiblat dari Baitul Maqdis ke


arah Ka‟bah, orang-orang musyrik Mekah berkata,”Muhammad bingung dengan agamanya.
Sekarang ia menghadap ke arah kiblat yang sama dengan kalian. Ia sadar bahwa kalian
lebih benar. Ia bingung dan ingin masuk agama kalian”. Lalu turunlah ayat diatas”.(HR.
Ibnu Jarir).

Banyak sekali ayat-ayat yang menceritakan betapa murkanya Allah SWT terhadap orang
munafik. (Lihat surat At-Taubah dan Al-Munafikun). Namun demikian Rasulullah tidak
pernah menghukum orang-orang yang seperti ini. Para ulama berpendapat bahwa ini untuk
mengajarkan bahwa adalah bukan hak kita sebagai manusia untuk menghukum hati
seseorang. Biarlah Sang Khalik yang menentukannya. Wallahu‟alam ..

Bahkan ketika salah satu anak Abdullah bin Ubay meminta Rasulullah agar mensholati
almarhum ayahnya, Rasulullahpun menyanggupinya! Walaupun setelah itu barulah turun
ayat yang melarang seseorang menshalati orang Munafik yang meninggal dunia.

“Dan janganlah kamu sekali-kali menyembahyangkan (jenazah) seorang yang mati di


antara mereka, dan janganlah kamu berdiri (mendo`akan) di kuburnya. Sesungguhnya
mereka telah kafir kepada Allah dan Rasul-Nya dan mereka mati dalam keadaan
fasik”.(QS.At-Taubah(9):84).
XVII. Perang Uhud dan hikmah diperintahkannya berperang. (bag 1)
Perang ini dipicu karena kekecewaan orang-orang Quraisy terhadap kekalahan mereka di
perang Badar. Tak sampai setahun setelah perang tersebut orang-orang Quraisypun
mengerahkan 3000 pasukannya untuk menyerang Madinah. Diantara pasukan ini
terdapat 700 ratus tentara berbaju besi, 200 tentara berkuda (kavaleri) dan 17 orang
perempuan. Seorang di antara perempuan tersebut adalah Hindun bin Utbah, isteri Abu
Sufyan. Ayahnya yang bernama Utbah telah terbunuh pada perang Badar. Ia sangat
bernafsu ikut berperang karena ingin balas dendam atas kematian ayahnya itu. Dalam
perang ini suaminya sendiri yang menjadi pimpinan.

Sementara itu di Madinah, mendengar kabar tersebut Rasulullah segera mengumpulkan


para sahabat untuk bermusyawarah dan bertukar pendapat mengenai strategi yang akan
digunakan melawan orang-orang Quraisy nanti. Rasulullah ingin mendengar pendapat para
sahabat, mana yang lebih baik, bertahan di dalam kota dan menanti serangan atau
menyambut musuh di luar Madinah.

Tokoh munafikun, Abdullah bin Ubay, yang merupakan tokoh senior dan konco-konconya
termasuk kelompok yang memilih bertahan. Sementara para sahabat yang tidak sempat
berpartisipasi dalam perang Badar mengusulkan agar mereka menyambut musuh di luar
kota. Rasulullah sendiri tampak bahwa sebenarnya lebih memilih bertahan di Madinah.
Namun karena terus didesak tanpa banyak bicara maka Rasulullahpun masuk ke kamar dan
segera keluar dengan memakai baju besi, tanda bahwa Rasulullah siap berangkat
berperang.

Para sahabat muda yang semula mendesak Rasulullah menyambut musuh di luar Madinah
belakangan menyadari sikap mereka. Dengan rasa menyesal mereka berkata:”Wahai
Rasulullah, kami telah memaksamu keluar, dan itu tidak pantas kami lakukan. Jika Anda
berkehendak, silakan Anda duduk kembali (tidak usah keluar dari Madinah), mudah-
mudahan Allah memberi shalawat kepada Anda”. Namun Rasulullah SAW hanya
menjawab,”Tidak pantas bagi seorang Nabi yang sudah mengenakan baju besi untuk
menanggalkannya kembali, hingga Allah menetapkan sesuatu baginya dan bagi musuh.”

Kemudian berangkatlah Rasulullah berserta lebih kurang 1.000 orang tentara. Dua ratus
orang diantaranya memakai baju besi dan hanya dua orang tentara yang berkuda. Itupun di
sepertiga perjalanan Abdulullah bin Ubay dan teman-temannya yang berjumlah 300 orang
mengundurkan diri. Ia berkata:”Ia (Rasulullah) menuruti pendapat para sahabatnya dan
tidak menuruti pendapatku. Wahai manusia, untuk apa kita membunuh diri kita sendiri di
tempat ini”. Akibatnya pasukan Muslim hanya tinggal 700 orang saja.

Bukhari meriwayatkan bahwa kaum Muslimin berselisih pendapat mengenai tindakan


desersi itu. Sebagian mengatakan,”Kita perangi mereka,”sedangkan sebagian yang lain
mengatakan,”Biarkanlah mereka.”Lau turunlah firman Allah sebagai berikut:

“Maka mengapa kamu (terpecah) menjadi dua golongan dalam (menghadapi) orang-orang
munafik, padahal Allah telah membalikkan mereka kepada kekafiran, disebabkan usaha
mereka sendiri? Apakah kamu bermaksud memberi petunjuk kepada orang-orang yang
telah disesatkan Allah? Barangsiapa yang disesatkan Allah, sekali-kali kamu tidak
mendapatkan jalan (untuk memberi petunjuk) kepadanya”.(QS.An-Nisa‟ (4): 88).

Mereka disesatkan Allah karena dari awal memang tidak memiliki niat kuat untuk mentaati
perintah Allah dan Rasul-Nya. Menghadapi kenyataan pahit ini maka sebagian sahabat
mengusulkan supaya Rasulullah meminta bantuan orang-orang Yahudi, mengingat mereka
terikat perjanjian untuk tolong-menolong dengan kaum Muslimin. Akan tetapi Rasulullah
menjawab singkat,

“Kita tidak akan pernah meminta bantuan kepada orang-orang musyrik untuk menghadapi
orang-orang musyrik (lainnya).”

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa sebelum peperangan berkecamuk Rasulullah


bersabda:”Aku bermimpi mengayunkan pedang lalu pedang itu patah ujungnya. Itu
musibah yang menimpa kaum Muslimin dalam Perang Uhud. Kemudian aku ayunkan lagi
pedang itu lalu pedang itu baik lagi, lebih baik dari sebelumnya. Itulah kemenangan yang
Allah Ta‟ala anugerahkan dan persatuan kaum Muslimin. Dalam mimpi itu aku juga melihat
sapi – Dan apa yang Allah lakukan itu adalah yang terbaik – Itu terhadap kaum Muslimin
(yang menjadi korban) dalam perang Uhud. Kebaikan adalah kebaikan yang Allah Ta‟ala
anugerahkan dan balasan kejujuran yang Allah Ta‟ala karuniakan setelah perang Badar”.

Rasulullah SAW menakwilkan mimpi tersebut dengan kekalahan dan kematian yang akan
terjadi dalam Perang Uhud. Selanjutnya Rasulullah kemudian mengambil posisi di sebuah
dataran di lereng gunung bernama Uhud dan membentengi diri di balik gunung menghadap
ke arah Madinah. Beliau menempatkan lima puluh pasukan pemanah di atas bukit yang
terletak di belakang kaum Muslimin itu. Rasulullah menunjuk Abdullah bin Jubair sebagai
pimpinan pasukan pemanah.
Kepada pasukan pemanah ini beliau berpesan:”Berjagalah di tempat kalian ini dan
lindungilah pasukan kita dari belakang. Bila kalian melihat pasukan kita berhasil mendesak
dan menjarah musuh, janganlah sekali-kali kalian turut menjarah. Demikian pula andai
kalian melihat pasukan kita banyak yang gugur, janganlah kalian bergerak membantu”.

Setelah memberikan pengarahan Rasulullah mengangkat tinggi pedangnya seraya berkata:

“Siapa yang akan memegang pedang ini guna disesuaikan dengan tugasnya?”

Beberapa orang tampil menawarkan diri namun Rasulullah tetap memegang pedang
tersebut. Hingga akhirnya Abu Dujana maju ke depan dan bertanya:

“Apa tugasnya, Ya Rasulullah?”

“Tugasnya ialah menghantamkannya kepada musuh sampai ia bengkok,”jawab Rasulullah.

Abu Dujana adalah seorang laki-laki yang sangat berani. Pada saat-saat tertentu ia
mengenakan pita merah. Dan bila pita merah itu sudah diikatkannya di kepala, orang akan
mengetahui, bahwa ia telah siap bertempur dan siap mati.

Itulah yang dilakukannya. Begitu pedang diterima iapun mengeluarkan pita merah
mautnya. Kemudian ia berjalan di tengah-tengah barisan dengan gaya angkuh sebagaimana
biasa apabila ia siap menghadapi pertempuran.

“Cara berjalan begini sangat dibenci Allah, kecuali dalam perang”, komentar Rasulullah
melihat gaya Abu Dujana.

Selanjutnya Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Mush‟ab bin Umair. Maka
meletuslah peperangan sengit antara dua pasukan yang amat jauh dari seimbang itu.
Masing-masing pasukan dengan masing-masing latar belakangnya. Pasukan Quraisy dengan
semangat dendamnya terhadap kekalahannya di perang sebelumnya. Sementara pasukan
Muslimin dengan semangat takwa demi menjunjung kalimat tauhid sekaligus semangat
mempertahankan tanah air. Rasulullah SAW tak henti-hentinya memberikan semangat
dengan menjanjikan kemenangan apabila mereka tabah.

Dengan gagah berani Mush‟ab, Zubair bin Awwam, Saad bin Abi Waqas, Asim bin Tsabit, Ali
dan Hamzah bin Abu Thalib beserta para sahabat lain mengayunkan pedang dengan
gesitnya. Jumlah yang jauh lebih sedikit tampaknya tidak membuat mereka kehilangan
semangat. Janji Rasulullah bahwa hanya dengan ketabahan dan kesabaran dalam rangka
menjunjung kalimat tauhid yang bakal mengantar kepada kemenangan membuat mereka
begitu bersemangat menundukkan lawan. Kekafiran harus dienyahkan maka
berkumandanglah”Allahuakbar Allahuakbar Allahuakbar”di sepanjang perang yang terjadi di
suatu hari di bulan Syawal tahun ke 3 Hijriyah itu.

Beberapa sumber meriwayatkan bahwa ketika itu Rasulullah memberikan izin kepada
Samurah bin Jundub al-Fazari dan Rafi‟ bin Khudaij saudara Bani Haritsah untuk ikut
berperang. Ketika itu keduanya baru berusia lima belas tahun. Sebelumnya beliau
menyuruh keduanya kembali ke Madinah. Namun kemudian dikatakan:”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Rafi‟ adalah seorang pemanah yang hebat.”Maka Rasulullah pun
mengizinkannya ikut berperang. Dikatakan pula kepada beliau:”Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Samurah pernah mengalahkan Rafi‟.”Maka Rasulullah juga mengizinkannya
ikut berperang. Sebaliknya Rasulullah memulangkan Usamah bin Zaid, Abdullah bin Umar
bin al-Katthab, Zaid bin Tsabit salah seorang dari Bani Malik bin an-Najjar, al-Bara‟ bin Azib
dari Bani Haritsah, Amr bin Hazm dari Bani Malik bin an-Najjar dan Usaid bin Dhuhair dari
bani Haritsah. Mereka baru diizinkan ikut serta dalam perang Khandaq ketika telah
mencapai usia lima belas tahun.

Melihat semangat kaum Muslimin yang begitu tinggi dan korban terus berjatuhan di pihak
Quraisy akhirnya pasukan Quraisy kehilangan rasa percaya diri. Mereka mundur dan
berusaha melarikan diri. Pasukan Muslimin terus mengejarnya sambil memunguti harta
benda yang ditinggalkan musuh. Sementara itu pasukan pemanah yang berjaga di atas
bukit mulai tergiur oleh banyaknya harta benda yang tercecer dan dijadikan rebutan kawan-
kawannya di bawah bukit sana. Bisikan syaitanpun mulai beraksi.

Peringatan Abdullah bin Jubair sebagai komandan pasukan pemanah agar mereka menepati
janji kepada Rasulullah untuk tetap bertahan di atas bukit apapun yang terjadi tidak
digubris. Mereka ikut berhamburan memperebutkan harta benda musuh yang tercecer.
Hingga hanya Abdullah dan 9 anak buahnya saja yang bertahan di tempat strategis
tersebut.

Sialnya, Khalid bin Walid, komandan pasukan kuda andalan Quraisy yang ketika itu belum
memeluk Islam melihat peluang terbuka tersebut. Maka dengan segera ia memerintahkan
pasukannya untuk merebut bukit itu dari arah belakang. Akibatnya dapat dibayangkan.
Abdullah dan anak buahnya menjadi sasaran empuk. Setelah berhasil membuat ke 10
sahabat syahid mereka membantai pasukan Muslim yang sudah cerai berai di bawah bukit.
Dengan cepat keadaan menjadi berbalik. Pasukan Muslim benar-benar dibuat terperanjat.
Dalam keadaan panik dan kucar kacir mereka saling bunuh karena tidak menyadari mana
kawan mana lawan.

Mush‟ab sebagai pemegang panji merasa yang paling bersalah. Dengan sigap dan gagah
perkasa ia menyerang dan mengibaskan pedangnya kesana kemari. Ia berusaha menarik
perhatian musuh agar tidak menyerang Rasulullah. Berkata Ibnu Sa‟ad,”Diceritakan kepada
kami oleh Ibrahim bin Muhammad bin Syurahbil al-„Abdari dari bapaknya, ia berkata:

“Mush‟ab bin Umair adalah pembawa bendera di Perang Uhud. Tatkala barisan Kaum
Muslimin pecah, Mush‟ab bertahan pada kedudukannya. Datanglah seorang musuh berkuda,
Ibnu Qumaiah namanya, lalu menebas tangannya hingga putus, sementara Mush‟ab
mengucapkan:”Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, yang sebelumnya telah
didahului oleh beberapa Rasul”. Maka dipegangnya bendera dengan tangan kirinya sambil
membungkuk melindunginya. Musuh pun menebas tangan kirinya itu hingga putus pula.
Mush‟ab membungkuk ke arah bendera, lalu dengan kedua pangkal lengan meraihnya ke
dada sambil mengucapkan:”Muhammad itu tiada lain hanyalah seorang Rasul, dan
sebelumnya telah didahului oleh beberapa Rasul”. Lalu untuk ketiga kalinya orang berkuda
itu menyerangnya dengan tombak dan menusukkannya hingga tombak itu pun patah.
Mush‟ab pun gugur, dan bendera jatuh.”

Mush‟ab berseru demikian karena merasa tidak bakal dapat melindungi Rasulullah, sang
kekasih Allah yang amat disayangi dan dihormatinya. Disamping itu ia juga ingin
meyakinkan diri dan teman-teman bahwa bila Rasulullah wafat, itu bukan berarti bahwa
perjuangan Islam dapat dihentikan. Ironisnya, Mush‟ab sendiri syahid justru karena
Qumaimah menyangka dirinya Rasulullah karena Wajah Mush‟ab memang mirip dengan
Rasulullah. Kemudian dengan sesumbar Qumaiah mengatakan bahwa ia telah membunuh
Rasulullah.

Umar bin Khattab berkata:”Kami terpisah dari Rasulullah saat perang Uhud. Aku naik ke
gunung dan aku mendengar seorang Yahudi berkata:”Muhammad mati terbunuh!”. Akupun
berseru,”Aku akan memenggal leher orang yang mengatakan bahwa Muhammad telah mati
terbunuh”. Setelah itu aku melihat Rasulullah dan para sahabat kembali ke tempat semula.
Lalu turunlah ayat 144 surat Ali Imran.(HR. Ibnu Mundzir).
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur”.(QS.Ali Imran(3):144).

XVII. Perang Uhud dan hikmah diperintahkannya berperang. (bag 2).


Tentu saja berita ini membuat pasukan Muslim makin panik. Panji segera berpindah ke
tangan Ali bin Abu Thalib. Para sahabat dekat yang hanya tinggal beberapa itu segera
berkumpul melindungi Rasulullah. Mereka bertempur mati-matian demi keselamatan sang
Rasul yang amat mereka cintai itu. Namun keadaan sungguh sulit hingga tidak mungkin
bagi mereka untuk terus menerus berkumpul di sekeliling nabi. Pertempuran berdarah yang
tidak seimbang terjadi di sekitar beliau. Dalam rangka menjaga keselamatan utusan Allah
inilah satu persatu tujuh orang sahabat mati syahid dihadapan Rasul.

Anas bin Nadar syahid dengan tujuh puluh tusukan pada badannya. Saudarinya dapat
mengenal badannya hanya dengan tanda di ujung jarinya. Talha bin Ubaidillah pada saat
kritis dengan gagah berani menjadikan dadanya tameng bagi Rasulullah. Tirmidzi
meriwayatkan, Nabi SAW berkata,”Jika seseorang ingin melihat Syuhada berjalan di bumi
ini, lihatlah Talha bin Ubaidullah.”

Sementara Abu Dujana membiarkan punggungnya menjadi sasaran panah demi melindungi
Rasululllah. Sejumlah anak panah musuh menancap di punggungnya tetapi tak
sejengkalpun ia bergeming. Seolah tak mau ketinggalan dengan kaum lelaki, ummu
Amara beserta suami dan dua orang putranya juga bertempur disekeliling Rasulullah ketika
hanya beberapa sahabat saja yang berada di sekeliling beliau.

Dengan pedang terhunus bersama Rasul perempuan ini mempertahan diri dari serangan
yang datang dari semua arah. Demikian pula suami dan kedua anaknya. Mereka
mempertunjukkan keberanian yang sungguh luar biasa. Hingga dalam suatu kesempatan
Rasul SAW berkata,”Ya Allah, sayangilah keluarga ini.”Beliau juga mendoakan mereka,”Ya
Allah jadikanlah mereka sekeluarga sahabatku di surga.”

Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah.
Pada hari itu, aku melihat Aisyah dan Ummu Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan
sedikit pakaiannya, untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb.
Abu Sa‟id Al-Khudri berkata bahwa pada perang Uhud,”Utbah bin Abi Waqqash melempar
Rasulullah hingga memecahkan gigi seri sebelah kanan bagian bawah dan juga melukai
bibir beliau. Abdullah bin Syihab az-Zuhri melukai kening beliau. Ibnu Qami‟ah melukai
bagian atas pipi yang menonjol hingga dua buah mata rantai besi masuk ke bagian atas pipi
beliau. Rasulullah terjatuh ke dalam salah satu lubang yang dibuat oleh Abu Amir agar
kaum muslimin terperosok ke dalamnya tanpa mereka sadari. Kemudian Ali bin Abi Thalib
memegang tangan beliau dan Thalhah bin Ubaidillah mengangkat beliau hingga bisa tegak
berdiri. Malik bin Sinan yakni Abu Sa‟id al-Khudri mengusap darah dari wajah beliau dan
menelannya. Kemudian Rasulullah bersabda:”Barang-siapa yang darahnya menyentuh
darahku, niscaya ia tidak akan disentuh api Neraka.”

Bukhari meriwayatkan, Saad bin Abi Waqas berkata,”Pada hari peperangan Uhud aku
melihat dua orang berpakaian putih disekitar Nabi SAW. Mereka sedang bertempur dengan
dahsyat atas nama Nabi SAW. Aku tidak pernah melihat mereka sebelum dan setelah
kesempatan tersebut.”Dalam riwayat yang lain, dikatakan bahwa mereka adalah malaikat
Jibril as dan Mikail as. Sementara itu tiga puluh orang sahabat mendatangi dengan cepat
tempat tersebut … Allahuakbar ..

“Akan Kami masukkan ke dalam hati orang-orang kafir rasa takut, disebabkan
mereka mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah sendiri tidak menurunkan
keterangan tentang itu. Tempat kembali mereka ialah neraka; dan itulah seburuk-buruk
tempat tinggal orang-orang yang zalim”. (QS. Ali Imran(3):151).

Dengan datangnya bala bantuan tersebut maka perangpun usai. Pasukan Quraisy pergi
meninggalkan medan perang dengan rasa takut. (sebagaimana diterangkan ayat di atas).
Setelah itu Abu Obaida bin Jarrah dengan giginya mencoba mencabut cincin pengikat helm
yang menancap di pipi Rasulullah hingga ia harus kehilangan gigi bawahnya. Berikutnya ia
juga kehilangan gigi bawah lainnya saat mencabut cincin pengikat helm kedua.

Selanjutnya tinggallah Rasulullah didampingi sisa sahabat yang masih hidup berkeliling
melihat keadaan para sahabat yang syahid. Melalui firman-Nya, para mujahidin sejati
tersebut mendapat pujian dan penghargaan dari Allah SWT.

“Di antara orang-orang mu‟min itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah
mereka janjikan kepada Allah; maka di antara mereka ada yang gugur. …“.(QS.Al-
Ahzab(33):23).
Ketika Rasulullah melihat jenazah Mush‟ab dengan sedih beliau berucap:”Ketika di Mekah
dulu tak seorangpun aku lihat yang lebih halus pakaiannya dan lebih rapi rambutnya dari
padamu. Tetapi sekarang ini, dengan rambutmu yang kusut masai, hanya dibalut sehelai
burdah”.

Bagi Handhalah bin Abu Amir, Rasulullah bersabda: “Sungguh sahabat kalian, Handhalah,
pasti akan dimandikan para malaikat”. Itu sebabnya ia kemudian mendapat julukan
Handhalah bin Abu Amir al-Ghasil yang artinya yang dimandikan para malaikat. Lalu para
sahabat menanyakan perihal Handhalah kepada istrinya:”Ada apa dengan Handhalah bin
Abi Amir?”Istrinya menjawab bahwa Handhalah bin Abi Amir keluar dari rumah dalam
keadaan junub ketika mendengar panggilan jihad. Mereka berdua memang pasangan
pengantin baru.

Selanjutnya ketika Rasul melihat keadaan Hamzah bin Abu Thalib, wajah beliau berubah
merah seketika itu juga. Betapa tidak .. perut paman Rasul ini telah di bedah dan diaduk-
aduk ! Dengan menahan marah, beliau bersabda:

“Takkan pernah ada orang mengalami malapetaka seperti kau ini. Belum pernah aku
menyaksikan suatu peristiwa yang begitu menimbulkan amarahku seperti kejadian ini.”Lalu
katanya lagi:”Demi Allah, kalau pada suatu ketika Tuhan memberikan kemenangan kepada
kami melawan mereka, niscaya akan kuaniaya mereka dengan cara yang belum pernah
dilakukan oleh orang Arab.”

Namun kemudian Allah SWT menurunkan ayat berikut:

“Dan kalau kamu mengadakan pembalasan, balaslah seperti yang mereka lakukan terhadap
kamu. Tetapi kalau kamu tabah hati, itulah yang paling baik bagi mereka yang
berhati tabah (sabar). Dan hendaklah kau tabahkan hatimu, dan ketabahan hatimu itu
hanyalah dengan berpegang kepada Tuhan. Jangan pula engkau bersedih hati terhadap
mereka, jangan engkau bersesak dada menghadapi apa yang mereka rencanakan
itu”.(QS.An-Nahl(16:):126-127).

Maka Rasulpun segera memaafkan mereka, ditabahkannya hatinya dan dilarangnya orang
melakukan penganiayaan. Kemudian Rasulullah menyelimuti jenazah Hamzah dengan
mantel beliau lalu men-sholat-kannya. Selanjutnya Rasulullah SAW memerintahkan supaya
jenazah para mujahidin yang mencapai 70 orang itu dikuburkan di tempat mereka menemui
ajalnya. Setelah melayangkan pandangan duka ke arah medan perang serta para
syuhada, Rasulullah berseru:

“Sungguh aku akan menjadi saksi di hari Kiamat nanti, bahwa kalian semua adalah syuhada
di sisi Allah”

Kemudian sambil berpaling ke arah sahabat yang masih hidup, beliau bersabda,

“Hai manusia, berziarahlah dan berkunjung kepada mereka serta ucapkanlah salam ! Demi
Allah yang menguasai jiwaku, tak seorang Muslimpun sampai hari Kiamat yang memberi
salam kepada mereka, pasti mereka akan membalasnya”.

Sesudah itu Rasulullah diikuti para sahabat yang tersisa meninggalkan medan
pertempuran dan kembali ke Madinah. Kepedihan dan kehancuran yang dirasa pasukan
Muslim kali ini sungguh terasa amat sangat memalukan. Kehancuran dan kekalahan yang
mereka alami seharusnya tidak perlu terjadi kalau saja sebagian pasukan tidak silau oleh
banyaknya harta benda yang ditinggalkan musuh yang sebenarnya telah mereka kalahkan
dengan telak. Dengan kata lain, kekalahan ini adalah karena sebagian besar pasukan
pemanah telah melanggar perintah nabinya.

Rasulullah memasuki rumah dalam keadaan galau. Pikiran beliau bercampur aduk
membayangkan reaksi orang-orang Yahudi, orang-orang munafik dan musyrik Madinah
menyaksikan kekalahan dan kehancuran pasukan Muslim yang dipimpinnya itu.

Jabir bin Abdullah menjelaskan bahwa ketika Rasulullah mengalami kekalahan perang
Abdullah bin Ubay, si tokoh Munafik Madinah, berkata:” Sekiranya mereka mengikuti kita,
tentulah mereka tidak akan mati sia-sia di medan perang”. Ia menganggap Rasul tidak tahu
strategi perang. Atas hal itu Allah menurunkan ayat 168 surat Ali Imran.(HR. Ibnu Ishaq).

“Orang-orang yang mengatakan kepada saudara-saudaranya dan mereka tidak turut pergi
berperang:”Sekiranya mereka mengikuti kita, tentulah mereka tidak terbunuh”.
Katakanlah:”Tolaklah kematian itu dari dirimu, jika kamu orang-orang yang benar.”QS. Ali
Imran(3):168).

“Sekiranya kami mengetahui (bagaimana cara )berperang, tentulah kami mengikuti kamu”.

Itulah jawaban yang diberikan orang-orang Munafik ketika Rasullullah memerintahkan


mereka untuk berperang di jalan Allah. Ucapan tersebut adalah sindiran bahwa Rasulullah
tidak mengerti strategi perang karena memerintahkan berperang ketika jumlah pasukan
hanya sedikit.

“dan supaya Allah mengetahui siapa orang-orang yang munafik. Kepada mereka
dikatakan:”Marilah berperang di jalan Allah atau pertahankanlah (dirimu)”. Mereka
berkata:”Sekiranya kami mengetahui (bagaimana cara), tentulah kami mengikuti kamu”.
Mereka pada hari itu lebih dekat kepada kekafiran daripada keimanan.Mereka
mengatakan dengan mulutnya apa yang tidak terkandung dalam hatinya. Dan Allah lebih
mengetahui apa yang mereka sembunyikan”. QS. Ali Imran(3):167).

Itulah ancaman Allah SWT atas ucapan orang-orang yang mengaku Muslim namun menolak
ketika diperintahkan berperang oleh Rasul-Nya. Perbuatan tersebut menunjukkan bahwa
hati mereka lebih menyerupai orang kafir daripada orang yang mengaku telah beriman.

Ditengah kekecewaan pada sebagian pasukan yang tidak mematuhi perintah dan silau
dengan harta benda ditambah lagi ejekan dan sindiran orang-orang Munafik itulah
kemudian turun turun ayat 152 dan 153 surat Ali Imran. Ayat ini memberitahukan bahwa
Allah SWT telah memaafkan kesalahan dan kelalaian para sahabat yang menyebabkan
pasukan Muslim kalah dalam perang kali ini. Allah ridho.

“Dan sesungguhnya Allah telah memenuhi janji-Nya kepada kamu, ketika kamu membunuh
mereka dengan izin-Nya sampai pada saat kamu lemah dan berselisih dalam urusan itu
dan mendurhakai perintah (Rasul) sesudah Allah memperlihatkan kepadamu apa yang
kamu sukai. Di antaramu ada orang yang menghendaki dunia dan di antara kamu ada
orang yang menghendaki akhirat. Kemudian Allah memalingkan kamu dari mereka untuk
menguji kamu dan sesungguhnya Allah telah mema`afkan kamu. Dan Allah
mempunyai karunia (yang dilimpahkan) atas orang-orang yang beriman. (Ingatlah) ketika
kamu lari dan tidak menoleh kepada seseorangpun, sedang Rasul yang berada di antara
kawan-kawanmu yang lain memanggil kamu, karena itu Allah menimpakan atas kamu
kesedihan atas kesedihan, supaya kamu jangan bersedih hati terhadap apa yang luput
daripada kamu dan terhadap apa yang menimpa kamu. Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan”.(QS. Ali Imran(3):152-153).

Dan sebagai bukti bahwa Allah SWT ridho dan telah memaafkan kelalaian dan kecerobohan
mereka Allah menganugerahkan rasa kantuk yang amat sangat. Malam itu Rasul dan para
sahabat yang memiliki keimanan super tinggi tertidur dengan nyenyak hingga keesokan
subuhnya bangun dalam keadaan segar bugar. Sebaliknya sebagian lainnya, yaitu golongan
Muslim yang kurang kuat keimanannya tetap diselimuti keraguan dan tidak bisa tidur.
Mereka ragu bila Muhammad SAW memang utusan Allah mengapa Allah membiarkan
nabinya kalah! Mereka terus menyesali diri mengapa mau menuruti perintah berperang
hingga mereka harus terbunuh! Padahal kematian adalah rahasia Sang Khalik. Tak satu
orangpun dapat menghindarinya sekalipun ia terus mengurung di dalam rumah. Sebaliknya
mati ketika dalam keadaan menjalankan perintah-Nya seperti berjihad (baik jihad dalam
perang maupun berdakwah mengajak pada kebenaran) surga adalah balasannya.

“Kemudian setelah kamu berduka-cita Allah menurunkan kepada kamu keamanan (berupa)
kantuk yang meliputi segolongan daripada kamu, sedang segolongan lagi telah
dicemaskan oleh diri mereka sendiri; mereka menyangka yang tidak benar terhadap
Allah seperti sangkaan jahiliyah. … … … Katakanlah:”Sekiranya kamu berada di
rumahmu, niscaya orang-orang yang telah ditakdirkan akan mati terbunuh itu ke luar
(juga) ke tempat mereka terbunuh”. Dan Allah (berbuat demikian) untuk menguji apa yang
ada dalam dadamu dan untuk membersihkan apa yang ada dalam hatimu. Allah Maha
Mengetahui isi hati”. (QS. Ali Imran(3):154).

Keesokan harinya, usai subuh berjamaah Rasulullah memerintahkan para sahabat yang
kemarin baru saja kembali dari Perang Uhud untuk mengejar pasukan Quraisy yang
mengalahkan mereka. Pasalnya, Rasulullah mendengar kabar bahwa para pemimpin
Quraisy telah memanasi-manasi pasukannya agar kembali ke Madinah untuk membunuh
beliau dan merampas gadis-gadis Madinah! Hal ini tidak boleh didiamkan begitu saja karena
akan membuat orang-orang munafik Madinah dan Yahudi makin melecehkan beliau.

Maka tanpa banyak bicara, Ali bin Abu Thalib yang diserahi memimpin pasukan langsung
melesat mengejar pasukan Quraisy yang pagi itu masih berpesta merayakan kemenangan
mereka di perkemahan antara Madinah – Makkah. Sebaliknya, mendengar bahwa pasukan
Muslim mengejar pasukan Quraisy, mereka segera meninggalkan perkemahan dan pulang
menuju Makkah.

Pasukan pimpinan Ali baru kembali ke Madinah setelah 3 hari 2 malam bermalam di wilayah
sekitar tersebut. Pasukan ini menyalakan obor besar untuk mengelabui musuh agar
disangka membawa pasukan besar. Maka untuk menghargai keberanian mereka Allahpun
menurunkan ayat berikut:
“… Allah tidak menyia-nyiakan pahala orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang
yang menta`ati perintah Allah dan Rasul-Nya sesudah mereka mendapat luka (dalam
peperangan Uhud). Bagi orang-orang yang berbuat kebaikan di antara mereka dan yang
bertakwa ada pahala yang besar”. QS. Ali Imran(3):171-172).
“(Yaitu) orang-orang (yang menta`ati Allah dan Rasul) yang kepada mereka ada orang-
orang yang mengatakan:”Orang-orang (Quraisy) telah mengumpulkan pasukan untuk
menyerang kamu, karena itu takutlah kepada mereka”, makaperkataan itu menambah
keimanan mereka dan mereka menjawab:”Cukuplah Allah menjadi Penolong kami
dan Allah adalah sebaik-baik Pelindung“. QS. Ali Imran(3):173)

XVIII. Dakwah Kepada Ahli Kitab (bag 1).


Meski Madinah dikatakan telah berada di bawah cahaya Islam dan Rasulpun berada di kota
tersebut, namun tidak berarti bahwa dakwah dan tugas kerasulan usia sudah. Ayat-ayat
suci Al-Quran yang selama kurang lebih 12 tahun turun di Mekkah tetap turun di kota yang
dulunya bernama Yatsrib ini.

Ayat-ayat yang turun di kota ini biasa disebut dengan ayat-ayat Madaniyah. Ayat-ayat ini
biasanya panjang-panjang dan berisi tentang hukum. Kebalikan dari ayat Makiyah, ayat
yang turun di Mekkah yang biasanya pendek-pendek dan berisi tentang surga dan neraka.

Bila ketika di Mekkah Rasulullah harus lebih banyak menghadapi kaum Musrykin maka di
Madinah ini para ahli kitablah yang menjadi tantangan berat. Disamping juga orang-orang
Munafik yang tampaknya mau memeluk Islam karena terpaksa, demi menjaga
kekuasaannya.

Dalam Al-Quran, kata Ahli kitab adalah ditujukan bagi orang-orang yang sebelum
datangnya Islam telah pernah menerima kitab suci dari Sang Khalik yaitu Al-Injil dan At-
Taurat. Itulah orang-orang Nasrani dan Yahudi. Merekalah sebenarnya yang menjadi
pemicu mengapa penduduk Madinah berbondong-bondong mau memeluk Islam dan
menerima kehadiran Rasul di tengah-tengah mereka.

Dulu, sebelum datangnya Islam, orang-orang suku Aus dan Khahraj selain sering berperang
melawan orang-orang Yahudi juga saling berperang diantara keduanya. Lalu dengan
congkaknya, orang-orang Yahudi sering berkata bahwa akan datang seorang nabi, utusan
Allah yang akan memutuskan perkara dan perselisihan diantara mereka. Mereka bahkan
mengatakan bahwa orang-orang yang tidak mau mengakui utusan Allah ini akan diazab
sebagaimana Allah mengazab orang-orang yang durhaka di masa lalu.

Namun nyatanya ketika utusan itu datang justru sebagian besar orang-orang Yahudi dan
Nasrani inilah yang mendustakannya. Mereka bukan saja enggan mengakui bahwa
Muhammad adalah utusan Allah bahkan merekapun menganggap bahwa Muhammad dan
apa yang dibawanya adalah sihir !

“Dan (ingatlah) ketika Isa Putra Maryam berkata:”Hai Bani Israil, sesungguhnya aku adalah
utusan Allah kepadamu, membenarkan kitab (yang turun) sebelumku, yaitu Taurat dan
memberi kabar gembira dengan (datangnya) seorang Rasul yang akan datang sesudahku,
yang namanya Ahmad (Muhammad)”Maka tatkala rasul itu datang kepada mereka dengan
membawa bukti-bukti yang nyata, mereka berkata:”Ini adalah sihir yang nyata“. (QS.Ash-
Shaaf(61):6).

Adalah sebuah mukjizat bahwa Rasulullah dapat hijrah dan diterima penduduk Madinah
pada umumnya. Bahkan menjadikan Rasulullah pemimpin pula ! Dibawah kepimpinan beliau
inilah sebuah piagam kota yang isinya mengatur berbagai hal disusun. Itulah Piagam
Madinah. Padahal orang-orang Yahudi yang amat membenci dan memusuhi Islam
sebenarnya telah mendiami kota ini jauh sebelum hijrahnya Rasulullah dan para sahabat.
Allah, Ya … Dialah Yang Maha Memiliki Rencana.

Al-Barra‟ menjelaskan bahwa suatu hari, Rasulullah berpapasan dengan orang-orang


Yahudi. Mereka membawa seseorang dari kalangan mereka yang dihukum jemur dan
cambuk. Beliaupun bertanya:”Apakah seperti ini hukuman bagi pezina di dalam Kitab
kalian?”“Ya”jawab mereka. Lalu Rasul memanggil seorang pendeta mereka dan
bertanya,”Demi Allah yang menurunkan Taurat kepada Musa. Apakah benar-benar seperti
ini hukuman bagi pezina di dalam Kitab kalian?”Pendeta itu menjawab,”Sesungguhnya
tidak seperti itu. Jika kau tadi tidak bersumpah terlebih dahulu aku takkan menjelaskan
yang sebenarnya. Di dalam Kitab kami, hukuman zina adalah rajam. Namun karena banyak
dari kalangan pembesar melakukannya, kamipun membiarkannya. Jika pelakunya adalah
dari kalangan rakyat kami menerapkan hukuman itu atasnya. Karena itu, berdasarkan hasil
musyawarah, kami menerapkan atas kalangan pembesar dan rakyat, hukuman jemur dan
cambuk”. Rasulpun bersabda,”Ya Allah, aku adalah orang pertama yang menghidupkan
kembali perintah-Mu setelah dihapus mereka”. Rasulpun melakukan perajaman atas orang
Yahudi yang berzina itu. Kemudian turun ayat 41 surat Al-Maidah.(HR. Ahmad dan Muslim).
“… … … dan (juga) di antara orang-orang Yahudi. (Orang-orang Yahudi itu) amat suka
mendengar (berita-berita) bohong dan amat suka mendengar perkataan-perkataan orang
lain yang belum pernah datang kepadamu; mereka merobah perkataan-perkataan (Taurat)
dari tempat-tempatnya. Mereka mengatakan:”Jika diberikan ini (yang sudah dirobah-robah
oleh mereka) kepada kamu, maka terimalah, dan jika kamu diberi yang bukan ini, maka
hati-hatilah”. … … …”.(QS.Al-Maidah(5):41).

Ibnu „Abbas memaparkan bahwa pada zaman jahiliyah, bani Nadhir lebih mulia dari pada
bani Quraizhah. Jika seseorang dari Quraidzah membunuh seseorang dari bani Nadhir,
baginya qishash (balasannya dibunuh juga). Namun bila sebaliknya, hukumannya cukup
membayar tebusan seratus wasaq tamar. Saat Muhammad telah menjadi Rasulullah terjadi
pembunuhan di antara mereka, yaitu seorang lelaki bani Nadhir membunuh seorang lelaki
dari bani Quraizhah. Saat hukuman akan ditegakkan diantara mereka ada yang
berkata,”Diantara kita ada utusan Allah. Mari kita minta fatwa kepada Muhammad”. Lalu
turun ayat 42 surat Al-Maidah. (HR. Ahmad, Abu Dawud, Nasa‟i dan Ibnu Jarir).

“Mereka itu adalah orang-orang yang suka mendengar berita bohong, banyak memakan
yang haram. Jika mereka (orang Yahudi) datang kepadamu (untuk meminta putusan),
maka putuskanlah (perkara itu) di antara mereka, atau berpalinglah dari mereka; jika kamu
berpaling dari mereka maka mereka tidak akan memberi mudharat kepadamu sedikitpun.
Dan jika kamu memutuskan perkara mereka, maka putuskanlah (perkara itu) di antara
mereka dengan adil, sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang adil”. (QS.Al-
Maidah(5):42).

Demikian pula halnya dengan pengikut Nasrani, umat nabi Isa yang menuhankan sang
utusan. Nabi Allah yang oleh umatnya disebut Yesus ini kadang dianggap sebagai anak
Tuhan kadang dianggap sebagai Tuhan itu sendiri. Beliau diutus kepada kaum Yahudi pada
awal abad Masehi, setelah orang-orang Yahudi lama tenggelam dalam kesesatan.

“Dan Kami iringkan jejak mereka (nabi-nabi Bani Israil) dengan `Isa putera Maryam,
membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu: Taurat. Dan Kami telah memberikan
kepadanya Kitab Injil sedang di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi),
dan membenarkan kitab yang sebelumnya, yaitu Kitab Taurat. Dan menjadi petunjuk serta
pengajaran untuk orang-orang yang bertakwa.”.(QS.Al-Maidah(5):46).
Tanpa mengenal rasa lelah, bosan apalagi takut, berulang kali Rasulullah menyampaikan
ayat-ayat Al-Quran yang khusus ditujukan kepada mereka itu. Rasulullah sama sekali tidak
memaksa mereka untuk berpindah agama dan mengikuti syariat Islam. Karena yang
dikehendaki-Nya adalah kembali ke jalan yang benar, mendudukkan hukum Taurat dan Injil
sesuai aslinya sekaligus mengamalkannya.

“Dan hendaklah orang-orang pengikut Injil, memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah di dalamnya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang
diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang fasik”.(QS.Al-Maidah(5):47).
“Sesungguhnya orang-orang mu‟min, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-
orang Shabiin, siapa saja di antara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari
kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati”.(QS.Al-
Baqarah(2):62).
As-Suddi menjelaskan bahwa ayat ini diturunkan sehubungan dengan para sahabat Salman
Al-Farisi. Mereka masih memeluk agama Nasrani dan belum sempat memeluk agama yang
dibawa Rasulullah. Mereka sungguh beriman kepada Allah dan Rasul-Nya, meski tetap
memeluk agama semula, ibadah mereka tetap diterima dan mendapat pahala dari Allah
SWT.(HR.Ibnu Abi Hatim dan Al-Adni).

Tiap umat memiliki aturan dan syariat masing-masing. Kita disuruh berlomba dalam
berbuat kebaikan dengan dasar keimanan yang benar, yaitu menyembah hanya kepada
Allah Yang Satu, Allah SWT, Yang tidak beranak dan tidak diperanakkan. Tiada satupun
sekutu dan mitra bagi-Nya.

“Dan Kami telah turunkan kepadamu Al Qur‟an dengan membawa kebenaran,


membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan
batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu; maka putuskanlah perkara mereka menurut
apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan
meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu. Untuk tiap-tiap umat di antara
kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang. Sekiranya Allah menghendaki, niscaya
kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap
pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan. Hanya kepada
Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-Nya kepadamu apa yang telah kamu
perselisihkan itu”.(QS.Al-Maidah(5):48).
“dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan
Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu
terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah
diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan
Allah), maka ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan
musibah kepada mereka disebabkan sebahagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya
kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum Jahiliyah yang mereka
kehendaki, dan (hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang
yang yakin?”.(5):49-50)
Ibnu „Abbas memaparkan bahwa kedua ayat di atas turun berkenaan dengan Ka‟ab bin
Usaid, Abdullah bin Shuriya dan Syasy bin Qais yang suatu saat mendatangi Rasulullah dan
berkata,”Muhammad sesungguhnya kau mengetahui bahwa kami adalah para pendeta yang
terhormat dan dihargai. Jika kami mengikuti engkau, orang-orang Yahudi juga akan
mengikuti dan tidak akan menentang kami. Sesungguhnya antara kami dan kaum kami
telah terjadi perbedaan pendapat. Karena itu, sekarang kami minta keputusan darimu atas
perselisihan yang terjadi. Berilah kemenangan kepada kami dan kami akan beriman
kepadamu. Namun rasul enggan melakukan itu.(HR.Ibnu Ishaq).

Dari hadits-hadits diatas dapat dilihat bahwa kaum Nasrani, orang-orang Yahudi bahkan
para pendetanya itu sebenarnya percaya bahwa Muhammad adalah utusan Allah.
Sayangnya mereka hanya mau tunduk dan mematuhi beliau bila mereka mendapat
keuntungan.

Melalui surat Al-Fatihah, sehari 17 kali kita, umat Islam, diwajibkan memohon kepada Allah
SWT agar diberikan petunjuk ke jalan yang lurus. Jalan yang lurus tersebut bukan jalan
yang ditempuh orang-orang yang sesat yaitu jalannya kaum Nasrani yang tersesat karena
menganggap Isa as adalah Tuhan. Dan bukan juga jalannya orang-orang Yahudi yang
dimurkai karena mereka sengaja tidak mau menjalankan isi Taurat dan bahkan
menyembunyikannya.

“Hai Ahli Kitab, mengapa kamu mencampur adukkan yang haq dengan yang bathil, dan
menyembunyikan kebenaran, padahal kamu mengetahui?”. (QS.AliImran(3):71).
XVIII. Dakwah Kepada Ahli Kitab. (bag 2).
Dakwah kepada Ahli Kitab dalam rangka memurnikan penyembahan, yaitu menyembah
hanya kepada Allah Yang Esa tidak lebih ringan dari pada dakwah kepada kaum Musyrikin.
Sungguh berat perjuangan Rasulullah. Hanya berkat pertolongan Allah SWT jua Rasulullah
bisa tetap bersabar terhadap hinaan, cemoohan, kebencian hingga rasa permusuhan yang
mendalam dari orang-orang Nasrani dan Yahudi Madinah yang notabene sebenarnya telah
berada di bawah kekuasaan Islam. Karena nyatanya mereka tetap enggan untuk tunduk
terhadap hukum dan keputusan Rasulullah. Padahal mereka telah terikat dalam Piagam
Madinah yang disusun beliau. Tampak bahwa mereka benar-benar keras kepala.
“Di antara Ahli Kitab ada orang yang jika kamu mempercayakan kepadanya harta yang
banyak, dikembalikannya kepadamu; dan di antara mereka ada orang yang jika kamu
mempercayakan kepadanya satu Dinar, tidak dikembalikannya padamu, kecuali jika kamu
selalu menagihnya. Yang demikian itu lantaran mereka mengatakan:”Tidak ada dosa bagi
kami terhadap orang-orang ummi. Mereka berkata dusta terhadap Allah, padahal mereka
mengetahui”.(QS.Ali Imran(3):75).

Mereka merasa bahwa kedudukan mereka lebih tinggi dari kaum Muslimin. Bahkan ada
diantara mereka yang beranggapan bahwa tidak ada dosa bagi mereka bila mereka tidak
ingin mengembalikan apa-apa yang mereka pinjam dari Muslimin.

Orang-orang ini juga suka berbohong tentang isi kitab suci mereka. Secara sengaja mereka
memelintir ayat-ayat dan memutar-mutar maknanya hingga pas dan sesuai dengan apa
yang diinginkan mereka. Hal ini terjadi karena Rasulullah memang memberi kebebasan
kepada Ahli Kitab untuk menerapkan sendiri hukum agama mereka. Inilah bukti nyata
betapa tingginya toleransi Islam terhadap pemeluk agama lain.

“Sesungguhnya di antara mereka ada segolongan yang memutar-mutar lidahnya membaca


Al Kitab, supaya kamu menyangka yang dibacanya itu sebagian dari Al Kitab, padahal ia
bukan dari Al Kitab dan mereka mengatakan:”Ia (yang dibaca itu datang) dari sisi Allah”,
padahal ia bukan dari sisi Allah. Mereka berkata dusta terhadap Allah, sedang mereka
mengetahui”.(QS.Ali Imran(3):78).

Sebagai seorang utusan Allah sekaligus pemimpin yang baik, Muhammad SAW selalu
menyediakan waktu untuk berkumpul, berbincang dan bertukar pendapat dengan seluruh
warganya. Baik itu kaum Muslimin maupun bukan.
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani mengatakan:”Kami ini adalah anak-anak Allah dan
kekasih-kekasih-Nya”. Katakanlah:”Maka mengapa Allah menyiksa kamu karena dosa-
dosamu?”(Kamu bukanlah anak-anak Allah dan kekasih-kekasih-Nya), tetapi kamu adalah
manusia (biasa) di antara orang-orang yang diciptakan-Nya. Dia mengampuni bagi siapa
yang dikehendaki-Nya dan menyiksa siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi serta apa yang ada antara keduanya. Dan kepada Allah-lah
kembali (segala sesuatu)”. (QS.Al-Maidah(5):18).

Ibnu „Abbas memaparkan bahwa ayat di atas diturunkan berkenaan dengan Nu‟man bin
Qushay, Bahr bin „Umar dan Syasy bin Adi, yang suatu hari mendatangi Rasulullah dan
berbincang-bincang. Rasul kemudian mengajak mereka untuk mengesakan Allah dan
memperingatkan mereka dari siksaan-Nya. Merekapun berkata,”Hai Muhammad, kau tidak
perlu menakut-nakuti kami. Demi Allah, kami ini adalah anak-anak Allah dan kekasih-Nya”.
(HR. Ibnu Ishaq).

“Hai Ahli Kitab, sesungguhnya telah datang kepada kamu Rasul Kami, menjelaskan
(syari`at Kami) kepadamu ketika terputus (pengiriman) rasul-rasul, agar kamu tidak
mengatakan:”Tidak datang kepada kami baik seorang pembawa berita gembira maupun
seorang pemberi peringatan”. Sesungguhnya telah datang kepadamu pembawa berita
gembira dan pemberi peringatan. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(QS.Al-
Maidah(5):19).

Ibnu „Abbas menuturkan bahwa suatu saat Rasulullah berdakwah kepada orang-orang
Yahudi agar mereka memeluk Islam. Namun mereka menolak. Dalam kesempatan itu
Mu‟adz bin Jabal dan Sa‟ad bin „Ubadah, dua sahabat Anshar, berkata kepada
mereka,:”Wahai Yahudi, bertakwalah kepada Allah. Demi Allah, sesungguhnya kamu
mengetahui bahwa Muhammad adalah utusan Allah. Karena zaman dahulu kamu pernah
menjelaskan sifat-sifat beliau sebelum diutus menjadi Rasul, dan itu ternyata sesuai dengan
Muhammad”. Rafi‟ bin Huraimalah dan Wahab bin Yahudza berkata ,”Kami tidak pernah
menjelaskan seperti apa yang kamu jelaskan itu. Allah tidak menurunkan kitab lagi setelah
Taurat dan tidak pernah mengutus nabi lagi setelah Musa.”(HR. Ibnu Ishaq).

Disamping penolakan yang dilontarkan secara terang-terangan, tidak jarang pula mereka
menunjukkan ketaatan. Namun sayangnya, ketaatan tersebut hanyalah ketaatan palsu. Di
siang hari mereka berpura-pura percaya kepada apa yang dikatakan Rasulullah. Tetapi
malamnya mereka kembali mengingkarinya atau menyampaikannya kepada orang lain
namun setelah di putar balikkan. Tujuannya tak lain tak bukan yaitu agar orang-orang yang
tadinya telah beriman menjadi ragu, bimbang dan akhirnya murtad !

“Segolongan (lain) dari Ahli Kitab berkata (kepada sesamanya):”Perlihatkanlah (seolah-


olah) kamu beriman kepada apa yang diturunkan kepada orang-orang beriman (sahabat-
sahabat Rasul) pada permulaan siang dan ingkarilah ia pada akhirnya, supaya mereka
(orang-orang mu‟min) kembali (kepada kekafiran)”.(QS.AliImran (3):72).

Namun demikian Rasulullah tetap menahan diri. Dengan penuh kesabaran, layaknya
seorang bapak terhadap anak-anaknya, beliau terus mengajak agar Ahli Kitab menyadari
kekhilafan dan kesalahan mereka.

Ibnu „Abbas berkata,”Suatu hari para pendeta Yahudi dan Nasrani Najran berkumpul
dihadapan Rasulullah. Beliau lalu mengajak mereka untuk memeluk Islam. Abu Rafi
Quraidhi berkata,”Hai, Muhammad, apakah kau ingin agar kami menyembahmu seperti
kaum Nasrani menyembah Isa?”.”Aku berlindung kepada Allah dari perbuatan itu”, jawab
Rasul. Kemudian turun kedua ayat ini”(HR.Ibnu Ishaq dan Baihaqi).

Ayat yang dimaksud hadits adalah ayat 79 dan 80 surat Ali Imran berikut:

“Tidak wajar bagi seseorang manusia yang Allah berikan kepadanya Al Kitab, hikmah dan
kenabian, lalu dia berkata kepada manusia:”Hendaklah kamu menjadi penyembah-
penyembahku bukan penyembah Allah.”Akan tetapi (dia berkata):”Hendaklah kamu
menjadi orang-orang rabbani, karena kamu selalu mengajarkan Al Kitab dan disebabkan
kamu tetap mempelajarinya. Dan (tidak wajar pula baginya) menyuruhmu menjadikan
malaikat dan para nabi sebagai tuhan. Apakah (patut) dia menyuruhmu berbuat kekafiran
di waktu kamu sudah (menganut agama) Islam?”

“Katakanlah (Muhammad):”Kami beriman kepada Allah dan kepada apa yang diturunkan
kepada kami dan yang diturunkan kepada Ibrahim, Isma`il, Ishaq, Ya`qub, dan anak-
anaknya, dan apa yang diberikan kepada Musa, `Isa dan para nabi dari Tuhan mereka.
Kami tidak membeda-bedakan seorangpun di antara mereka dan hanya kepada-Nya-lah
kami menyerahkan diri”.(QS.Ali Imran(3):84).
Tidak semua Ahli Kitab menolak ajakan Rasulullah untuk ber-Islam. Salman Al-Farisi,
sahabat kelahiran Isfahan di Persia adalah salah satu contohnya.
(click:http://vienmuhadi.com/2009/01/19/perjuangan-salman-al-farisiy-dalam-rangka-
menjemput-hidayah/ ). Bahkan bagi orang-orang yang dibukakan pintu hatinya ini Allah
SWT memuliakannya dengan turunnya ayat berikut:
“Dan apabila mereka mendengarkan apa yang diturunkan kepada Rasul (Muhammad),
kamu melihat mata mereka mencucurkan air mata disebabkan kebenaran (Al Qur‟an) yang
telah mereka ketahui (dari kitab-kitab mereka sendiri); seraya berkata:”Ya Tuhan kami,
kami telah beriman, maka catatlah kami bersama orang-orang yang menjadi saksi (atas
kebenaran Al Qur‟an dan kenabian Muhammad)”.(QS.Al-Maidah(5):83).

Ironisnya, ada juga sebagian Ahli Kitab yang mengakui kebenaran Islam, bahkan merasa
bahwa merekapun Islam namun tetap tidak mau menyatakan dan mempratekkannya. Salah
satunya adalah pada kewajiban haji. Kewajiban ini sebenarnya telah ada sejak nabi Ibrahim
diutus menjadi Rasul. Dan terus berlaku bagi pemeluk Nasrani dan Yahudi yang diwasiatkan
melalui nabi Isa as dan Musa as.

“Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim; barangsiapa
memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah dia; mengerjakan haji adalah kewajiban
manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke
Baitullah; Barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
(tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam”. (QS.Ali Imran(3):97).

Ikramah berkata, Saat turun ayat 85 surat Ali Imran, kaum Yahudi menjawab,”Kami juga
termasuk golongan Muslim”. Rasulullahpun bersabda,”Sesungguhnya Allah mewajibkan
orang Islam melaksanakan ibadah haji”. Kaum Yahudi menolak dan berkata,”Kami tidak
tidak wajib beribadah haji”. Atas penolakan mereka, Allahpun menurunkan ayat ini”. (HR.
Sa‟id bin Manshur).

Penolakan Ahli Kitab terhadap dakwah Rasulullah ini sebenarnya telah ada sejak Rasulullah
masih di Mekah. Ketika itu orang-orang Musrik Mekkah mengadukan tentang Rasulullah
kepada orang Yahudi yang datang ke Mekah. Orang-orang ini merasa lebih baik dari pada
Rasulullah. Maka dengan serta merta kedua orang Yahudi ini mengatakan bahwa orang
Musrik Mekah memang lebih baik dan benar daripada Muhammad SAW. Padahal mereka
beriman kepada berhala-berhala (Jibt dan Thaghut).

“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab?
Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang beriman.
Mereka itulah orang yang dikutuki Allah. Barangsiapa yang dikutuki Allah, niscaya kamu
sekali-kali tidak akan memperoleh penolong baginya”. (QS.An-Nisa(4):51).

Ibnu „Abbas menjelaskan bahwa kedua ayat ini diturunkan berkenaan dengan perkataan
orang-orang Quraisy kala Ka‟ab bin Asyraf dan Hayy bin Akhtab, dua tokoh Yahudi, yang
datang ke Mekah.”Apakah kalian tidak melihat orang yang berpura-pura sabar dan terputus
dari kaumnya dan menganggapnya lebih baik daripada kami? Padahal kami menerima
orang-orang yang beribadah haji, menjadi pelayan Ka‟bah dan memberi mereka minum”.
Mereka berduapun berkata,”Ya, kalian lebih baik daripadanya (Muhammad)”. (HR. Ahmad
dan Ibnu Abi Hatim).

Hingga akhir hayatnya Rasulullah SAW tidak pernah putus asa mengajak Ahli Kitab agar
kembali ke jalan yang benar. Ayat demi ayat yang turun beliau sampaikan dengan tegas.
Isa as adalah manusia biasa seperti juga para nabi yang diutus-Nya. Kelebihan dan segala
macam mukjizat yang diberikan Allah kepada para Rasul adalah dalam rangka men-
Agungkan-Nya, untuk menunjukkan betapa hebat dan mulianya Sang Khalik. Tiada yang
tidak mungkin bagi Allah SWT.

“(Ingatlah), ketika Allah mengatakan:”Hai `Isa putra Maryam, ingatlah ni`mat-Ku


kepadamu dan kepada ibumu di waktu Aku menguatkan kamu dengan ruhul qudus. Kamu
dapat berbicara dengan manusia di waktu masih dalam buaian dan sesudah dewasa; dan
(ingatlah) di waktu Aku mengajar kamu menulis, hikmah, Taurat dan Injil, dan (ingatlah
pula) di waktu kamu membentuk dari tanah (suatu bentuk) yang berupa burung dengan
izin-Ku, kemudian kamu meniup padanya, lalu bentuk itu menjadi burung (yang
sebenarnya) dengan seizin-Ku. Dan (ingatlah), waktu kamu menyembuhkan orang yang
buta sejak dalam kandungan ibu dan orang yang berpenyakit sopak dengan seizin-Ku, dan
(ingatlah) di waktu kamu mengeluarkan orang mati dari kubur (menjadi hidup) dengan
seizin-Ku, dan (ingatlah) di waktu Aku menghalangi Bani Israil (dari keinginan mereka
membunuh kamu) di kala kamu mengemukakan kepada mereka keterangan-keterangan
yang nyata, lalu orang-orang kafir di antara mereka berkata:”Ini tidak lain melainkan sihir
yang nyata.”(QS.Al-Maidah(5):110).

Ayat ini menerangkan dengan jelas bahwa kelebihan dan kemampuan Isa as adalah atas
izin Allah SWT. Rasul ke 24 yang dinamakan Yesus oleh pemeluknya ini adalah putra
Maryam bin Imran. Seorang perempuan sholehah yang diberi kepercayaan oleh Sang Khalik
untuk mengandung tanpa sentuhan seorangpun lelaki. Perempuan yang disebut Rasulullah
sebagai salah satu perempuan calon penghuni surga inilah yang melahirkan, merawat dan
mendidik Isa hingga dewasa.

(baca surat Maryam atau click: http://www.youtube.com/watch?v=T5aIi3OqOJU )

Semua manusia adalah sama disisi-Nya kecuali tingkatan ketakwaannya.Tingkat ketakwaan


para nabi inilah yang menjadikan mereka lebih mulia dari manusia biasa. Adalah kebencian
dan kedengkian orang-orang Yahudi yang menjadikan mereka ingin membunuh para nabi,
tak terkecuali Isa as. Namun dengan izin Allah SWT nabi ini selamat dari kekejaman
penyaliban para pemuka Yahudi di Yerusalem. Berkat „tipu daya‟ Sang Khalik yang diluar
jangkauan pikiran manusia, diserupakannya wajah salah seorang pengikut Nasrani yang
berkhianat dengan wajah nabi Isa as. Jadi sebenarnya yang disalib pemuka Yahudi itu
bukanlah Isa as. Hukuman salib dalam masyarakat Yahudi (Romawi) ketika itu adalah suatu
hal yang biasa.

“Orang-orang kafir itu membuat tipu daya, dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan
Allah sebaik-baik pembalas tipu daya. (Ingatlah), ketika Allah berfirman:”Hai `Isa,
sesungguhnya Aku akan menyampaikan kamu kepada akhir ajalmu dan mengangkat kamu
kepada-Ku serta membersihkan kamu dari orang-orang yang kafir, dan menjadikan orang-
orang yang mengikuti kamu di atas orang-orang yang kafir hingga hari kiamat. Kemudian
hanya kepada Akulah kembalimu, lalu Aku memutuskan di antaramu tentang hal-hal yang
selalu kamu berselisih padanya”.(QS.Ali Imran (3):54-55).
Ironisnya, saat ini pemeluk Nasrani meyakini bahwa peristiwa penyaliban yang terjadi 2000
tahun silam itu adalah bentuk pengurbanan Tuhan mereka untuk membebaskan kesalahan
dan dosa-dosa orang-orang yang mau menjadikan Yesus sebagai Tuhan mereka.
“Sesungguhnya telah kafirlah orang-orang yang berkata:”Sesungguhnya Allah itu ialah Al
Masih putera Maryam”. Katakanlah:”Maka siapakah (gerangan) yang dapat menghalang-
halangi kehendak Allah, jika Dia hendak membinasakan Al Masih putera Maryam itu beserta
ibunya dan seluruh orang-orang yang berada di bumi semuanya?”Kepunyaan Allah-lah
kerajaan langit dan bumi dan apa yang di antara keduanya; Dia menciptakan apa yang
dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu”.(QS.Al-Maidah(5):17).
“Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima
(agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang
rugi”.(QS.Ali Imran(3):85).
XIX.Pengkhianatan Yahudi bani Nadhir dan dampaknya.
Pada tahun ke 4 Hijriyah, Rasulullah mengabulkan permintaan Amir bin Malik, seorang
pemimpin bani Amir, agar mengirimkan utusan ke Najd untuk mendakwahi kaumnya.
Mulanya Rasululah ragu:”Aku khawatir penduduk Najd akan menyerang mereka”. Namun
Amir meyakinkan:”Aku yang akan melindungi mereka dan menjamin mereka. Biarlah
mereka mengajak kepada agamamu”. Maka Rasulullahpun memberangkatkan 70 orang
sahabat ke negeri tersebut.

Setiba di sebuah desa bernama Bi‟ru Ma‟unah, salah seorang utusan menemui Amir bin
Thufail, pemimpin Najd, untuk menyerahkan surat dari Rasulullah. Namun utusan tersebut
langsung dibunuh, bahkan tanpa membaca surat yang dibawanya. Selanjutnya Amir
mengajak warganya agar menghabisi seluruh utusan. Namun mereka menolak karena tidak
ingin mengkhianati perjanjian Amir bin Malik dengan Rasulullah. Amir bin Thufail yang
memang dikenal kejam tersebut tidak putus asa. Ia mencari dukungan kabilah lain.
Keinginannya tercapai. Maka dengan bantuan beberapa kabilah yang menjadi sekutunya, ke
69 dai tersebut dibantai beramai-ramai.

Beruntung Amir bin Umaiyyah, satu-satunya dai yang lolos dari pembunuhan, dapat
menyelamatkan diri dan kembali ke Madinah. Tetapi ditengah perjalanan, Amir bertemu
dengan dua orang yang disangkanya dari bani Amir dan sedang mengejarnya. Maka iapun
membunuhnya. Setiba di Madinah ia segera menceritakan apa yang terjadi pada diri para
sahabat.

Betapa berdukanya Rasulullah dan para sahabat mendengar berita buruk tersebut. Belum
juga genap setahun ketika 10 orang sahabat mengalami hal yang sama. Saat itu mereka
diserang, sebagian dibunuh sebagian lagi dijual dan dijadikan budak oleh musuh.

(Lihat: http://vienmuhadi.com/2011/01/14/khubaib-bin-adi-mujahid-yang-syahid-di-tiang-
salib/)

Maka demi menghargai jerih payah mereka, selama satu bulan penuh, Rasulullah
membacakan doa qunut pada setiap shalat subuh berjamaah yang dilakukan bersama para
sahabat. Beliau memohon agar Allah SWT membalas perbuatan terkutuk itu dengan balasan
yang setimpal.
Sebaliknya, setelah diusut, dua orang yang dibunuh Amir Umaiyyah di perjalanan menuju
Madinah, ternyata bukan dari bani Amir. Melainkan orang dari bani Kilab yang telah
mendapat jaminan keamanan dari Rasulullah.

“Aku harus membayat diyat kedua orang tersebut”, begitu Rasulullah berujar, menyesal.

Bagi kabilah-kabilah Arab, persekutuan, perjanjian dan jaminan keselamatan antar kabilah
adalah hal yang umum terjadi. Ini adalah kebiasaan nenek moyang yang telah lama
dipegang. Bagi mereka, ini adalah harga diri kabilah. Itu sebabnya mereka sangat
menghargai dan menghormati perjanjian seperti itu.

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-
orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan
wanita dengan wanita. Maka barangsiapa yang mendapat suatu pema`afan dari
saudaranya, hendaklah (yang mema`afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma`af) membayar (diat) kepada yang memberi ma`af dengan cara
yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu
rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat
pedih”.(QS.Al-Baqarah(2):178).

Sebelum Islam datang, barang siapa melanggar perjanjian maka balasnya adalah kematian.
Namun sejak datangnya Islam, Allah SWT memberi keringanan, yaitu membayar diyat bagi
pihak yang membunuh tanpa sengaja atau yang dimaafkan oleh keluarga yang dibunuh.
Dan perbuatan memaafkan adalah perbuatan yang amat mulia.

Sayangnya, ketika itu keadaan keuangan pihak Islam sedang dalam kesulitan. Sementara
orang-orang Yahudi yang dikenal kaya raya itu terikat perjanjian dengan Rasulullah
sebagaimana tertuang dalam piagam Madinah. Itu sebabnya Rasulullah mendatangi Yahudi
bani Nadhir untuk meminta bantuan keuangan dalam rangka membayar diyat kepada
keluarga bani Kilab.

“Kami akan melakukan apa yang engkau inginkan, wahai Abul Qashim”, janji pemuka bani
Nadhir kepada Rasulullah. Kemudian salah seorang diantara Yahudi itu berbisik
kepadanya,”Aku akan naik ke bagian atas rumah kemudian menjatuhkan batu besar
kepadanya”. Namun salah seorang Yahudi lainnya berkata,”Janganlah kalian melakukannya
! Demi Allah, dia pasti akan diberi tahu tentang apa yang kalian rencanakan. Sesungguhnya
perbuatan itu merupakan pelanggaran terhadap perjanjian antara kita dan dia”.
Belum sempat rencana jahat itu terjadi, tiba-tiba Rasulullah meninggalkan tempat, seolah
ada suatu keperluan mendadak. Walaupun dengan terheran-heran, para sahabatpun segera
mengikuti langkah beliau. « Engkau berangkat, sedangkan kami tidak menyadari .. ».
Setelah agak jauh, Rasulullah berujar: « Orang-orang Yahudi itu merencanakan
pengkhianatan lalu Allah mengabarkan hal itu maka aku segera berangkat ».

Betapa sedih hati Rasulullah. Beliau diutus untuk menegakkan kalimat takwa, Tiada Tuhan
yang dipatut disembah selain Allah. Beliau tidak memaksa orang-orang Yahudi itu untuk
meninggalkan agama mereka. Beliau hanya menyampaikan pesan Sang Khalik agar mereka
menegakkan ajaran Taurat dengan benar, tidak membelok-belokannya. Namun jawaban
mereka malah hendak membunuhnya !

“Sesungguhnya, Kami mengetahui bahwasanya apa yang mereka katakan itu menyedihkan
hatimu, (janganlah kamu bersedih hati), karena mereka sebenarnya bukan mendustakan
kamu, akan tetapi orang-orang yang zalim itu mengingkari ayat-ayat Allah”. (QS.Al-
An‟am(6):33).
Selanjutnya Rasulullah mengutus seseorang untuk menyampaikan pesan singkat sebagai
berikut:”Keluarlah kalian dari negeriku karena kalian telah merencanakan pengkhianatan.
Aku beri tempo sepuluh hari. Kalau setelah itu masih ada yang terlihat akan kupenggal
batang lehernya ».

Maka dengan penuh ketakutan orang-orang Yahudi tersebut bersiap-siap meninggalkan


rumah. Namun, Abdullah bin Ubay bin Salul, pemuka munafik Madinah yang selalu berbuat
keonaran, mengirim pesan bahwa mereka tidak perlu menuruti perintah Rasulullah. Ia dan
dua ribu tentaranya akan melindungi mereka. Akhirnya orang-orang Yahudi tersebut tetap
bertahan di benteng-benteng mereka sambil mempersenjatai diri dengan panah dan batu.

Sepuluh hari kemudian, Rasulullah menepati janjinya. Beliau mengirim para sahabat untuk
memerangi orang-orang yang dari dulu selalu menentang perintah. Tampaknya bisikan
syaitan untuk tidak memperdulikan ayat-ayat Allah lebih kuat dari bisikan untuk kembali ke
jalan yang benar.

Berkali-kali sejarah mencatat betapa orang-orang Yahudi selalu menjadi duri dan onak
dalam suatu masyarakat. Berapa banyak nabi dan Rasul yang mereka nistakan dan bunuh,
hanya karena mengajak mereka untuk bertobat. Orang-orang Yahudi memang keras
kepala. Kita lihat saat ini, ketika Yahudi memegang kendali pemerintahan di Palestina,
betapa tidak adilnya mereka terhadap rakyatnya. Keberpihakkan terhadap kaumnya sendiri
begitu terlihat kental. Tingkat kesejahteraan antara penduduk Yahudi dan penduduk
lainnya, terutama Muslim, seperti langit dan bumi. Perasaan bahwa mereka adalah bangsa
yang superior tampaknya tidak bisa ditanggalkan begitu saja.. Padahal di sisi Allah,
perbedaan antar hamba hanya terletak pada ketakwaannya. Bukan bangsanya, bukan
kulitnya, bukan hartanya, bukan kedudukannya.

Akhirnya setelah dikepung, para sahabat lalu membabat habis semua kebun dan ladang
kurma milik mereka. Sementara janji si Munafikun Abdullah bin Ubay bin Salul tidak
kunjung tiba. Tampak bahwa Allah melemahkan keinginan orang yang membenci hukum-
hukum-Nya.

“Hai Muhammad, kamu dulu melarang kerusakan dan mencela orang yang melakukannya.
Mengapa sekarang kamu membabat dan membakar habis ladang kurma kami ?”protes
Yahudi.
« Apa saja yang kamu tebang dari pohon kurma (milik orang-orang kafir) atau yang kamu
biarkan (tumbuh) berdiri di atas pokoknya, maka (semua itu) adalah dengan izin Allah; dan
karena Dia hendak memberikan kehinaan kepada orang-orang fasik ».(QS.Al-Hasyr(59):5).
Itulah jawaban Allah SWT, Sang Khalik. Perbuatan mereka sudah keterlaluan. Tampaknya
Allah sudah tidak ingin lagi memberi mereka tenggang waktu. Akhirnya orang-orang Yahudi
bani Nadhir menyerah dan meninggalkan kota.”Kalian boleh membawa harta yang dapat
dibawa oleh unta kecuali senjata”, ujar Rasulullah.
Ibnu Hisyam menceritakan,”Sebagian mereka ada yang mencopot peralatan rumah mereka
untuk dibawa keluar Madinah. Mereka mengungsi antara Khaibar dan Syam. Diantara
orang-orang Yahudi itu hanya ada dua orang yang masuk Islam, yaitu Yamin bin Umair bin
Ka‟ab, anak paman Amr bin Jihasy dan Abu Sa‟ad bin Wahab. Kedua orang ini kemudian
mendapatkan kembali hartanya”.
“Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada Rasul-Nya yang berasal dari
penduduk kota-kota maka adalah untuk Allah, Rasul, kerabat Rasul, anak-anak yatim,
orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan hanya
beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu. Apa yang diberikan Rasul
kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan
bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya”.(QS.Al-
Hasyr(59):7).
Demikianlah Rasulullah membagi harta rampasan orang-orang Yahudi Nadhir yang terusir
karena kedurhakaan mereka.

XX.Jihad Fi Sabilillah(1).
Madinah pada masa hidup Rasulullah terdiri atas tiga golongan besar manusia, yaitu kaum
Muslimin (Anshor dan Muhajirin), golongan Munafikun serta orang-orang Yahudi (bani
Nadhir, bani Quraidzah dan bani Qainuqa). Namun demikian Rasulullah berhasil mengikat
dan mempersatukan ketiga golongan tersebut. Buktinya adalah adanya Piagam Madinah.
Dalam perjanjian tersebut disebutkan bahwa demi tercapainya kemananan dan kedamaian
kota, ketiga kelompok tersebut harus saling bantu dan bahu membahu ketika terjadi
ancaman dan bahaya dari pihak luar. Intinya azas Toleransi harus dijaga dengan baik.

Dan sebagai pemimpin tertinggi, Rasulullah menjadikan Al-Quran sebagai dasar hukum
Negara. Pada masa inilah sebagian besar ayat mengenai hukum dan tata cara
bermasyarakat diturunkan. Dengan kata lain negara Islam telah dibangun sejak zaman
Rasulullah hidup. Madinah adalah Negara pertama yang didirikan atas azas Islam, atas
dasar ketakwaaan kepada Sang Khalik, Allah SWT, Azza wa Jalla (Yang Maha Perkasa dan
Maha Agung).

Sebelum hijrahnya Rasulullah ke Madinah Allah SWT tidak pernah menurunkan ayat tentang
perintah perang. Tidak ada paksaan untuk memeluk ajaran Islam. Ajaran ini hanya
mengajak manusia menuju kepada kebaikan, mengingatkan apa hakikat hidup, bahwa
kehidupan dunia adalah cobaan dan hanya untuk sementara. Kebahagiaan akhirat yaitu
surga atau neraka adalah kehidupan abadi. Jadi memeluk Islam itu untuk kebutuhan
manusia bukan kebutuhan Rasulullah Muhammad SAW apalagi Allah SWT.

Perintah perang baru datang setelah Rasulullah hijrah ke Madinah dan umat Islam sulit
untuk melaksanakan ajarannya. Tidak saja orang-orang Quraisy Mekah yang sejak awal
memang menghalangi perkembangan Islam namun juga Ahli Kitab, yaitu kaum Yahudi
Madinah.

Kontak senjata pertama terjadi pada tahun 2H. Perang ini terjadi pada bulan Haram.
Bangsa Arab sejak dahulu telah mengenal adanya 4 bulan Haram, yaitu bulan-bulan dimana
diharamkan mengadakan peperangan. Bulan tersebut adalah Dzulkaidah, Dzulhijjah,
Muharram dan Rajab. Oleh sebab itu orang-orang Quraisy bertambah geram terhadap
Rasulullah yang dianggap telah melanggar kesucian bulan Haram. Namun kemudian turun
ayat yang membela tindakan Rasulullah.

“Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah:”Berperang


dalam bulan itu adalah dosa besar; tetapi menghalangi (manusia) dari jalan Allah, kafir
kepada Allah, (menghalangi masuk) Masjidilharam dan mengusir penduduknya dari
sekitarnya, lebih besar (dosanya) di sisi Allah. Dan berbuat fitnah lebih besar (dosanya)
daripada membunuh. Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat)
mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka
sanggup….”.(QS.Al-Baqarah(2):217).
Selanjutnya terjadilah perang Badar dan perang Uhud. (Untuk baca Perang Badar
click: http://vienmuhadi.com/2010/12/06/xv-perang-badar-perang-pertama-dalam-
sejarah-islam/; untuk Perang Uhud click:http://vienmuhadi.com/2010/12/23/xvii-perang-
uhud-dan-hikmah-diperintahkannya-berperang-bag-1/ ).

Dengan adanya kedua perang tersebut maka makin kukuhlah kedudukan Islam walaupun
sebenarnya pasukan Muslim tidak selalu menang. Namun dengan makin kuatnya Islam di
Madinah tampaknya malah makin membuat orang-orang Musyrik yang berada di sekitar
kota ini makin benci dan kesal.

Kemudian setelah terjadi beberapa peristiwa pembunuhan terhadap sejumlah dai (10 dai
pada Tragedi Ar-Raji‟ pada tahun ke 3 H dan 70 dai pada Tragedi Bi‟ru Ma‟unah pada tahun
ke 4 H) disusul dengan pengkhianatan Yahudi yang berakibat diusirnya mereka dari
Madinah maka perang terbuka antara Muslimin melawan orang-orang Musrik dan kaum
Yahudipun tak terhindarkan lagi.

“Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya


mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong
mereka itu”.(QS.Al-Hajj(22):39).

Melalui ayat diatas Allah SWT memerintahkan kaum Muslimin untuk berperang
melawan orang-orang yang menghalangi umat Islam dalam menjalankan ajarannya.
Karena yang demikian itu berarti telah membuat umat Islam teraniaya. Padahal sebenarnya
sejak di Mekahpun penganiayaan itu telah terjadi. Tampak disini bahwa perintah perang itu
ada tahapannya. Sang Khalik tidak menyuruh kita berperang ketika keadaan kita lemah dan
tidak berdaya. Dalam keadaan demikian Allah memerintahkan umat Islam untuk bersabar.
Namun begitu umat Islam dalam keadaan membaik, tetapi tetap dipersulit menjalankan
ibadah, maka perintah Allah untuk berperang menjadi wajib. Inilah yang membedakan
hamba Allah antara yang taat dan yang munafik.

“Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya),


padahal mereka telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang
pertama kali memulai memerangi kamu? Mengapakah kamu takut kepada mereka padahal
Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang
beriman”. (QS.At-Taubah(9):13).
“Perangilah mereka, niscaya Allah akan menyiksa mereka dengan (perantaraan) tangan-
tanganmu dan Allah akan menghinakan mereka dan menolong kamu terhadap mereka,
serta melegakan hati orang-orang yang beriman dan menghilangkan panas hati orang-
orang mu‟min. Dan Allah menerima taubat orang yang dikehendaki-Nya. Allah Maha
Mengetahui lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah(9):14-15).
“Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada
kamu:”Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah”kamu merasa berat dan ingin
tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti
kehidupan di akhirat? padahal keni`matan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan
kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya
Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang
lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah
Maha Kuasa atas segala sesuatu.”(.QS.At-Taubah(9):38-39).

Islam adalah agama yang cinta perdamaian. Namun itu bukan berarti bahwa ajaran ini
dapat dilecehkan dan menjadi bulan-bulanan orang yang iri dan dengki. Islam bukan
sekedar teori yang sarat kata dan janji indah. Sebaliknya ia harus dipraktekkan dan
direalisasikan dalam kegiatan nyata, dalam kehidupan sehari-hari. Dan hanya dengan
diterapkannya hukum Islam yang tertulis dalam Al-Quran dan hadis sebagaimana
dicontohkan Rasulullahlah kaum Muslimin dapat dengan tenang menjalankan ajaran-ajaran
tadi. Karena hukum ini tidak hanya mengatur kehidupan pribadi saja namun juga mengatur
hubungan masyarakat, hubungan kekerabatan dan silaturahmi antar manusia.

« Bagaimana bisa (ada perjanjian dari sisi Allah dan Rasul-Nya dengan orang-orang
musyrikin), padahal jika mereka memperoleh kemenangan terhadap kamu, mereka tidak
memelihara hubungan kekerabatan terhadap kamu dan tidak (pula mengindahkan)
perjanjian. Mereka menyenangkan hatimu dengan mulutnya, sedang hatinya menolak. Dan
kebanyakan mereka adalah orang-orang yang fasik (tidak menepati perjanjian). Mereka
menukarkan ayat-ayat Allah dengan harga yang sedikit, lalu mereka menghalangi
(manusia) dari jalan Allah. Sesungguhnya amat buruklah apa yang mereka kerjakan
itu”.(QS.At-Taubah(9):8-9).

Itu sebabnya, Allah memerintahkan Rasulullah memerangi orang-orang yang melanggar


perjanjian, orang-orang yang menghalangi orang yang hendak memuji-Nya, yang hendak
menjalankan perintah demi kelangsungan dan keharmonisan hubungan masyarakat yang
diciptakan-Nya. Kecuali bila mereka meminta perlindungan, bertaubat, mendirikan shalat
dan menunaikan zakat.

“Jika mereka bertaubat, mendirikan shalat dan menunaikan zakat, maka (mereka itu)
adalah saudara-saudaramu seagama. Dan Kami menjelaskan ayat-ayat itu bagi kaum yang
mengetahui”.(.QS.At-Taubah(9):11).
“Dan jika seorang di antara orang-orang musyrikin itu meminta perlindungan kepadamu,
maka lindungilah ia supaya ia sempat mendengar firman Allah, kemudian antarkanlah ia ke
tempat yang aman baginya. Demikian itu disebabkan mereka kaum yang tidak
mengetahui”(.QS.At-Taubah(9):6).
Allah SWT tidak menghukum kaum yang tidak atau belum mendengar ayat-ayat-Nya.
Semua orang di dunia ini berhak mengetahui perintah dan larangan-Nya. Itu sebabnya
umat Islam harus berdakwah ; memberitahukan, menerangkan, mencontohkan dan
mengajak manusia kepada jalan yang lurus menuju ketakwaaan. Walau hanya satu
ayat.”Balaghul „Anni walau ayah”yang artinya Sampaikanlah dariku (Muhammad), walau
hanya satu ayat. Kita dilarang menyembunyikan atau memilah-milah ayat yang sesuai
dengan kehendak kita.

Perang dapat dilakukan setelah ayat kita sampaikan namun mereka tetap memusuhi dan
memerangi kita. Bahkan membayar jiziyah, sebagaimana umat Muslim melaksanakan
zakat, pun enggan.

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-
orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.(QS.At-Taubah(9):29).
Disamping itu umat Islam itu bersaudara. Mereka dipersatukan karena mereka mempunyai
satu keyakinan dan kecintaan, yaitu kecintaan kepada Sang Khalik Yang Maha Esa, yaitu
Allah SWT. Karenanya mereka wajib saling menyayangi dan saling melindungi kecuali dalam
kemungkaran tentunya. Mereka harus saling mengingatkan dalam berbuat kebaikan.

“Sesungguhnya manusia itu benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang
beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran
dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”.(QS.Al-Ashr(103):2-3).

“Kamu akan melihat kepada orang-orang Mukmin itu dalam hal kasih-sayang diantara
mereka, dalam kecintaan dan belas kasihan diantara mereka adalah seperti satu tubuh. Jika
satu anggota tubuh itu merasa sakit maka akan menjalarlah kesakitan itu pada anggota
tubuh yang lain dengan menyebabkan tidak dapat tidur dan merasakan demam.”(HR
Bukhari).

XX.Jihad Fi Sabilillah (2).


Berikut peperangan yang terjadi antara tahun ke 4 H dan ke 6 H, yaitu sebelum adanya
Perjanjian Perdamaian Hudaibiyah.

1. Perang Dzatur Riqa‟

Perang ini terjadi sebagai akibat dibunuhnya 70 orang dai oleh kabilah Najd. Padahal para
dai tersebut datang atas permintaan pimpinan kabilah mereka sendiri untuk mengajarkan
Islam. Sebagai balasannya, dengan mengendarai unta secara bergantian, 1 unta untuk 6
orang, Rasulullah mendatangi perkampungan mereka.

Abi Musa al Asy‟ari meriwayatkan bahwa dalam perjalanan mengarungi padang pasir nan
panas membara itu banyak sahabat yang telapak kakinya pecah-pecah dan kukunya
terlepas. Kemudian mereka membalutnya dengan sobekan kain atau Dzatur Riqa‟. Itu
sebabnya kemudian perang ini dinamakan Perang Dzatur Riqa‟ walaupun sebenarnya
pertempuran tidak pernah terjadi.

Ada beberapa peristiwa penting yang patut dicatat pada perang ini. Yang pertama, Allah
SWT telah memasukkan rasa takut kepada orang-orang yang telah berbuat zalim tersebut.
Tanpa sebab yang pasti, mereka melarikan diri dari kawasan Gathafan, kawasan yang telah
disetujui sebagai tempat pertempuran. Padahal jumlah mereka sebenarnya amat sangat
banyak bila dibanding pasukan Muslim.
Di tempat inilah kemudian Rasulullah memimpin shalat khauf. Rasulullah mengimami satu
kelompok sementara kelompok satu lagi berjaga-jaga menghadap arah lawan. Kemudian
pada rakaat berikutnya Rasulullah tetap berdiri sambil menanti makmum menyelesaikan
shalat. Selanjutnya Rasulullah menyempurnakan shalat bersama kelompok yang tadi
berjaga-jaga. Sementara pasukan yang telah shalat ganti berjaga-jaga menghadap musuh.

“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak
mendirikan shalat bersama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri
(shalat) besertamu dan menyandang senjata, kemudian apabila mereka (yang shalat
besertamu) sujud (telah menyempurnakan seraka`at), maka hendaklah mereka pindah dari
belakangmu (untuk menghadapi musuh) dan hendaklah datang golongan yang kedua yang
belum shalat, lalu shalatlah mereka denganmu, dan hendaklah mereka bersiap siaga dan
menyandang senjata. …”.(QS.An-Nisa(4):102).

Di tempat ini pula kisah seorang Badui yang datang secara tiba-tiba dan langsung
mengancam Rasulullah terjadi. Ketika itu Rasulullah dan para sahabat karena lelah maka
jatuh tertidur. Para sahabat terbangun karena panggilan Rasulullah. Mereka melihat ada
seorang Arab gunung yang tidak mereka kenal sedang duduk terpekur di samping
Rasulullah. Rasulullah kemudian bercerita,

“Orang ini telah menyambar pedangku pada waktu aku tidur. Seraya menghunus pedang
tersebut ia mengancamku”Siapa yang dapat menyelamatkanmu dari pedangku ini?”. Lalu
aku jawab,”Allah Subhanallahu wa Ta‟ala”.

2. Perang Bani Musthaliq.

Perang ini terjadi pada tahun ke 5 H. Adalah Harits bin Dhirar, pemimpin bani Musthaliq. Ia
merencanakan menyerang Madinah. Namun Rasulullah segera menyambutnya di suatu
tempat diluar Madinah, yaitu di telaga Muraisi‟. Maka terjadilah pertempuran sengit hingga
Allah SWT memenangkan pasukan Islam.

Tidak seperti biasanya, kali ini sejumlah besar kaum Munafik banyak yang ikut serta. Hal ini
dikarenakan mereka menyaksikan sendiri betapa pasukan Muslim sering memenangkan
pertempuran dan berhasil membawa rampasan perang (ghanimah) yang melimpah.
Termasuk kaum perempuan yang menjadi tawanan dan kemudian dibagi-bagikan.
Dalam perang ini, usai perang Rasulullah memberi pilihan kepada Juwairiyah binti al-Harits,
untuk menerima lamaran beliau atau dibebaskan. Ternyata putri pimpinan musuh yang
dikalahkan ini memilih menerima lamaran Rasulullah. Maka jadilah ia sebagai salah satu
Umirul Mukminin.”Mereka kini menjadi keluarga Rasulullah”, kemudian seluruh bani
Musthaliqpun dibebaskan.

Sayangnya, sepulang pasukan yang disambut gembira oleh penduduk Madinah, terjadi
peristiwa fitnah terhadap diri Aisyah ra. Beliau dituduh berbuat tidak senonoh gara-gara
kembali ke Madinah terlambat dan tidak bersama rombongan. Melainkan berdua, bersama
salah seorang pasukan yang sama-sama tertinggal rombongan.

Abdulllah bin Ubay, si tokoh Munafikun Madinah itulah yang pertama kali menghembus-
hembuskan fitnah. Padahal sebelumnya, di sekitar telaga dimana kedua pasukan
bertempur, ia juga telah melemparkan kata hasutan. Ketika itu ia geram melihat
pertengkaran yang terjadi antara seorang Anshar dan seorang Muhajirin.

“Apakah mereka (Muhajirin) telah melakukannya? Mereka telah menyaingi dan mengungguli
jumlah kita di negeri sendiri. Demi Allah, antara kita dan orang-orang Quraisy ini (kaum
Muslimin Quraisy) tak ubahnya seperti apa yang dikatakan orang.”Gemukkan anjingmu agar
menerkammu”. Demi Allah, jika kita telah sampai di Madinah, orang yang mulia pasti akan
mengusir kaum yang hina(Muhajirin)”.

Zaid bin Arqam, salah satu orang yang mendengar ucapan tersebut kemudian melaporkan
ucapan ini kepada Rasulullah. Namun Rasulullah tidak berkata apa-apa. Allah SWT memang
melarang menghakimi orang Munafik. Karena hanya Sang Khalik sajalah yang mengetahui
isi hati manusia dan berhak menghakimi mereka. Hingga akhirnya turun ayat berikut:

“Mereka berkata:”Sesungguhnya jika kita telah kembali ke Madinah, benar-benar orang


yang kuat akan mengusir orang-orang yang lemah daripadanya”. Padahal kekuatan itu
hanyalah bagi Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mu‟min, tetapi orang-orang
munafik itu tiada mengetahui.”(QS.Al-Munafikun(63):8).
“Sesungguhnya orang-orang munafik itu (ditempatkan) pada tingkatan yang paling bawah
dari neraka. Dan kamu sekali-kali tidak akan mendapat seorang penolongpun bagi
mereka”.(QS.An-Nisa(4):145).
Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah bersabda:”Tanda-tanda orang munafik itu tiga ; bila
berkata ia bohong, bila berjanji ia mengingkari dan bila ia dipercaya ia mengkhianati”.
Sementara Aisyah sendiri terbebas dari fitnah melalui ayat yang diturunkan Allah azza wa
jalla sebulan kemudian.

“Sesungguhnya orang-orang yang membawa berita bohong itu adalah dari golongan kamu
juga. Janganlah kamu kira bahwa berita bohong itu buruk bagi kamu bahkan ia adalah baik
bagi kamu. Tiap-tiap seseorang dari mereka mendapat balasan dari dosa yang
dikerjakannya. Dan siapa di antara mereka yang mengambil bahagian yang terbesar dalam
penyiaran berita bohong itu baginya azab yang besar … (sampai dengan ayat 21)”. (QS.An-
Nur(24):11-21).

Namun selama satu bulan itu fitnah benar-benar telah membuat gundah hati Rasulullah.
Beliau tidak memiliki saksi seorangpun hingga hanya dapat membela sang istri tercinta
dengan kata-kata yang diucapkan secara hati-hati:

“Aku tidak mengetahui Aisyah kecuali sebagai orang baik-baik”.

Sebulan kemudian setelah berusaha mencari tahu dan meminta pendapat para sahabat,
Rasulullah berujar:

« Hai Aisyah, aku telah mendengar apa yang digunjingkan orang tentang dirimu. Jika
engkau tidak bersalah Allah pasti akan membebaskan dirimu. Sebaliknya jika engkau telah
melakukan dosa mintalah ampunan kepada Allah ».
Aisyah ra mengisahkan bahwa ucapan pertama yang dikeluarkan Rasulullah begitu ayat
pembelaan tersebut turun adalah”Bergembiralah wahai Aisyah, sesungguhnya Allah telah
membebaskan kamu”. Ibukupun kemudian berkata kepadaku:”Berdirilah (berterima-
kasihlah) kepadanya (Rasulullah SAW)”. Aku jawab:”Tidak! Demi Allah, aku tidak akan
berdiri (berterima-kasih) kepadanya (Rasulullah ) dan aku tidak akan memuji kecuali Allah.
Karena Dialah yang telah menurunkan pembebasanku”.

XX.Jihad Fi Sabilillah(3).
3. Perang Khandaq (Ahzab) atau Perang Parit.

Perang yang terjadi pada tahun ke 5 H ini disebabkan oleh adanya hasutan beberapa
pemimpin Yahudi bani Nadhir kepada Quraisy Mekah agar mereka bersama-sama
menyerang Madinah dan menghancurkan Islam. Orang-orang Yahudi berhasil meyakinkan
bahwa ajaran Quraisy lebih baik dari pada ajaran Islam.
“Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang diberi bahagian dari Al Kitab?
Mereka percaya kepada jibt dan thaghut, dan mengatakan kepada orang-orang kafir
(musyrik Mekah), bahwa mereka itu lebih benar jalannya dari orang-orang yang
beriman”.(QS.An-Nisa(4):51).

Setelah itu mereka membujuk suku Gathafan, bani Fuzarah dan bani Murrah untuk
bersengkokol memusuhi Islam. Maka berangkatlah sepuluh ribu pasukan Ahzab yang berarti
pasukan gabungan tersebut menuju Madinah. Sementara itu mendengar kabar bahwa
Madinah akan diserang, Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat untuk
membicarakan strategi apa yang akan digunakan menghadapi pasukan tersebut.

Salman Al-Farisi, sahabat kelahiran Persia, mengusulkan agar mereka menggali parit untuk
melindungi Madinah dari serangan musuh. Strategi yang ketika itu belum dikenal
masyarakat Arab ini tak urung membuat mereka terkagum-kagum. Rasulullahpun segera
menerima usulan tersebut. Maka secara bergotong-royong paritpun digali.

Suatu ketika sejumlah sahabat melaporkan bahwa mereka menemui kesulitan. Sebongkah
batu besar tidak berhasil mereka pecahkan. Segera Rasulullah turun tangan. Berkata nabi
SAW,”Biarkan aku yang turun”. Dalam keadaan perut diganjal dengan batu, beliau segera
bangkit. Karena tidak adanya sesuatu yang dapat dimakan selama tiga hari itu Rasulullah
dan para sahabat memang terpaksa mengganjal perut mereka dengan batu. Rasulullah
segera mengambil martil dan dipukulkannya ke atas batu. Maka seketika itu juga hancur
luluhlah bongkahan batu tadi hingga menyerupai pasir.

Dalam sebuah riwayat diceritakan dengan mengucap takbir Rasulullah memecahkan batu
besar tersebut dalam 3 kali pukulan hingga cahaya terang memenuhil angit. Pada pukulan
pertama Jibril menerangkan bahwa kerajaan Persia akan ditaklukan umat Islam. Pukulan
kedua, tanah Romawi dan pukulan terakhir Yaman yang akan jatuh. Di kemudian hari
sejarah membuktikan Persia (Irak, Iran dan sekitarnya), Romawi Timur (Turki dan
sekitarnya) serta Yaman adalah bagian dari Islam !

Sementara itu Jabir meminta izin pulang. Ia bermaksud menanyakan istrinya apakah
mereka memiliki sesuatu untuk dimasak. Namun istrinya menerangkan bahwa mereka
hanya memilki satu ekor anak kambing dan sedikit gandum. Segera Jabir menyembelih
anak kambing tersebut dan menumbuk gandum yang ada. Kemudian memasaknya. Setelah
itu ia segera kembali menemui Rasulullah dan mengajak beliau untuk makan di rumahnya.
“Berapa banyakkah makanan itu”, tanya Rasulullah.
Setelah Jabir menyebutkan jumlah makanan itu beliau berkata,”Itu cukup banyak dan baik.
Katakan pada istrimu jangan diangkat dari atas tungku dan roti itu jangan pula sampai
dikeluarkan dari tempat pembakarannya sebelum aku datang ke sana”.

Selanjutnya begitu Rasulullah tiba di rumah Jabir, beliau segera memotong-motong roti dan
dicampurkannya pada daging serta kuah yang ada di periuk. Tak lama kemudian para
sahabat yang jumlahnya tak hingga banyaknya itu makan dengan puas sampai kenyang.

“Makanlah ini dan bagikanlah kepada orang banyak karena saat ini sedang musim paceklik”,
sabda Rasulullah kepada Jabir dan istrinya, setelah semua usai makan.
Di dalam riwayat lain, Jabir menuturkan,”Aku bersumpah dengan nama Allah. Mereka telah
makan hingga mereka pergi dan meninggalkannya, sedangkan daging di dalam periuk kami
masih tetap utuh, demikian pula roti kami”. (HR Bukhari).

Dua kejadian diatas (terpecahnya batu dan periuk yang tak habis-habis ) adalah bukan
kejadian biasa. Ini adalah salah satu mukjizat Rasulullah dari Sang Khalik sebagaimana juga
mukjizat yang diterima para nabi Allah. Seperti tongkat nabi Musa as, unta nabi Shalih as
dll.

Di lain pihak, orang-orang Munafik yang ikut serta dalam penggalian tampak setengah hati
mengerjakan tugas tersebut. Mereka berpura-pura lemas. Bahkan banyak yang tanpa
meminta izin Rasulullah, diam-diam meninggalkan lokasi dan pulang ke Madinah. Itu
sebabnya kemudian Allah SWT menurunkan ayat berikut:

“Sesungguhnya yang sebenar-benar orang mu‟min ialah orang-orang yang beriman kepada
Allah dan Rasul-Nya dan apabila mereka berada bersama-sama Rasulullah dalam sesuatu
urusan yang memerlukan pertemuan, mereka tidak meninggalkan (Rasulullah) sebelum
meminta izin kepadanya. Sesungguhnya orang-orang yang meminta izin kepadamu
(Muhammad) mereka itulah orang-orang yang beriman kepada Allah dan rasul-Nya, maka
apabila mereka meminta izin kepadamu karena sesuatu keperluan, berilah izin kepada siapa
yang kamu kehendaki di antara mereka, dan mohonkanlah ampunan untuk mereka kepada
Allah. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.An-Nur(24):62).
Sementara itu pasukan Musyrikin bergerak makin mendekati kota. Mereka dikejutkan akan
keberadaan parit yang melindungi kota ini.”Sungguh, ini merupakan tipu daya yang tidak
pernah dilakukan oleh bangsa Arab”. Mereka kemudian mengambil posisi dan berkemah di
sekitar parit mengepung kaum Muslimin. Jumlah mereka ketika itu sekitar 10 ribu
sedangkan kaum Muslimin 3 ribu orang.

Tidak terjadi pertempuran kecuali beberapa orang Musyrik yang berusaha menyeberangi
parit di bagian-bagian yang sempit namun berhasil dicegat pasukan Muslimin. Sebulan
lamanya Madinah dalam keadaan demikian. Selama itu pula Rasulullah tidak henti-hentinya
ber-istighatsah, yaitu merendahkan diri seraya berdoa memohon kepada Allah SWT agar
kaum Muslimin dimenangkan.

Hingga suatu hari tersiar berita bahwa Yahudi bani Quraidzah yang merupakan bagian dari
penduduk Madinah telah membelot. Ia ikut bersengkokol dengan musuh untuk menjatuhkan
kaum Muslimin. Sementara orang-orang Munafikpun gencar menyebarkan bisa racun
berbahaya yang menimbulkan keraguan dan perpecahan diantara umat Muslim.

“Dulu Muhammad menjanjikan bahwa kita akan memakan harta kekayaan Kisra dan Kaisar.
Tetapi sekarang bahkan untuk pergi membuang hajatpun kita tidak aman”.

Akhirnya datanglah pertolongan Allah SWT. Pertama dengan masuk Islamnya Nu‟aim bin
Mas‟ud. Kedua dengan didatangkannya angin topan yang sangat kencang. Nu‟aim yang
disangka kaumnya masih Musrik, ditugaskan Rasulullah untuk mengadu domba musuh. Ini
adalah sebuah taktik perang yang diperbolehkan. Dengan kelihaiannya ia berhasil
meyakinkan orang-orang bani Quraidzah dan orang-orang Quraisy untuk tidak saling
mempercayai dan saling curiga. Maka merekapun akhirnya saling ragu untuk memulai
serangan.

Ditambah dengan angin topan yang bertiup kencang pada suatu malam yang teramat dingin
maka bubarlah pasukan gabungan tersebut.

“Hai orang-orang yang beriman, ingatlah akan ni`mat Allah (yang telah dikaruniakan)
kepadamu ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka
angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat
akan apa yang kamu kerjakan”.(QS.Al-Ahzab(33):9).

Hudzaifah berkata: « Peristiwa ini terjadi saat Perang Ahzab dan di malam gulita. Pasukan
Abu Sufyan berada diatas bukit. Pasukan bani Quraidzah berada di bagian lembah. Kami
khawatir atas keluarga kami. Angin terasa berembus lebih kencang sehingga kaum
Munafikin minta izin pulang dengan alasan rumah mereka kosong. Mereka mendapat izin
dan kemudian lari menyembunyikan diri. Rasul memeriksa pasukan lalu berkata
kepadaku,”Coba selidiki keadaan musuh”. Aku berangkat dan aku melihat perkemahan
musuh beterbangan dihantam angin yang sangat kencang. Merekapun lari mundur. Aku
kembali dan menghadap Rasul untuk menceritakan kejadian itu. Atas hal itu turunlah ayat
ini”(HR. Baihaqi).

“Wahai kaum Quraisy, demi Allah, kalian tidak mungkin lagi berada di tempat ini ! Banyak
ternak kita yang telah mati ! Orang-orang bani Quraidzah telah mencederai janji dan kita
mendengar berita yang tidak menyenangkan tentang sikap mereka ! Kalian tahu kita
sekarang menghadapi angin topan yang hebat .. Karena itu, pulang sajalah kalian dan
akupun akan berangkat pulang!”, begitu Abu Sufyan, pemimpin Quraisy berkata menyerah.

4. Perang bani Quraidzah.

Disebutkan dalam ash-Shahihain bahwa ketika nabi SAW kembali dari Khandaq, tidak lama
setelah meletakkan senjata dan mandi, Jibril as datang lalu berkata,”Apakah kamu sudah
meletakkan senjata ?”.”Demi Allah, kami belum meletakkannya”.”Berangkatlah kepada
mereka !”.”Kemana?”. Jibril menjawab:”Ke sana”, seraya menunjuk kearah perkampungan
bani Quraidzah. Nabi SAW lalu berangkat mendatangi mereka.

Demikianlah para sahabat, tanpa mengenal lelah dan takut, segera melaksanakan perintah
Allah dan Rasul-Nya. Padahal baru saja mereka meninggalkan keluarga selama 1 bulan
untuk berperang. Jihad, berperang di jalan Allah adalah bukti ketinggian cinta, iman dan
kesetiaan mereka kepada Sang Khalik dan Rasul-Nya.

“Apakah kamu mengira bahwa kamu akan dibiarkan (begitu saja), sedang Allah belum
mengetahui (dalam kenyataan) orang-orang yang berjihad di antara kamu dan tidak
mengambil menjadi teman yang setia selain Allah, Rasul-Nya dan orang-orang yang
beriman. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.”(.QS.At-Taubah(9):16).
“Katakanlah:”Jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu,
harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan
rumah-rumah tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai daripada Allah dan
Rasul-Nya dan (dari) berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan
keputusan-Nya.”Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang fasik.”(.QS.At-
Taubah(9):24).
Selama 25 malam, ada yang mengatakan 15 malam, Rasulullah mengepung perkampungan
bani Quraidzah hingga akhirnya mereka menyerah dan Allah SWT melemparkan rasa takut
ke dalam hati mereka. Ka‟ab bin Asad, pemimpin mereka memberikan 3 pilihan.

“Kita mengikuti Muhammad dan membenarkannya. Demi Allah, tentu telah jelas bagi kalian
bahwa dia adalah Rasul yang diutus dan kalianpun dapat menemukan dalam kitab suci
kalian. Dengan demikian nyawa, hak, kaum wanita dan anak-anak kalian akan selamat”.
Mereka menjawab,”Kami tidak akan melepas hukum-hukum Taurat”.
“Kalau begitu, marilah kita habisi nyawa istri dan anak-anak kita lalu kita hadapi
Muhammad dan para sahabatnya dengan pedang terhunus”.
Mereka menjawab,”Apakah dosa mahluk-mahluk kesayangan ini ?”.
“Baiklah, bila demikian. Malam ini adalah malam Sabtu (Sabbath). Bisa jadi Muhammad dan
sahabat-sahabatnya merasa aman dari gangguan kita. Karena itu mari kita turun dan
menyergap mereka secara tiba-tiba », ajak Ka‟ab lagi semangat.
« Haruskah kita mengotori Sabbath dan melakukan apa yang dilakukan oleh orang-orang
sebelum kita hingga kemudian dijadikan kera?? », jawab mereka ketus.
« Dan sesungguhnya telah kamu ketahui orang-orang yang melanggar di antaramu pada
hari Sabtu, lalu Kami berfirman kepada mereka:”Jadilah kamu kera yang hina”.(QS.Al-
Baqarah(2):65).
« Tak seorangpun diantara kalian, sejak hari lahir kalian, yang bisa melewati satu malam
untuk memecahkan masalah yang seharusnya », sahut Ka‟ab kesal campur putus asa.

Akhirnya merekapun menyerah. Dan karena Yahudi bani Quraidzah itu sekutu suku A‟us
maka Rasulullah menyerahkan ketetapan hukum mereka kepada Sa‟ad bin Mu‟adz, salah
satu pemimpin A‟us.

“Orang-orang yang menerjunkan diri dalam perang harus dihukum bunuh dan keluarga
mereka ditawan”, demikian keputusan Sa‟ad yang langsung disambut baik Rasulullah.

Dalam perang ini ada beberapa kejadian penting yang patut dijadikan renungan. Salah
satunya adalah perintah Rasulullah untuk tidak melaksanakan shalat ashar sebelum
pasukan sampai di perkampungan yang dituju.

Dalam sebuah riwayat diceritakan bahwa di tengah perjalanan, tibalah waktu ashar. Maka
sebagian berkata,”Kami tidak akan shalat sehingga kami sampai sana”. Sedangkan
sebagian lain mengatakan,”Kami akan melakukan shalat karena bukan itu yang dimaksud
Rasulullah”.

Sepulang dari perang kemudian para sahabat mengadukan hal tersebut. Namun ternyata
Rasulullah tidak mengecam ataupun menegur satupun kelompok tersebut. Hal ini
menandakan bahwa umat Islam itu diizinkan berijtihad. Perbedaan dalam penafsiran adalah
tidak dilarang selama tidak keluar dari jalur.

5. Perang Bani Asad dan beberapa pelajaran bagi musuh Islam.

Sebenarnya tidak terjadi kontak senjata antara pasukan Muslim dengan bani Asad maupun
orang-orang yang membenci Islam. Pada perang bani Asad, pemimpin bani ini yaitu
Thulaihan bin Khuwailid bermaksud menyerang Madinah. Rasulullah segera mengirim
pasukan untuk melawan mereka. Ternyata mereka malah melarikan diri sebelum perang
terjadi. Bahkan mereka meninggalkan harta mereka begitu saja hingga kaum Musliminpun
dengan leluasa dapat menguasainya.

Demikian pula orang-orang Hudzail yang datang dari sebuah tempat dekat Mekah. DIbawah
pimpinan Khalid al-Hudzali, mereka berusaha menyerang Madinah. Namun sebelum perang
terbuka berlangsung ia telah terbunuh. Maka pasukannyapun bubar sebelum perang benar-
benar terjadi.

Juga Abu Sufyan, pemimpin Quraisy yang kalah pada perang Badar beberapa tahun
sebelumnya. Dengan penuh semangat balas dendam ia membawa 3000 pasukannya untuk
menggempur Madinah. Namun pasukan ini segera melarikan diri begitu melihat sambutan
1500 pasukan Muslim yang dikerahkan Rasulullah untuk menghadapi mereka.

Kemudian setelah berhasil melepaskan diri dari ancaman Yahudi, Quraisy dan orang-orang
tersebut Rasulullahpun berinisiatif mengirimkan sejumlah ekspedisi kepada orang-orang
Arab Badui. Misi ini berhasil karena setelah itu orang-orang Badui tersebut tidak lagi berani
berbuat macam-macam. Maka sejak akhir tahun ke 5 H Madinah tidak pernah menerima
serangan dan ancaman lagi. Kaum Muslimin kini telah menjadi kuat dan disegani musuh.
Allahuakbar ..

“Orang-orang yang beriman dan berhijrah serta berjihad di jalan Allah dengan harta benda
dan diri mereka, adalah lebih tinggi derajatnya di sisi Allah; dan itulah orang-orang yang
mendapat kemenangan.”(.QS.At-Taubah(9):20).
XXI. Perdamaian Hudaibiyah dan Baitur Ridwan.
“Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya tentang kebenaran mimpinya
dengan sebenarnya (yaitu) bahwa sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil
Haram, insya Allah dalam keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan
mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada
kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat. )”.(QS.Al-
Fath(48):27).

Berdasarkan mimpi bahwa Rasulullah akan memasuki Masjidil Haram, maka pada suatu hari
di bulan Dzulqa‟idah tahun ke 6 H, Rasulullah mengumumkan keinginan beliau
untuk menunaikan ibadah umrah. Pengumuman ini langsung disambut antusias oleh
sekitar 1400 sahabat Anshar dan Muhajirin. Dengan mengenakan kain ihram serta
membawa sejumlah binatang kurban (al-hadyu) maka berangkatlah rombongan besar ini
menuju Mekah yang ketika itu masih berada dibawah kekuasaan kaum Musryik Quraisy.

Setiba di Dzul Hulaifah, Rasulullah SAW mengutus seseorang untuk mengintai keadaan kota
Mekah. Rasulullah juga mengutus Ustman bin Affan ra pergi ke kota tersebut untuk
mengabarkan kedatangan rombongan kepada kaum Muslimin yang ada di Mekah. Semula
Rasulullah menginginkan Umar bin Khattab ra yang melakukan tugas tersebut. Namun
karena Umar mempunyai hubungan yang kurang baik dengan keluarga besarnya akhirnya
Ustman yang diutus.

Sementara itu Rasulullah dan rombongan terus berjalan perlahan meneruskan perjalanan.
Hingga di suatu tempat utusan pengintai tadi kembali dan melaporkan bahwa orang-orang
Quraisy telah menyiapkan bala tentara untuk memerangi dan mencegah kaum Muslimin
memasuki Mekah dan thawaf di Baitullah.

“Bagaimana pendapat kalian”, tanya Rasulullah begitu menerima laporan tersebut.


“Wahai Rasulullah, engkau keluar untuk maksud ziarah ke Baitullah bukan untuk membunuh
atau memerangi seseorang. Berangkatlah terus ! Jika ada orang yang menghalangi, kita
akan memeranginya”, jawab Abu Bakar ra.
“Berangkatlah dengan nama Allah”, sambut Rasulullah.

Lalu Rasulullah dan rombonganpun melanjutkan perjalanan. Namun untuk menghalangi hal-
hal yang tidak diinginkan Rasulullah menunjuk salah seorang sahabat yang menguasai jalan
pintas yang tidak biasa digunakan umum agar memimpin didepan.
Maka jadilah rombongan ini menyusuri jalan terjal, naik-turun lereng-lereng berbatu tajam.
Hingga di suatu tempat di sebuah jalan ke arah Hudaibiyah, unta Rasulullah tiba-tiba
berhenti dan tidak mau berjalan. Para sahabat terperanjat.”Si Qushwa mogok”, seru
mereka.
Rasulullah SAW menyahut,”Ia tidak mogok. Ia tidak berwatak demikian. Ia dihentikan oleh
Allah SWT seperti dahulu Allah menghentikan pasukan gajah. Demi Allah jika mereka
memintaku suatu langkah (persyaratan) yang akan menghormati Tanah Haram, pasti akan
aku kabulkan”.

Selanjutnya Rasulullah mengarahkan untanya untuk mundur dan berhenti di ujung


Hudaibiyah. Para sahabat kemudian turun dan minum serta berwudhu di sebuah parit yang
tidak begitu banyak airnya hingga akhirnya kering sama sekali. Dalam sebuah hadits
diceritakan bahwa setelah mendengar pengaduan para sahabat bahwa mereka kehabisan
air, Rasulullah kemudian menancapkan sebatang anak panah di parit tersebut. Maka tak
lama kemudian paritpun terisi air kembali. Para sahabat lalu berebutan menggunakan
sumber air tersebut untuk berbagai keperluan.

Dalam suasana demikian inilah tiba-tiba datang seorang utusan Quraisy. Ia menyatakan
bahwa pasukan Quraisy sedang dalam perjalanan untuk mengusir Rasulullah dan
rombongan. Dengan tenang Rasulullah menjawab,”Kami datang hanya untuk melaksanakan
umrah. Sekalipun orang-orang Quraisy telah memutuskan untuk berperang, tetapi jika
mereka suka, aku minta untuk menangguhkannya. Jika mereka enggan, demi Allah, aku
siap memerangi mereka sampai orang-orang yang ada di belakangku tinggal sendirian. Dan
Allah pasti akan menyelesaikan urusan-Nya”.

Utusan tersebut kemudian kembali ke kaumnya dan melaporkan apa yang dikatakan
Rasulullah. Sementara itu Ustman bin Affan yang sebelumnya diutus ke Mekah tidak juga
kunjung kembali. Berita yang sampai ke telinga Rasulullah, Ustman telah dibunuh oleh
Quraisy !.

Maka Rasulpun bersabda”Kami tidak akan tinggal diam hingga kami berhasil menumpas
kaum Quraisy”.
Kemudian Rasulullah segera mengumpulkan para sahabat dan mengajak mereka berbaiat.
Berbait kepada Rasulullah untuk tidak lari meninggalkan medan perang. Baiat ini
berlangsung di bawah sebuah pohon dan kemudian dikenal sebagai Baiat Ridwan. Dalam
kesempatan itu, Rasulullah mengambil tangan para sahabat satu bersatu sambil
berkata: « Pembai‟atan ini untuk Ustman ».

Namun tak berapa lama kemudian ternyata Ustman kembali dalam keadaan aman. Rupanya
beberapa orang Quraisy sempat menahannya beberapa hari tetapi kemudian
melepaskannya kembali. Betapa leganya Rasulullah mengetahui hal tersebut.

Selanjutnya dengan utusan Quraisy yang melaporkan hasil pertemuannya dengan


Rasulullah. Setelah berembug, mereka kembali mengutus seseorang untuk menemui
Rasulullah. Di tempat ini, Urwah bin Mas‟ud, utusan kedua Quraisy, mendapati betapa para
sahabat menghormati sang pimpinan, Rasulullah Muhammad SAW.

“Wahai kaum. Demi Allah, aku pernah menjadi tamu para raja, kaisar, kisra dan najasi.
Akan tetapi, demi Allah, aku tidak pernah melihat seorang raja yang diagungkan oleh
pengikutnya sebagaimana penghormatan yang dilakukan oleh para pengikut
Muhammad. Sesungguhnya, dia telah menawarkan suatu langkah yang baik buat kalian.
Karena itu, terimalah!”, demikian ucap Urwah, melaporkan hasil pertemuannya dengan
Rasulullah kepada para pembesar Quraisy.

Langkah selanjutnya, para pemuka Quraisy memutuskan mengutus Suhail bin Amr sebagai
wakil mereka untuk membuat perjanjian dengan kaum Muslimin. Sementara Rasulullah
menunjuk Ali bin Abu Thalib ra sebagai juri tulis perjanijian yang di kemudian hari dikenal
dengan nama Perjanjian Hudaibiyah ini.

“Silahkan”, kata Suhail,”Tuliskan suatu perjanjian antara kami dan kalian”.


“Tulislah Bismilahir rahmanir rahim”, sabda Rasulullah kepada Ali.
“Demi Allah, kami tidak tahu apa itu „ar-Rahman‟. Tulislah Bismikallahumma », tukas
Suhail.
« Demi Allah, kami tidak mau menulis kecuali Bismilahir rahmanir rahim”, kaum Muslimin
berkata.
«Tulislah Bismikallahumma. Ini adalah perjanjian yang dibuat oleh Muhammad Rasul
Allah », sabda Rasul lagi.
Mendengar ini Suhail sontak menolak, « Demi Allah, seandainya kami mengakui bahwa
engkau adalah Rasul Allah, niscaya kami tidak menahanmu untuk datang ke Baitullah dan
memerangimu. Tulislah Muhammad bin Abdullah ».
Rasul kembali mengalah, « Demi Allah, aku adalah Rasul Allah sekalipun kalian
mendustakanku ! Tulislah Muhammad bin Abdullah ».
Di dalam riwayat Muslim disebutkan bahwa nabi SAW memerintahkan Ali agar
menghapuskannya lalu Ali berkata, « Demi Allah, aku tidak akan menghapusnya».
Rasulullah lalu bersabda, « Tunjukkan kepadaku mana tempatnya ». Ali lalu menunjukkan
dan Rasulullahpun menghapusnya sendiri.
Selanjutnya Rasulullah bersabda kepada Suhail, « Kalian harus membiarkan kami
melaksanakan thawaf di Baitullah ». Namun Suhail menjawab, « Demi Allah supaya orang-
orang tidak mengatakan bahwa kami mendapat tekanan dari kalian … engkau boleh thawaf
tahun depan namun tidak boleh membawa senjata kecuali pedang dalam sarungnya ».

Selanjutnya utusan Quraisy tersebut juga mensyaratkan bahwa jika ada anggota keluarga
Quraisy yang masuk Islam kemudian lari dan meminta perlindungan Madinah, mereka harus
dikembalikan kepada kaumnya. Sebaliknya bila ada kaum Muslimin yang lari dari Madinah
dan meminta perlindungan Makkah, mereka tidak harus dikembalikan.

« Subhanallah, bagaimana mungkin seseorang yang telah beriman akan dikembalikan


kepada kaum Musyrikin ? », protes para sahabat. « Apakah kita akan menulis butir ini,
wahai Rasulullah ? »
« Ya, sesungguhnya siapa saja diantara kita yang pergi kepada mereka maka semoga Allah
menjauhkannya dan barangsiapa diantara mereka datang kepada kita maka Allah akan
memberikan jalan keluar baginya », jawab Rasulullah SAW.

Itulah sebagian dari isi perjanjian perdamaian Hudaibiyah. Perjanjian ini berlaku untuk 10
tahun. Selama itu tidak boleh terjadi peperangan antara ke dua belah pihak. Masing-masing
pihak boleh memilih dan mempunyai sekutu. Maka suku Khuza‟ahpun mengumumkan
persekutuannya dengan kaum Muslimin. Sedangkan bani Bakar memilih bersekutu dengan
kaum Quraisy.

Bahkan disebutkan ketika kaum Muslimin berthawaf tahun depan nanti, kaum Musyrikin
tidak diperbolehkan mengganggu. Mereka akan pergi ke lereng-lereng gunung,menyaksikan
dari kejauhan.

Namun demikian, sebagian besar sahabat tetap merasa kecewa terhadap isi perjanjian yang
dianggap merendahkan umat Islam yang dirasa mulai menguat itu. Umar bin Khattab ra
adalah satu diantaranya.
“Bukankah engkau Nabi Allah?”tanya Umar.
“Ya, benar”, jawab Rasul.
“Bukankah orang-orang kita yang terbunuh akan masuk surga dan orang-orang yang
mereka bunuh akan masuk neraka?”tanya Umar lagi.
“Ya, benar”, jawab Rasul tenang.
« Lalu, mengapa kita menyetujui agama kita direndahkan ? », tanya Umar bertambah
penasaran.
“Sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Aku tidak akan menyalahi perintah-Nya dan Dia
pasti akan membelaku”, jawab Rasul sabar.
« Bukankah engkau telah menjanjikan bahwa kita akan datang ke Baitullah untuk
melakukan thawaf ? », cecar Umar.
« Ya, benar. Tetapi apakah aku mengatakan bahwa engkau akan datang ke sana tahun
ini ? Engkau pasti akan datang dan thawaf di Baitullah », tegas Rasul.

Umar tetap bimbang. Maka iapun mendatangi Abu Bakar ra. Namun Abu Bakar menjawab
pertanyaan Umar persis seperti apa yang dikatakan Rasulullah.

“Rasulullah tidak akan menyalahi perintah Rabbnya dan Allahpun tidak akan
membiarkannya”, jawab Abu Bakar.

Tak lama kemudian Rasulullah memanggil Umar dan membacakan ayat yang baru saja
diturunkan-Nya.

“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata, supaya Allah
memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus dan
supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)”.(QS.Al-Fath(48):1-3).

Ya, perjanjian Hudaibiyah sebenarnya adalah sebuah kemenangan besar bagi umat Islam.
Ini adalah pengakuan pertama Quraisy terhadap keberadaan kaum Muslimin. Allah, Yang
Maha Cerdas dan Maha Teliti yang menuntun Rasulullah agar bertindak demikian. Ini
adalah cara Allah mempersiapkan pembukaan pintu Mekah agar Islam dapat masuk tanpa
perang ; secara damai dan merasuk ke dalam hati sanubari semua penduduk Mekah yang
lama dalam keadaan kesyirikannya.
Di kemudian hari Umar berkata,”Aku terus berpuasa, shalat, bersedekah dan membebaskan
budak (sebagai karafat) dari apa yang pernah aku lakukan karena takut akan ucapan yang
pernah aku lontarkan pada hari itu”.

Namun demikian kekecewaan sebagian besar sahabat yang belum dapat menerima bahwa
perjanjiian tersebut sebenarnya adalah kemenangan tetap masih terlihat. Karena ketika
Rasulullah memerintahkan agar mereka bercukur dan menyembelih hewan kurban yang
mereka bawa sebagai tanda selesainya umrah, tidak mereka indahkan.

Akhirnya Rasulullah, atas usul Ummu Salamah, umirul Mukminin yang ketika itu menyertai
Rasulullah, tanpa banyak kata, langsung bercukur dan menyembelih kurban yang
dibawanya. Maka para sahabatpun, tanpa kecuali, langsung mengikuti apa yang diperbuat
Rasulullah. (Baca juga: http://vienmuhadi.com/2009/03/16/keteladanan-rasulullah-SAW-
dalam-memperlakukan-perempuan/ ).

Setahun kemudian yaitu pada bulan Dzulqai‟dah tahun ke 7 H, Allah SWT memenuhi janji-
Nya. Rasulullah beserta 2000 umat Islam memasuki Mekah dan melaksanakan
umrah. Seluruh sahabat yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah tak satupun yang tertinggal
kecuali yang wafat dalam perang Khaibar sekembali dari perjanjian tersebut.

“Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya kepada orang yang hari ini menyaksikan kekuatan
yang datang dari hadirat-Nya”, begitu bunyi doa Rasulullah ketika tawaf sambil mengangkat
tangan kanannya. Kemudian mencium hajar aswad lalu berjalan cepat sambil mengelilingi
Ka‟bah.

Sebelumnya Rasulullah dan para sahabat memang sempat khawatir bahwa kedatangan
mereka kali inipun akan tetap dihalangi orang-orang Quraisy. Namun Allah SWT segera
menurunkan ayat-ayat yang isinya mengizinkan Rasulullah memerangi orang-orang
tersebut meski di tanah Mekah sekalipun. Karena menghalangi seseorang menjalankan
ibadah sama dengan menyebar fitnah.

“Dan bunuhlah mereka di mana saja kamu jumpai mereka, dan usirlah mereka dari tempat
mereka telah mengusir kamu (Mekah); dan fitnah itu lebih besar bahayanya dari
pembunuhan, dan janganlah kamu memerangi mereka di Masjidil Haram, kecuali jika
mereka memerangi kamu di tempat itu. Jika mereka memerangi kamu (di tempat itu),
maka bunuhlah mereka. Demikianlah balasan bagi orang-orang kafir. Kemudian jika mereka
berhenti (dari memusuhi kamu), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang“.(QS.Al-Baqarah(2):191-192).

Dan atas tekad kuat kaum Muslimin, Allah SWT memberikan ridho-Nya hingga Rasulullah
dan para sahabat dapat menjalankan ibadah tersebut tanpa hambatan. Tampak bahwa
Allah telah memasukkan rasa gentar dan takut kepada orang-orang Quraisy untuk
mengganggu kedatangan kaum Muslimin.

XXII.Perang Khaibar.
“Allah menjanjikan kepada kamu harta rampasan yang banyak yang dapat kamu ambil,
maka disegerakan-Nya harta rampasan ini untukmu dan Dia menahan tangan manusia dari
(membinasakan) mu (agar kamu mensyukuri-Nya) dan agar hal itu menjadi bukti bagi
orang-orang mu‟min dan agar Dia menunjuki kamu kepada jalan yang lurus”.(QS.Al-
Fath(48):20).

Ayat di atas turun ketika Rasulullah dalam perjalanan pulang dari Hudaibiyah menuju
Madinah, beberapa saat setelah ditanda-tanganinya perjanjian Hudaibiyah. Yang dimaksud
harta rampasan perang yang banyak pada ayat di atas itu adalah kemenangan Muslimin
pada perang Khaibar. Khaibar adalah kota terbesar Yahudi yang banyak memiliki benteng
dan ladang-ladang kurma. Tanah kota tersebut memang dikenal amat subur, airnya
berlimpah dan berbagai buah tumbuh dengan mudah di tanah ini. Kota yang
merupakan benteng utama Yahudi ini terletak sekitar 165 km utara Madinah arah Syam.

Janji Allah SWT sendiri akan harta rampasan yang banyak itu adalah sebagai bentuk kasih
sayang dan penghargaan-Nya akan kesabaran kaum Muslimin dalam menghadapi kebencian
dan permusuhan musuh-musuh Islam seperti kaum Musryik Mekah dan Yahudi selama ini.
Dan puncaknya adalah perang Hudaibiyah. (Click http://vienmuhadi.com/2011/03/07/xxi-
perdamaian-hudaibiyah-dan-baitur-ridwan/ untuk baca Perjanjian Hudaibiyah ).

Mendengar janji tersebut, orang-orang Munafik Madinah yang selama ini tidak pernah ikut
terlibat dalam peperangan Islam, tiba-tiba meminta izin untuk ikut berperang. Namun
Rasulullah tidak mengabulkan permohonan tersebut. Rasulullah hanya mengizinkan
berperang para sahabat yang pernah ikut berperang membela Islam dan tujuannya bukan
untuk mencari harta rampasan saja.

“Orang-orang Badwi yang tertinggal itu akan berkata apabila kamu berangkat untuk
mengambil barang rampasan:”Biarkanlah kami, niscaya kami mengikuti kamu; mereka
hendak merubah janji Allah. Katakanlah:”Kamu sekali-kali tidak (boleh) mengikuti kami:
demikian Allah telah menetapkan sebelumnya”; mereka akan mengatakan:”Sebenarnya
kamu dengki kepada kami”. Bahkan mereka tidak mengerti melainkan sedikit
sekali.”.(QS.Al-Fath(48):15).

Maka pada tahun 629 M, dengan membawa 1400 pasukan, mereka adalah para sahabat
yang ikut dalam perjanjian Hudaibiyah, berangkatlah Rasulullah memimpin pasukannya
memasuki Khaibar. Mereka berangkat dengan berjalan kaki dan berkuda. Ini adalah perang
pertama kaum Muslimin yang terjadi setelah adanya perjanjian Hudaibiyah. Ini juga adalah
perang pertama dimana kaum Muslimin datang menyerang terlebih dahulu. Karena
sebelumnya pasukan Muslim hanya bertahan.

Rasulullah sengaja memilih jalur melalui Ar-Raji‟, daerah antara perkampungan kaum
Gathafan dan Khaibar. Kaum Gathafan adalah sekutu Yahudi yang selama ini selalu
membantu Yahudi dalam memusuhi Islam. Dan kali inipun mereka sebenarnya memang
telah berniat hendak membantu sekutunya itu. Namun nyatanya begitu mendengar kabar
bahwa pasukan Rasulullah melewati perkampungan mereka, nyali merekapun jadi menciut.
Akhirnya mereka membatalkan pertolongan mereka.

Dari Abu Muattib bin Amr ia berkata, „Ketika Rasulullah melihat Khaibar, beliau berkata
kepada para sahabat –ketika itu aku bersama mereka–, „Berdirilah kalian!‟. Rasulullah
berkata, „Ya Allah, Rabb langit dan Rabb segala yang dinaunginya, Rabb bumi dan Rabb apa
saja yang diangkutnya, Rabb setan dan apa saja yang dianutnya, Rabb angin dan Rabb apa
saja yang diterbangkannya, sesungguhnya aku meminta kepada-Mu kebaikan kampung ini,
penduduknya, dan apa yang ada di dalamnya. Aku berlindung diri kepadaMu dari keburukan
kampung ini, penduduknya, dan yang ada di dalamnya. Majulah kalian dengan nama Allah!‟
Doa tersebut selalu diucapkan beliau setiap kali beliau memasuki per-kampungan”.

Tidak mudah menaklukkan Khaibar. Kota benteng ini memiliki sistim pertahanan berlapis-
lapis. Setiap benteng memiliki fungsi masing-masing. Perempuan dan anak-anak
ditempatkan di sebuah benteng bernama Watih. Harta benda disimpan di benteng Sulaim.
Sementara persediaan makanan dan pasukan perang yang jumlahnya ribuan itu menempati
benteng lain. Bahkan Yahudi Madinahpun melecehkan kemampuan pasukan Islam
melumpuhkan Yahudi Khaibar. Namun bagi para sahabat kemenangan bukanlah banyak
atau sedikitnya jumlah pasukan atau canggih tidaknya peralatan. Kemenangan adalah
pertolongan Allah, Sang Penguasa Langit dan Bumi.
“Dan Allah tidak menjadikan pemberian bala-bantuan itu melainkan sebagai khabar gembira
bagi (kemenangan) mu, dan agar tenteram hatimu karenanya. Dan kemenanganmu itu
hanyalah dari Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana”.(QS.Ali Imran(3):126).
“Orang-orang yang meyakini bahwa mereka akan menemui Allah berkata:”Berapa banyak
terjadi golongan yang sedikit dapat mengalahkan golongan yang banyak dengan izin Allah.
Dan Allah beserta orang-orang yang sabar”.(QS.Al-Baqarah(2):249).

Mulanya Rasulullah menempatkan Abu Bakar ra sebagai pemegang panji. Namun pasukan
ini tidak berhasil membobol pertahanan Yahudi. Kemudian Rasulullah mengutus Umar bin
Khattab ra untuk menggantikan Abu Bakar. Tidak berhasil juga. Akhirnya Rasulullah
memerintahkan Ali bin Abu Thalib ra untuk keluar.

“Dimana Ali?”, tanya Rasulullah ketika Ali tidak dilihatnya diantara para sahabat.
“Wahai Rasulullah, Ali sedang sakit mata”, jawab para sahabat.
« Panggil dia », perintah Rasulullah.

Setelah Ali tiba dengan mengucap doa, Rasulullah segera meniup mata Ali yang sedang
sakit itu dengan kedua ludah beliau. Seketika itu sembuhlah mata Ali. Allahuakbar ..

Kemudian Rasulullah menyerahkan panji perang kepada Ali.

“Wahai Rasulullah, apakah aku harus memerangi mereka sampai mereka menjadi seperti
kita (Muslim) ?”, tanya Ali.
“Kerjakanlah ! Tetapi jangan tergesa-gesa. Tunggu sampai engkau tiba di halaman mereka.
Setelah itu, ajaklah mereka memeluk Islam dulu dan beritahukan kepada mereka
kewajiban-kewajiban apa yang harus mereka lakukan terhadap Allah. Demi Allah, jika Allah
memberi hidayah kepada seorang diantara mereka melalui engkau, itu lebih baik daripada
engkau memperoleh nikmat berupa unta merah », tegas Rasulullah.

(Unta merah bagi masyarakat Mekah ketika itu adalah suatu dambaan).

Begitulah prinsip perang dalam Islam. Perang bukan cara mendapatkan kemenangan dan
kemegahan. Perang adalah hal terakhir yang dilakukan ketika orang tetap berkeras
menolak menyembah Sang Khalik. Itupun bila mereka selalu menghalangi dan menghambat
kemajuan Islam. Dan setelah dikalahpun tidak ada paksaan bagi mereka untuk berpindah
agama selama mereka mau tunduk terhadap hukum Islam tentunya.
Semula pertempuran terjadi kurang seru karena pasukan Yahudi tidak mau keluar dari
bentengnya. Mereka tetap bertahan didalam benteng-benteng kokohnya. Hingga akhirnya
benteng demi benteng berhasil direbut pasukan Muslimin kecuali benteng Watih dan Sulaim
yang merupakan benteng terakhir dan terkuat. Maka merekapun terpaksa keluar dan
perang satu lawan satupun tak dapat dihindarkan lagi.

Pertempuran berkecamuk hebat. Sepuluh hari lamanya benteng Watih dan Sulaim
dikepung. Kedua benteng ini akhirnya jatuh setelah pasukan dibawah pimpinan Ali ini
berhasil memotong saluran air ke dalam benteng. Penduduk Khaibar terpaksa menyerah
dan berbondong-bondong keluar dari benteng pertahanan terakhir mereka. Dengan
perasaan suka rela mereka menyerahkan seluruh harta benda yang mereka miliki termasuk
ladang-ladang kurma yang luas, selama permohonan mereka untuk diampuni dikabulkan.

Rasulullah mengabulkan permohonan tersebut bahkan juga permohonan mereka agar diberi
kesempatan untuk tetap menggarap dan mengelola ladang dan kebun-kebun tersebut
dengan imbalan separuh dari hasil panen.”Dengan syarat, kalau kami hendak mengusir
kalian, kalian harus bersedia kami usir”, tegas Rasulullah.

Sungguh, betapa mulianya akhlak Rasulullah. Bandingkan dengan apa yang terjadi ketika
Islam dikalahkan di Andalusia, Spanyol. Ketika itu kaum Muslimin dipaksa berpindah agama
dan bila menolak mereka akan dibunuh atau diusir tanpa boleh membawa apapun. Begitu
juga yang dilakukan pasukan Romawi ketika mereka mengalahkan musuh. Juga fenomena
tanah Palestina di abad 21 ini. Kita dapat menyaksikan bagaimana keji dan tidak adilnya
perlakuan zionis Israel terhadap kaum Muslimin di negeri tersebut. Sungguh ironis .. L

Selanjutnya kaum Yahudi tetap tinggal di Khaibar dan menggarap ladang tersebut.
Rasulullah membebaskan mereka menjalankan kepercayaan dan hukum mereka sendiri.
Mereka baru diusir dari tanah tersebut pada masa pemerintahan khalifah Umar bin Khattab.
Itupun karena mereka berbuat kesalahan.

Usia perang, Rasulullah tinggal selama beberapa hari di Khaibar. Disinilah beliau menikahi
seorang perempuan Yahudi bernama Shafiyah binti Huyaiy bin Akhtab, seorang pemimpin
Yahudi yang tertawan. Pembebasannya sebagai tawanan perang menjadi mahar
perkawinannya. Ketika itu ia diberi dua pilihan ; dibebaskan kemudian diserahkan kembali
kepada kaumnya atau dibebaskan kemudian menjadi isteri Rasulullah. Ternyata Safiyah
memilih pilihan kedua yaitu, menjadi isteri Rasulullah.
Diceritakan bahwa Rasulullah melihat bekas kebiruan di pipi Shafiyah,”Apa ini?”Shafiyah
menjawab,”Ya Rasul, suatu malam aku bermimpi melihat bulan muncul di Yastrib, kemudian
jatuh di kamarku. Lalu aku ceritakan mimpi itu kepada suamiku, Kinanah. Dia berkata,
„Apakah engkau suka menjadi pengikut raja yang datang dari Madinah?‟ Kemudian dia
menampar wajahku.”

Shafiyah menceritakan bahwa sejak kecil ia telah mempelajari Taurat, kitab suci nenek
moyangnya. Ia mendengar bahwa suatu ketika akan datang seorang Rasul. Itu sebabnya ia
tidak ragu bahwa Muhammad adalah rasul yang diceritakan dalam kitab tersebut. Itu pula
sebabnya ia ridho menjadi istri beliau meski ayah dan suaminya terbunuh dalam perang
yang dipimpin Rasulullah itu.

Sementara dalam riwayat lain, diceritakan bahwa seorang perempuan Yahudi bernama
Zainab binti Harith berusaha meracuni Rasulullah. Ia melakukan hal ini karena dendamnya
terhadap kematian suaminya yang terbunuh dalam perang Khaibar. Perempuan ini
mengirimkan sepotong daging domba yang telah dipoles dengan racun. Rasulullah sempat
mencicipinya namun kemudian memuntahkannya kembali. Sebaliknya seorang sahabat
bernama Bisyri bin Bara langsung menelannya hingga iapun meninggal dunia, terkena racun
yang sebenarnya ditujukan kepada Rasulullah.

Dengan usainya perang Khaibar, setelah ghanimah dibagi-bagikan dengan adil dan semua
merasa puas maka usai pula sejarah perlawanan Yahudi terhadap Islam. Pasukan Yahudi
lain yang tinggal di Wadil Qura, tidak jauh dari Madinah, memang sempat melakukan
pencegatan ketika rombongan Rasulullah melewati wilayah tersebut sepulang dari
penaklukkan Khaibar. Namun pasukan Islam berhasil mematahkan serangan tersebut.
Sebaliknya Yahudi Taima‟ malah mengulurkan tawaran damai tanpa melalui peperangan.

Dalam sebuah riwayat diceritakan ; Suatu ketika dalam perjalanan dari Khaibar menuju
Madinah, di salah satu akhir malamnya, Rasulullah bersabda, „Siapa orang yang siap
menunggu Shubuh untuk kita sehingga kita bisa tidur?‟. Bilal berkata, „Aku siap menunggu
Shubuh untukmu, wahai Rasulullah‟.

Maka Rasulullahpun berhenti. Demikian pula para sahabat, kemudian tidur. Sementara itu
Bilal mengerjakan shalat beberapa raka‟at. Usai shalat, ia bersandar pada untanya untuk
menunggu waktu Shubuh, namun rasa kantuk menyerangnya dan ia pun tertidur.
Akibatnya tidak ada seorangpun yang membangunkan Rasulullah dan kaum muslimin
melainkan sengatan sinar matahari. Beliau orang yang pertama kali bangun. Kemudian
Rasulullah bersabda, „Apa yang engkau perbuat terhadap kita, hai Bilal?‟ Bilal
menjawab, „Wahai Rasulullah, aku tertidur sepertimu‟. Rasulullah bersabda, „Engkau berkata
benar‟.
Rasulullah kemudian menuntun untanya tidak terlalu jauh kemudian menghentikannya.
Beliau berwudhu diikuti kaum muslimin, lalu menyuruh Bilal mengumandangkan iqamah
shalat dan mengerjakan shalat bersama kaum muslimin. Setelah salam, Rasulullah
menghadap kepada para sahabat dan bersabda, „Jika kalian lupa shalat, shalatlah jika kalian
telah ingat karena Allah SWT berfirman, „Shalatlah karena ingat kepadaKu‟.”

XXIII. Dakwah Kepada Raja-Raja.


Pada masa Rasulullah SAW perang dibagi atas 2 jenis perang, yaitu Ghazwah dan Sariyah.
Ghazwah adalah perang yang dipimpin langsung oleh Nabi SAW sedangkan Sariyah adalah
perang yang dipimpin oleh sahabat atas penunjukan Nabi SAW.

Para ulama sirah menyepakati bahwa Sariyah dimulai pada tahun 7 H. Namun dlam
shahihnya, Imam Bukhari menuturkan bahwa Sariyah baru dimulai pada tahun 9 H yaitu
setelah di tanda-tanganinya Perjanjian Hudaibiyah pada bulan Dzulqa‟idah tahun ke 6 H.
Pengiriman pasukan kecil ke berbagai daerah sekitar Jazirah Arab dan dipimpin para
sahabat ini bertujuan tidak lain hanya mengajak kepada Islam. Perang baru dilakukan bila
mereka menolak.

Dengan kata lain, perang hanya boleh diterapkan setelah suatu masyarakat telah diberi
kesempatan untuk mengenal ajaran Islam namun kemudian tetap menolak. Jadi perang
dalam Islam bukan demi memuaskan nafsu keduniawian untuk memperoleh kemenangan
apalagi kebesaran. Baik itu kebesaran perorangan maupun kelompok. Melainkan demi
menegakkan hukum dan kehendak Allah SWT sebagai pemilik alam semesta ini. Karena
kebesaran itu hanya milik Sang Khalik, Al Malikul Kuddus, Allah Azza wa Jalla.

“Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat:”Sesungguhnya Aku hendak


menjadikan seorang khalifah di muka bumi”. …”.(QS.Al-Baqarah(2:30).
“Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembah-
Ku.”(QS.Adz-Dzariyat(51):56).
Itulah tujuan Allah SWT menciptakan manusia di muka bumi ini. Manusia diberi hak untuk
menggunakan dan mengolah apapun yang ada di bumi ini namun harus mempertanggung-
jawabkannya. Kepada siapa ? Tentu saja kepada Sang Pemilik ! Jadi takut, tunduk dan
patuh itu hanya kepada-Nya bukan kepada sesama manusia apapun bangsa, warna dan
rasnya.

Perang seperti ini bukan hanya dikenal pada era Rasulullah. Namun juga seluruh utusan-
Nya termasuk nabi Sulaiman as, nabi Allah sekaligus raja Yahudi yang memerintah pada
tahun 970 SM. Al-Quran menceritakan bagaimana nabi ini menaklukkan kerajaan ratu Bilqis
di Afrika yang menjadikan matahari sebagai sesembahan disamping Allah SWT.

“Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah
menjadikan mereka memandang indah perbuatan-perbuatan mereka lalu menghalangi
mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak dapat petunjuk,”.(QS.An-Naml(27):24).
“Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan bala tentara
yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri
itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina”.(QS.An-
Naml(27):37).

Perang dalam Islam adalah demi menegakkan kebenaran yang hakiki, bukan kebenaran
palsu. Bukan kebenaran dari sudut pandang manusia karena manusia mempunyai
kepentingan dan kebutuhan. Baik itu kepentingan dan kebutuhan pribadi atau keluarga
maupun kepentingan dan kebutuhan kelompok. Kebenaran hakiki adalah kebenaran dari
Allah SWT yang berdiri di luar lingkaran keduniawian.

Rasulullah baru menerapkan Sariyah setelah berdakwah 21 tahun lamanya (12 tahun di
Makkah dan 9 tahun di Madinah ). Selama itu umat Islam berperang secara defensive
karena diserang. Perang babak baru ini dijalankan setelah umat Islam mempunyai
keimanan yang tinggi dan mempunyai cukup kekuatan material. Juga setelah Islam diakui
secara resmi oleh Musryik Quraisy yang sebelumnya sangat anti Islam.

Pada periode ini Rasulullah mengirimkan beberapa surat kepada para raja dan pemimpin
dunia agar meninggalkan agama kebathilan yang mereka anut dan kembali ke pelukan
Islam, kembali ke fitrahnya.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:”Tiada anak manusia yang
dilahirkan kecuali dengan kecenderungan alamiahnya (fitrah). Maka orang-tuanyalah yang
membuat anak manusia itu menjadi Yahudi, Nasrani atau Majusi”.
Namun sebelum itu Rasulullah mendapat informasi bahwa para raja tidak mau membaca
surat yang tidak distempel. Untuk keperluan itulah maka Rasulullahpun memerintahkan
agar segera dibuatkan stempel khusus bagi Rasulullah. Stempel khusus milik Rasulullah
tersebut adalah sebuah cincin yang terbuat dari perak dengan tiga kata terukir di atasnya.
Tiga kata tersebut adalah: « Muhammad Rasul Allah ». Dengan stempel itulah selanjutnya
Rasulullah sebagai utusan Allah sekaligus pemimpin tertinggi umat Islam mengirim berbagai
surat resmi.

Rasulullah mengirimkan surat untuk pertama kalinya pada tahun 9 H atau 631 M. Dalam
satu yang hari yang sama itu Rasulullah, dengan bantuan sahabat terpercaya menulis 6
surat sekaligus. Surat-surat tersebut dibawa para sahabat pilihan yang tidak saja
menguasai bahasa kaum yang akan didatanginya tetapi juga mengerti kultur dan kebiasaan
mereka.

Berikut utusan-utusan tersebut.

1. Amr bin Umaiyyah adh-Dhamri.

Rasulullah mengutus Amr bin Umaiyah adh-Dhamri menemui Najasyi. Najasyi adalah raja
negeri Habasyah di benua Afrika. Raja yang nama aslinya Ashhamah bin Abjar ini dikenal
sebagai penganut Nasrani yang taat dan alim. Najasyi sebenarnya telah mendengar kabar
bahkan pernah berhubungan dengan masalah ke-Islam-an beberapa tahun sebelum ini.
Yaitu ketika Rasulullah mengizinkan beberapa sahabat untuk hijrah ke Habasyah.

Ketika itu Najasyi menerima keterangan Ja‟far bin Abu Thalib yang berusaha disudutkan
oleh orang-orang Quraisy agar dikembalikan ke Mekah.

(Baca:http://umatterbaik.wordpress.com/2008/11/08/raja-najasyi/).

Oleh karena itu ketika raja yang terkenal bijaksana ini menerima surat dari Rasulullah, ia
langsung menyatakan ke-Islam-annya.

“Seandainya aku bisa datang menemuinya (Rasulullah SAW) niscaya aku berangkat
menemuinya”, begitu ucapnya.
Bahkan setelah itu dengan senang hati sang rajapun mengabulkan permintaan Rasulullah
agar menjadi wakil dalam pernikahan Rasulullah dengan Ramlah binti Abi Sufyan yang
ketika itu memang tinggal di Habasyah. Putri Abi Sufyan ini tinggal di negeri Najasyi sejak
hijrah pertama kaum Muslimin ke Habasyah. Dalam perantauan inilah suaminya kemudian
murtad dan tak lama kemudian meninggal dunia. Rasulullah meminang Ramlah yang
dikenal dengan sebutan Ummu Habibah (ibunya Habibah) sebagai penghargaan atas
kesabarannya dalam ber-Islam.

Sayangnya, tidak lama setelah memeluk Islam, raja Najasy ini wafat. Rasulullah kemudian
menyelenggarkan shalat ghaib baginya. Ini adalah hal yang sebelumnya belum pernah
dilakukan Rasulullah.

2. Dahyah bin Khalifah al-Kalbi.

Rasulullah mengutus Dahyah kepada Heraklius, raja Romawi Timur (Byzantium). Heraklius
memerintah kerajaan Nasrani ini selama 31 tahun yaitu dari tahun 610 M hingga 641 M.
Dibawah pemerintahannya peperangan banyak terjadi. Diantara sekian banyak musuh,
kerajaan Sasanid (Persia) yang dikenal beragama Majusi (penyembah api) adalah musuh
yang paling sengit. Perang bebuyutan antara kedua kerajan besar ini telah berlangsung
sejak tahun 602 M, jauh sebelum Heraklius menjadi raja.

Beberapa tahun sebelum Rasulullah mengirimkan utusan kepada raja ini, yaitu pada tahun
626 M, kerajaan Persia berhasil mengalahkan Romawi. Pada saat itulah turun ayat 2 hingga
6 surat Rum. Ayat ini menerangkan bahwa setelah kekalahan tersebut pasukan Romawi
akan kembali menang. Ternyata terbukti benar, 2 tahun kemudian Romawi berhasil
memaksa Persia bertekuk lutut hingga akhirnya kerajaan ini runtuh untuk selamanya.
Padahal ketika itu Konsantinopel, ibu kota Romawi Timur, nyaris direbut Persia.

“Telah dikalahkan bangsa Rumawi, di negeri yang terdekat dan mereka sesudah dikalahkan
itu akan menang, dalam beberapa tahun (lagi). …”. QS.Ar-Rum(30:2-4).

Namun kemenangan ini hanya sesaat karena beberapa tahun kemudian yaitu pada tahun
634 M, 2 tahun setelah wafatnya Rasulullah, pasukan Islam dibawah khalifah Abu Bakar ra
berhasil menaklukkan Persia yang baru saja direbut Romawi itu. Bahkan Syria, Palestina
dan Mesir yang tadinya berada dibawah Romawipun jatuh ke tangan Muslim.
“Dan di hari (kemenangan bangsa Rumawi) itu bergembiralah orang-orang yang beriman
karena pertolongan Allah. Dia menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Penyayang. (sebagai) janji yang sebenar-benarnya dari Allah. Allah
tidak akan menyalahi janji-Nya, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahu”‟.(QS.Ar-
Rum(30:4-6).

Dahyah menyampaikan surat Rasulullah kepada Heraklius melalui gubernur Bashra. Surat
tersebut bunyinya adalah sebagai berikut:

“Dari Muhammad Rasul Allah kepada Heraklius raja Romawi. Keselamatan atas orang yang
hidup mengikuti hidayah Ilahi. Amma ba‟du. Anda kuajak supaya memeluk Islam. Peluklah
Islam anda akan selamat dan Allah akan melimpahkam dua kali lipat imbalan pahala kepada
Anda. Akan tetapi jika anda menolak, anda akan memikul dosa para petani (rakyat). Dan
« Wahai Ahli Kitab, marilah kita bersatu kata, antara kalian dan kami bahwa kita tidak akan
bersembah sujud selain kepada Allah dan bahwa kita tidak akan menjadikan siapapun
diantara kita sendiri Tuhan-Tuhan selain Allah. Apabila mereka berpaling maka katakanlah
kepada mereka « Saksikanlah bahwa kami adalah orang-orang Mukmin ». (HR Bukhari
Muslim).

Usai membaca surat Rasulullah, Heraklius memerintahkan para menterinya agar mencari
orang yang dapat dipercaya untuk memberikan informasi mengenai sifat-sifat
Rasululah. Kebetulan Abu Sufyan sedang berada di kota tersebut dalam rangka urusan
dagangnya. Tak lama kemudian, dibantu seorang penterjemah, terjadilah percakapan
antara keduanya.

Di kemudian hari, setelah memeluk Islam, Abu Sufyan mengisahkan tanggapan Heraklius
atas percakapan tersebut.

“Aku bertanya kepadamu tentang silsilah keluarganya dan kau menjawab dia adalah
keturunan bangSAWan terhormat. Nabi-nabi terdahulu pun berasal dari keluarga terhormat
di antara kaumnya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada di antara keluarganya yang menjadi nabi, jawabannya
tidak ada. Dari sini aku menyimpulkan bahwa orang ini memang tidak dipengaruhi oleh
siapa pun dalam hal kenabian yang diikrarkannya dan tidak meniru siapa pun dalam
keluarganya.
Aku bertanya kepadamu apakah ada keluarganya yang menjadi raja atau kaisar.
Jawabannya tidak ada. Jika ada leluhurnya yang menjadi penguasa, aku beranggapan dia
sedang berusaha mendapatkan kembali kekuasaan leluhurnya.
Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah berdusta dan ternyata menurutmu tidak
pernah. Orang yang tidak pernah berdusta kepada sesamanya tentu tidak akan berdusta
kepada Allah.
Aku bertanya kepadamu mengenai golongan orang-orang yang menjadi pengikutnya dan
menurutmu pengikutnya adalah orang miskin dan hina. Demikian pula halnya dengan
orang-orang terdahulu yang mendapat panggilan kenabian.
Aku bertanya kepadamu apakah jumlah pengikutnya bertambah atau berkurang.
Jawabanmu, terus bertambah. Hal ini juga terjadi pada iman sampai keimanan itu lengkap.
Aku bertanya kepadamu apakah ada pengikutnya yang meninggalkannya setelah menerima
agamanya dan menurutmu tidak ada. Itulah yang terjadi jika keimanan sejati telah mengisi
hati seseorang. Aku bertanya kepadamu apakah dia pernah ingkar janji dan menurutmu
tidak pernah. Sifat dapat dipercaya adalah ciri kerasulan sejati.
Aku bertanya kepadamu apakah engkau pernah berperang dengannya dan bagaimana
hasilnya. Menurutmu engkau berperang dengannya, kadang engkau yang menang dan
kadang dia yang menang dalam urusan duniawi. Para nabi tidak pernah selalu menang,
tetapi mereka mampu mengatasi masa-masa sulit perjuangan, pengorbanan dan
kerugiannya sampai akhirnya mereka memperoleh kemenangan.
Aku bertanya kepadamu apa yang diperintahkannya, engkau menjawab dia
memerintahkanmu untuk menyembah Allah dan tidak mempersekutukan-Nya, serta
melarangmu untuk menyembah berhala, dan dia menyuruhmu shalat, bicara jujur, serta
penuh perhatian. Jika apa yang kaukatakan itu benar, dia akan segera berkuasa di tempat
aku memijakkan kakiku saat ini.
Aku tahu bahwa orang ini akan lahir, tetapi aku tidak tahu bahwa dia akan lahir dari
kaummu (orang Arab). Jika aku tahu aku bisa mendekatinya, aku akan pergi menemuinya.
Jika dia ada di sini, aku akan membasuh kedua kakinya dan agamanya akan menguasa
tempat dua telapak kakiku!”
Selanjutnya, Heraklius berkata kepada Dihyah Al-Kalbi,”Sungguh, aku tahu bahwa
sahabatmu itu seorang nabi yang akan diutus, yang kami tunggu-tunggu dan kami ketahui
berita kedatangannya dalam kitab kami. Namun, aku takut orang-orang Romawi akan
melakukan sesuatu kepadaku. Kalau bukan karena itu, aku akan mengikutinya!”
Untuk membuktikan perkataannya tersebut, Heraklius memerintahkan orang-orangnya
untuk mengumumkan,”Sesungguhnya kaisar telah mengikuti Muhammad dan meninggalkan
agama Nasrani!”Seluruh pasukannya dengan persenjataan lengkap serentak menyerbu ke
dalam ruangan tempat Kaisar berada, lalu mengepungnya.
Kemudian Kaisar Romawi itu berkata,”Engkau telah melihat sendiri bagaimana bangsaku.
Sungguh, aku takut kepada rakyatku!”
Heraklius membubarkan pasukannya dengan menyuruh pengawalnya mengumumkan
berita,”Sesungguhnya kaisar lebih senang bersama kalian. Tadi ia sedang menguji kalian
untuk mengetahui kesabaran kalian dalam agama kalian. Sekarang pergilah!”
Mendengar pengumuman tersebut, bubarlah pasukan yang hendak menyerang Kaisar tadi.
Sang Kaisar pun menulis surat untuk Rasulullah SAW yang berisi,“Sesungguhnya aku telah
masuk Islam.”Kaisar juga menitipkan hadiah beberapa dinar kepada Rasulullah SAW.
Ketika Dihyah menyampaikan pesan Raja Heraklius kepada Rasulullah SAW, beliau
berkata,”Musuh Allah itu dusta! Dia masih beragama Nasrani”. Rasulullah SAW pun
kemudian membagi-bagikan hadiah dari raja tadi kepada kaum muslimin.

3. Abdullah bin Hudzafah as-Sahmi.

Abdullah diutus Rasulullah SAW agar menyampaikan surat kepada Kisra, raja Persia. Surat
tersebut berisi ajakan agar mau memeluk Islam. Kisra adalah sebutan atau gelar bagi para
raja negeri yang sekarang ini dinamakan Iran. Ketika itu penduduk negeri mayoritas
menganut kepercayaan Majusi (penyembah api) dan penyembah berhala. Itu sebabnya
Rasulullah mengajak mereka agar kembali ke jalan yang benar.

Namun belum juga surat selesai dibaca sang raja telah menyobek-sobeknya. Menanggapi
pengaduan tersebut Rasulullah hanya berkata:”Semoga Allah merobek-robek kerajaannya”.
Selanjutnya, dengan geram kemudian ia menulis surat kepada gubernur Yaman agar segera
menangkap Rasulullah. Maka berangkatlah dua utusan ke Madinah. Rasulullah sendiri yang
menyambut utusan gubernur Yaman tersebut. Dengan tersenyum Rasulullah
bersabda:”Kembalilah dulu hari ini. Besok saja kalian menghadapku karena aku ingin
mengabarkan kepada kalian tentang sesuatu yang aku inginkan”.
Keesokan harinya,kedua utusan tersebut menghadap kembali.”Sampaikan kepada gubernur
kalian bahwa Rabbku telah membunuh tuannya, Kisra, pada malam ini, tepatnya enam jam
yang lalu”, sambut Rasulullah tenang.
Ibnu Sa‟ad berkata,”Yaitu pada malam selasa, 10 Jumadil „Ula tahun kesembilan. Allah
menggerakkan Syirawaih, anak Kisra, untuk membunuhnya”. Akhirnya, kedua orang itu
kembali menemui Badzan, sang gubernur, guna menyampaikan berita ini. Selanjutnya
Badzan bersama anak buahnyapun masuk Islam.

4. Harits bin Umair al-Adzi.

Rasulullah mengutus Harits bin Umair al-Adzi kepada Syurabil bin Amr al-Ghassani,
penguasa Bushra. Namun pemimpin ini menolak bahkan kemudian mengikat serta
membunuh Harits.”Tidak ada utusan Rasulullah SAW yang dibunuh selain al-Harits bin
Umair al-Adzi”.

Rasulullah juga mengutus beberapa utusan kepada para pemimpin Arab di berbagai
wilayah. Diantara mereka ada yang menolak ada yang menerima. Tetapi sebagian besar
menerima. Khalid bin Walid, panglima Quraisy yang di kemudian hari mendapat julukan
Saifullah al-Maslul (pedang Allah yang terhunus) dan selalu menang dalam pertempuran
adalah salah satu diantaranya.

Rasulullah begitu berbahagia melihat masuknya Khalid. Karena Khalid adalah seorang
panglima perang yang amat disegani baik musuh maupun anak buahnya. Dengan
masuknya Khalid ke jajaran Islam diharapkan ia mampu menarik sebanyak mungkin
pengikut. Menurut riwayat ia masuk Islam bersamaan dengan Amr bin Ash, panglima
perang yang di kemudian hari menaklukkan Baitul Maqdis dan Mesir dari cengkeraman
Romawi.

XXIV. Perang Mu’tah.


Mu‟tah adalah sebuah desa yang terletak di perbatasan Syam. Desa tersebut sekarang ini
bernama Kirk. Disinilah perang antara kaum Muslimin dan pasukan Syurabil bin Amr al-
Ghassani, penguasa Bushra berlangsung.

Perang ini dilakukan sebagai balasan atas dibunuhnya seorang utusan Muslimin. Ketika
itu Rasulullah mengutus Harits bin Umair al-Adzi bin Amr agar menyampaikan surat yang
isinya mengajak memeluk Islam kepada pemimpin Bushra tersebut.

Seperti juga peraturan dunia politik saat ini, sejak dahulupun telah ada aturan bahwa
seorang utusan negeri lain tidak boleh dibunuh tanpa sebab yang jelas. Itu sebabnya
Rasulullah sebagai pemimpin tertinggi Islam kemudian mengirim pasukan ke Bushra. Itupun
setelah Rasulullah menunggu beberapa waktu. Dalam kesempatan tersebut beliau
menunjuk Zaid bin Haritsah sebagai panglima perang yang membawahi pasukan berjumlah
3.000 orang.

Rasulullah SAW bersabda,”Jika ia mati syahid dalam peperangan, maka Ja‟far bin Abi Thalib
menggantinya sebagai pemimpin pasukan. Jika ia juga mati syahid, maka penlimpin
pasukan digantikan oleh Abdullah bin Rawahah. Jika ia juga mati syahid, maka terserah
kaum muslim untuk memilih siapa pemimpinnya”.

Sementara itu Syurabilpun menyiapkan 100.000 pasukannya. Ini masih dibantu dengan
pasukan Heraklius, raja Romawi, yang mengirimkan 100.000 tentaranya. Pasukan Islam
tampak ragu melihat besarnya kekuatan musuh yang lebih dari 60 kali lipat itu. Selama dua
malam mereka berhenti di suatu daerah untuk merundingkan apa yang seharusnya mereka
lakukan.

Beberapa orang diantara mereka berpendapat”Sebaiknya kita menulis surat kepada


Rasulullah guna melaporkan kekuatan musuh. Mungkin beliau akan menambah kekuatan
kita dengan pasukan yang lebih besar atau memerintahkan sesuatu yang harus kita
lakukan?”. Akan tetapi Abdullah bin Rawahah tidak sependapat. Ia berkomentar,
“Hai saudara-saudaraku, mengapa kalian tidak menyukai mati syahid yang menjadi tujuan
kita berangkat ke medan perang ini ! Kita berperang tidak mengandalkan banyaknya jumlah
pasukan atau besarnya kekuatan tetapi semata berdasarkan agama yang dikaruniakan Allah
kepada kita. Karena itulah, marilah kita maju ! Tidak ada pilihan lain kecuali salah satu dari
dua kebajikan: menang atau mati syahid”.

Dengan segera musnahlah rasa takut pasukan Islam dan terjadilah pertempuran sengit
antara kedua pasukan tersebut. Dengan gagah berani pasukan Islam terus bertempur
hingga akhirnya Zaid bin Haritsah harus syahid. Segera Ja‟far bin Abi Thalib yang waktu itu
baru berusia 30 tahun maju menggantikan Haritsah.

“Alangkah dekatnya surga ! Harumnya semerbak dan segarnya minuman.


Kita hunjamkan siksa ke atas orang-orang Romawi yang kafir nun jauh nasabnya
Pastilah aku yang memeranginya”.

Namun iapun harus syahid setelah tangan kanannya disusul tangan kirinya yang
memegang panji pimpinan ditebas musuh. Mujahid gagah berani ini ditebas tubuhnya
hingga terbelah dua dari belakang dalam keadaan sedang mengepit panji kepemimpinan
dengan sisa kedua tangannya yang tersisa. ! Subhanallah ..

Selanjutnya majulah Abdullah bin Rawahah menggantikan kedudukan Ja‟far. Semula ia


agak kecut melihat kedua sahabatnya telah tewas sementara tubuhnya sendiri telah penuh
luka. Ia juga mendengar kabar bahwa Syurabil telah menyelamatkan diri. Sementara
Heraklius menambah lagi 200.000 pasukannya. Namun ketinggian imannya berkata lain.
Sambil menerjunkan diri ke kancah pertempuran sengit ia melantunkan syair hingga iapun
syahid.

“Wahai hati, kamu harus turun meskipun dengan senang hati ataupun dengan berat
hati. Kamu telah hidup dengan ketenangan beberapa lama. Berpikirlah, pada hakikatnya,
kamu berasal dari setetes air mani. Lihatlah orang-orang kafir telah menyerang orang-
orang Islam. Apakah kamu tidak menyukai surga jika kamu tidak mati sekarang suatu saat
nanti, akhirnya kamu akan mati juga”.

Setelah syahidnya ketiga panglima perang yang sebelumnya telah ditunjuk Rasulullah kaum
Muslimin kemudian menyepakati Khalid bin Walid menjadi panglima perang.

Imam Bukhari meriwayatkan dari Anas ra bahwa sebelum kaum Muslimin (di Madinah)
mendengar berita gugurnya tiga orang panglima mereka, Rasulullah SAW bersabda”Zaid
memegang panji kemudian gugur. Panji diambil oleh Ja‟far dan ia gugur. Panji itu diambil
oleh Ibnu Rawahah dan iapun gugur …”. Saat itu, beliau meneteskan air mata seraya
melanjutkan sabdanya ,”.. Akhirnya panji diambil oleh „Pedang Allah (Khalid bin Walid ) dan
akhirnya Allah mengaruniakan kemenangan bagi mereka (kaum Muslimin)”.

Dibawah pimpinan Khalid, bekas panglima perang Quraisy yang dikenal sebagai ahli strategi
nan tak terkalahkan ini, pasukan Muslim berhasil merubah keadaan. Begitu mendapat tanda
bahwa ia ditunjuk sebagai panglima, Khalid langsung menyerbu pasukan musuh dengan
gagah berani. Ia berhasil mengobarkan kembali semangat pasukannya hingga membuat
musuh kocar kacir.

Namun begitu malam tiba dan pertempuran dihentikan (ini adalah peraturan umum perang
yang berlaku ketika itu ) Khalid langsung menyusun strategi baru. Dengan strateginya ia
berhasil membuat pasukan musuh mundur. Ia mengubah posisi pasukan, yang tadinya di
sayap kanan dipindahkan ke sayap kiri dan sebaliknya. Sementara pasukan yang di depan
diputar sedemikian rupa dengan pasukan yang dibelakang.
Perubahan posisi yang menyerupai gelombang ini membuat pasukan musuh mengira bahwa
pasukan Muslim mendapat tambahan pasukan. Mereka menjadi khawatir, bila dengan
kekuatan yang jauh di bawah kekuatan mereka saja pasukan Muslim sulit untuk dikalahkan
apalagi dengan adanya tambahan. Karena rasa takutnya itu akhirnya mereka memutuskan
untuk mundur teratur tanpa menyadari bahwa sang panglima lebih senang lagi. Pasukan
Khalid bin Walid tidak mengejar musuh yang mundur karena menyadari bahwa kekuatan
mereka saat itu memang tidak mencukupi.

Maka pasukan Muslimpun kembali ke Madinah dengan membawa pampasan yang


ditinggalkan musuh begitu saja. Menjelang masuk kota, pasukan ini disambut oleh
Rasulullah dan anak-anak yang berhamburan menjemput mereka.

“Ambillah anak-anak dan gendonglah mereka. Berikanlah kepadaku anak Ja‟far!”,sabda


Rasulullah.
Kemudian terdengar orang-orang meneriaki pasukan Khalid,”Wahai orang-orang yang lari!
Kalian lari dari jalan Allah”.
Akan tetapi Rasulullah segera menimpali”Mereka tidak lari (dari medan perang) tetapi
mundur untuk menyerang balik, insya Allah”.

XXV. Penaklukkan Mekah (Fathu Makkah) (1).


Dalam perjanjian Hudaibiyah disebutkan bahwa setiap kabilah dan bani Arab memiliki hak
untuk memilih kepada siapa mereka berpihak, kepada Rasulullah atau kepada bani Quraisy.
Maka bani Khuza‟ahpun memilih untuk berdiri di pihak Rasulullah. Sementara bani Bakar
memilih bani Quraisy sebagai pihak yang didukungnya.

Suatu hari di tahun 8 H (630 M), orang-orang bani Bakar yang memang memusuhi bani
Khuza‟ah meminta bantuan Quraisy untuk memerangi musuhnya itu. Tanpa berpikir
panjang Quraisypun mengirim bantuannya. Dengan cara menyamar mereka berkomplot
mengepung perkampungan bani Khuza‟ah yang saat itu sedang tidur nyenyak. Orang-orang
bani Khuza‟ah sama sekali tidak mengira bahwa malam tersebut mereka akan diserang
pada malam hari. Pada peristiwa nahas tersebut, 20 orang Khuza‟ah terbunuh.

Keesokan harinya, segera Amr bin Salim al-Khuza‟ah bersama 40 orang dari bani Khuza‟ah,
dengan mengendarari kudanya pergi menemui Rasulullah memohon bantuan.

“Aku tidak akan ditolong jika aku tidak membantu sebagaimana aku menolong diriku
sendiri”, begitu tanggapan Rasulullah begitu menerima pengaduan tersebut.
”Jika mereka merusak sumpah (janji) nya sesudah mereka berjanji, dan mereka mencerca
agamamu, maka perangilah pemimpin-pemimpin orang-orang kafir itu, karena
sesungguhnya mereka itu adalah orang-orang yang tidak dapat dipegang janjinya, agar
supaya mereka berhenti”.(QS.At-Taubah(9):12).
Pihak Quraisy sendiri menyesali perbuatan ceroboh tersebut. Segera mereka mengutus Abu
Sufyan agar menemui Rasulullah guna meminta perpanjangan dan perbaruan genjatan
senjata. Namun Rasulullah tidak menanggapi permintaan tersebut. Maka Abu Sufyanpun
menemui Abu Bakar. Abu Bakarpun menolak, « Aku tidak bisa melakukannya ». Demikian
pula Umar bin Khattab yang kemudian ditemuinya setelah mendengar jawaban Abu Bakar.
“Apa? Aku harus membantumu menghadapi Rasulullah? Demi Allah, sekiranya aku tahu
engkau berbuat kesalahan walau sebutir pasir, tentu engkau kuperangi ».

Akhirnya Abu Sufyan terpaksa pulang tanpa membawa hasil.

Sementara itu diam-diam Rasulullah menyiapkan penyerangan. Beliau berdoa:” Ya Allah,


tutuplah mata orang-orang Quraisy agar mereka tidak melihatku kecuali secara tiba-
tiba”. (HR. Ibnu Ishaq dan Ibnu Saa‟d).

Rasulullah mengutus satuan pasukan sebanyak 80 orang menuju perkampungan antara Dzu
Khasyab dan Dzul Marwah. Hal ini dilakukan untuk mengecoh Quraisy agar tidak
mengetahui tujuan sebenarnya. Pada saat itulah Rasulullah tiba-tiba memerintahkan Ali bin
Abi Thalib bersama dua sahabat lain untuk segera mengejar seorang perempuan yang
berada di sebuah kebun bernama Khakh. Ali mendapat tugas untuk merampas surat yang
dibawa perempuan berkuda tersebut.

« Keluarkan surat yang kamu bawa ! », perintah Ali begitu ia berhasil menemukan
perempuan yang dimaksud Rasul. Mulanya perempuan tersebut menyangkal bahwa ia
membawa surat. Akan tetapi setelah Ali mengancamnya maka terpaksa ia mengeluarkan
surat yang disembunyikan di balik gulungan rambutnya itu.

Setelah itu segera Ali kembali ke hadapan Rasulullah dan menyerahkan surat tersebut.
Ternyata surat tersebut ditulis oleh Hatib bin Abi Balta‟ah, seorang shahabat Muhajirin. Ia
menujukkan surat tersebut kepada seorang Quraisy, mengabarkan bahwa Rasulullah SAW
sedang menuju Makkah untuk melakukan serangan mendadak. Dialah, Allah, Dzat Yang
Maha Melihat, yang kemudian mewahyukan kepada Nabi-Nya tentang apa yang dilakukan
Hatib.
Rasulullahpun segera memanggil Hatib dan meminta penjelasan tentang apa yang telah
dilakukannya itu.”Jangan terburu menuduhku wahai Rasulullah. Demi Allah, aku orang yang
beriman kepada Allah dan Rasul–Nya. Aku tidak murtad dan tidak mengubah agamaku.
Dulu aku adalah anak angkat di tengah Quraisy. Aku bukanlah apa-apa bagi mereka. Di
sana aku memiliki istri dan anak. Sementara tidak ada kerabatku yang bisa melindungi
mereka. Sementara orang-orang yang bersama anda memiliki kerabat yang bisa melindungi
mereka. Oleh karena itu, aku ingin ada orang yang bisa melindungi kerabatku di
sana”, begitu penjelasan Hatib.
Mendengar itu, sontak Umar bin Ibn-Khattab berkata: “Wahai Rasulullah, biarkan aku
memenggal lehernya, karena dia telah mengkhianati Allah dan Rasul-Nya serta bersikap
munafik.”
Namun dengan bijak, Rasulullah menjawab,”Sesungguhnya Hatib pernah ikut perang Badar
…”.

Akan tetapi tak lama kemudian turun ayat yang isinya teguran kepada orang yang suka
membocorkan rahasia Rasulullah, seperti apa yang diperbuat Hatib.

“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu
menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka (berita-berita
Muhammad), karena rasa kasih sayang; padahal sesungguhnya mereka telah ingkar kepada
kebenaran yang datang kepadamu, mereka mengusir Rasul dan (mengusir) kamu karena
kamu beriman kepada Allah, Tuhanmu. Jika kamu benar-benar keluar untuk berjihad pada
jalan-Ku dan mencari keridhaan-Ku (janganlah kamu berbuat demikian). Kamu
memberitahukan secara rahasia (berita-berita Muhammad) kepada mereka, karena rasa
kasih sayang. Aku lebih mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu
nyatakan. Dan barangsiapa di antara kamu yang melakukannya, maka sesungguhnya dia
telah tersesat dari jalan yang lurus”.(QS.Al-Mumtahanah(60):1).

Selanjutnya, pada tanggal 10 Ramadhan tahun ke 8 H, dengan membawa 10 ribu Muslimin,


Rasulullah meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Di lain pihak, meski orang-orang
Quraisy belum mengetahui rencana Rasulullah, dengan gagalnya misi Abu Sufyan, mereka
telah memperkirakan penyerangan tersebut. Untuk memastikan hal itu, maka mereka
mengutus Abu Sufyan, Hakim bin Hizzam dan Badil bin Warqa untuk menyelidiki apa yang
dilakukan kaum Muslimin.
Hingga di suatu tempat di sekitar Zhahran, mereka melihat obor api yang sangat besar.
Sebelum mereka menyadari bahwa itu adalah rombongan kaum Muslimin dibawah pimpinan
Rasulullah, para pengawal telah menangkap ketiganya. Maka keesokan harinya, ketiga
orang Quraisy tersebutpun memeluk Islam.

Ibnu Ishaq berkata,: Diriwayatkan dari Abbas tentang rincian Islamnya Abu
Sufyan,”Keesokan harinya, aku bawa Abu Sufyan menghadap Rasulullah SAW. Setelah
melihatnya, Rasulullah berkata,”Celaka engkau, wahai Abu Sufyan. Tidakkah tiba saatnya
bagi anda untuk mengetahui sesungguhnya tidak ada Ilah kecuali Allah ?”Abu Sufyan
menyahut,”Alangkah penyantunnya engkau, alangkah mulianya engkau dan alangkah
baiknya engkau! Demi Allah, aku telah yakin seandainya ada Ilah selain Allah niscaya dia
telah membelaku”. Nabi SAW bertanya lagi,” Tidakkah tiba saatnya bagi anda untuk
mengetahui bahwa aku adalah Rasul Allah?”Abu Sufyan menyahut,”Sungguh engkau sangat
penyantun, pemurah dan suka menyambung tali keluarga. Demi Allah, mengenai hal yang
satu ini sampai sekarang di dalam diriku masih ada sesuatu yang mengganjal”. Abbas
menukas,: “Celaka ! Masuk Islamlah dan bersaksilah tiada Ilah kecuali Allah dan
Muhammad adalah Rasul Allah sebelum aku penggal lehermu”. Abu Sufyan kemudian
mengucapkan syahadat dengan benar dan masuk Islam”.

Hadist diatas mencerminkan bahwa Abu Sufyan, dedengkot musuh Islam itu,
sesungguhnya mengakui bahwa tiada Tuhan selain Allah. Ia juga mengakui bahwa
Muhammad, ponakannya itu, adalah orang yang patut menjadi panutan karena beliau
adalah seorang yang baik hatinya, penyantun, pemurah dan suka menyambung tali
silaturahmi. Namun demikian ia masih belum dapat mengakuinya sebagai utusan karena
menurutnya ada sesuatu yang masih mengganjal meski ia sendiri tidak tahu apa ganjalan
tersebut.

Itu sebabnya, Abbas yang merupakan sahabat karib Abu Sufyan, mendesaknya agar segera
berikrar. Karena ia tahu bahwa ganjalan tersebut bukanlah hal utama. Islam memang
mengajarkan bahwa untuk memeluk Islam (tunduk ) seseorang tidak harus telah memiliki
keimanan yang tinggi. Karena keimanan itu akan tumbuh dan berproses seiring dengan
berjalannya waktu dan pengetahuan, atas izin-Nya.

“Orang-orang Arab Badwi itu berkata:”Kami telah beriman”. Katakanlah (kepada


mereka):”Kamu belum beriman, tetapi katakanlah:”Kami telah tunduk”, karena iman itu
belum masuk ke dalam hatimu dan jika kamu ta`at kepada Allah dan Rasul-Nya, Dia tiada
akan mengurangi sedikitpun (pahala) amalanmu; sesungguhnya Allah Maha Pengampun
lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Hujurat(49):14).

Itu pula sebabnya, pada saat peperangan, seorang Mukmin tidak boleh menganggap
Islamnya seseorang yang tadinya kafir di tengah pertempuran hanya sekedar rasa takut
atau ingin mendapatkan rampasan perang meski dari luar tampaknya memang demikian.

“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu pergi (berperang) di jalan Allah, maka
telitilah dan janganlah kamu mengatakan kepada orang yang
mengucapkan”salam”kepadamu:”Kamu bukan seorang mu‟min”(lalu kamu membunuhnya),
dengan maksud mencari harta benda kehidupan di dunia, karena di sisi Allah ada harta
yang banyak. Begitu jugalah keadaan kamu dahulu, lalu Allah menganugerahkan ni`mat-
Nya atas kamu, maka telitilah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu
kerjakan”. (QS. An-Nisa(4):94).

Abu Sufyan, sebagai orang Quraisy yang awalnya sangat membenci dan memusuhi Islam
serta memeluk Islam karena ancaman Abbas membuktikan hal tersebut. Setelah
penaklukkan Mekah, ia ikut berperang beberapa kali. Pada peristiwa pengepungan Tha‟if ia
kehilangan salah satu matanya.

Rasulullah SAW kemudian bertanya,:”Yang manakah yang engkau lebih inginkan, sebuah
mata di surga atau aku berdoa kepada Allah agar matamu dikembalikan sekarang?”.
Ternyata Abu Sufyan lebih memilih sebuah mata di surga. Kemudian pada perang
berikutnya, yaitu perang Yarmuk yang terjadi 6 tahun setelah penaklukkan Mekah, ia
bahkan kehilangan matanya yang keduanya. Selama 14 tahun setelah peristiwa itu, Abu
Sufyan tetap dalam keislamannya hingga akhir hayatnya.
Kembali ke peristiwa masuk Islamnya Abu Sufyan. Tak lama setelah Abu Sufyan
bersyahadat, Abbas yang adalah juga salah satu paman Rasul itu, berkata:”Ya Rasul, Abu
Sofyan adalah orang yang senang dengan kebanggaan. Karena itu berikan sesuatu
kepadanya.”
“Ya. Aku sudah memikirkan hal itu. Untuk itu, siapa saja yang memasuki rumah Abu
Sufyan, maka ia aman, siapa saja yang menutup pintu rumahnya, maka ia aman. Dan siapa
saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka ia aman.”
XXV.Penaklukkan Mekah (Fathu Makkah) (2).
“Siapa saja yang memasuki rumah Abu Sufyan, maka ia aman, siapa saja yang menutup
pintu rumahnya, maka ia aman. Dan siapa saja yang memasuki Masjid al-Haram, maka ia
aman”.

Ya, itulah yang dikatakan Rasulullah kepada Abu Sufyan agar disampaikan kepada orang-
orang Quraisy Mekah yang akan beliau masuki beberapa saat lagi. Ini adalah cara
Rasulullah menghindari perang antar saudara. Rasulullah hendak menaklukkan Mekah
dengan Ka‟bahnya bukan karena nafsu perang melainkan demi meluruskan kembali ajaran
Ibrahim yang berabad-abad lamanya telah diselewengkan.

Setelah Abu Sufyan dan 2 kawannya yang diserahi memata-matai kaum Muslimin
tertangkap, Rasulullah segera meneruskan perjalanan menuju Mekah. Akan tetapi sebelum
berangkat, beliau berpesan kepada Abbas bin Abdul Muthalib, paman yang dicintai sekaligus
sahabat Abu Sufyan yang baru saja memeluk Islam, agar menahan sahabatnya itu di mulut
lembah yang akan dilalui pasukan Muslim. Rasulullah memang bermaksud
mempertontonkan kekuatan dan kebesaran pasukan tersebut kepada pemimpin Quraisy
yang disegani masyarakatnya itu.

“Kalau begitu, alangkah mulianya”, ungkap Abu Sufyan dengan yakin. Sekarang ia mulai
mantap dengan status keislamannya.

Demikianlah Ibnu Sa‟ad, Ibnu Ishaq, Ibnu Jurair juga Bukhari meriwayatkan kekaguman
Abu Sufyan akan kebesaran Islam. Meski sebenarnya malam sebelum berikrarpun ia telah
terkagum-kagum dengan pasukan Islam yang pada malam yang dingin itu sedang
melaksanakan wudhu sebelum shalat.

Riwayat di atas juga mengandung hikmah bahwa apa yang disangka Abu Sufyan kerajaan
itu tidak sama dengan kenabian. Nyaris 22 tahun lamanya Rasulullah berjuang menegakkan
agama Islam, bukan kerajaan. Jika hanya sekedar kekuasaan dan kerajaan sebenarnya
Rasulullah dapat meraihnya tanpa perlu berhijrah ke Madinah. Para pemuka Quraisy
sendirilah yang ketika itu menawarkannya kepada Rasulullah, saking gemasnya melihat
kekerasan hati Rasulullah dalam berdakwah menuju Islam.

Selanjutnya Abbas berkata,:”Selamatkanlah kaummu !”. Maka Abu Sufyanpun segera pergi
ke Mekah sebelum Rasulullah dan pasukan Islam memasukinya. Dengan suara nyaring, ia
berteriak:”Wahai orang-orang Quraisy, Muhammad datang kepada kalian membawa
pasukan yang tidak mungkin dapat kalian atasi. Karena itu barang siapa memasuki rumah
Abu Sufyan, maka ia aman, barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman.
Dan barang siapa memasuki Masjid al-Haram, maka ia aman.”
Mendengar itu, istri Abu Sufyan, Hindun binti Uthbah, memarahinya”Alangkah buruknya
perbuatanmu sebagai pemimpin”. Abu Sufyan menegaskan”Celakalah kalian kalau bertindak
menuruti hawa nafsu. Muhammad datang kepada kalian membawa pasukan yang tidak
mungkin dapat kalian tandingi”.
Sementara orang-orang Quraisy mencemoohnya ,”Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apa
gunanya rumahmu bagi kami?”. Lalu Abu Sufyan menyahut:”Barangsiapa menutup pintu
rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa memasuki Masjid al-Haram, maka ia aman”.

Menyadari bahwa pemimpin mereka tidak main-main, akhirnya merekapun berlarian,


sebagian pulang ke rumah menutup pintu dan sebagian lain berlindung ke Masjidil Haram.
Sementara itu Rasulullah telah makin mendekati Mekah. Beliau memasuki kota ini dari
dataran tinggi Kida dan memerintahkan pasukan pimpinan Khalid bin Walid masuk melalui
dataran rendah Kida.

Bukhari meriwayatkan dari Mu‟awiyah bin Qurrah, ia berkata,”Aku pernah mendengar


Abdullah bin Mughaffal berkata, „Aku melihat Rasulullah pada waktu Fath-Makkah berada
diatas untanya seraya membaca surat Al-Fath berulang-ulang dengan bacaan yang merdu
sekali. Sabda beliau,”Seandainya orang-orang tidak berkerumun di sekitarku, niscaya aku
akan membacanya berulang-ulang”.

Maka pasukan demi pasukanpun berjalan melewati Abu Sufyan. Tercengang ia dibuatnya
hingga ia merinding ketakutan.

“Abbas, siapakah mereka itu?”


“Mereka itu kabilah Sulaim”, jawab Abbas.
“Apa urusanku dengan kabilah Sulaim?!”komentar Abu Sufyan.

Kabilah lainpun lewat. Abu Sufyan bertanya lagi dengan pertanyaan yang sama.

“Mereka kabilah Muzainah,”Abbas menjawab lagi.


“Apa urusanku dengan Kabilah Muzainah?!”
Begitulah seterusnya hingga setiap kabilah lewat. Terakhir, pasukan Rasulullah yang
berwarna hijaupun melewatinya. Abu Sufyan menatap tanpa berkedip. Mereka semua
dilindungi baju besi.

“Subhanallah, Abbas! Siapa mereka itu?”


“Itu Rasul bersama Muhajirin dan Anshar.”
“Tidak ada seorang pun yang mampu menghadapi kekuatan mereka. Demi Allah, hai Abu
Fadhal, kemenakanmu kelak akan menjadi maharaja besar ….”.
“Hai Abu Sufyan, itu bukan kerajaan, melainkan kenabian”, tukas Abbas.
“Kalau begitu, alangkah mulianya”, ungkap Abu Sufyan dengan yakin. Sekarang ia mulai
mantap dengan status keislamannya.

Demikianlah Ibnu Sa‟ad, Ibnu Ishaq, Ibnu Jurair juga Bukhari meriwayatkan kekaguman
Abu Sufyan akan kebesaran Islam. Meski sebenarnya malam sebelum berikrarpun ia telah
terkagum-kagum dengan pasukan Islam yang pada malam yang dingin itu sedang
melaksanakan wudhu sebelum shalat.

Riwayat di atas juga mengandung hikmah bahwa apa yang disangka Abu Sufyan kerajaan
itu tidak sama dengan kenabian. Nyaris 22 tahun lamanya Rasulullah berjuang menegakkan
agama Islam, bukan kerajaan. Jika hanya sekedar kekuasaan dan kerajaan sebenarnya
Rasulullah dapat meraihnya tanpa perlu berhijrah ke Madinah. Para pemuka Quraisy
sendirilah yang ketika itu menawarkannya kepada Rasulullah, saking gemasnya melihat
kekerasan hati Rasulullah dalam berdakwah menuju Islam.

Selanjutnya Abbas berkata,:”Selamatkanlah kaummu !”. Maka Abu Sufyanpun segera pergi
ke Mekah sebelum Rasulullah dan pasukan Islam memasukinya. Dengan suara nyaring, ia
berteriak:”Wahai orang-orang Quraisy, Muhammad datang kepada kalian membawa
pasukan yang tidak mungkin dapat kalian atasi. Karena itu barang siapa memasuki rumah
Abu Sufyan, maka ia aman, barang siapa menutup pintu rumahnya, maka ia aman.
Dan barang siapa memasuki Masjid al-Haram, maka ia aman.”
Mendengar itu, istri Abu Sufyan, Hindun binti Uthbah, memarahinya”Alangkah buruknya
perbuatanmu sebagai pemimpin”. Abu Sufyan menegaskan”Celakalah kalian kalau bertindak
menuruti hawa nafsu. Muhammad datang kepada kalian membawa pasukan yang tidak
mungkin dapat kalian tandingi”.
Sementara orang-orang Quraisy mencemoohnya ,”Celakalah engkau, hai Abu Sufyan! Apa
gunanya rumahmu bagi kami?”. Lalu Abu Sufyan menyahut:”Barangsiapa menutup pintu
rumahnya, maka ia aman. Dan barang siapa memasuki Masjid al-Haram, maka ia aman”.

Menyadari bahwa pemimpin mereka tidak main-main, akhirnya merekapun berlarian,


sebagian pulang ke rumah menutup pintu dan sebagian lain berlindung ke Masjidil Haram.
Sementara itu Rasulullah telah makin mendekati Mekah. Beliau memasuki kota ini dari
dataran tinggi Kida dan memerintahkan pasukan pimpinan Khalid bin Walid masuk melalui
dataran rendah Kida.

Bukhari meriwayatkan dari Mu‟awiyah bin Qurrah, ia berkata,”Aku pernah mendengar


Abdullah bin Mughaffal berkata, „Aku melihat Rasulullah pada waktu Fath-Makkah berada
diatas untanya seraya membaca surat Al-Fath berulang-ulang dengan bacaan yang merdu
sekali. Sabda beliau,”Seandainya orang-orang tidak berkerumun di sekitarku, niscaya aku
akan membacanya berulang-ulang”.
“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu kemenangan yang nyata. supaya Allah
memberi ampunan kepadamu terhadap dosamu yang telah lalu dan yang akan datang serta
menyempurnakan ni`mat-Nya atasmu dan memimpin kamu kepada jalan yang lurus dan
supaya Allah menolongmu dengan pertolongan yang kuat (banyak)”.
“Dia-lah yang telah menurunkan ketenangan ke dalam hati orang-orang mu‟min supaya
keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada). Dan
kepunyaan Allah-lah tentara langit dan bumi dan adalah Allah Maha Mengetahui lagi Maha
Bijaksana supaya Dia memasukkan orang-orang mu‟min laki-laki dan perempuan ke dalam
surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya dan supaya Dia
menutupi kesalahan-kesalahan mereka. Dan yang demikian itu adalah keberuntungan yang
besar di sisi Allah”,(QS. Al-Fath(48):1-5).

Rasulullah berpesan kepada pasukannya agar menghindari sebanyak mungkin korban.


Hanya 6 orang lelaki dan 4 perempuan yang beliau perintahkan agar dibunuh dimanapun
mereka berada. Mereka itu adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Habbar bin al-Aswad, Abdullah bin
Sa‟ad bin Abu Sarah, Muqis bin Dhahabah al-Laitsi, Huwairits bin Nuqaid dan Abdullah bin
Hilal. Sedangkan yang perempuan adalah Hindun binti Uthbah, Sarah, Fartanai dan Qarinah.
Ke 10 orang ini adalah orang-orang kejam yang sangat membenci Islam dan harus dihukum
mati.
Maka dalam waktu yang relatife singkat, pasukan Islampun berhasil menaklukkan Mekah
dan Ka‟bahnya tanpa banyak perlawanan kecuali pasukan Khalid. Pasukan ini akhirnya
menang setelah memakan korban 24 orang Quraisy. Jumlah yang teramat sedikit bagi
hitungan perang dimana pasukan Islam mengirimkan 10 ribu orang pasukan. Itupun
tampak bahwa Rasulullah tidak senang ketika melihat kilatan pedang di kejauhan. Namun
ketika beliau mendapat penjelasan bahwa itu adalah pasukan Khalid yang membalas
serangan musuh, beliaupun hanya berkomentar:”Ketentuan Allah selalu baik”.
Rasulullah langsung menuju Ka‟bah. Di sekitar tempat tersebut terdapat 360 berhala.
Dengan mengucap”Kebenaran telah tiba dan lenyaplah kebathilan. Kebenaran telah tiba
dan kebathilan tak akan kembali lagi”, Rasulullah mengayunkan pentungan dan
menghancurkannya satu persatu. Demikian pula berhala-berhala yang ada di dalam Ka‟bah,
semua dikeluarkan sebelum Rasulullah memasukinya. Beliau bertakbir disudut-sudut Ka‟bah
kemudian keluar.

Ketika Rasulullah hendak mengembalikan kunci pintu Ka‟bah kepada Utsman bin Thalhah,
Ali bin Abi Thalib, menantu Rasulullah, memohon agar kunci rumah suci tersebut diserahkan
kepadanya. Namun atas perintah Allah SWT melalui Jibril as, Rasulullah tetap
menyerahkannya kepada Utsman. Rasulullah tidak memindahkan hak tersebut karena itu
memang perintah Sang Khalik.

“Terimalah kunci ini untuk selamanya. Bukan aku yang menyerahkan kepada kalian tetapi
Allah menyerahkannya kepada kalian. Sesungguhnya tak seorangpun akan mencabutnya
(hak memegang kunci Ka‟bah) kecuali orang yang zalim”.

Tak lama kemudian turun ayat yang tertera di kain penutup Ka‟bah hingga saat ini:

“Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak


menerimanya, dan (menyuruh kamu) apabila menetapkan hukum di antara manusia supaya
kamu menetapkan dengan adil. Sesungguhnya Allah memberi pengajaran yang sebaik-
baiknya kepadamu. Sesungguhnya Allah adalah Maha Mendengar lagi Maha
Melihat”.(QS.An-Nisa(4):58).

Utsman memang adalah pemegang kunci Ka‟bah secara turun temurun sejak zaman nabi
Ismail as. Ia keturunan bani Thalhah. Namun setelah ia wafat, kunci kini dipegang oleh
keturunan anak bapaknya, yaitu bani Syaibah, hingga detik ini. Setelah itu Rasulullah
thawaf kemudian memerintahkan Bilal naik ke atas Ka‟bah untuk mengumandangkan adzan
shalat. Orang-orang kemudian berduyun-duyun masuk ke dalam agama Allah.

“Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk
agama Allah dengan berbondong-bondong maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan
mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat”.(QS.An-
Nasr(110):1-3).

XXV.Penaklukkan Mekah (Fathu Makkah) (3).


Ibnu Ishaq berkata,”Setelah orang-orang berkumpul di sekitarnya, nabi SAW sambil
memegang kedua penyangga pintu Ka‟bah mengucapkan khutbah kepada mereka,
“Tiada Ilah kecuali Allah semata. Tidak ada sekutu bagi-Nya. Dialah (Allah) yang menepati
janji-Nya, memenangkan hamba-Nya (Muhammad) dan mengalahkan musuh-musuh
sendirian. Sesungguhnya segala macam balas dendam, harta dan darah semuanya berada
di bawah kedua kakiku ini kecuali penjaga Ka‟bah dan pemberi air minum kepada jamaah
haji. Wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya, Allah telah mencabut dari kalian kesombongan
jahiliyah dan mengagungkan dengan keturunan. Semua orang berasal dari Adam dan Adam
itu berasal dari tanah”.

Rasulullah meneruskan sabdanya:

“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
kenal mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah
orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi
Maha Mengenal”.(QS.Al-Hujurat(49):13).
Selanjutnya nabi SAW bertanya:”Wahai kaum Quraisy! Menurut pendapat kalian, tindakan
apakah yang hendak kuambil terhadap kalian?”
“Tentu yang baik baik! Hai saudara yang mulia dan putra saudara yang mulia”,jawab
mereka.
Rasulullah lalu bersabda,:”Pergilah kalian semua, kalian bebas !”

Begitu pula sebagian orang yang mulanya telah dipastikan harus dibunuh pada awal
penaklukkan Mekah. Sebagian lain terlanjur dibunuh dalam perlawanan dengan Khalid.
Mereka yang bebas adalah Ikrimah bin Abu Jahal, Habbar bin al-Aswad, Abdullah bin Sa‟ad
bin Abu Sarah dan Hindun binti Uthbah, perempuan istri Abu Sufyan yang mengaduk-
ngaduk isi perut Hamzah, paman Rasulullah. Padahal ketika itu Rasulullah begitu sedih dan
marah mengetahui paman tercinta itu dianiaya dan bersumpah akan membalas perbuatan
biadab tersebut. Di kemudian hari, orang-orang yang telah dibebaskan tersebut
membuktikan bahwa mereka bisa menjadi Muslim yang baik.

Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Abu Syuraih al-Adwi bahwa Nabi SAW bersabda di
dalam khutbahnya pada waktu fat-hu Makkah:”Sesungguhnya Makkah telah diharamkan
oleh Allah, bukan manusia yang mengharamkannya, tidak boleh bagi seorang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir menumpahkan darah dan mencabut pohon di Makkah.
Seandainya ada orang yang berdalih bahwa Rasulullah SAW pernah melakukan peperangan
di Makkah, maka katakanlah kepadanya:”Sesungguhnya Allah mengijinkan bagi Rasul-Nya
tetapi tidak mengijinkan kepadanya (Nabi SAW) hanya sebentar.
Sekarang”keharaman”telah kembali lagi sebagaimana sebelumnya. Hendaklah yang
menyaksikan menyampaikan kepada yang tidak hadir“.

Kemudian Rasulullah membaiat kaum lelaki agar senantiasa mendengar dan taat kepada
Allah dan Rasul-Nya.

“Barangsiapa yang menta`ati Rasul itu, sesungguhnya ia telah menta`ati Allah. Dan
barangsiapa yang berpaling (dari keta`atan itu), maka Kami tidak mengutusmu untuk
menjadi pemelihara bagi mereka”. (QS.An-Nisa(4):80).

Setelah itu giliran kaum perempuan yang berbaiat. Rasulullah bersabda:

“Hendaklah kalian berbai„at kepadaku untuk tidak mempersekutukan Allah dengan sesuatu
apapun. Tidak akan mencuri, tidak akan berzina dan tidak akan membunuh anak-anak
kalian. Juga tidak berbohong untuk menutup-nutupi apa yang ada di depan atau di belakang
kalian:”
Kemudian Rasulullah SAW berkata kepada Umar ra:”Bai„atlah mereka”.
Bukhari meriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata: Adalah Nabi SAW membai„at kaum wanita
secara lisan (saja) dengan ayat ini:”Tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu
apapun.”Selanjutnya Aisyah ra menjelaskan:”Tangan Rasulullah SAW tidak menyentuh
tangan wanita sama sekali kecuali wanita yang telah halal baginya“. Muslim meriwayatkan
hadits yang serupa dengan ini dari Aisyah ra.

Peristiwa pembaitan kaum perempuan diatas inilah yang kemudian menjadi dasar tidak
perlunya jabat tangan antara kaum lelaki dan kaum perempuan kecuali muhrimnya. Banyak
peristiwa menarik di seputar penaklukkan Mekah yang dapat dijadikan acuan dan dasar
pertimbangan dalam Islam. Jabat tangan sebagaimana kasus diatas, pelarangan
pertumpahan darah dan penebangan pohon di kota Mekah, pelarangan gambar dan berhala
di masjid adalah diantaranya.

Ibnu Hisyam meriwayatkan bahwa Fadhalah bin Umair al-Laitsi bermaksud ingin membunuh
Nabi SAW pada saat beliau sedang thawaf di Ka„bah di hari Fat-hu Makkah. Ketika Fadhalah
mendekat tiba-tiba Rasulullah SAW mengatakan:”Apakah ini Fadhalah?”Ia menjawab:”Ya,
saya Fadhalah wahai Rasulullah SAW.”Nabi SAW bertanya:”Apa yang sedangkau
pikirkan?”Ia menjawab:”Tidak memikirkan apa-apa, aku sedang teringat Allah kok.”Sambil
tersenyum Rasulullah SAW berkata:”Mohonlah ampun kepada Allah …”Kemudian Nabi SAW
meletakkan tangannya di atas dadanya sehingga hatinya menjadi tenang. Fadhalah
berkata:”Begitu beliau melepaskan tangan dari dadaku, aku merasa tak seorang pun yang
lebih aku cintai daripada beliau.“

Begitulah Mekah, kota kelahiran Rasulullah dimana rumah suci tertua didunia berdiri,
akhirnya kembali ke pelukan Islam, setelah berabad-abad lamanya diselewengkan. Tidak itu
saja. Rasulullah Muhammad SAW, atas izin Sang Pemilik, tidak hanya berhasil
mengembalikan kedudukan kota yang tinggi namun juga berhasil mengajak seluruh
penduduknya agar kembali menyembah hanya kepada Allah SWT, Allah Azza wa Jalla,
Tuhan Yang Satu. Rasulullah berada di Mekkah selama 19 hari. Setelah itu beserta
pasukannya beliau kembali ke Madinah.

XXVI. Perang Hunain.


Perang yang terjadi sebulan setelah penaklukkan Mekkah ini terjadi karena rasa tidak
senang pemimpin suku Hawazin dan suku Tsaqif terhadap kemenangan pasukan Islam.
Dalam pandangan para pemimpin kedua suku yang menempati daerah sekitar Mekkah ini,
kemenangan Islam bakal mengancam kedudukan mereka sebagai pemimpin yang selama
ini sangat dihormati masyarakatnya.

Maka pada suatu hari, Malik bin Auf, seorang tokoh Hawazin, menghimpun seluruh
kekuatan yang dimiliki berupa harta kekayaan, kaum perempuan dan anak-anak
mereka untuk berkumpul di Authas, tempat antara Mekkah dan Tha‟if, untuk memerangi
Islam. Rasulullah menyambut tantangan tersebut dengan memberangkatkan pasukan besar
berjumlah 12.000 orang, yang terdiri dari 10.000 penduduk Madinah dan 2.000 penduduk
Mekah.
Namun di suatu pagi yang masih gelap ketika pasukan Islam tiba di lembah Hunain tiba-tiba
mereka dikejutkan oleh serangan mendadak pasukan musyrik. Pasukan ini keluar dari
persembunyian rahasia mereka di lorong-lorong lembah yang dilalui pasukan Islam.
Serangan mendadak ini ternyata mampu membuat pasukan yang sebagian besarnya baru
saja memeluk Islam menjadi bubar dan lari tunggang langgang.

Muslim meriwayatkan dari Abbas ra, katanya:”Aku ikut bersama Rasulullah SAW dalam
perang Hunain. Aku bersama Abu Sofyan bin Al-Harits bin Abdul Muthalib berada di atas
baghal putihnya ketika kaum Muslimin lari mundur terbirit-birit. Kemudian Rasulullah SAW
mengarahkan baghalnya menuju ke arah orang-orang kafir.”Abbas ra berkata:”Aku
memegangi tali kekang baghal sementara Rasulullah SAW menahannya agar tidak terlalu
cepat. Sedangkan Abu Sofyan memegangi pelananya. Nabi SAW lalu bersabda:”Panggillah
Ash-habus Samrah (para sahabat yang pernah melakukan baiat Ridhwan pada tahun
Hudaibiyah).“Kemudian aku panggil dengan suaraku yang keras:”Wahai Ash-habus
Samrah!“Abbas berkata:”Demi Allah, begitu mendengar teriakan itu, mereka segera
kembali seperti sapi yang datang memenuhi panggilan anaknya, seraya berkata:”Kami
sambut seruanmu, kami sambut seruanmu!“. Kemudian mereka maju bertempur dengan
seruan:”Wahai orang-orang Anshar!”Rasulullah SAW memperhatikan pertempuran seraya
berkata:”Sekarang pertempuran berkecamuk.“, lalu beliaupun mengambil batu-bati kerikil
dari tanah dan melemparkannya ke arah wajah orang-orang kafir seraya
berkata:”Musnahlah kalian demi Rabb Muhammad!“.

Pertempuran sengitpun tak dapat terhindarkan. Bahkan sejumlah kaum perempuan ikut
terlibat dalam peperangan ini. Ummu Sulaim binti Milhan terlihat berada disamping
suaminya, Abu Thalhah, sambil membawa belati. Ia bersiaga dan siap menusukkannya ke
tubuh orang musrik yang berusaha mendekatinya. Dalam peperangan ini pasukan Islam
hanya didukung sekitar 200 orang sahabat Anshar karena sebagian besar telah bubar.
Mereka yang bubar sebagian besar adalah penduduk Mekah yang baru saja meng-ikrarkan
keislamannya. Dari sini tampak jelas bahwa keimanan belum benar-benar meresap kedalam
sanubari. Ironisnya, hal ini ternyata cukup mampu menularkan saudara-saudara mereka
yang telah lebih dulu berislam hingga mereka ikut takut bertempur.

Beruntung kemudian Allah memasukkan rasa gentar ke dalam hati musuh. Kaum musryik
akhirnya kalah dan lari terbirit-birit meninggalkan medan pertempuran dan harta benda
yang melimpah. Malik bin Auf sendiri bersama sejumlah pendukungnya berhasil melarikan
diri ke Thaif dan berlindung di benteng-benteng mereka.

Rasulullah segera memerintahkan untuk mengumpulkan para tawanan dan harta rampasan
perang. Barang-barang rampasan perang tersebut kemudian disimpan di Ji‟ranah dan dijaga
oleh Mas‟ud bin Amr al-Ghiffari. Selanjutnya bersama para sahabat Rasulullah mengejar
Malik dan kawan-kawannya ke Thaif. Selama 10 hingga 20 hari, Rasulullah mengepung
benteng-benteng tersebut. Terjadi perlawanan sengit hingga jatuhlah beberapa korban.

Akhirnya Rasulullah memutuskan untuk meninggalkan lokasi. Abdullah bin Amr


meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW mengumumkan kepada para sahabatnya,”Kita
berangkat, insya Allah”. Sebagian sahabat bertanya,”Kita pergi sebelum berhasil
menaklukkannya?”. Nabi SAW bersabda,”Jika kalian suka, perangilah mereka”. Merekapun
kemudian memeranginya sampai ada yang terluka. Sementara Rasulullah SAW mengatakan
kepada mereka,” Besok kita berangkat”. Pengumuman ini sangat mengherankan mereka
tetapi Rasulullah SAW hanya membalas dengan senyuman. (HR. Bukhari Muslim).
Di tengah perjalanan, Rasulullah bersabda,”Katakanlah! Kami kembali,bertobat,
beribadah dan bertasbih kepada Rabb kami”. Sebagian sahabat yang tidak puas
berkata:”Wahai Rasulullah, berdoalah untuk kehancuran Tsaqif!”Namun sebaliknya
Rasulullah malah berdoa”Ya Allah, tunjukilah Tsaqif dan datangkanlah mereka”.

Sungguh, betapa mulianya Rasulullah itu. Berkat rasa kasih sayangnya beliau mampu
menghilangkan kenangan dan sakit hati yang pernah dirasakannya ketika beberapa tahun
yang lalu penduduk Thaif mengusir dan melemparinya dengan batu. Semua itu hanya
karena beliau tidak ingin penduduk kota berhawa sejuk ini ditimpa kemurkaan-Nya. Beliau
sama sekali tidak mengharapkan upah ataupun balasan dari mereka. Semata-mata hanya
balasan ridho Allah yang diharapkan beliau.

“Katakanlah:”Aku tidak meminta upah sedikitpun kepada kamu dalam menyampaikan


risalah itu, melainkan (mengharapkan kepatuhan) orang-orang yang mau mengambil jalan
kepada Tuhannya. Dan bertawakkallah kepada Allah Yang Hidup (Kekal) Yang tidak mati,
dan bertasbihlah dengan memuji-Nya. Dan cukuplah Dia Maha Mengetahui dosa-dosa
hamba-hamba-Nya,”(QS.Al-Furqan(25):57-58).

Maka Sang Khalikpun mengabulkan doa kekasih-Nya. Tak lama kemudian beberapa
penduduk Tsaqif datang menemui Rasulullah dan menyatakan keislaman mereka. Kemudian
mereka kembali. Sementara itu, di Ji‟ranah, Rasulullah beristirahat sambil menunggu
kedatangan Amr bin Auf dan pendukungnya. Setelah sepuluh hari menanti, datanglah yang
ditunggu-tunggu itu. Namun ternyata mereka adalah kaum Muslimin yang baru beberapa
hari lalu berikrar. Mereka diutus untuk meminta dikembalikannya tawanan dan harta
rampasan perang.

Rasulullah menjawab permohonan tersebut”Pilihlah salah satu, harta atau tawanan.


Sesungguhnya aku sengaja menunda pembagian pampasan karena mengharap keislaman
kalian”. Kemudian Rasulullah mempersilahkan mereka untuk kembali dan membicarakan
hal tersebut kepada pemimpin mereka.
Tak lama kemudian mereka kembali dan memilih tawananlah yang dikembalikan kepada
mereka. Rasulpun menepati janji beliau. Rasulullah mengembalikan para tawanan seraya
bersabda:”Beritahukan kepada pemimpin kalian. Jika dia mau datang menyatakan diri
masuk Islam aku akan mengembalikan seluruh harta dan keluarganya. Bahkan akan aku
tambahkan seratus unta”.

Dengan cara itulah datang hidayah kepada Malik bin Auf. Ia datang dan menyatakan
keislamannya. Rasulullahpun memenuhi janjinya dan sejak saat itu Malik membuktikan
keislamannya itu dengan baik. Lalu Rasulullah dan rombongan kembali ke Mekah. Di kota
yang baru ditaklukkanya ini Rasululullah kemudian membagikan ghanimah (pampasan
perang) kepada para mualaf, penduduk Mekah yang baru masuk Islam. Ini dimaksudkan
untuk menundukkan dan mengikat hati mereka kepada Islam.

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin,


pengurus-pengurus zakat, para mu‟allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan)
budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah; dan Allah Maha Mengetahui
lagi Maha Bijaksana”.(QS.At-Taubah (9):60).
Namun ternyata hal ini memancing kecemburuan sebagian kaum Anshar.”Semoga Allah
mengampuni Rasulullah. Dia memberi Quraisy dan membiarkan kita padahal pedang-
pedang kita masih meneteskan darah mereka”.

Betapa sedihnya Rasulullah mendengar berita ini. Beliau tidak menyangka bahwa kaum
Anshar yang begitu tinggi keimanan dan amat dicintainya ternyata menyimpan rasa
cemburu terhadap harta benda keduniawian. Maka Rasulpun mengumpulkan mereka dan
berkhutbah khusus dihadapan orang-orang yang dicintainya itu.
“Hai kaum Anshar, apakah kalian jengkel karena tidak menerima sejumput sampah
keduniaan yang tidak ada artinya? Dengan „sampah‟ itu, aku hendak menjinakkan suatu
kaum yang baru saja memeluk Islam. Hai kaum Anshar, apakah yang kalian tidak puas
melihat orang lain pulang membawa kambing dan unta sedangkan kalian pulang membawa
Rasul Allah? Demi Allah, apa yang kalian bawa pulang itu lebih baik daripada apa yang
mereka bawa. Demi Allah yang nyawa Muhammad berada di tangan-Nya, kalau bukan
karena hijrah niscaya aku menjadi salah seorang dari Anshar. Seandainya orang lain
berjalan di lereng gunung dan kaum Anshar juga berjalan di lereng gunung yang lain, aku
pasti turut berjalan di lereng gunung yang ditempuh kaum Anshar”.
Mendengar ucapan nabi tersebut kaum Anshar menangis hingga jenggot mereka basah
karena air mata. Mereka kemudian menjawab”Kami rela mendapatkan Allah dan Rasul-Nya
sebagai pembagian dan jatah kami”. (HR. Bukhari, Muslim, Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa‟ad).

XXVII Perang Tabuk dan kisah 3 orang sahabat.


Pada suatu hari di tahun 9 Hijriyah, kaum Muslimin menerima kabar dari para pedagang
yang kembali dari negeri Syam bahwa pasukan Romawi sedang merencanakan
penyerangan besar-besaran terhadap Islam. Pasukan berjumlah 40.000 personil ini
mendapat dukungan dari orang-orang Arab Nasrani yang berada di bawah kekuasaan
kekaisaran yang berpusat di Konstantinopel itu.

Kekaisaran Romawi meski menyatakan diri sebagai kerajaan Nasrani, sebenarnya mereka
hanya menjadikan agama sebagai tameng. Mereka mencampur-adukkan agama dengan
paganisme dan berbagai kebathilan lainnya. Mereka tidak menempatkan kekuasaan dan
hukum Allah diatas segalanya. Agama digunakan sebagai alat untuk menjajah rakyat dan
bangsa-bangsa di sekitarnya. Itu sebabnya kemenangan demi kemenangan yang dicapai
Islam di seluruh jazirah Arabia, yang memang telah dikisahkan dalam Taurat maupun Injil,
membuat para penguasa yang haus kekuasaan ini menjadi ketakutan.

Mendengar itu, Rasulpun tidak tinggal diam apalagi gentar. Beliau segera menyiapkan
pasukannya yang terdiri atas 30.000 orang untuk menyambut serbuan orang-orang yang
tidak menyukai ajaran yang dibawa Rasulullah dan berkembang amat pesat tersebut.
Secara bergantian, karena jumlah unta yang tidak seimbang, 1 ekor unta digunakan untuk
2-3 orang, pasukan bergerak menuju medan perang. Itupun karena kekurangan makanan,
beberapa untapun terpaksa akan disembelih.
Imam Ahmad meriwayatkan di dalam Musnadnya dari Abu Hurairah ra ia berkata:”Pada
waktu perang Tabuk kaum Muslimin mengalami kelaparan sehingga mereka berkata:”Wahai
Rasulullah SAW, ijinkanlah kami menyembelih onta-onta kami untuk dimakan.”Nabi SAW
menjawab:”Lakukanlah!”Tetapi Umar ra datang seraya berkata:”Wahai Rasulullah SAW,
kalau mereka menyembelih onta-onta itu niscaya kendaraan kita makin berkurang. Tetapi
perintahkanlah saja agar mereka mengumpulkan sisa perbekalan mereka kemudian
do„akanlah semoga Allah memberkatinya.”Lalu Nabi SAW memerintahkan agar sisa-sisa
perbekalan mereka kumpulkan di atas tikar yang telah digelar. Maka orang-orang pun
berdatangan. Ada yang membawa segenggam gandum dan ada pula yang membawa
segenggam kurma, sehingga terkumpullah perbekalan makanan yang tidak terlalu banyak,
kemudian Nabi SAW memohonkan keberkahannya. Setelah itu Nabi SAW berkata kepada
mereka:”Ambillah dan penuhilah kantong-kantong makanan kalian!”Kemudian mereka pun
memenuhi kantong-kantong makanan mereka sampai tidak ada tempat makanan yang
kosong di perkemahan kecuali mereka telah memenuhinya. Mereka juga telah makan
hingga kenyang. Bahkan makanan itu masih tersisa. Kemudian Nabi SAW bersabda:”Aku
bersaksi tidak ada Ilah selian Allah dan sesungguhnya aku adalah Rasul Allah. Seorang
hamba yang menghadap Allah dengan dua kalimat tersebut, tanpa ragu, pasti tidak akan
dihalangi masuk surga.“

Perang ini berlangsung pada bulan Rajab, di puncak musim panas dan ketika orang-orang
menghadapi kehidupan yang sangat sulit. Pada saat yang sama, musim buah-buahan
Madinah mulai dapat dipanen. Itu sebabnya banyak kaum Muslimin yang enggan
menjalankan ajakan Rasulullah untuk berjihad di jalan Allah. Berbagai alasan dikemukan.
Allah SWT mengabadikan bermacam keberatan tersebut dalam ayat-ayat berikut:

“Diantara mereka ada orang yang berkata:”Berikanlah saya ijin (tidak pergi berperang) dan
janganlah kamu menjadikan saya terjerumus ke dalam fitnah.”Ketahuilah bahwa mereka
telah terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahanam itu benar-benar meliputi
orang-orang yang kafir.”(QS At-Taubah(9): 49).
“Orang-orang yang ditinggalkan (tidak ikut berperang) itu merasa gembira dengan
tinggalnya mereka di belakang Rasulullah SAW, dan mereka tidak suka berjihad dengan
harta dan jiwa mereka di jalan Allah dan mereka berkata:”Janganlah kamu berangkat (pergi
berperang) dalam panas terik ini. ……”(QS.At- Taubah(9):81).
Sebaliknya kaum Muslimin dari kalangan sahabat dekat Rasulullah yang selama ini telah
dikenal keimanannya tanpa ragu tetap memperlihatkan kwalitas mereka. Turmidzi
meriwayatkan dari Zaid bin Aslam dari bapaknya, ia berkata:“Aku pernah mendengar Umar
ra berkata: Rasulullah SAW memerintahkan kami bersodaqoh dan kebetulan waktu itu aku
sedang punya harta, lalu aku berucap: Sekarang aku akan mengalahkan Abu Bakar, jika
memang aku dapat mengalahkannya pada suatu hari. Kemudian aku datang kepada
Rasulullah SAW membawa separuh hartaku. Nabi SAW bertanya kepadaku:”Apa yang kamu
tinggalkan untuk keluargamu?”Kujawab:”Sebanyak yang kuserahkan.”Kemudian Abu Bakar
ra datang membawa semua hartanya. Nabi SAW bertanya”Wahai Abu Bakar, apa yang
kamu tinggalkan untuk keluargamu?”“Allah dan Rasul-Nya.”Akhirnya aku berkata:”Aku tidak
akan dapat mengalahkannya (dalam perlombaan melaksanakan kebaikan) untuk selama-
lamanya”.
Sementara Ustman ra menyerahkan 300 keping uang sebanyak 1000 dinar yang diletakkan
di kamar Rasulullah SAW. Menanggapi ini Rasulullah berujar:“”Tidak akan membahayakan
Ustman apa yang dilakukan sesudahnya.“
Beberapa orang dari kaum Muslimin yang dikenal dengan panggilan Al-Buka„un (orang-
orang yang menangis) datang kepada Rasulullah SAW meminta kendaraan guna pergi
berjihad bersamanya. Akan tetapi Nabi SAW menjawab mereka:”Aku tidak punya
kendaraan lagi untuk membawa kalian.”Kemudian mereka kembali dengan meneteskan air
mata karena sedih tidak dapat ikut serta berjihad.

Namun tampaknya ajakan perang kali ini hanya merupakan ujian belaka. Karena setiba di
Tabuk, para hamba Allah ini tidak menemukan pasukan musuh. Demikianlah Sang Khalik
menguji keimanan hamba-Nya.

Bahkan tak lama kemudian, Yohanna, gurbernur Ailah, datang kepada Nabi SAW meminta
diadakan perjanjian damai. Untuk itu menyatakan kesediaannya membayar jizyah.
Demikian pula yang dilakukan penduduk Jarba„ dan Adzrah. Rasulullahpun menerima
permintaan damai tersebut. Maka dibuatlah surat perjanjian antara ke dua belah pihak…
Allahuakbar ..

“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari
kemudian dan mereka tidak mengharamkan apa yang telah diharamkan oleh Allah dan
Rasul-Nya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-
orang) yang diberikan Al Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan
patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk”.(QS. At-Taubah(9):29).

Setelah itu Rasulullah dan pasukan kembali ke Madinah dan langsung memasuki masjid
untuk mendirikan shalat 2 raka‟at. Nabi SAW kemudian duduk dikelilingi para sahabat, baik
yang baru pulang dari perjalanan perang yang baru lalu maupun yang tidak pergi.

Terhitung ada sekitar 80 orang yang tidak ikut dalam perang. Di tempat inilah masing-
masing kemudian mengajukan alasan mengapa mereka tidak datang memenuhi panggilan
Rasulullah. Setelah mendengarkan dengan seksama, dengan bijaksana, Rasulullahpun
menerima pernyataan dan alasan mereka. Lalu Rasulullah berdoa dan memohonkan
ampunan Allah SWT bagi mereka. Kecuali Ka„ab bin Malik, Murarah bin Ar Rabi„ dan Hilal
bin Umaiyah. Rasulullah tidak dapat menerima alasan ketiganya. Rasulullah hanya berkata
bahwa Allah SWT sendiri yang akan memberikan keputusan-Nya.

Ka„ab ra dalam sebuah hadits panjang yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim
mengungkapkan kisahnya sendiri sebagai berikut:

Diantara kisahku bahwa aku tidak ikut dalam berperang itu. Aku segera memulai persiapan
untuk maju ke medan perang bersama kaum Muslimin, tetapi aku kembali lagi dan belum
mempersiapkan sesuatu, kemudian aku berkata dalam hati: Aku sebenarnya mampu (ikut
ke medan perang). Aku terus berusaha mempersiapkan untuk berangkat tetapi ternyata
aku belum mendapatkan apa-apa untuk berangkat. Ketika kaum Muslimin sudah berangkat
dan berjalan jauh menuju medan perang akupun masih belum mempersiapkan apa-apa.
Lalu aku berkeinginan untuk menyusul mereka andai aku telah melakukannya tetapi aku
pun tidak ditakdirkan untuk itu.

Setelah Rasulullah SAW berangkat, aku keluar menemui orang-orang. Aku sangat sedih
karena aku tidak melihat kecuali orang yang kental sekali kemunafikannya atau orang
lemah yang diberi dispensasi oleh Allah.

Ketika kudengar Nabi SAW telah bergerak pulang, aku merasa gelisah. Terlintas pula
keinginan untuk berbohong demi menyelamatkan diri dari kemarahan beliau nanti! …
Kemudian aku meminta pandangan setiap orang yang pantas memberikan pandangan dari
keluargaku. Ketika diberitahukan bahwa Rasulullah SAW telah datang, hilanglah segala
kebathilan dari pikiranku dan aku putuskan untuk berkata jujur kepada beliau. Aku datang
menemui Rasulullah SAW seraya mengucapkan salam kepadanya tetapi beliau tersenyum
sinis kemudian berkata:”Kemarilah!”Setelah aku dihadapannya, beliau bertanya:”Kenapa
kamu tidak berangkat? Bukankah kamu telah membeli kendaraan?”Aku jawab:“Ya, benar!.
Demi Allah sekiranya aku sekarang ini berhadapan dengan orang lain dari penduduk dunia,
tentu mudah bagiku mencari alasan untuk menghindari kemarahannya. Apalagi aku adalah
orang ynag pandai berdebat. Demi Allah aku tahu jika aku hari ini berbicara bohong kepada
engkau sehingga engkau tidak memarahiku, sungguh pasti Allah yang mengetahui
kebohongan itu akan memarahi engkau karena aku. Jika aku berkata jujur kepada engkau
niscaya engkau memarahiku. Namun aku akan tetap berkata jujur demi mengharap
ampunan Allah. Demi Allah, sungguh aku tidak punya halangan (udzur) apa-apa. Demi
Allah, sebenarnya aku saat itu dalam keadaan kuat dan sanggup berangkat ke medan
perang!“.
Rasulullah SAW menyahut:”Ya, itu memang tidak bohong. Pergilah sampai Allah
menentukan sendiri persoalanmu!“. Aku lalu pergi.
Ketika aku pergi, beberapa orang dari Banu Salmah menyusul dan menyalahkan tindakanku
(karena tidak mengemukakan alasan sebagaimana orang lain). Kutanyakan kepada
mereka:”Apakah ada orang lain yang berbuat sama seperti yang kulakukan?”Mereka
menjawab:”Ya, ada dua orang, dua-duanya mengatakan kepada Rasulullah SAW seperti
yang telah engkau katakan, dan beliau juga mengatakan kepada mereka, seperti yang
beliau katakan kepadamu!”Aku bertanya lagi:”Siapakah kedua orang itu?”Mereka
menjawab:”Murarah bin Ar-Rabi„ dan Hilal bin Umaiyah.”Mereka lalu menerangkan bahwa
dua-duanya itu orang shaleh dan pernah ikut perang Badr. Dua-duanya dapat dijadikan
contoh.

Kemudian Rasulullah SAW mencegah kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami bertiga,
sebagai orang yang tidak turut serta berangkat ke medan perang Tabuk. Semua orang
menjauhkan diri dari kami dan berubah sikap terhadap kami, hingga aku sendiri merasa
seolah-olah bumi yang kuinjak bukan bumi yang kukenal.

Keadaan seperti ini kualami selama lima puluh hari. Dua orang temanku tetap tinggal di
rumah masing-masing dan selalu menangis sedang aku sendiri sebagai orang muda dan
berwatak keras tetap keluar seperti biasa, shalat jama„ah bersama kaum Muslimin dan
mondar-mandir ke pasar. Selama itu tak seorangpun ynag mengajakku bercakap-cakap.
Akhirnya aku datang menghadap Rasulullah SAW, kuucapkan salam kepadanya saat sedang
duduk sehabis shalat. Dalam hati aku bertanya: Apakah beliau menggerakkan bibir
membalas ucapan salamku atau tidak. Kemudian aku shalat dekat beliau sambil melirik ke
arah beliau. Ternyata di saat aku masih shalat beliau memandangku, tetapi setelah selesai
shalat dan aku menoleh kepadanya, beliau memalingkan muka.

Pada suatu hari di saat aku sedang berjalan di pasar Madinah, tiba-tiba seorang asing
penjaja dagangan yang datang dari Syam bertanya-tanya:“Siapakah yang dapat membantu
saya menunjukkan orang yang bernama Ka„ab bin Malik?”Banyak orang menunjukkannya.
Ia kemudian menghampiriku lalu menyerahkan sepucuk surat kepadaku dari Raja Ghassan.
Setelah kubuka ternyata berisi sebagai berikut:”Amma ba„du, kudengar bahwa sahabatmu
(yakni Rasulullah SAW) telah mengucilkan dirimu. Tuhan tidak akan membuat dirimu hina
dan nista. Datanglah kepadaku, engkau pasti kuterima dengan baik….“
Setelah kubaca aku berkata:”Ini juga termasuk cobaan!”Kunyalakan api kemudian surat itu
kubakar.
Setelah lewat empat puluh hari, datanglah utusan Rasulullah SAW kepadaku. Ia
berkata:”Rasulullah SAW memerintahkan supaya engkau menjauhkan diri dari istrimu!”Aku
bertanya:”Apakah ia harus kucerai ataukah bagaimana?”Ia menjawab:”Tidak! Engkau harus
menjauhinya, tidak boleh mendekatinya!“
Kepada dua orang temanku (yang senasib) Rasulullah SAW juga menyampaikan perintah
yang sama. Kemudian kukatakan kepada istriku:”Pulanglah engkau kepada keluargamu,
dan tetap tinggal di tengah-tengah mereka hingga Allah menetapkan keputusann-Nya
mengenai persoalanku!“
Tinggal sepuluh hari lagi lengkaplah masa waktu lima puluh hari sejak Rasulullah SAW
melarang kaum Muslimin bercakap-cakap dengan kami. Tepat pada hari kelima puluh aku
shalat subuh memikirkan keputusan apa yang akan ditetapkan Allah dan Rasul-Nya atas
diriku yang tengah mengalami penderitaan berat ini, hingga bumi yang luas ini kurasa amat
sempit. Tiba-tiba kudengar suara orang berteriak dari bukit:”Hai Ka„ab bin Malik,
bergembiralah…!“
Seketika itu juga aku sujud (syukur) karena aku sadar bahwa ampunan Allah telah datang.

Setelah mengimami shalat subuh berjama„ah Rasulullah SAW mengumumkan kepada kaum
Muslimin bahwa Allah berfirman berkenan menerima taubat kami. Banyak orang
berdatangan memberitahukan kabar gembira itu kepada kami bertiga.
Setelah orang yang kudengar suaranya dari atas bukit itu datang untuk menyampaikan
kabar gembira kepadaku, kulepas dua baju yang sedang kupakai, kemudian dua-duanya
kuberikan kepadanya dengan senang hati. Demi Allah, aku tidak mempunyai baju selain
yang dua itu. Aku berusaha mencari pinjaman baju kepada orang lain, dan setelah kupakai
aku segera pergi menemui Rasulullah SAW. Banyak orang yang menyambut kedatanganku
mengucap selamat atas ampunan Allah yang telah kuterima.

Aku kemudian masuk ke dalam masjid. Kulihat Rasulullah SAW sedang duduk dikelilingi
para sahabatnya. Thalhah bin Ubaidillah berdiri kemudian berjalan tergopoh-gopoh
kepadaku. Selain Thalhah tidak ada orang lain dari kaum Muhajirin yang berdiri menyambut
kedatanganku. Kebaikan Thalhah itu tidak dapat kulupakan.

Setelah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah SAW , beliau dengan wajah berseri-seri
kegirangan berkata:”Gembiralah menyambut hari baik yang belum pernah engkau alami
sejak lahir dari kandungan ibumu!”Aku bertanya:”Apakah itu dari anda sendiri, wahai
Rasulullah? Ataukah dari Allah?”Beliau menjawab:“Bukan dari aku, melainkan dari Allah.“
Kemudian aku berkata:”Wahai Rasulullah SAW, sebagai tanda taubatku, aku hendak
menyerahkan seluruh harta bendaku kepada Allah dan Rasul-Nya.”Tetapi beliau
menjawab:”Lebih baik engkau ambil sebagian dari hartamu itu!“.
Selanjutnya kukatakan kepada beliau:”Wahai Rasulullah, Allah telah menyelamatkan diriku
karena aku berkata benar. Setelah aku bertaubat, selama sisa umurku aku tidak akan
berkata selain yang benar!“.

Kemudian turunlah firman Allah kepada Rasul-Nya:

“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan Anshar yang
mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka nyaris berpaling
(tergelincir), namun kemudian Allah menerima taubat mereka. Sesunguhnya Allah Mahaya
Penyayang terhadap mereka. Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan
taubatnya) sehingga bumi yang luas ini mereka rasakan amat sempit, dan jiwa mereka pun
dirasa sempit oleh mereka, kemudian mereka menyadari bahwa tidak ada temapt lari dari
(siksaan) Allah selain kepada-Nya, kemudian Allah menerima taubat mereka agar mereka
tetap bertaubat. Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.
Hari orang-orang yang beriman, tetapi bertaqwalah kepada Allah dan hendaklah kalian
bersama orang-orang yang selalu benar“.(QS At-Taubah(9):117-119).
Sementara itu, semenjak kepulangan Rasullullah dan pasukan Muslim dari perang Tabuk,
Rasulullah menerima sejumlah utusan yang datang berduyun-duyun menyatakan ke-
Islaman mereka. Sebaliknya, Rasulullah juga aktif mengirim beberapa utusan untuk
memperkenalkan Islam. Diantaranya yaitu Khalid bin Walid yang dikirim ke Najran, Ali bin
Abi Thalib ra yang dikirim ke Yaman dan Abu Musa Al-Asy‟ari serta Mu‟adz bin Jabal ke
pelosok Yaman.

Dalam kesempatan tersebut, Rasulullah berwasiat,”Permudah dan jangan mempersulit !


Gemarkan dan jangan membuat orang lari, berusahalah dengan penuh keikhlasan dan
kekuatan!”

XXVIII.Haji Wada, Khutbah Rasulullah dan Tanda Sempurnanya Islam.


Imam Muslim meriwayatkan dengan sanadnya dari Jabir ra, ia berkata: Selama 9 tahun
tinggal di Madinah Munawarah, Nabi SAW belum melaksanakan Haji. Kemudian pada tahun
ke 10 beliau mengumumkan hendak melakukan haji. Maka berduyun-duyun orang datang
ke Madinah, semuanya ingin mengikuti Rasulullah SAW dan mengamalkan ibadah Haji
sebagaimana amalan beliau.
Namun sebelum melaksanakan niat tersebut, Rasulullah bersabda:“Tetapi orang-orang
musyrik masih hadir melakukan thawaf dengan telanjang. Aku tidak ingin melaksanakan
ibadah haji sebelum hal itu dihapuskan“. Maka beliaupun mengutus Abu Bakar ra yang
disusul oleh Abu Thalib ra untuk mengumumkan bahwa mulai tahun depan kaum Musrikin
dilarang lagi melakukan ibadah haji kecuali mereka mau memeluk Islam. Untuk itu mereka
diberi waktu 4 bulan untuk berpikir. Setelah itu bila mereka tetap ingin melakukan ibadah
haji dengan mencontoh ritual nenek moyang mereka yang berhaji dengan bertelanjang
kaum Muslimin akan memerangi mereka.
“Aku Thawaf di Ka„bah sebagaimana saat aku dilahirkan oleh ibuku, tidak ada kotoran
benda dunia yang melekat ditubuhku“, itulah alasan jahiliyah yang dikemukan kaum
Musrykin mengapa ketika berhaji mereka telanjang.
“Dan (inilah) suatu permakluman dari Allah dan Rasul-Nya kepada umat manusia pada hari
haji akbar, bahwa sesungguhnya Allah dan Rasul-Nya berlepas diri dari orang-orang
musyrikin. Kemudian jika kamu (kaum musyrikin) bertaubat, maka bertaubat itu lebih baik
bagimu; dan jika kamu berpaling, maka ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu tidak dapat
melemahkan Allah. Dan beritakanlah kepada orang-orang kafir (bahwa mereka akan
mendapat) siksa yang pedih”.(QS.At-Taubah(9):3).
Ibnu Sa„ad meriwayatkan bahwa ketika Nabi SAW menunjuk Abu Bakar sebagai Amir
Jama„ah haji, ia (Abu Bakar) berangkat bersama 300 orang dari penduduk Madinah dengan
membawa 20 ekor binatang qurban. Rombongan ini berangkat tak lama setelah kaum
Muslimin kembali dari Perang Tabuk.

Tahun berikutnya, yaitu pada tanggal 25 Dzul Qaidah tahun 10 H, Rasulullah SAW keluar
dari Madinah untuk melaksanakan haji. Ada perbedaan pendapat di kalangan para perawi.
Ahlul Madinah berpendapat bahwa Nabi SAW melaksanakan haji ifrad, sedangkan yang
lainnya berpendapat bahwa beliau melakukan haji Qiran.

Jabir berkata: Setelah onta yang membawanya sampai di lapangan besar aku lihat sejauh
pandangan mata lautan manusia mengitari Rasulullah SAW, di depan , belakang, sebelah
kiri dan kanan beliau. Rasulullah sendiri berada di hadapan kami dan di saat itu pula beliau
menerima wahyu.

Maka pada hari Arafah, tepat pada tanggal 10 Dzulhijjah itu, Rasulullah SAW
menyampaikan khutbah terakhirnya. Khutbah ini disaksikan oleh 124 ribu (ada yang
mengatakan 144 ribu) kaum Muslimin yang saat itu sedang melaksanakan wuquf bersama
Rasulullah.

“Wahai manusia, dengarkanlah apa yang hendak kukatakan. Mungkin sehabis tahun ini, aku
tidak akan bertemu lagi dengan kalian di tempat ini untuk selama-lamanya…. Hai manusia,
sesungguhnya darah dan harta benda kalian adalah suci bagi kalian (yakni tidak boleh
dinodai oleh siapapun juga) seperti hari dan bulan suci sekarang ini di negeri kalian ini.
Ketahuilah, sesungguhnya segala bentuk perilaku dan tindakan jahiliyah tidak boleh berlaku
lagi. Tindakan menuntut balas atas kematian seseorang sebagaimana yang berlaku di masa
jahiliyah juga tidak boleh berlaku lagi. Tindak pembalasan jahiliyah seperti itu pertama kali
kunyatakan tidak berlaku ialah tindakan pembalasan atas kematian Ibnu Rabi„ bin al
Harits”..
“Riba jahiliyah tidak berlaku, dan riba yang pertama kunyatakan tidak berlaku adalah riba
Abbas bin Abdul Muthalib. Sesungguhnya segala macam riba tidak boleh berlaku lagi”.
“Hai manusia, di negeri kalian ini, setan sudah putus harapan sama sekali untuk dapat
disembah lagi. Akan tetapi masih menginginkan selain itu. Ia akan merasa puas bila kalian
melakukan perbuatan yang rendah. Karena itu hendaklah kalian jaga baik-baik agama
kalian!”
“Hai manusia, sesungguhnya menunda berlakunya bulan suci akan menambah besarnya
kekufuran. Dengan itulah orang-orang kafir menjadi tersesat. Pada tahun yang satu mereka
langgar dan pada tahun yang lain mereka sucikan untuk disesuaikan dengan hitungan yang
telah ditetapkan kesuciannya oleh Allah. Kemudian mereka menghalalkan apa yang
diharamkan Allah dan mengharamkan apa yang telah dihalalkan Allah”.
“Sesungguhnya jaman berputar seperti keadaannya pada waktu Allah menciptakan langit
dan bumi. Satu tahun adalah dua belas bulan. Empat bulan diantaranya adalah bulan-bulan
suci. Tiga bulan berturut-turut: Dzul Qa„dah, Dzul Hijjah, dan Muharram. Bulan Rajab
adalah antara bulan Jumadil Akhir dan bulan Sya„ban”..
“Wahai manusia, takutlah Allah dalam memperlakukan kaum wanita, karena kalian
mengambil mereka sebagai amanat Allah dan kehormatan mereka dihalalkan bagi kalian
dengan nama Allah. Sesungguhnya kalian mempunyai hak atas para istri kalian dan mereka
pun mempunyai hak atas kalian. Hak kalian atas mereka ialah mereka sama sekali tidak
boleh memasukkan orang yang tidak kalian sukai ke dalam rumah kalian. Jika mereka
melakukan hal itu maka pukullah mereka dengan pukulan yang tidak membahayakan.
Sedangkan hak mereka atas kalian ialah kalian harus memberi nafkah dan pakaian kepada
mereka secara baik”.
“Maka perhatikanlah perkataanku itu, wahai manusia, sesungguhnya aku telah sampaikan.
Aku tinggalkan sesuatu kepada kalian, yang jika kalian pegang teguh, kalian tidak akan
tersesat selama-lamanya, yaitu Kitabullah dan Sunnah Nabi-Nya”.
“Wahai manusia, dengarkanlah taatlah sekalipun kalian diperintah oleh seorang hamba
sahaya dari Habasyah yang berhidung gruwung, selama ia menjalankan Kitabullah kepada
kalian”.
“Berlaku baiklah kepada para budak kalian….. berilah mereka makan apa yang kalian makan
dan berilah pakaian dari jenis pakaian yang sama dengan kalian pakai. Jika mereka
melakukan sesuatu kesalahan yang tidak bisa kalian ma„afkan maka juallah hambah-hamba
Allah itu dan janganlah kalian menyiksa mereka”.
“Wahai manusia, dengarkanlah perkataanku dan perhatikanlah! Kalian tahu bahwa setiap
orang Muslim adalah saudara bagi orang-orang Muslim yang lain, dan semua kaum
Muslimin adalah saudara. Seseorang tidak dibenarkan mengambil sesuatu dari saudaranya
kecuali yang telah diberikan kepadanya dengan senang hati, karena itu janganlah kalian
menganiaya diri sendiri”.
“Ya Allah sudahkah kusampaikan?”
“Kalian akan menemui Allah maka janganlah kalian kembali sesudahku menjadi sesat,
sebagian kalian memukul tengkuk sebagian yang lain. Hendaklah orang yang hadir
menyampaikan kepada yang tidak hadir,barangkali sebagian orang yang menerima kabar
(tidak langsung) lebih mengerti daripada orang yang mendengarkannya (secara langsung).
Kalian akan ditanya tentang aku maka apakah yang hendak kalian katakan?”.
Mereka menjawab:”Kami bersaksi bahwa engkau telah menyampaikan (risalah), telah
menunaikan dan memberi nasehat.”Kemudian seraya menunjuk ke arah langit dengan jari
telunjuknya, Nabi SAW bersabda:”Ya Allah, saksikanlah.”(tiga kali).

Setelah itu turunlah ayat 3 surat Al-Maidah berikut:

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.

Subhanallah .. betapa leganya hati Rasulullah SAW. 22 tahun sudah beliau abdikan jiwa dan
raganya bagi memenuhi perintah Tuhannya. Beliau ridho „mengorbankan‟ seluruh
kesenangan hidup duniawinya, keluarga dan harta bendanya demi mencari ridho dan kasih
sayang Sang Khalik. Penolakan, ejekan, cemoohan, hinaan hingga penyiksaan, semua
beliau lalui dengan sabar dan tawakal. Perjuangan demi perjuangan terus beliau lalui
dengan keyakinan pertolongan Allah pasti datang. Islam dengan kalimat tauhidnya pasti
akan berkibar memenuhi bumi-Nya. Dan inilah janji yang dinantikan beliau.

Disaksikan 144 ribu umat Islam yang memenuhi padang Arafah, Rasulullah menyampaikan
apa yang harus disampaikannya. Kemudian Allah SWT pun menjawab pernyataan Rasul-Nya
tersebut dengan telah sempurnanya perintah-Nya. Berarti Allah Azza wa Jalla puas dan
telah menerima pertanggung-jawaban nabi SAW. Ya, inilah puncak kebahagiaan Rasulullah.
Allahuakbar … Allahuakbar … Allahuakbar ..

Namun sebaliknya dengan Umar bin Al-Khaththab. Mendengar firman Allah tersebut, ia
malah meneteskan air mata. Ketika hal ini ditanyakan kepadanya,“Umar! Mengapa engkau
menangis? Bukankah engkau ini jarang sekali menangis?”
“Karena aku tahu, selepas kesempurnaan hanya ada kekurangan,”jawab Umar. Tampaknya
ia telah merasakan suasana perpisahan (wada‟) terakhir dengan Rasulullah SAW yang
sangat dicintainya.
Nabi SAW tetap tinggal di Arafah hingga terbenam matahari. Pada saat terbenam matahari
itu Nabi SAW berserta orang-orang yang menyertainya berangkat ke Muzdalifah. Seraya
memberikan isyarat dengan tangan kanannya beliau bersabda:

“Wahai manusia, harap tenang, harap tenang!“. Kemudian beliau menjama„ takhir shalat
maghrib dan Isya„ di Muzdalifah kemudian sebelum terbit matahari beliau berangkat ke
Mina, lalu melontar Jumratul Aqabah dengan tujuh batu kecil seraya bertakbir di setiap
lontaran. Setelah itu beliau pergi ke tempat penyembelihan lalu menyembelih 63 binatang
sembelihan (budnah). Kemudian beliau menyerahkan kepada Ali untuk menyembelih
sisanya sampai genap 100 sembelihan.
Setelah itu beliau naik kendaraannya berangkat ke Ka„bah (ifadhah) lalu shalat dhuhur di
Mekkah, dan pergi mendatangi Banu Abdul Muthalib yang sedang mengambil air Zamzam
lalu bersabda:”Timbalah wahai banu Abdul Muthalib, kalaulah tidak karena orang-orang
berebut bersama kalian, niscaya aku menimba bersama kalian.”Kemudian mereka
memberikan setimba air kepadanya dan beliaupun minum darinya. Kemudian Nabi SAW
berangkat kembali ke Madinah.

Sesampai di Madinah, Rasulullah mengumpulkan kembali para sahabat. Rasulullah


mengulang kembali ayat 3 surat Al-Maidah yang diturunkan di padang Arafah dan
menceritakan apa yang dikatakan malaikat Jibril as kepada beliau.

“Wahai Muhammad, sesungguhnya pada hari ini telah disempurnakan urusan agamamu,
maka terputuslah apa yang diperintahkan oleh Allah SWT dan demikian juga apa yang
terlarang oleh-Nya. Oleh itu kamu kumpulkan para sahabatmu dan beritahu kepada mereka
bahwa hari ini adalah hari terakhir aku bertemu dengan kamu“.
Mendengar berita tersebut maka para sahabatpun berseru gembira”“Agama kita telah
sempurna. Agama kila telah sempuma”.

Sebaliknya dengan Abu Bakar ra. Ia segera pulang ke rumah, mengunci pintu dan menangis
kuat-kuat. Ia begitu berduka menyadari bahwa kekasih Allah yang sejak kecil telah menjadi
sahabat terbaiknya ini akan segera meninggalkannya. Sementara itu para sahabat lain
merasa heran akan kesedihan Abu Bakar.

“Wahai Abu Bakar, apakah yang telah membuat kamu menangis sehingga begini sekali
keadaanmu? Sepatutnya kamu berasa gembira sebab agama kita telah sempuma.”
Abu Bakarpun menjawab:”Wahai para sahabatku, kamu semua tidak tahu tentang musibah
yang menimpa kamu. Tidakkah kamu menyadari bahwa apabila suatu perkara itu telah
sempuma maka akan terlihatlah kekurangannya. Turunnya ayat tersebut, menunjukkan
dekatnya perpisahan kita dengan Rasulullah SAW, Hasan dan Husin akan segera menjadi
yatim dan para isteri nabi menjadi janda”.
Mendengar jawaban Abu Bakar itu, serentak para sahabatpun ikut menangis. Salah seorang
yang melihat peristiwa tersebut kemudian melaporkannya kepada Rasulullah.”Ya Rasulullah,
kami baru pulang dari rumah Abu Bakar dan kami mendapati banyak orang menangis
dengan suara yang kuat di hadapan rumah beliau”.

Maka berubahlah muka Rasulullah. Dengan bergegas beliau menuju ke rumah Abu Bakar.

“Wahai para sahabatku, kenapakah kalian semua menangis?”, tanya Rasulullah cemas.
“Ya Rasulullah, Abu Bakar mengatakan bahwa turunnya ayat 3 surat Al-Maidah adalah
menandakan bahwa waktu wafatmu telah dekat. Benarkah itu, ya Rasulullah?”, tanya Ali bin
Abu Thalib resah.
“Semua yang dikatakan Abu Bakar itu benar adanya. Sesungguhnya masa untuk aku
meninggalkan kalian semua telah hampir dekat.”, begitu jawab Rasulullah.

Kemudian satu demi satu Rasulullullah SAW menyalami para sahabat dan berwasiat kepada
mereka. Maka pecahlah tangis dimana-mana. Untuk beberapa lama suasana duka
menyelimuti sekitar rumah Abu Bakar. Selanjutnya ada beberapa pendapat tentang berapa
lamanya Rasulullah berada di antara para sahabat sejak turunnya ayat di padang Arafah
tersebut. Ada yang mengatakan 21 hari, ada pula yang mengatakan 35 hari. Namun ada
juga yang mengatakan Rasulullah masih ada di antara para sahabat hingga 50 bahkan 81
hari setelahnya.

XXIX. Rasulullah dan Pernikahan.


“Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim
(bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi:
dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah
lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya”. (QS.An-Nisaa(4):3).

Ayat inilah yang sering dijadikan pegangan bagi orang-orang yang menerapkan poligami.
Padahal ayat ini sebenarnya merupakan kelanjutan dari ayat sebelumnya yang bila
diperhatikan lebih seksama akan memberikan pengertian lain. Bunyi ayat tersebut adalah
sebagai berikut:

“Dan berikanlah kepada anak-anak yatim (yang sudah balig) harta mereka, jangan kamu
menukar yang baik dengan yang buruk dan jangan kamu makan harta mereka bersama
hartamu. Sesungguhnya tindakan-tindakan (menukar dan memakan) itu, adalah dosa yang
besar”.(QS.An-Nisaa(4):2).

Imam Bukhari, Muslim, Abu Daud serta At-Turmuzy meriwayatkan bahwa Urwah ibn Zubair
bertanya kepada Aisyah ra mengenai ayat tersebut diatas. Aisyah menjawab bahwa ayat
tersebut berkaitan dengan anak yatim yang berada dalam pengawasan seorang wali,
dimana hartanya bergabung dengan sang wali. Kemudian karena tertarik akan kecantikan
dan terutama karena hartanya, sang wali bermaksud mengawininya dengan tujuan agar ia
dapat menguasai hartanya. Ia juga bermaksud tidak memberikan mahar yang sesuai.
Aisyah kemudian melanjutkan penjelasannya bahwa setelah itu beberapa sahabat bertanya
kepada rasulullah SAW mengenai perempuan. Maka turunlah ayat 127 surat An-Nisaa
sebagai berikut:

“Dan mereka minta fatwa kepadamu tentang para wanita. Katakanlah:”Allah memberi fatwa
kepadamu tentang mereka, dan apa yang dibacakan kepadamu dalam Al Qur‟an (juga
memfatwakan) tentang para wanita yatim yang kamu tidak memberikan kepada mereka
apa yang ditetapkan untuk mereka, sedang kamu ingin mengawini mereka dan tentang
anak-anak yang masih dipandang lemah. Dan (Allah menyuruh kamu) supaya kamu
mengurus anak-anak yatim secara adil. Dan kebajikan apa saja yang kamu kerjakan, maka
sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahuinya”.
Pada waktu ayat ini diturunkan, dalam tradisi Arab Jahiliah, para wali anak yatim sering
mengawini anak asuhnya disebabkan tertarik akan harta dan kecantikannya, namun bila si
anak yatim tidak cantik ia menghalangi lelaki lain mengawini mereka karena khawatir harta
mereka terlepas dari tangan para wali. Karena itulah Allah berfirman”jika kamu takut tidak
akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (bilamana kamu
mengawininya)”,(kamu dalam ayat ini maksudnya ditujukan kepada para wali anak
yatim),”maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat….”

Begitulah penjelasan Aisyah. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ayat 3 tersebut
diatas bukanlah anjuran untuk berpoligami. Pada kenyataannya poligami telah dikenal dan
dipraktekan berbagai lapisan masyarakat di berbagai penjuru dunia, baik dunia Barat
maupun Timur, sejak dahulu kala dengan jumlah yang tak terbatas pula. Bahkan sebagian
para nabi sebelum rasulullahpun seperti Ibrahim as, Musa as dan Daud as juga berpoligami.

Jadi bukan agama Islam yang mengajarkan hal tersebut. Islam memang membolehkan
namun hanya sebagai jalan keluar bagi yang memerlukannya, tergantung situasi dan
kondisi, apakah lebih banyak manfaat atau mudharatnya. Itupun dengan syarat yang tidak
mudah dan membatasinya tidak lebih dari 4. Seorang suami sekaligus ayah dalam Islam
wajib bertanggung jawab terhadap perbuatan dan kebutuhan semua istri dan anak yang
dimilikinya, secara adil.

Namun, bila ditelaah lebih lanjut,”jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja,… . Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat
aniaya”, menunjukkan bahwa dengan tidak berpoligami adalah lebih dekat kepada tidak
berbuat aniaya. Karena dengan begitu, seorang suami tidak perlu merasa ada kekhawatiran
berbuat tidak adil terhadap istri maupun anaknya.
“Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri- isteri (mu), walaupun
kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada
yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu
mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.(QS.An-Nisaa(4):129).

Dengan demikian jelas Poligami bukanlah sunah apalagi wajib. Namun bila alasannya ingin
meneladani rasulullah, perlu diingat bahwa beliau lebih lama bermonogami daripada
berpoligami. Pada saat poligami adalah suatu hal yang lumrah di tanah Arab, dimana
kebanyakan laki-laki beristri hingga lebih dari 10, rasulullah lebih memilih untuk
bermonogami bersama istri tercinta, Siti Khadijjah ra, selama lebih kurang 25 tahun, hingga
akhir hayat sang istri.

Padahal usia rasulullah saat menikah baru 25 tahun, usia dimana dorongan syahwat
seorang laki-laki sedang tinggi-tingginya, sementara Siti Khadijjah sendiri telah berusia 40
tahun. Dan kalaupun rasulullah memang menghendakinya, beliau dapat dengan mudah
menikah lagi dengan banyak perempuan tanpa melanggar adat dan tradisi yang berlaku
pada masa itu. Rasulullah baru menikah lagi kurang-lebih 2 tahun setelah wafatnya Siti
Khadijjah, yaitu pada periode Madinah, periode yang penuh peperangan.
Jadi sungguh mustahil bila ada yang berpendapat bahwa rasulullah berpoligami demi
mengejar kesenangan duniawi belaka. Perlu diingat, bahwa semua perempuan yang
menjadi istri rasulullah adalah janda, kecuali Aisyah ra, dan kesemuanya adalah untuk
tujuan menyukseskan dakwah dan membantu menyelamatkan dan mengangkat derajat
perempuan-perempuan yang kehilangan suami.

Bahkan sebenarnya, Allah SWT telah memberikan Rasulullah keleluasaan untuk menikahi
perempuan manapun yang beliau sukai, bila beliau mau. Ini benar-benar kekhususan yang
hanya diberikan Sang Khalik kepada beliau, tidak kepada yang lain. Namun kenyataannya
Rasulullah tidak mau memanfaatkan kesempatan tersebut. Karena beliau tahu persis betapa
sulit dan beratnya tanggung jawab sebagai seorang suami.

“Hai Nabi, sesungguhnya Kami telah menghalalkan bagimu isteri-isterimu yang telah kamu
berikan mas kawinnya dan hamba sahaya yang kamu miliki yang termasuk apa yang kamu
peroleh dalam peperangan yang dikaruniakan Allah untukmu, dan (demikian pula) anak-
anak perempuan dari saudara laki-laki bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara
perempuan bapakmu, anak-anak perempuan dari saudara laki-laki ibumu dan anak-anak
perempuan dari saudara perempuan ibumu yang turut hijrah bersama kamu dan
perempuan mu‟min yang menyerahkan dirinya kepada Nabi kalau Nabi mau
mengawininya, sebagai pengkhususan bagimu, bukan untuk semua orang
mu’min. Sesungguhnya Kami telah mengetahui apa yang Kami wajibkan kepada mereka
tentang isteri-isteri mereka dan hamba sahaya yang mereka miliki supaya tidak menjadi
kesempitan bagimu. Dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-
Ahzab(33):50).

Berikut istri-istri rasulullah dan sedikit latar belakang mengapa rasulullah mengawininya.

1.Khadijjah binti Khuwailid ra.

Ia adalah seorang saudagar perempuan kaya-raya yang dikenal berahlak mulia dan
terhormat. Ia mengetahui bahwa Muhammad adalah seorang pemuda yang jujur dan
berahlak mulia, oleh sebab itu ia mempercayakan perniagaannya dibawa oleh pemuda
tersebut. Nabi SAW menerima wahyu pertama 15 tahun setelah perkawinannya dengan
Khadijjah ra.

Ialah orang pertama yang membenarkan, mendukung dan mempertaruhkan seluruh


kekayaannya demi kelancaran dakwah Islam. Ia terus mendampingi rasulullah sebagai
satu-satunya istri hingga wafatnya pada usia 65 tahun. Khadijah adalah satu-satunya istri
Rasulullah yang mendapat kepercayaan dari Sang Khalik untuk melahirkan putra-putri
Rasulullah kecuali Maryah Al-Qibthiyyah yang melahirkan seorang putra. Namun meninggal
dunia ketika masih bayi. Dari rahim Khadijahlah, Rasullullah dikarunia 4 putri dan 2 putra,
yaitu Zainab, Ruqayah, Ummi Kultsum, Fatimah Az-Zahra, Qasim dan Ibrahim. Namun
kedua putra Rasulullah meninggal ketika masih bayi.

2. Saudah binti Zam‟ah ra.

Ia seorang janda berumur yang ditinggal wafat suaminya ketika mereka hijrah ke
Habasyah(Ethiopia) guna menghindari serangan kaum musyrik. Ia terpaksa kembali ke
Mekah sambil menanggung beban kehidupan anak-anaknya dengan resiko dipaksa murtad
oleh kaumnya. Rasulullah menikahinya dalam keadaan demikian.

3. Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq ra.

Ia satu-satunya istri rasulullah yang ketika dinikahi masih gadis. Abu Bakarlah yang
membujuk rasulullah agar mau mengawini putrinya tersebut, karena ia tidak tega melihat
rasulullah terus bersedih hati ditinggal wafat Khadijjah.

Riwayat lain mengatakan bahwa pernikahan Rasulullah adalah atas petunjuk Jibril as.
Malaikat Jibrillah yang memperlihatkan gambar Aisyah kepada Rasulullah untuk dinikahi
beliau sepeninggal Khadijah.

4. Hafsah binti Umar Ibnul Khatab ra.

Ayahnya sangat bersedih hati ketika suami Hafsah wafat. Ia „menawarkan‟ agar Abu Bakar
mau menikahinya, namun tidak ada jawaban. Demikian juga ketika Umar kembali
„menawarkan‟ kepada Usman bin Affan. Ketika kemudian ia mengadukan kesedihan ini
kepada rasulullah, beliau menghiburnya dengan menikahi putrinya itu sekaligus sebagai
penghargaan beliau atas sang ayah.

5. Hind binti Abi Umayyah atau Ummu Salamah ra.

Juga seorang janda berumur. Suaminya luka parah dalam perang Uhud kemudian gugur tak
lama kemudian. Rasulullah menikahinya sebagai penghormatan atas jasa suaminya dan
demi menanggung anak-anaknya.

6. Ramlah binti Abu Sufyan ra atau Ummu Habibah.


Ia meninggalkan orang-tuanya dan berhijrah ke Habasyah bersama suaminya. Namun
sampai ditujuan, sang suami murtad dan menceraikannya. Untuk menghiburnya, rasulullah
menikahinya sekaligus dengan harapan dapat menjalin hubungan dengan ayahnya yang
waktu itu salah satu tokoh utama kaum musyrik Mekah.

7. Juwairiyah binti Al-Harits ra.

Ia seorang putri kepala suku yang tertawan dalam salah satu peperangan. Keluarganya
datang untuk memohon kebebasannya. Namun dalam pertemuan tersebut ternyata mereka
tertarik kepada Islam dan kemudian memeluknya, demikian juga Juwairiyah. Sebagai
penghormatan rasulullah menikahinya sambil berharap seluruh anggota sukunya memeluk
Islam. Ternyata harapan tersebut terlaksana.

8.Shaffiyah binti Huyaiy ra.

Ia seorang perempuan Yahudi yang tertawan dalam perang dan dijadikan hamba sahaya
oleh salah seorang pasukan muslimin yang menawannya. Kemudan ia memohon kepada
rasulullah agar dimerdekakan. Rasulullah mengajukan 2 pilihan ; dimerdekakan dan
dipulangkan kepada keluarganya atau dimerdekakan dan tetap tinggal bersama kaum
muslimin. Ternyata ia memilih tinggal dan malah memeluk Islam. Sebagai penghargaan
rasulullah menikahinya.

9. Zainab binti Jahsyi ra.

Ia sepupu rasulullah dan beliau menikahkannya dengan Zaid ibn Haritsah, bekas anak
angkat dan budak beliau. Rumah tangga mereka tidak bahagia sehingga mereka bercerai
dan sebagai penanggung jawab perkawinan yang gagal tersebut , rasulullah menikahinya
atas perintah Allah.(lihat QS Al-Ahzab (33):37). Ayat ini sekaligus merupakan perintah Allah
SWT untuk membatalkan adat Arab Jahiliyah yang menganggap anak angkat sebagai anak
kandung sehingga tidak boleh mengawini bekas istri mereka.

10. Zainab binti Khuzaimah ra.

Ia seorang janda, suaminya gugur dalam perang Uhud dan tidak seorangpun dari kaum
muslimin setelah itu mau menikahinya. Kemudian rasulullah menikahinya.

11. Maryah Al-Qibthiyyah ra.


Ia seorang hamba sahaya, hadiah dari penguasa Mesir, Muqauqis. Setelah dimerdekakan
dan masuk Islam, rasulullah menikahinya. Ia adalah satu-satunya istri rasulullah diluar
Khadijjah yang dikarunia anak walaupun kemudian meninggal ketika masih berusia 18
bulan.

Rasulullah tidak pernah lagi menikahi perempuan lain begitu turun perintah dari Sang Khalik
untuk tidak lagi menambah istri. Dari sini jelas terlihat bahwa perkawinan Rasulullah adalah
berdasarkan perintah Allah SWT bukan atas kehendak dan kemauan sendiri.

“Tidak halal bagimu mengawini perempuan-perempuan sesudah itu dan tidak boleh (pula)
mengganti mereka dengan isteri-isteri (yang lain), meskipun kecantikannya menarik hatimu
kecuali perempuan-perempuan (hamba sahaya) yang kamu miliki. Dan adalah Allah Maha
Mengawasi segala sesuatu”. (QS.Al-Ahzab(33):52).

Selanjutnya para istri Rasulullah itu diberi sebutan sebagai Ummul Mukminun atau ibu kaum
Muslimin. Dan setelah wafatnya Rasulullah Allah SWT memuliakan mereka dengan melarang
mereka untuk menikah lagi. Dengan demikian di alam akhirat nanti mereka akan berkumpul
kembali dengan suami tercinta, Rasulullah SAW.

“… … Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-
isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat. Sesungguhnya perbuatan itu adalah amat besar
(dosanya) di sisi Allah”. (QS.Al-Ahzab(33):53).

Jadi jelas ledudukan Ummul Mukminin sangatlah tinggi. Mereka adalah ahlul bait (keluarga
nabi) yang sudah sepatutnya harus kira junjung tinggi. Bahkan Allah SWT sendiri yang telah
memuliakan mereka, dan memberi mereka perlakuan khusus.

“Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa.
Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada
penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik,
dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku
seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan
ta`atilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa
dari kamu, hai AHLUL BAIT dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya”. (Terjemah QS.Al-
Ahzab (33):32-33).
Jadi sungguh tidak masuk akal jika orang-orang Syiah meragukan kebersihan dan keimanan
beberapa diantara Ummul Mukminin tersebut. Bahkan menganggap mereka bukan ahlul
bait. Itulah sekeji-kejinya fitnah. Sungguh tak dapat dibayangkan bagaimana perasaan
Rasulullah SAW jika beliau masih hidup dan mengetahui fitnah keji tersebut.

XXX. Hari-Hari Akhir Rasulullah SAW(1).


“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan
kepadamu ni`mat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu. Maka barangsiapa
terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, sesungguhnya Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang”.(QS.Al-Maidah(5):3).

Potongan ayat ini diturunkan ketika Rasulullah sedang melaksanakan wukuf di Arafah. Ayat
tersebut turun dengan disaksikan sekitar 144 ribu kaum Muslimin yang untuk pertama
kalinya menjalankan ibadah haji tanpa bercampur dengan kaum Musrykin. Karena sebelum
itu, kaum Muslimin bila ingin melaksanakan haji harus bercampur dengan kaum Musrykin
yang terbiasa tawaf tanpa mengenakan sehelaipun benang di tubuh mereka !

Ayat diatas menandakan bahwa itu adalah akhir dari tugas Rasulullah dalam menyampaikan
dakwah. Dan memang demikianlah keadaannya. Beberapa hari kemudian Rasullullahpun
mulai sakit. Namun demikian ini tidak berarti bahwa setelah itu tidak ada lagi satupun ayat
yang turun. Kata”Kusempurnakan ..” yang dimaksud dalam ayat diatas adalah sempurna
dalam kewajiban dan hukum.

Maka dibawah pengawasan langsung Rasulullah, dengan Madinah sebagai pusat


pemerintahannya, kaum Musliminpun dengan tenang dapat menjalankan hak dan kewajiban
mereka sesuai dengan hukum Islam yang telah benar-benar sempurna. Kendati demikian
ada yang masih menjadi ganjalan bagi Rasulullah.

Pada akhir hayat hidup Rasulullah, seluruh jazirah Arab memang telah takluk kepada Sang
Khalik, sebagaimana mestinya. Meski beberapa daerah masih tampak terpaksa
melakukannya. Bahkan pada masa itu telah muncul beberapa orang yang mengaku-ngaku
nabi. Ini terjadi karena melihat kesuksesan dan „keuntungan‟ duniawi yang diraih
Rasulullah, dalam pandangan mereka tentu saja.

Lain halnya dengan wilayah utara, daerah perbatasan kekuasaan Rumawi dan Persia di
daerah Syam, Mesir dan Irak. Wilayah ini, khususnya perbatasan Syam, Rasulullah
berpendapat bahwa harus diperkuat. Tujuannya supaya pasukan Romawi yang beberapa
waktu lalu telah menyiapkan pasukannya (dalam perang Tabuk) tidak kembali lagi
menghasut penduduk sekitarnya dan mengerahkan pasukannya untuk melawan Islam.

Untuk itulah maka Rasulullahpun memerintahkan Usamah bin Zaid untuk memimpin kaum
Muslimin memerangi mereka. Disamping mendatangi perbatasan Balqo„ dan Darum di
Palestina, putra Zaid bin Haritsah yang baru berusia sekitar 19 tahun ini juga diperintahkan
untuk pergi ke Mu‟ta, tempat di mana ayahnya dulu terbunuh.

Namun penunjukkan Usamah yang dianggap masih terlalu belia itu malah memancing
reaksi negatif kaum munafik. Padahal penunjukkan tersebut bukannya tanpa maksud.
Rasulullah ingin menunjukkan bahwa kaum muda adalah kaum yang patut diandalkan dan
harus diberi kesempatan sekaligus tanggung-jawab.

“Dia (Nabi SAW) mengangkat anak ingusan menjadi komandan di kalangan pembesar
Muhajirin dan Anshar”.
Menanggapi hal ini, maka Rasulullahpun segera bertindak. Dalam keadaan kepala mulai
terasa sakit, Rasulullah bersabda:”Jika kalian (orang-orang munafik) menggugat
kepemimpinan Usamah bin Zaid maka (tidaklah aneh karena) sesungguhnya kalian juga
pernah menggugat kepemimpinan ayahnya sebelumnya. Demi Allah, sungguh ia pantas dan
laik memegang kepemimpian itu. Demi Allah, ia adalah orang yang sangat aku cintai. Demi
Allah, sesungguhnya (pemuda) ini (maksudnya Usamah bin Zaid) sangat baik dan pantas.
Demi Allah, ia adalah orang yang sangat aku cintai, maka aku wasiatkan kepada kalian agar
mentaatinya karena sesungguhnya ia termasuk orang-orang shalih di antara kalian.“

Maka berangkatlah Usamah beserta pasukan besarnya. Namun setiba di Jurf, sebuah desa
tak jauh dari Madinah, Usamah memutuskan untuk menghentikan pasukannya. Ia
mendapat kabar bahwa sakit Rasulullah bertambah parah. Ucapan Rasulullah bahwa hidup
beliau tidak lama lagi, terus terngiang-ngiang di telinga para sahabat. Tak satupun diantara
mereka yang mau kehilangan detik-detik terakhir kehidupan manusia yang paling mereka
cintai itu. Sambil menanti perkembangan, Usamah akhirnya memerintahkan pasukannya
untuk mendirikan kemah di tempat tersebut.

Sementara itu Ibnu Ishaq dan Ibnu Sa„ad meriwayatkan dari Abu Muwahibah, mantan
budak yang dimerdekakan oleh Rasulullah SAW, ia berkata:”Rasulullah SAW pernah
mengutusku pada tengah malam seraya berkata: „Wahai Abu Muwaihibah, aku
diperintahkan untuk memintakan ampunan bagi penghuni (kuburan) Baqi„ ini, maka marilah
pergi bersamamu”. Kemudian aku pergi bersama beliau. Ketika kami sampai di tempat
mereka, beliau mengucapkan:”Assalamu„alaikum ya ahlal maqabir! Semoga diringankan
(siksa) atas kalian sebagaimana apa yang dilakukan manusia. Berbagai fitnah datang
seperti gumpalan-gumpalan malam yang gelap, silih berganti yang akhir lebih buruk dari
yang pertama”.
Kemudian beliau menghampiriku seraya bersabda: ;Sesungguhnya aku diberi kunci-kunci
kekayaan dunia dan keabadian di dalamnya, lalu aku disuruh memilih antara hal tersebut
atau bertemu Rabb-ku dan sorga.‟ Aku berkata kepada beliau:”Ayah dan ibuku menjadi
tebusanmu, ambillah kunci-kunci dunia dan keabadian di dalamnya kemudian surga”.‟ Nabi
SAW bersabda: „Demi Allah tidak wahai Abu Muwahibah! Aku telah memilih bertemu dengan
Rab-ku dan sorga”. Kemudian Nabi SAW memintakan ampunan untuk penghuni Baqi‟ dan
meninggalkan tempat. Sejak itulah Rasulullah SAW mulai merasakan sakit yang kemudian
beliau meninggal dunia”.
Pertama kali Rasulullah SAW merasakan sakit keras di bagian kepala. Diriwayatkan dari
Aisyah ra bahwa sepulangnya dari Baqi„, Nabi SAW disambut oleh Aisyah ra seraya
berkata:”Aduh kepalaku sakit sekali!”Lalu Nabi SAW berkata kepada Aisyah:”Demi Allah
wahai Aisyah, kepalaku sendiri terasa sakit“.
Akan tetapi sakitnya Rasul ini tidak mengurangi kebiasaan beliau bercanda dengan istri-istri
beliau. Suatu kali karena Aisyah senantiasa ikut mengeluh sakit kepala tatkala Rasul
mengatakan bahwa kepala beliau sakit, Rasulpun bercanda: ”Apa salahnya kalau kau yang
meninggal lebih dulu sebelum aku. Aku yang akan mengurusmu, mengafanimu,
menyembahyangkanmu dan menguburkanmu”.
Dipicu rasa cemburu yang sangat tinggi, dengan kesal Aisyah, yang masih muda itu,
menjawab ketus:”Dengan begitu yang lain mendapat nasib baik. Demi Allah, dengan apa
yang sudah kaulakukan itu seolah engkau menyuruh aku pulang ke rumah dan dalam pada
itu kau akan berpengantin baru dengan isteri-isterimu !”.

Mendengar jawaban tersebut, dengan menahan rasa sakit, Nabipun hanya tersenyum
sambil memandang mesra sang istri yang dinikahi pertama setelah wafatnya satu-satunya
istri tercinta, Khadijah ra itu.

Sakit di bagian kepala itu semakin bertambah berat sehingga menimbulkan demam yang
sangat serius. Permulaan sakit ini terjadi pada akhir bulan Shafar tahun ke 11 H. Selama itu
Aisyah ra senantiasa menjampinya dengan sejumlah ayat-ayat Al-Quran yang
berisi mu„awwidzat (permintaan perlindungan kepada Allah). Yang dimaksud menjampi
adalah mengusapkan tangan sambil meniupkannya kebagian yang sakit seraya
membacakan doa.
Bukhari dan Muslim meriwayatkan dari Urwah bahwa Aisyah ra mengabarkan,
Sesungguhnya Rasulullah SAW apabila merasakan sakit beliau meniup dirinya sendiri
dengan mu„awwidzat dan mengusapkan dengan tangannya. Dan ketika mengalami sakit
kepala yang kemudian disusul kematiannya, itu akulah yang meniup dengan mu„awwidzat
yang biasa digunakannya lalu aku usap dengan tangan Nabi SAW seraya mengharap
berkahnya.

Suatu hari ketika Rasulullah sedang berada ditempat Maimunah ra, umirul Mukminin yang
kebetulan saat itu mendapat giliran, Rasulullah merasa bahwa sakitnya makin terasa berat.
Maka Rasulullahpun memanggil semua istri beliau. Rasulullah meminta izin agar untuk
seterusnya para Umirul Mukminin ridho dan mau memberi izin Aisyah ra, merawat beliau di
rumah Aisyah. Para Umirul Mukminin sangat dapat memahami keinginan terakhir suami
tercinta sekaligus nabi mereka itu. Maka dengan izin dari mereka semua, akhirnya Nabi
SAW dipindahkan ke rumah Aisyah dengan dipapah oleh al Fadhal dan Ali bin Abi Thalib.

Di rumah Aisyah ra itulah sakit Rasululah SAW semakin bertambah keras. Mengetahui para
sahabat mulai resah dan berduka maka Nabi SAW bersabda:”Siramkanlah aku dengan
tujuh qirbah air karena aku ingin keluar berbicara kepada mereka.”Aisyah ra
berkata:”Kemudian aku dudukkan Nabi SAW di tempat mandi lalu kami guyur dengan tujuh
qirbah air sampai beliau mengisyaratkan dengan tangannya:”Cukup … Cukup”. Kemudian
beliau keluar dan berkhutbah kepada mereka.
Nabi SAW keluar dengan kepala terasa pusing lalu duduk di atas mimbar. Pertama-tama
Rasulullah SAW berdo„a dan memintakan ampunan untuk para Mujahidin Uhud. Kemudian
dengan wajah serius beliau meneruskan:
“Saudara-saudara. Laksanakanlah keberangkatan Usama itu. Demi hidupku. Kalau kamu
telah banyak bicara tentang kepemirnpinnya, tentang kepemimpinan ayahnya dulu pun juga
kamu banyak bicara. Dia sudah pantas memegang pimpinan, seperti ayahnya dulu juga
pantas memegang pimpinan”.
Setelah diam sejenak, demikian pula para sahabat yang hadir, Rasulullah meneruskan
sabdanya:”Seorang hamba diberi pilihan oleh Allah, antara diberi kekayaan dunia atau apa
yang ada di sisi-Nya, lalu hamba itu memilih apa yang ada disisi-Nya“.
Mendengar itu, sontak Abu Bakar menangis (karena mengetahui apa yang dimaksud Nabi
SAW) seraya berkata dengan suara keras:”Kami tebus engkau dengan bapak-bapak dan
ibu-ibu kami“.
Kemudian Nabi SAW bersabda:”Tunggu sebentar wahai Abu Bakar! Wahai manusia
sesungguhnya orang yang paling bermurah hati kepadaku dalam hartanya dan
persahabatannya ialah Abu Bakar. Seandainya aku hendak mengangkat orang sebagai khalil
(teman kesayangan) maka Abu Bakarlah khalilku, akan tetapi persaudaraan yang sejati
adalah persaudaraan Islam. Tidak boleh ada Khaukah (lorong) di masjid kecuali Khaukah
(lorong) Abu Bakar. Sesungguhnya aku adalah tanda pemberi petunjuk bagi kalian dan aku
menjadi saksi atas kalian. Demi Allah, sesungguhnya sekarang ini aku melihat telagaku.
Sesungguhnya aku telah diberi kunci-kunci dunia. Demi Allah, aku khawatir kalian akan
menjadi musyrik sesudahku tetapi aku khawatir kalian akan berlomba-lomba
memperebutkan dunia“.

Kemudian Rasulullah SAW bangkit berdiri untuk kembali ke rumah. Namun Rasulullah
berhenti sejenak, menoleh dan berucap:

“Saudara-saudara Muhajirin, jagalah kaum Anshar baik-baik; sebab selama orang


bertambah banyak, orang-orang Anshar akan seperti itu juga keadaannya, tidak
bertambah. Mereka itu orang-orang tempat aku menyimpan rahasiaku dan yang telah
memberi perlindungan kepadaku. Hendaklah kamu berbuat baik atas kebaikan mereka dan
maafkanlah kesalahan mereka”.
“Sesungguhnya Allah telah menerima taubat Nabi, orang-orang Muhajirin dan orang-orang
Anshar, yang mengikuti Nabi dalam masa kesulitan, setelah hati segolongan dari mereka
hampir berpaling, kemudian Allah menerima taubat mereka itu. Sesungguhnya Allah Maha
Pengasih lagi Maha Penyayang kepada mereka”.(QS.At-Taubah(9):117).

XXX. Hari-Hari Akhir Rasulullah SAW (2).


Makin hari sakit Rasulullah SAW makin bertambah berat. Namun demikian beliau tetap
memimpin shalat berjamaah di masjid bersama para sahabat, meski usai shalat tidak
seperti dahulu ketika sehat, yaitu duduk dikelilingi para sahabat sambil memberikan
tausiyah. Rasulullah kini langsung pulang, masuk kamar dan beristirahat.
Suatu hari, ketika Rasulullah SAW sudah tidak kuat lagi keluar untuk mengimami shalat
maka beliau bersabda:”Perintahkanlah Abu Bakar untuk mengimami shalat.”Aisyah ra
menyahut:”Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Bakar seorang yang lembut. Ia suka
menangis kalau sedang membaca Qur‟an. Jika dia menggantikanmu maka suaranya tidak
dapat didengar oleh orang“. Nabi SAW bersabda:”Kalian memang seperti perempuan-
perempuan Yusuf. Perintahkan Abu Bakar supaya mengimami shalat jama„ah“. Maka Abu
Bakarpun keluar dan bertindak sebagai Imam shalat jama„ah, menggantikan Rasulullah
yang makin hari makin terlihat lemah.

Waktu terus berlalu. Sakit Rasulullah makin hari makin bertambah. Beliau mengalami
demam sangat tinggi. Setiap hari para sahabat bergantian datang menjenguk. Demikian
pula Fatimah, satu-satunya putri Rasulullah. Setiap kali datang menjenguk, diciumnya putri
kesayangan tersebut. Namun suatu hari ketika sakit Rasul makin berat, Fatimahlah yang
mencium ayahnya tercinta.

“Selamat datang, puteriku“, sambut Rasul. Dengan wajah menahan duka Fatimahpun duduk
disamping ayahnya. Tak lama kemudian Rasul membisikkan sesuatu ke telinga Fatimah.
Seketika Fatimah tertawa. Wajahnya langsung berubah cerah. Tetapi beberapa saat
kemudian setelah Rasulullah kembali membisikan sesuatu, Fatimahpun menangis sedih.
Aisyah kemudian bertanya, apa yang dikatakan ayahnya itu. Fatimah hanya menjawab
pendek:
“Aku tidak akan membuka rahasia ayahku”.

Di kemudian hari, setelah Rasulullah wafat, Fatimah mengatakan, bahwa ayahnya


membisikkan kata bahwa dirinya adalah orang pertama dari pihak keluarga yang akan
menyusul Rasulullah wafat. Itu sebabnya ia tertawa. Selanjutnya ketika Rasulullah berbisik
bahwa beliau akan wafat disebabkan sakitnya itu, iapun tak tahan untuk tidak menangis.

Selama beberapa hari kemudian, Rasulullah menggigil hebat. Tubuhnya mengalami demam
sangat tinggi. Oleh karenanya sebuah bejana berisi air dinginpun diletakkan disamping Nabi
SAW. Sekali-sekali beliau memasukkan tangan beliau ke dalam air tersebut lalu
mengusapkannya ke muka. Saking tingginya suhu tubuh Rasulullah, kadang beliau sampai
tak sadarkan diri. Tak lama setelah itu beliaupun sadar kembali dengan keadaan yang
begitu payah.

Karena perasaan sedih yang sungguh menyayat hati, suatu hari Fatimah berkata mengenai
penderitaan ayahnya itu:”Alangkah beratnya penderitaan ayah!”
“Tidak. Takkan ada lagi penderitaan ayahmu sesudah hari ini,”jawab nabi SAW, berusaha
menenangkan putri kesayangan satu-satunya itu .
Suatu hari, Rasulullah meminta Aisyah agar memanggil ayahnya datang. Aisyah ra
berkata:”Pada waktu sakit, Rasulullah SAW pernah berkata kepadaku:„Panggillah kemari
Abu Bakar, bapakmu dan saudaramu, sehingga aku menulis sesuatu wasiat. Sebab aku
khawatir ada orang yang berambisi mengatakan:”Aku lebih berhak“, padahal Allah dan
orang-orang Mukmin tidak rela kecuali Abu Bakar”.
Sementara itu, Ibnu Abbas meriwayatkan:”Ketika Rasulullah SAW sedang sakit keras, beliau
bersabda kepada orang-orang yang ada di dalam rumah: „Kemarilah aku tuliskan sesuatu
wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan sesat sesudahnya‟. Kemudian sebagian mereka
berkata, „Sesungguhnya Rasululah SAW dalam keadaan sakit keras sedangkan di sisi kalian
ada Al-Quran, cukuplah bagi kita Kitab Allah‟. Maka timbullah perselisihan diantara orang-
orang yang ada di dalam rumah. Diantara mereka ada yang berkata: „Mendekatlah, beliau
hendak menulis suatu wasiat buat kalian di mana kalian tidak akan sesat sesudahnya‟.
Diantara mereka ada juga yang mengatakan selain itu. Mendengar perselisihan itu
bertambah sengit dan gaduh akhirnya Rasulullah SAW bersabda:”Pergilah kamu sekalian!
Tidak patut kamu berselisih di hadapan Nabi.”

Berita sakitnya Nabi SAW yang dari hari ke hari makin bertambah itu telah diketahui oleh
seluruh penduduk Madinah. Usama dan pasukannya yang selama itu menunggu di Jurf
akhirnya juga mendengar berita tersebut. Maka Usamapun memutuskan untuk pulang dan
segera menjenguk Rasulullah. Betapa sedihnya Usama ketika dilihatnya, Rasulullah tidak
lagi mampu mengeluarkan suara. Sebaliknya begitu melihat orang yang dicintai datang
menjenguk, Rasulullah mengangkat tangan beliau dan meletakannya di bahu Usama, tanda
bahwa beliau sedang mendoakannya.

Beberapa waktu kemudian,menyadari bahwa waktunya telah makin mendekat, Rasulullah


SAW bertanya kepada Aisyah:”Apa yang kamu lakukan dengan (dinar) itu?”.

Ketika sakit Rasulullah makin bertambah parah, beliau, yang hanya memiliki harta tujuh
dinar di tangan itu, memang telah meminta Aisyah agar menyedekahkan uang tersebut.
Namun karena kesibukannya mengurus dan merawat sang suami tercinta, tampaknya
Aisyah lupa melaksanakan permintaan Rasulullah. Dengan menyesal Aisyah menunjukkan
uang yang masih ada di tangannya.

“Bagaimanakah jawab Muhammad kepada Tuhannya, sekiranya ia menghadap Allah,


sedang ini masih di tangannya”, begitu komentar Rasul sambil memegang uang yang baru
saja diserahkan kembali oleh Aisyah itu. Kemudian segera beliau membagikan uang
tersebut kepada fakir-miskin di kalangan Muslimin.

Malamnya, panas tubuh Rasulullah agak berkurang. Karena merasa agak sehat maka subuh
esok paginya beliau turun dari pembaringannya. Dengan berikat kepala dan bertopang
kepada Ali bin Abi Talib dan Fadzl bin‟l-‟Abbas, beliau keluar menuju masjid untuk shalat
subuh berjamaah. Disana beliau mendapati Abu Bakar sedang mengimami shalat. Melihat
kedatangan Rasulullah SAW, Abu Bakar segera mundur. Namun Rasulullah memberi isyarat
agar ia terus melanjutkan memimpin shalat. Selanjutnya Rasulullah duduk di sebelah kanan
Abu Bakar lalu melakukan shalat, bermakmum kepada Abu Bakar, bersama para sahabat
yang tetap berdiri melanjutkan shalat.

Betapa gembiranya para sahabat melihat Rasulullah kembali dapat shalat bersama mereka.
Mereka sama sekali tidak menyangka bahwa shalat tersebut merupakan shalat terakhir
mereka bersama orang yang paling mereka cintai. Mereka bahkan menyangka Rasulullah
telah sehat dan pulih kembali. Padahal sebenarnya sakit Rasulullah semakin bertambah
serius.

Ibnu Mas„ud meriwayatkan:”Aku pernah masuk membesuk Rasulullah SAW ketika beliau
sedang sakit keras, lalu aku pegang beliau dengan tanganku seraya berkata: „Wahai
Rasulullah, sesungguhnya engkau mengalami demam panas sekali‟. Jawab Nabi SAW: „Ya,
demam yang kurasakan sama dengan yang dirasakan oleh dua orang dari kalian (dua kali
lipat).‟ Aku katakan: „Apakah hal ini karena engkau mendapatkan dua pahala?‟ Nabi SAW
menjawab: „Ya, tidaklah seorang Muslim menderita sakitnya itu kesalahan-kesalahannya
sebagaimana daun berguguran dari pohonnya‟“. (HR. Muttafaq „Alaih).
Dalam keadaan sakit keras seperti itulah Rasulullah SAW kemudian menutupi wajahnya
dengan kain. Apabila dirasakan sakit sekali maka beliau membuka wajahnya lalu
bersabda:”Semoga laknat Allah ditimpahkan ke atas orang-orang Yahudi dan Nasrani yang
menjadikan kuburan para Nabi mereka sebagai masjid“. (HR. Muttafaq „Alaih).

Ini adalah isyarat dari Rasulullah SAW agar kaum Muslimin tidak melakukan tindakan
seperti yang dilakukan orang-orang Yahudi dan Nasrani, yaitu menjadikan makam atau
kuburan sebagai tempat ibadah atau masjid.

Beberapa hari kemudian, yaitu pada hari Senin 12 Rabi‟ul Awwal tahun ke 11 H atau 8 Juni
632 M, ketika para sahabat sedang menunaikan shalat Subuh ber-jamaah, tirai kamar
Aisyah yang letaknya memang menempel dengan masjid dimana para sahabat biasa shalat,
tiba-tiba tersingkap. Dari balik tirai tersebut muncul seraut wajah Rasulullah dengan
senyuman tersungging di bibir.

Betapa gembiranya para sahabat menyaksikan pemandangan tersebut. Mereka bahkan


nyaris menangguhkan shalat saking antusiasnya ingin menyambut sang pemimpin yang
begitu mereka cintai itu. Mengira bahwa Rasulullah akan shalat, Abu Bakarpun menggeser
tubuhnya, untuk memberi tempat kepada Rasulullah. Namun Rasulullah segera memberi
tanda agar Abu Bakar meneruskan shalatnya. Kemudian Rasulullah masuk kembali ke
kamar.

Selanjutnya karena menyangka Rasulullah telah pulih kembali, dengan hati lega para
sahabatpun bergegas meninggalkan masjid untuk mengurus segala keperluan yang selama
ini agak terbengkalai. Demikian pula Abu Bakar. Ia meminta izin untuk pulang ke rumahnya
di Sunuh.

Sebaliknya, sebenarnya Rasulullah telah mengetahui bahwa saat-saat terakhir beliau telah
tiba. Para sahabat tidak menyadari bahwa senyum Rasulullah yang mereka lihat itu adalah
isyarat pamit Rasulullah yang tampak puas menyaksikan umatnya telah mampu mendirikan
shalat Subuh berjamaah dengan tertib. Selanjutnya Rasulullah merebahkan diri ke atas
pangkuan Aisyah, siap menghadapi sakratul maut. Aisyah berkata:”Saat itu, di hadapan
beliau terdapat bejana berisi air. Kemudian Rasulullah memasukkan tangan beliau ke dalam
bejana dan mengusapkannya ke wajah beliau seraya berkata:”La ilaha illallah.
Sesungguhnya kematian itu mempunyai sekarat”. (HR. Bukhari).
Aisyah menceritakan,“Ketika aku sedang memangku Rasulullah, tiba-tiba Abdurahman
masuk dengan membawa siwak ditangan. Aku melihat Rasulullah terus menerus menatap
siwak tersebut hingga aku tahu kalau beliau menginginkannya. Aku tanya”Kuambilkan
untukmu?”Setelah memberi isyarat„ya‟, lalu kuberikan siwak itu. Karena siwak terlalu keras,
kutawarkan untuk melunakkannya dan beliau member isyarat setuju. Beliau kemudian
memasukkan ke dua tangannya ke dalam bejana berisi air yang ada di hadapannya lalu
mengusap wajahnya seraya berucap:”Fir-Rafiqil A‟la‟, sampai beliau wafat dan tangannya
lunglai”. (HR.Bukhari).
Aisyah berkata,”Terasa olehku Rasulullah s.a.w. sudah memberat di pangkuanku.
Kuperhatikan air mukanya, ternyata pandangannya menatap ke atas seraya berkata,”Ya
Handai Tertinggi dari surga“.”Kataku, „Engkau telah dipilih maka engkau pun telah memilih.
Demi Yang mengutusmu dengan Kebenaran.‟ Maka Rasulullah pun berpulang sambil
bersandar antara dada dan leherku dan dalam giliranku. Aku pun tiada menganiaya orang
lain. Dalam kurangnya pengalamanku dan usiaku yang masih muda, Rasulullah s.a.w
berpulang ketika ia di pangkuanku. Kemudian kuletakkan kepalanya di atas bantal, aku
berdiri dan bersama-sama wanita-wanita lain aku memukul-mukul mukaku.”
“Kami tidak menjadikan hidup abadi bagi seorang manusiapun sebelum kamu (Muhammad),
maka jikalau kamu mati, apakah mereka akan kekal? Tiap-tiap yang berjiwa akan
merasakan mati. Kami akan menguji kamu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan
(yang sebenar-benarnya). Dan hanya kepada Kamilah kamu dikembalikan”.(QS.Al-
Anbiya(21):34-35).

XXX. Hari-Hari Akhir Rasulullah (3).


“Fir-Ar-Rafiqil A‟la … Fir-Ar-Rafiqil A‟la … Fir-Ar-Rafiqil A‟la …”.
Itulah kata terakhir yang terus menerus diucapkan Rasulullah Muhammad SAW di atas
pangkuan istri yang paling dicintainya, Aisyah, hingga ajal menjemput kekasih Allah ini.
Kata ini memiliki beberapa pengertian namun sebagian besar sepakat
mengartikannya dengan « Handai Tertinggi‟”. Demikianlah Rasulullah menemui Sang
Khalik, Allah SWT, yang telah mengutus hamba pilihan-Nya menyampaikan pesan-Nya
kepada kita, umat manusia.

Betapa menyesalnya perasaan Abu Bakar karena tidak menunggui dan menemani detik-
detik akhir sahabat sekaligus nabi Allah yang amat dicintainya itu. Ia sedang berada di
rumah istrinya di luar kota ketika mendengar kabar wafatnya Rasulullah. Ia dan juga para
sahabat sama sekali tidak pernah menduga bahwa kemunculan seraut wajah yang dipenuhi
senyum kebahagiaan di saat Abu Bakar sedang memimpin shalat subuh dari balik tirai itu
adalah merupakan tanda pamit Rasulullah kepada para sahabat. Senyum itu cerminan
perasaan puas Sang Nabi bahwa umatnya telah dapat melaksanakan shalat dengan baik.
Yang dengan demikian tidak ada alasan bagi beliau untuk khawatir meninggalkan umatnya.

Abu Bakar segera memacu kudanya menuju rumah Aisyah ra. Tanpa berbicara sedikitpun ia
langsung masuk kamar dimana jenazah Rasulullah telah terbujur kaku. Perlahan
disingkapnya kain yang menutup wajah Rasul, lalu didekap dan diciumnya sahabatnya itu.
Dengan menangis, ia berkata:”Ayah dan ibuku jadi tebusanmu. Allah tidak akan
mengumpulkan pada dirimu dua kematian. Adapun kematian yang telah ditetapkan atasmu
maka hal itu telah engkau jalani”.
Kemudian Abu Bakar keluar. Disana dilihatnya Umar bin Khattab tengah berbicara kepada
orang-orang, meyakinkan bahwa Rasulullah SAW tidak meninggal melainkan sedang pergi
menemui Rabb-Nya sebagaimana Musa bin Imran dulu pernah dipanggil-Nya.

“Ada orang dari kaum munafik yang mengira bahwa Rasulullah s.a.w. telah wafat. Tetapi,
demi Allah sebenarnya dia tidak meninggal, melainkan ia pergi kepada Tuhan, seperti Musa
bin „Imran. Ia telah menghilang dari tengah-tengah masyarakatnya selama empat puluh
hari, kemudian kembali lagi ke tengah mereka setelah dikatakan dia sudah mati. Sungguh,
Rasulullah pasti akan kembali seperti Musa juga. Orang yang menduga bahwa dia telah
meninggal, tangan dan kakinya harus dipotong!”
“Tunggu sebentar, wahai Umar. Diamlah”, tegur Abu Bakar. Namun sahabatnya ini tidak
menggubrisnya dan terus berbicara emosional. Melihat Umar tidak mau mendengarkannya,
Abu Bakar kemudian pergi menemui orang-orang yang tampak kebingungan. Orang-orang
ini lalu meninggalkan Umar dan ganti mengerumuni Abu Bakar.
“Amma ba‟du. Wahai manusia ! Barangsiapa diantara kalian menyembah Muhammad maka
ketahuilah bahwa Muhammad telah meninggal dan barangsiapa menyembah Allah maka
sesungguhnya Allah Maha Hidup dan tidak mati. Allah berfirman:
“Muhammad itu tidak lain hanyalah seorang rasul, sungguh telah berlalu sebelumnya
beberapa orang rasul. Apakah jika dia wafat atau dibunuh kamu berbalik ke belakang
(murtad)? Barangsiapa yang berbalik ke belakang, maka ia tidak dapat mendatangkan
mudharat kepada Allah sedikitpun; dan Allah akan memberi balasan kepada orang-orang
yang bersyukur”.(QS.Ali Imran (3):144).
Mendengar itu, serentak semua orang yang hadir ikut membaca ayat diatas. Demikian pula
Umar bin Khattab. Suatu saat Umar bin Khattab berujar:”Demi Allah, setelah kudengar Abu
Bakar membaca ayat tersebut, aku merasa tidak berdaya. Kedua kakiku lemas sehingga
aku jatuh terduduk ke tanah”. (HR. Ibnu Ishaq, Bukhari).

Demikianlah Allah SWT mengakhirkan hidup dan perjuangan nabi SAW yang selama hampir
23 tahun mengajak seluruh masyarakatnya agar menyembah hanya kepada Tuhan Yang
Satu yaitu , Allah SWT. Rasulullah SAW wafat pada tahun 11 H, tepat pada hari dan tanggal
beliau dilahirkan yaitu pada hari Senin, 12 Rabi‟ul Awwal, dalam usia 63 tahun.

Bukhari meriwayatkan dari Amr ibnu Harits, ia berkata”Rasulullah shallallahu „alaihi wa


sallam tidak meninggalkan satupun dinar atau budak lelaki ataupun budak perempuan
selain dari bhagalnya yang putih yang biasa ditungganginya dan senjata serta tanah yang
sudah diikrarkan menjadi sedekah bagi ibnus sabil”.
Diriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah shallallahu „alaihi wa sallamtelah
bersabda,”Aku adalah pemimpin anak Adam di hari Kiamat dan yang pertama kali keluar
dari bumi. Aku adalah pemberi syafaat pertama dan yang pertama diterima
syafaatnya”. (HR.Muslim).

Seperti dikisahkan dalam kitab Daqaiq Al-Akhbar:

Ketika alam ini dalam keadaan sunyi karena semua makhluk Allah telah mati, maka Allah
menghidupkan malaikat Jibril, Mikail, Israfil dan Izrail. Mereka lalu diperintahkan Allah
untuk mencari kuburan Muhammad SAW. Setelah mereka menemukan makam beliau,
maka malaikat Israil memanggilnya, „Wahai Muhammad, bangunlah untuk memutuskan
hukum dan hisab serta untuk menghadap Zat Yang Maha Penyayang.‟
Akhirnya pecahlah kubur tersebut, ketika itu, Rasulullah SAW duduk dalam kuburnya
sedang membersihkan debu dari kepala dan jenggotnya. Lalu malaikat Jibril memberikan
kepada beliau dua pakaian dan kendaraaan Buraq. Selanjutnya Rasulullah SAW bertanya
kepada Jibril, „Wahai Jibril, hari apa ini?‟Jibril menjawab, „Ini adalah hari kiamat, hari
kerugian, hari penyesalan, hari Buraq, hari berpisah dan hari bertemu.‟
Kemudian Rasulullah SAW berkata,”Wahai Jibril, gembirakanlah aku”. Jibril berkata, „Surga
benar-benar telah dihias karena kedatanganmu, neraka telah ditutup”. Rasulullah berkata
kepada Jibril, „Aku tidak bertanya tentang hal tersebut tetapi aku meminta penjelasan
kepadamu tentang umatku yang banyak berdosa, barangkali kamu meninggalkan mereka di
Shirat (Jembatan penyebrangan yang ada diatas neraka)”. Israfil menjawab,”Wahai
Muhammad, demi kemuliaan Tuhanku, aku belum meniup Sangkakala untuk
membangkitkan makhluk Allah sebelum kamu bangkit lebih dahulu”. Selanjutnya beliau
berkata, „Sekarang hatiku bahagia dan menjadi segar mataku.‟ Kemudian Rasulullah SAW
mengambil mahkota dan pakaian, setelah memakai mahkota dan pakaian beliau lalu naik
Buraq.

Sungguh, betapa beruntungnya kita sebagai umat Islam. Karena nabinya sangat
memikirkan umatnya. Menjelang wafat, meski dalam keadaan sakit keras, Rasulullah
menyempatkan diri menengok umatnya. Begitupun ketika dibangunkan dari kubur. Yang
pertama ditanyakan adalah nasib umatnya. Maka dapat dibayangkan bagaimana
kecewanya perasaan Rasulullah bila mendapati umat yang amat dicintainya itu ternyata
tidak melaksanakan ajakan beliau.

Pemakaman Rasulullah dilakukan pada Rabu, 14 Rabiul‟awwal. Ini berarti lewat 2 hari
setelah wafatnya beliau. Sejumlah pihak, terutama musuh-musuh Islam memang
mempermasalahkan hal yang diluar kelaziman ini. Namun ada beberapa alasan mengapa
pemakaman tidak dilakukan sesegera mungkin, sebagaimana mustinya.

Sejarah menceritakan bahwa begitu kabar wafatnya Rasulullah tersiar terjadi kelompok-
kelompok kerumunan massa yang masing-masing ingin menjadikan anggota
kelompoknyalah yang menggantikan kedudukan Rasulullah. Nyaris terjadi perpecahan bila
saja Abu Bakar ra tidak segera turun tangan. Kaum Anshar dan kaum Muhajirin akhirnya
sepakat membaiat Abu Bakar sebagai pemimpin kaum Muslimin. Sebagai catatan,
Rasulullah memang tidak pernah menunjuk seorangpun secara resmi, pasti dan jelas siapa
yang berhak memimpin umat Islam sepeninggal beliau. Namun sejumlah tanda
menunjukkan bahwa Rasulullah sebenarnya menghendaki Abu Bakar sebagai pemimpin
kaum Muslimin. Beliau mengetahui bahwa inilah yang bakal diterima oleh semua kalangan
dan lapisan Muslimin.

Setelah hal ini dapat diatasi, muncul masalah baru, yaitu dimana Rasulullah harus
dimakamkan. Ketika itu berkembang beberapa pendapat yaitu Mekah, Madinah atau Baitul-
Maqdis di Yerusalem, Palestina. Yang terakhir ini muncul dengan alasan karena para nabi
sebelumnya dimakamkan di tempat tersebut.

Akhirnya Abu Bakar memberikan keputusannya dengan mengatakan:”Aku dengar


Rasulullah SAW berkata, setiap ada nabi meninggal, ia dimakamkan di tempat ia
meninggal.”

“Setiap Nabi yang diwafatkan oleh Allah pasti dikebumikan di lokasi yang beliau sukai
dikubur padanya”.Maka kemudian para sahabat mengubur Rasulullah di tempat
pembaringannya”. (Shahih: Shahihul Jami‟us Shaghir no:5649, dan Tirmidzi II: 242
no:1023).
Setelah tercapai kata sepakat,selanjutnya Rasulullah dimandikan. Ali bin Abi Thalib sebagai
wakil keluarga yang bertindak memandikan Nabi SAW. Ia dibantu oleh Abbas bin Abdul-
Muttalib dan kedua puteranya, Fadzl dan Qutham serta Usama bin Zaid dan Syuqran,
pembantu Nabi. Ketika itulah mereka dapati betapa harumnya Nabi SAW, sehingga Ali
berkata:”Demi ibu bapaku! Alangkah harumnya engkau di waktu hidup dan di waktu mati”.

Selesai dimandikan dengan mengenakan baju yang dipakainya itu, Nabi SAW dikafani
dengan tiga lapis pakaian: dua Shuhari dan satu pakaian jenis burd hibara dengan sekali
dilipatkan. Selesai penyelenggaraan dengan cara demikian, jenazah diletakkan tetap pada
tempatnya. Pintu-pintu kemudian dibuka untuk memberikan kesempatan kepada kaum
Muslimin, yang memasuki tempat itu dari jurusan mesjid, untuk mengelilingi serta
melepaskan pandangan perpisahan dan memberikan doa shalawat kepada Nabi SAW.
Kemudian mereka keluar lagi dengan membawa perasaan duka dan kepahitan yang teramat
sangat mendalam. Sungguh berat terasa perpisahan ini.

Selanjutnya, Abu Bakr dan Umar masuk untuk melakukan shalat jenazah bersama para
sahabat, tanpa ada yang bertindak selaku imam dalam shalat tersebut. Setelah itu, kaum
Muslimin kembali duduk mengelilingi jenazah Rasulullah SAW. Dalam keadaan sunyi dan
hening itu, Abu Bakr kemudian berkata:

“Salam kepadamu ya Rasulullah, beserta rahmat dan berkah Allah SWT. Kami bersaksi,
bahwa Nabi dan Rasulullah telah menyampaikan risalah-Mu, telah berjuang di jalan Allah
sampai Kau berikan pertolongan untuk kemenangan agama. Ia telah menunaikan janjinya
dan menyuruh orang menyembah hanya kepada Allah yang tidak ada sekutu bagi-Nya.”
Dengan penuh syahdu dan khusyu‟, maka kaum Musliminpun menyambut setiap ucapan
yang keluar dari Abu Bakar itu dengan” Amin … Amin … Amin … !

Selanjutnya giliran kaum perempuan masuk untuk menshalati jenazah Rasulullah. Dengan
khidmat mereka shalat dan mendoakan nabi yang begitu mereka cintai itu. Sungguh pilu
perasaan mereka ditinggalkan orang yang selama ini menjadi panutan dan imam yang
penuh kasih sayang, perhatian dan lembut. Tak ketinggalan anak-anakpun menshalati
Rasulullah.

Sekarang tibalah saatnya untuk memakamkan jenazah Rasulullah SAW, mahluk Allah yang
paling mulia di muka bumi ini. Sungguh bukan hal yang mudah bagi keluarga maupun para
sahabat dan kaum Muslimin untuk melakukan hal ini. Hingga Fathimah ra, putri
kesayangan satu-satunya nabi SAW ini berkata kepada Anas bin Malik: Apakah jiwamu rela
menaburkan tanah diatas jasad Rasulullah shallallahu‟alayhiwasallam? [HR Bukhari].
Orang-orang diam membisu, tidak tahu harus berbuat apa dan bagaimana. Seolah jiwa
mereka ikut pergi melayang bersama ruh orang yang begitu mereka cintai dan hormati itu.
Tidak relakah mereka sang nabi pergi menemui Tuhannya ? Tuhan yang telah mengutus
nabinya agar memberi peringatan sekaligus berita gembira kepada seluruh hamba di muka
bumi ini ? Dan setelah tugas itu usai memberi nabi SAW pilihan ; untuk menemui Sang
Pemberi Mandat atau tetap di dunia yang fana ini, bersama orang-orang yang dicintai dan
mencintainya dengan segenap jiwa dan raganya? Padahal sang nabi itu sendiri telah
menjatuhkan pilihan pada pilihan pertama, yaitu kembali kepada Sang Khalik yang begitu
dirindukannya ?

Tampaknya, kalau saja Abu Bakar tidak mengingatkan ayat bahwa Muhammad hanyalah
manusia biasa yang pada saatnya harus kembali kepada-Nya, kaum Muslimin ingin sekali
lebih mempercayai perkataan Umar bin Khattab. Bahwa sang rasul hanya pergi untuk
beberapa waktu dalam rangka menemui Tuhannya yang kemudian akan kembali lagi
menemui para sahabat, seperti halnya nabi Musa as.

Di antara orang yang membisu diam adalah Utsman bin Affan yang terus mondar-mandir
tanpa mampu bertutur kata. Sementara Ali bin Abi Thalib hanya bisa terduduk lesu, tidak
mampu bergerak. Adapun Abdullah bin Unais, ia sakit parah hingga meninggal karena duka
yang begitu mendalam.

Namun akhirnya Allah SWT turun tangan. Dibukanya hati kaum Muslimin agar menerima
kenyataan ini. Setelah melalui sedikit perselisihan cara menggali kubur bagaimana yang
akan dipilih, akhirnya diputuskanlah cara Madinah. Yaitu menggali tanah kubur dengan
dasarnya yang dilengkungkan. Orang Makkah menggalinya dengan dasar yang diratakan.

Dengan cara itulah maka dikebumikan jasad Rasulullah SAW yang suci tersebut. Tepat di
tempat Rasulullah menghembuskan nafas terakhir beliau dan dimandikan yaitu di kamar
Aisyah. Umat Islam sekarang mengenalnya dengan apa yang disebut Raudhah yang berarti
taman surga. Di atas makam tersebut lalu dipasang bata merah kemudian ditimbun dengan
tanah. Upacara pemakaman itu terjadi pada malam Rabu 14 Rabiulawal, yakni dua hari
setelah Rasul berpulang ke rahmatullah.

Aisyah berkata:”Kami mengetahui pemakaman Rasulullah SAW setelah mendengar suara-


suara sekop pada tengah malam itu“. Fatimah juga berkata seperti itu.
PENUTUP (Sirah Nabawiyah).
Rasulullah SAW telah pergi meninggalkan para sahabat yang selama hampir 23 tahun
menyaksikan dengan kepala sendiri, ayat demi ayat turun melalui malaikat Jibril as kepada
hamba pilihan-Nya itu. Rasulullah kembali ke haribaan Sang Khalik Azza wa Jalla dengan
perasaan puas. Sebuah senyum terukir di bibir Rasulullah. Bayangan Abu Bakar ra yang
sedang memimpin kaum Muslimin shalat Subuh berjamaah menjadi kenangan terakhir yang
ada di benak Rasulullah SAW. Missi utama beliau dalam menyampaikan pesan Tuhannya,
Tuhan semesta alam beserta seluruh isinya, untuk menyembah hanya kepada-Nya, melalui
shalat, tampaknya telah terpenuhi.

Semoga kita, umat Islam yang hidup 14 abad setelah peristiwa fenomenal tersebut, mampu
menjaga dan melaksanakan pesan penting tersebut. Yaitu shalat, shalat dan shalat!
Semoga kita tidak mengecewakan Rasulullah SAW dengan menghapus kenangan manis di
detik-detik terakhir beliau.

“Salah satu batas (yang membedakan) antara Muslim dengan Kafir adalah Shalat.”
(HR. Muslim).
“Amal yang pertama kali akan dihisab untuk seorang hamba nanti pada hari kiamat ialah
shalat, apabila shalatnya baik maka baiklah seluruh amalnya yang lain, dan jika shalatnya
itu rusak maka rusaklah segala amalan yang lain”(H.R. Thabrani).

Ibarat bangunan, shalat adalah tiangnya. Itu sebabnya Allah tidak menghitung amalan
orang yang tidak mendirikan shalat. Shalat adalah rukun Islam kedua setelah syahadat.
Syahadat dan shalat adalah 2 hal yang tak terpisahkan. Bila syahadat adalah pengakuan
atas keberadaan Tuhan Yang Esa, Allah SWT dan Muhammad adalah utusan-Nya maka
shalat adalah bukti dari pengakuan tersebut.

Ajaran Tauhid, pengakuan akan Tuhan Yang Maha Esa adalah tugas utama yang diemban
semua rasul, dari nabi Adam as hingga nabi Muhammad SAW. Inilah yang dilakukan
Rasulullah terhadap orang-orang Quraisy. Orang-orang Quraisy adalah orang-orang yang
mengakui bahwa Allah adalah Tuhan semesta alam. Ini adalah warisa ajaran nabi Ibrahim
as dan putranya, nabi ismail as yang memang lahir di kota Mekah ribuan tahun lalu.

Namun dengan berlalunya waktu ajaran tersebut telah diselewengkan sedemikian rupa.
Kesyirikan telah merasuk jauh ke dalam diri mereka. Penyembahan terhadap berhala-
berhala dianggap sebagai cara untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Padahal
telah nyata bahwa sesembahan yang selain Allah itu jelas tidak mampu mendatangkan
mudharat apalagi manfaat !

“Maka mengapa yang mereka sembah selain Allah sebagai Tuhan untuk mendekatkan diri
(kepada Allah) tidak dapat menolong mereka. Bahkan tuhan-tuhan itu telah lenyap dari
mereka? Itulah akibat kebohongan mereka dan apa yang dahulu mereka ada-
adakan”.(QS.Al-Ahqaf(46):28).

Sedangkan shalat dan syariat (hukum ) setiap agama yang dibawa para rasul tidak sama.
Inilah yang membedakan agama Yahudi yang dibawa nabi Musa as, Nasrani yang dibawa
nabi Isa dan Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad SAW.

“Bagi tiap-tiap umat telah Kami tetapkan syari`at tertentu yang mereka lakukan, maka
janganlah sekali-kali mereka membantah kamu dalam urusan (syari`at) ini dan serulah
kepada (agama) Tuhanmu. Sesungguhnya kamu benar-benar berada pada jalan yang
lurus”.(QS.Al-Hajj(22):67).
“… … Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang.
Sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat (saja), tetapi Allah
hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, maka berlomba-lombalah
berbuat kebajikan. Hanya kepada Allah-lah kembali kamu semuanya, lalu diberitahukan-
Nya kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu”. (QS.Al-Maidah(5):48).

Setiap umat mempunyai nabi yang harus dijadikan contoh dan suri teladan. Itu sebabnya
kita, sebagai umat Islam,harus mengikuti apa yang dicontohkan Rasulullah Muhammad
SAW. Termasuk cara shalat, puasa dan haji yang juga sebenarnya telah dilakukan oleh
umat para rasul terdahulu.

“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah”.(QS.Ahzab(33):21).

Selanjutnya agar bangunan memberikan manfaat dan indah dipandang, seorang Muslim
harus menjalankan amal kebajikan. Orang yang paling takwa adalah orang yang paling
banyak manfaatnya bagi orang lain. Jadi jelas, bahwa shalat saja tidaklah cukup. Shalat
hanyalah tiang bangunan yang pasti amat diperlukan namun belum bisa memberikan
manfaatnya. Pada detik-detik terakhir kehidupan Rasulullah, beliau tersenyum bahagia
karena paling tidak dasar/tiang tersebut telah mampu berdiri. Sepeninggal Rasulullah,
adalah tugas setiap kaum Muslimin untuk mengisi bangunan tersebut.

Namun dengan berlalunya waktu bahkan sebenarnya menjelang hari-hari akhir


Rasulullahpun, keingkaran sudah mulai menampakkan diri. Sejumlah orang mengaku-ngaku
sebagai nabi. Orang-orang Munafik yang memang telah ada sejak periode Madinah, begitu
Rasulullah wafat, kemunafikannya makin menjadi-jadi. Orang-orang yang semenjak
diwajibkannya perang sudah enggan melakukannya juga makin memperlihatkan karakter
aslinya.

Kekhalifahan khalifah yang 4,yaitu Abu Bakar ra, Umar bin Khattab ra, Ustman bin Affan ra
dan Ali bin Abu Thalib yang notabene adalah sahabat-sahabat terbaik Rasulullah juga tidak
luput dari kekisruhan dan berbagai fitnah. Beberapa perbedaan pendapat yang sebenarnya
tidak terlalu mendasar, dipicu orang-orang yang tidak bertanggung-jawab, seperti si tokoh
Munafikun Madinah, Muhammad bin Ubay bin Salul dkk maupun orang-orang Khawarij yang
begitu memusuhi Ali Bin Thalib, menjadikan pecahnya persatuan dan persaudaraan dalam
tubuh Islam yang sebenarnya masih relative rentan. Para sahabat yang merupakan saksi
turunnya ayat-ayat Al-Quranpun tidak luput dari fitnah.

Demikian juga pembukuan Al-Quran yang dilakukan pada masa Ustman bin Affan. Padahal
dalam firman-Nya Allah menjamin bahwa Al-Quran itu senantiasa dalam penjagaan dan
pengawasan-Nya. Tak ada satupun yang dapat merubahnya , hingga kapanpun. Ini terbukti
secara akal sehat bahwa sejak awal turunnya selalu ada kaum Muslimin yang hafal seluruh
ayat-ayat suci, bahkan secara sempurna hingga bacaan panjang pendeknya! Sesuatu yang
tidak pernah terjadi pada satupun buku di dunia ini.

“Katakanlah:”Al Qur‟an itu diturunkan oleh (Allah) yang mengetahui rahasia di langit dan di
bumi. ….”(QS.Al-Furqon(25):6)
“Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Qur‟an yang Kami wahyukan kepada
hamba Kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja) yang semisal Al Qur‟an itu dan ajaklah
penolong-penolongmu selain Allah, jika kamu orang-orang yang benar”.(QS.Al-
Baqarah(2):23).

Maka tidaklah mengherankan bila dari hari ke hari. fenomena semacam itu tetap ada dan
bahkan makin memarah. Jika ayat-ayat Al-Quran saja bisa menjadi bahan perdebatan
apalagi hadist yang memang jumlahnya ribuan itu. Meski sebenarnya tidak semua hadits itu
bisa dijadikan pegangan. Karena hadits ada berbagai tingkatan. Dari mutawatir, shahih,
hasan, dhaif hingga maudhu‟ atau palsu. Itupun masih dibagi dengan berbagai kriteria dan
persyaratan yang sangat rumit.

“Sebagaimana (Kami telah menyempurnakan ni`mat Kami kepadamu) Kami telah


mengutus kepadamu Rasul di antara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu
dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al Kitab dan Al-Hikmah (As Sunnah),
serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui”.(QS.Al-Baqarah(2):151).

Al-Quran dan Al-Hikmah (As-Sunnah) adalah dua hal yang tidak mungkin dapat dipisahkan.
Ayat-ayat suci Al-Quran adalah wahyu yang diturunkan kepada Rasulullah SAW melalui
malaikat Jibril as. Para sahabat adalah saksinya. Meski mereka memang tidak mendengar
sendiri namun mereka menyaksikan peristiwa tersebut. Rasulullahlah yang kemudian
memberitahukan dan menyampaikan wahyu tersebut kepada mereka. Selanjutnya beliau
memerintahkan para sahabat agar menghafal dan mencatatnya pada media apapun yang
dapat ditulisi, seperti batu, kayu, tulang dan kulit binatang dsbnya.

Diluar itu, para sahabat juga terbiasa menghafal apa yang dikatakan, dilihat dan dirasakan
Rasulullah SAW. Termasuk juga mengamati apa dan bagaimana reaksi Rasulullah dan kaum
Muslimin ketika ayat-ayat turun. Juga bagaimana situasi dan keadaan saat itu. Rasulullah
bahkan juga menyuruh para sahabat menghafalnya. Tetapi beliau mewanti-wanti agar tidak
mencatatnya karena khawatir akan rancu dan tercampur dengan ayat-ayat suci Al-Quran.

Bersabda Rasulullah SAW: Janganlah kalian tuliskan ucapan-ucapanku! Siapa yang


(telanjur) menuliskan ucapanku selain al Qur‟an hendaklah dihapuskan. Dan kamu boleh
meriwayatkan (secara lisan) perkataan-perkataan ini. Siapa yang dengan sengaja berdusta
terhadapku, maka tempatnya adalah di neraka. (HR Muslim dari Abu Al Khudri).

Ucapan, tindakan serta reaksi diam dan tidaknya Rasulullah itu baru dibukukan kurang lebih
50 tahun setelah beliau wafat, yaitu pada zaman khalifah Umar bin Abdul Azis (63 – 101 H)
dan khalifah-khalifah penerusnya. Ini dilakukan demi mencegah timbulnya kesalahan,
kekhilafan ataupun kesalah-pahaman yang sangat mungkin terjadi akibat berjalannya
waktu. Juga sebagai cara untuk menjaga musuh-musuh Islam dalam memanfaatkan
kelemahan As-Sunnah bila tidak segera dituliskan. Hal ini dilakukan dengan pertimbangan
Al-Quran telah ditulis dan dibukukan secara sempurna. Mengingat inilah satu-satunya
alasan mengapa Rasulullah semasa hidup beliau melarang para sahabat menuliskan
ucapan-ucapan beliau. Apa yang kemudian dibukukan tersebut dinamakan Al-Hadits.

Ilmu hadits adalah ilmu yang sangat rumit dan luas. Tak ada satupun ilmu di dunia ini yang
mempunyai ilmu seperti ini. Ilmu ini sangat menggantungkan pada akhlak dan pribadi
seseorang, yaitu si perawi (orang yang menceritakan peristiwa yang terjadi). Salah satu
contohnya, seorang perawi yang diketahui pernah berbohong, meski ia sholeh sekalipun,
riwayatnya bisa tidak diterima!

Bukhari (194-256 H) dan Muslim (204-262 H) adalah 2 orang periwayat yang diakui paling
baik meriwayatkan hadits. Selama puluhan tahun keduanya berkelana dari kota ke kota di
berbagai negeri untuk mencari jejak para sahabat. Mereka ingin mendapatkan berita apa
yang para sahabat dengar dan ketahui mengenai apa yang dikatakan, dilihat dan dirasakan
Rasulullah. Apa dan bagaimana reaksi Rasulullah ketika turun sebuah ayat. Apa dan
bagaimana pula reaksi para sahabat dan bagaimana Rasulullah menanggapi prilaku para
sahabat tersebut. Kemudian keduanya bekerja extra keras untuk menyaring dan
mengelompokkan berita-berita tersebut.

Selain Bukhari dan Muslim, masih ada beberapa periwayat lain yang riwayatnya juga sering
dijadikan pegangan para ulama. Diantaranya adalah Malik bin Anas (93-179 H), Abu
Dawud (202-275 H), At-Turmudzi (209-279 H), An-Nasa‟i (215-303 H), Ibnu Majah (209-
273) dll. Sementara kaum Syiah hanya mengakui hadits yang diriwayatkan keluarga
Rasulullah seperti putri Rasulullah, Fatimah az-Zahra ataupun sahabat yang dianggap tidak
pernah memusuhi Ali bin Abi Thalib. Aisyah, Umirul Mukminin, adalah salah satu orang yang
tidak diterima haditsnya oleh kaum Syiah karena memusuhi Ali, dalam perang Jamal.
Begitupun sahabat-sahabat besar seperti Umar bin Khattab dan Ustman bin Affan. Namun
apapun alasannya, sungguh tidak sepatutnya seorang Muslim itu, secara keseluruhan
meninggalkan hadits, melecehkan apalagi tidak mengakuinya.

Orang-orang Anshar dan Muhajirin adalah orang-orang yang dikenal sangat mematuhi Allah
dan Rasul-Nya. Mereka senantiasa bersegera dalam menjalankan perintah dan menjauhi
larangan-Nya.

“Bertasbih kepada Allah di rumah-rumah yang telah diperintahkan untuk dimuliakan dan
disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, laki-laki yang tidak
dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari)
mendirikan shalat, dan (dari) membayarkan zakat. Mereka takut kepada suatu hari yang (di
hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang. (Mereka mengerjakan yang demikian itu)
supaya Allah memberi balasan kepada mereka (dengan balasan) yang lebih baik dari apa
yang telah mereka kerjakan, dan supaya Allah menambah karunia-Nya kepada mereka. Dan
Allah memberi rezki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa batas”.(QS.An-Nuur(24):36-
38).

„Abdillah bin Umar menerangkan, bahwa ketiga ayat diatas diturunkan berkenaan dengan
kebiasaan kaum Muslimin yang segera menutup toko mereka jika mendengar azan
meskipun mereka sedang sibuk berniaga di pasar. Mereka pergi ke masjid untuk
melaksanakan shalat berjamaah.(HR. Ibnu Abi Hatim dan Ibnu Jarir).

Begitu pula ketika turun ayat yang melarang khamr (minuman keras). Kaum Muslimin
segera menumpahkan minuman tersebut ke saluran-saluran got yang ada di kota Madinah.
Anas meriwayatkan bahwa sejumlah orang tengah minum khamr di rumah Abu Thalhah;
begitu mendengar diharamkannya khamr, mereka langsung menumpahkan dan memecah-
kan semua bejana khamr. Jumhur ulama bersepakat bahwa khamr, banyak maupun
sedikit, adalah haram. [Suryan A. Jamrah]

Sementara kaum perempuan Anshar langsung menyobek kain-kain gordein mereka untuk
dijadikan kerudung begitu turun ayat 31 surat An-Nur.

“Katakanlah kepada wanita yang beriman:”Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan


memelihara kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali
yang (biasa) nampak daripadanya. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke
dadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya, … … Dan bertaubatlah kamu sekalian
kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung”. (QS.An-
Nur(24):31).

Itulah yang dilakukan para sahabat yang hidup dan menjadi saksi turunnya ayat-ayat Al-
Quran, 14 abad lalu. Kini, Rasulullah Muhammad SAW telah tiada. Ayat-ayat Al-Quran telah
sempurna diturunkan bahkan telah dibukukan dengan baik. Demikian pula As-sunnah yang
telah selesai diabadikan menjadi Al-Hadits. Maka umat Islam sekarang ini sebenarnya
tinggal menjalankan keduanya saja. Bahkan bila ternyata kini terjadi perbedaan pendapat,
para alim ulama yang berkompetenpun telah diberi keleluasaan memberikan jalan keluar
melalui Ijtihad.
“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan
keta`atan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya mereka
mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama yang
lurus”.(QS.Al-Bayyinah(98):5).

Semoga kita tidak menyia-nyiakan petunjuk tersebut dan semoga Allah SWT ridho
memberikan hidayah-Nya hingga kita mampu dan mau menjalankan segala perintah dan
menjauhi larangan-Nya.

Shalawat dan salam sejahtera bagi Rasulullah Muhammad SAW yang telah berjuang
sepanjang hidup beliau demi menyampaikan perintah dan larangan-Nya, amiiin Ya Robbal
„Alamin.

Wallahu‟alam bish shawwab.

Paris, 23 May 2011.

Vien AM.

Sumber:

1. Sirah Nabawiyah oleh Dr. M. Sa‟id Ramadhan Al-Buthy.

2. Riwayat Kehidupan Nabi Besar Muhammad SAW oleh HMH Al Hamid Alhusaini

3. Sejarah Hidup Muhammad oleh Muhammad Husain Haekal

https://vienmuhadisbooks.com/category/sirah-nabawiyah-sejarah-hidup-rasulullah-SAW/).

Anda mungkin juga menyukai